AHAD, 28 Ramadhan 1437 H / Juli 2016 M / 02:29 WIB
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللَّهِ
BAHASAN : SIRAH NABI
PERISTIWA-PERISTIWA PENTING ANTARA PERANG BANI QURAIZHAH DAN PERJANJIAN HUDAIBIYYAH
● 1. Pengiriman Pasukan ‘Abdullâh Bin ‘Atik Untuk Membunuh Sallâm Bin Abil-Huqaiq (Abu Râfi’)
Abu Râfi’ termasuk orang yang memprovokasi pasukan sekutu untuk memerangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang ini sering menyakiti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membantu pihak lain yang mau melakukannya. Dia juga membantu Bani Ghathafân dan kaum musyrikin Arab lainnya dengan aliran dana besar untuk memusuhi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah kaum Muslimin berhasil menyelesaikan urusan pengkhianatan Bani Quraizhah, suku Khazraj mengungkapkan keinginan untuk mendapat kehormatan membunuh Abu Râfi’, sebagaimana suku Aus telah mendapat kehormatan untuk membunuh Ka’ab bin Asyraf. Dua suku ini telah dijadikan oleh Allâh Azza wa Jalla sebagai dua suku yang terus berlomba-lomba dalam kebaikan untuk membantu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mendengar permintaan ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ijin kepada suku Khazraj untuk membunuh Abu Râfi’ dan melarang membunuh anak-anak dan wanita.[1]
Setelah mendapatkan ijin dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lima orang dari suku Khazraj berangkat menuju benteng Abu Râfi’ di Khaibar untuk membunuhnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan ‘Abdullâh bin ‘Atik sebagai pemimpin pasukan kecil ini. Ketika mendekati benteng dan matahari telah terbenam, sementara orang-orang telah kembali membawa binatang ternak mereka, ‘Abdullâh mengatakan kepada anggotanya, “Kalian tunggu di sini! Saya akan berusaha mendekati penjaga gerbang, semoga saya bisa masuk benteng.”
‘Abdullâh Radhiyallahu anhu berjalan mendekati pintu gerbang sambil menutupi dirinya dengan pakaian seakan sedang buang hajat. Melihat hal ini, penjaga gerbang berkata, “Hai ‘Abdullâh, kalau engkau ingin masuk, maka cepatlah masuk karena saya akan tutup pintu gerbangnya.” ‘Abdullâh Radhiyallahu anhu bergegas masuk dan bersembunyi. Setelah penjaga menutup dan mengunci pintu gerbang, ‘Abdullah bin Atik Radhiyallahu anhu bangkit dan membuka pintu, kemudian melangkah ke arah rumah Abu Râfi’. Beliau membuka pintu-pintu yang mengarah ke rumah Abu Rafi’, lalu menutupnya dari dalam hingga akhirnya sampai ke rumah yang dituju. Setelah berusaha, akhirnya beliau berhasil membunuh musuh Allâh Azza wa Jalla itu tanpa melukai anggota keluarganya yang lain.
Setelah menuntaskan misinya, ‘Abdullâh Radhiyallahu anhu yang kurang jelas penglihatannya keluar dari rumah lalu terjatuh dari tangga. Akibatnya, kakinya patah, lalu kaki yang patah itu diikat dengan sorban. Beliau melanjutkan perjalanan dan sampai bisa menemui para sahabat yang ia pimpin. Beliau Radhiyallahu anhu memberitahu mereka apa yang telah terjadi. Setelah itu, mereka kembali dan menemui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika melihat mereka, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajah-wajah yang beruntung.” Dan mereka pun menceritakan kepada beliau apa yang telah terjadi.
Para ahli sejarah berselisih dalam tanggal peristiwa ini. Menurut riwayat al-Wâqidi, mereka keluar pada malam Senin di waktu sahur tanggal 4 Dzulhijjah di akhir 46 bulan setelah hijrah dan mereka pergi selama 10 hari. Dan menurut riwayat Ibnu Sa’ad, peristiwa itu terjadi di bulan Ramadhan tahun 6 H . Namun menurut riwayat Imam Thabari rahimahullah, peristiwa itu berlangsung pada pertengahan bulan Jumadil Akhir pada tahun 3 H, dan ada yang mengatakan pada bulan Dzul hijjah tahun 5H, atau tahun 4 H, dan ada yang berpendapat terjadi pada bulan Rajab tahun 3H.
