HUKUM BERSYARAT
Kaidah dasar pada ayat-ayat yang berisi hukum-hukum bersyarat adalah hukum-hukum itu tidak boleh ditetapkan kecuali setelah syarat-syaratnya terpenuhi. Namun hukum asal ini tidak berlaku pada beberapa ayat.
Ini merupakan kaidah yang sangat jeli. Ketika Allâh Azza wa Jalla menetapkan hukum pada sesuatu dan juga menetapkan syarat, maka penetapan hukum ini sangat bergantung dengan syarat yang ditetapkan Allâh Azza wa Jalla. Hukum seperti ini sangat banyak dalam al-Qur’ân. Misalnya firman Allâh Azza wa Jalla,
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. [an-Nisa’/4:12]