Namun yang pasti, peristiwa itu terjadi setelah perang Khandak dan perang Bani Quraizhah, karena Abu Râfi’ adalah termasuk orang yang memprovokasi pasukan Ahzab untuk memerangi kaum Muslimin. Apabila Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari perang Bani Quraizhah pada pertengahan Dzulqa’dah, maka peristiwa ini tidak jauh dari tanggal tersebut. Dan secara umum, tidak ada riwayat yang shahih berdasarkan kajian ilmu hadits tentang peristiwa ini.
● 2. Pengiriman Pasukan Muhammad Bin Maslamah Menuju Suku Qurtha
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Muhammad bin Maslamah bersama 30 pasukan berkuda untuk menyerang suku Qurtha, mereka ini berasal dari Bani Bakr bin Kilâb, dan itu terjadi pada tanggal 10 Muharram tahun 6 H. Pasukan itu berjalan pada malam hari dan bersembunyi di siang hari sehingga akhirnya terbiasa melakukan serangan kepada mereka secara mendadak. 10 orang terbunuh dari, dan yang lain melarikan diri. Akhirnya mereka membawa ghanimah (rampasan perang) berupa onta dan kambing.
Dan di tengah jalan mereka bertemu dengan Tsumâmah bin ‘Utsâl al-Hanafi, pemuka Bani Hanifah, dan mereka pun menawannya, tanpa mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Sesampainya di kota Madinah, mereka mengikat Tsumâmah pada salah satu tiang masjid. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemuinya dan berkata: “Apa yang ada padamu?” Maka Tsumâmah menjawab: “Wahai Muhammad, jika kau membunuhku, maka engkau membunuh orang yang memiliki kedudukan (sehingga akan ada orang yang melakukan balas dendam), dan jika engkau memberikan kebaikan (yakni membebaskannya-red) maka, engkau memberikan kebaikan kepada orang yang tahu berterima kasih dan jika kau menginginkan harta, maka mintalah harta sesukamu”. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meninggalkanya. Esok harinya, dan pada hari yang ke tiga, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya sebagaimana pertanyaan sebelumnya dan dijawab oleh Tsumâmah dengan jawaban yang sama. Kemudian beliau memerintahkan untuk melepaskannya, maka dia pun pergi menuju pohon kurma yang dekat dengan masjid, lalu mandi, kemudian masuk ke dalam masjid dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Dia mengungkapkan kepada Rasûlullâh bahwa wajah beliau telah berubah menjadi wajah yang paling ia sukai dan agamanya menjadi agama yang paling dia cintai, dan negerinya menjadi negeri yang paling dia cintai, padahal dahulu dia sangat membencinya. Dan dia menyampaikan bahwa ketika ditawan dirinya sedang dalam perjalanan untuk umroh, maka Nabi pun memberi kabar gembira dan mengizinkannya. Ketika telah sampai Mekah, ada yang berkata kepadanya: “Apakah kamu murtad (dari agama nenek moyang)”. Ia menjawab: “Tidak, akan tetapi aku telah masuk Islam. Dan aku bersumpah bahwa satu biji-bijian dari Yamâmah tidak akan datang kepada mereka (Quraisy) sampai diizinkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhirnya, mereka (suku Quraisy) pun menulis surat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta dengan menyebut–nyebut dan mengingatkan hubungan kekerabatan di antara mereka dengan beliau, agar beliau sudi menulis surat untuk Tsumâmah biar tetap mengirim makanan kepada mereka. Beliau pun melakukannya.
Pelajaran-Pelajaran Dari Kisah Tsumâmah
Dan di tengah jalan mereka bertemu dengan Tsumâmah bin ‘Utsâl al-Hanafi, pemuka Bani Hanifah, dan mereka pun menawannya, tanpa mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Sesampainya di kota Madinah, mereka mengikat Tsumâmah pada salah satu tiang masjid. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemuinya dan berkata: “Apa yang ada padamu?” Maka Tsumâmah menjawab: “Wahai Muhammad, jika kau membunuhku, maka engkau membunuh orang yang memiliki kedudukan (sehingga akan ada orang yang melakukan balas dendam), dan jika engkau memberikan kebaikan (yakni membebaskannya-red) maka, engkau memberikan kebaikan kepada orang yang tahu berterima kasih dan jika kau menginginkan harta, maka mintalah harta sesukamu”. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meninggalkanya. Esok harinya, dan pada hari yang ke tiga, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya sebagaimana pertanyaan sebelumnya dan dijawab oleh Tsumâmah dengan jawaban yang sama. Kemudian beliau memerintahkan untuk melepaskannya, maka dia pun pergi menuju pohon kurma yang dekat dengan masjid, lalu mandi, kemudian masuk ke dalam masjid dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Dia mengungkapkan kepada Rasûlullâh bahwa wajah beliau telah berubah menjadi wajah yang paling ia sukai dan agamanya menjadi agama yang paling dia cintai, dan negerinya menjadi negeri yang paling dia cintai, padahal dahulu dia sangat membencinya. Dan dia menyampaikan bahwa ketika ditawan dirinya sedang dalam perjalanan untuk umroh, maka Nabi pun memberi kabar gembira dan mengizinkannya. Ketika telah sampai Mekah, ada yang berkata kepadanya: “Apakah kamu murtad (dari agama nenek moyang)”. Ia menjawab: “Tidak, akan tetapi aku telah masuk Islam. Dan aku bersumpah bahwa satu biji-bijian dari Yamâmah tidak akan datang kepada mereka (Quraisy) sampai diizinkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhirnya, mereka (suku Quraisy) pun menulis surat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta dengan menyebut–nyebut dan mengingatkan hubungan kekerabatan di antara mereka dengan beliau, agar beliau sudi menulis surat untuk Tsumâmah biar tetap mengirim makanan kepada mereka. Beliau pun melakukannya.
Pelajaran-Pelajaran Dari Kisah Tsumâmah
Ibnu Hajar berkata : “Dalam kisah Tsumâmah ini terdapat banyak faedah (pelajaran) di antaranya: bolehnya mengikat orang kafir di dalam masjid, menerima tebusan dari tawanan kafir, agungnya keutamaan memaafkan dari orang yang berbuat kesalahan, karena Tsumâmah bersumpah bahwa rasa bencinya berubah menjadi rasa cinta dalam sekejap ketika Nabi memberikan maaf tanpa pamrih, mandi ketika ingin masuk Islam, perbuatan baik bisa menghilangkan kebencian dan menumbuhkan rasa cinta, orang kafir apabila ingin melakukan kebaikan kemudian masuk Islam maka disyariatkan untuk meneruskannya. Berlemah-lembut kepada orang yang diharapkan keislamanya dari kalangan para tawanan, apabila hal itu ada mashlahatnya bagi agama Islam, terlebih lagi orang yang diikuti oleh kaumnya, dan mengirim pasukan ke negeri kafir dan menawan orang kafir dan memilih untuk membunuhnya atau membiarkannya.”
● 3. Perang Bani Lahyân
● 3. Perang Bani Lahyân
Bani Lahyân adalah orang-orang yang berkhianat kepada Khubaib dan sahabat-sahabatnya pada perang Rajî. Dan ketika tempat tinggal mereka terletak antara negeri Hijaz sampai perbatasan Mekah, dan adanya pertempuran antara kaum Muslimin melawan orang kafir Quraisy dan orang-orang Arab Badui, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang agar negeri-negeri yang dekat tidak di masuki musuh-musuh inti, dan ketika kekuatan pasukan Ahzâb melemah, beliau memandang telah tepat waktu untuk menyerang Bani Lahyan guna membalas kematian para sahabat di dalam perang Rajî’. Maka beliau pun keluar menuju mereka dengan 200 Sahabat, pada Rabi’ul Awwal atau Jumadil Awwal tahun 6 H. Dalam perang ini, beliau menggunakan strategi ta’miyah, yaitu beliau berpura-pura ingin menuju Syam, kemudian mempercepat perjalanan hingga sampai di lembah Bathni Ghurran tempat di mana sahabat-sahabatnya terbunuh. Beliau pun berdoa memohonkan rahmat untuk mereka. Ternyata Bani Lahyân telah mendengar perihal kedatangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mereka pun melarikan diri ke puncak-puncak gunung. Karenanya, beliau tidak mampu menangkap seorang pun dari mereka. Kemudian beliau pun pergi menuju ‘Ushfân dan mengutus pasukan berkuda menuju Kurâ’il Ghamîm, agar kaum Quraisy mengetahuinya, dan rasa takut pun memasuki hati-hati mereka, dan untuk menampakkan kekuatan beliau kepada mereka.
Di tempat ini, ‘Ushfan, beliau bertemu dengan sekelompok pasukan dari kaum musyrikin yang dipimpin oleh Khâlid bin Walîd, kemudian Nabi mendirikan shalat Zhuhur bersama Sahabat. Melihat itu, kaum musyrikin berkata, “Sungguh mereka dalam keadaan yang memungkinkan kita untuk menyerang mereka, telah datang kepada mereka sholat yang lebih mereka cintai daripada anak dan jiwa mereka”. Maka, Malaikat Jibril pun turun kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa wahyu firman Allâh Azza wa Jalla tentang sholat khauf surat an-Nisâ/4:102.
Faedah dari peristiwa ini
1. Disyariatkannya shalat khauf.
2. Disyariatkan membalas dengan pembalasan yang setimpal, dengan memerangi dan membunuh orang yang berkhianat. (Namun, tindakan ini harus dengan perintah Ulil amri sebagaimana prinsip Ahlul Sunah di dalam jihad-red)
3. Disyariatkan tauriyah dan ta’miyah (menutupi atau merahasiakan tujuan-red) untuk memperdaya musuh.
4. Disyariatkan menakut-nakuti musuh dengan singgah di tanah mereka dan menampakkan kekuatan.
● 4. Pengiriman Pasukan ‘Ukasyah Bin Mihshân Menuju Ghamr
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus ‘Ukkâsyah bin Mihshân bersama 40 orang menuju Ghamr (nama sebuah sumber air milik Bani Asad-red) pada bulan Rabi’ul Awwal atau Rabi’ul Akhir tahun 6 H. Mereka pun bergegas, akan tetapi musuh mengetahui hal tersebut dan melarikan diri. Maka ‘Ukkasyah pun singgah di tempat air mereka dan mengirim mata-mata sehingga mereka mendapatkan sebagian hewan ternak mereka, yang berupa 200 onta, dan membawanya ke Madinah.
● 5. Pengiriman Pasukan Muhammad Bin Maslamah Menuju Dzul Qashshah.
Pada bulan Rabi’uts Tsâni tahun ke 6 H, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Muhammad bin Maslamah bersama sepuluh orang dari para Sahabat menuju kabilah Bani Tsa’labah dan ‘Uwâl. Namun, kaum yang dituju telah bersembunyi untuk bersiap menyerang pasukan Muhammad bin Maslamah. Ketika ia dan para sahabat tertidur, mereka pun menyerang dan membunuh seluruh pasukan Muhammad bin Maslamah. Adapun Muhammad bin Maslamah, dia terluka dan mereka menyangka telah mati, kemudian lewatlah seseorang melewati mayat-mayat tersebut lalu beristirjâ’, Muhammad bin Maslamah mendengarnya lalu dia pun bergerak, ternyata orang yang lewat tersebut adalah seorang Muslim. Lelaki itu memberinya makanan dan minuman dan kemudian membawanya ke Madinah. Selanjutnya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu ‘Ubaidah bin Jarrâh bersama 40 orang menuju tempat tersebut, akan tetapi tidak mendapatkan seorang pun, dan hanya mendapatkan onta dan kambing, dan membawanya pulang.
● 6. Pengiriman Pasukan Zaid Bin Haritsah Menuju Bani Sulaim Di Jamûm
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya pada bulan Rabi’ul Akhir tahun 6 H. Zaid dan pasukannya berjalan hingga sampai di Jamûm dan mereka mendapatkan seorang wanita dari Bani Muzaniyah yang bernama Halîmah. Wanita ini menunjukkan tempat tinggal Bani Sulaim. Di tempat itu, mereka mendapatkan onta, kambing, dan tawanan dan di antara tawanan yang ditangkap adalah suami Halîmah al-Muzaniyyah. Ketika Zaid Radhiyallahu anhu pulang dengan membawa apa yang didapat, Rasûlullâh membebaskan Halîmah dan suaminya.
● 7. Pengiriman Pasukan Zaid Bin Haritsah Menuju Daerah ‘Ish.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Zaid pada bulan Jumâdil Ula tahun 6 H dengan 170 pasukan untuk menghadang rombongan kafilah dagang Quraisy yang beliau dengar bertolak dari Syam. Pasukan ini berhasil menghadangnya dan mengambil bawaannya, dan mereka dapat mengambil perak yang banyak milik Shafwân bin Umayyah, dan menawan orang-orang di kafilah dagang itu. Di antara mereka adalah Abul Ash bin Rabi’. Pasukan membawa mereka semua ke Madinah. Kemudian Abul Ash meminta jaminan keamanan kepada istrinya, Zainab binti Rasûlullâh, maka dia pun memberinya dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerimanya dan mengembalikan apa yang telah diambil darinya.
Selanjutnya, Abul Ash pulang ke Mekah dan menunaikan hak kepada setiap orang yang memilikinya, kemudian dia mengucapkan dua kalimat syahadat, dan berkata: “Tidak ada yang menghalangiku untuk tinggal di Madinah kecuali aku takut kalian menyangka bahwa aku masuk Islam untuk dapat membawa pergi harta kalian”. Setelah itu, dia pergi ke Madinah, maka Rasûlullâh pun mengembalikan Zainab kepadanya dengan pernikahan yang dahulu.
Hukum (yang dapat diambil) dari peristiwa ini
Kisah Zainab dan Abul Ash bin Rabi’ ini di jadikan dalil bahwa wanita Muslimah apabila berhijrah, sedangkan suaminya kafir dan tinggal di negeri kafir, maka hijrah itu memisahkan antara keduanya. Kecuali suaminya juga berhijrah dan masuk Islam sebelum ‘iddahnya selesai, maka hijrah pada keadaan ini tidak memisahkan keduanya. Begitu juga, apabila suami masuk telah Islam setelah selesai dari masa ‘iddahnya, walaupun lama waktunya, maka keduanya tetap suami istri apabila suami menghendakinya dan istrinya belum menikah dengan laki-laki lain.
● 8. Pengiriman Pasukan Zaid bin Hâritsah menuju Tharif.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim Zaid bin Hâritsah Radhiyallahu anhu pada bulan Jumadil Akhir tahun 6 H bersama 15 orang menuju Bani Tsa’labah di Tharif. Zaid mendapatkan onta-onta dan kambing-kambing, sementara para penduduknya melarikan diri karena takut. Karenanya, Zaid Radhiyallahu anhu dan pasukannya pulang dalam keadaan selamat dan membawa ghanimah.
● 9. Pasukan Zaid Bin Haritsah Menuju Judzâm Di Hismâ.
Rasûlullâh mengutus Sahabat ini pada bulan Jumâdil Akhir tahun 6 H menuju suku Dhalî’, salah satu cabang suku Judzâm untuk menghukum mereka. Karena ada dua orang dari mereka yang menyerang Sahabat Dihyah al-Kalbi dan merampas hartanya, ketika sahabat ini pulang dari Kaisar Romawi, Heraklius, usai menjalankan misi dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya, dan pulang dengan membawa dagangannya.
[Http://cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]