Sabtu, 25 Juni 2016

Seputar I'tikaf Wanita Haid / Nifas / Junub

Seputar I'tikaf Wanita Haid / Nifas / Junub

SABTU, 21 Ramadhan 1437 H / 25 Juni 2016 M / 18:24 WIB

Hukum I’tikaf Bagi Wanita Haid

[A]. Bolehkah Wanita Haid I’tikaf?.

Pertanyaan :

Bismillah. Ustadz, apakah wanita haid diperbolehkan untuk i’tikaf? Kemudian, apakah jika seseorang yang beri’tikaf kemudian keluar dari masjid untuk keperluan mubah yang kurang syar’i, lalu ia ingin beri’tikaf lagi di hari yang tersisa, apakah ia kemudian berniat i’tikaf lagi? Syukran jazakallahu khairan. (Dari: Fitri)

Jawaban :
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasullillah, wa ba’du, Ulama berbeda pendapat tentang hukum i’tikaf bagi wanita haid, nifas, atau orang junub.

Pertama, Haram Dan Tidak Sah

Ini adalah pendapat mayoritas ulama [Fiqhul I’tikaf, Hal. 26].

Hanya saja, ulama hanafiyah menjadikan syarat suci dari haid atau nifas, untuk i’tikaf Ramdahan saja, kerana mereka berpendapat bahwa i’tikaf harus disertai puasa.

Kedua, Wanita Haid Boleh I’tikaf Dan Hukumnya Sah.

Ini adalah pendapat Madzhab Zahiriyah [al-Muhalla, 2:250].

Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Musthofa al-Adawi dalam Jami’ Ahkam an-Nisa’ (5:232).

Jika dipetakan, sejatinya perselisihan pendapat dalam masalah ini kembali pada perselisihan mereka tentang dua hal:

- Apakah dalam i’tikaf disyaratkan harus disertai puasa?

- Bolehkah wanita haid, nifas, atau orang junub duduk di masjid?


Bagi ulama yang mempersyaratkan bahwa i’tikaf harus dilakukan ketika puasa, mereka menegaskan bahwa wanita haid atau nifas dilarang melakukan i’tikaf. Sebagaimana pendapat hanafiyah [Hasyiyah Ibn Abidin, 2:442]

Demikian pula ulama yang mengharamkan wanita haid atau nifas atau sedang junub masuk masjid, mereka menegaskan terlarangnya melakukan i’tikaf.

Di sisi lain, hambali membolehkan orang junub duduk di masjid, dalam kesempatan yang sama, mereka melarang orang junub melakukan i’tikaf. Karena i’tikaf tidak hanya cukup duduk sebentar. Mereka berdiam di masjid untuk rentang waktu tertentu, semalam atau sehari.

Lebih dari itu, terdapat sebuah riwayat dari A’isyah, beliau mengatakan :

كن المعتكفات إذا حضن أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بإخراجهن من المسجد

“Dulu para wanita melakukan i’tikaf. Apabila mereka haid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk keluar dari masjid.” [riwayat ini disebutkan Ibn Qudamah dalam al-Mughni 3:206 dan beliau menyatakan: Diriwayatkan oleh Abu Hafs al-Akbari. Ibnu Muflih dalam al-Furu’ 3:176 juga menyebutkan riwayat ini dan beliau nisbahkan sebagai riwayat Ibnu Batthah. Kata Ibnu Muflih: “Sanadnya baik”].

Sehingga kesimpulannya, pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, bahwa i’tikaf bagi wanita haid atau nifas atau junub statusnya terlarang, sampai mereka suci dan bersuci.

Meskipun demikian, bagi anda yang sedang mengalami haid atau nifas di 10 malam terakhir bulan ramadhan, kami harap tidak berkecil hati apalagi muncul perasaan marah terhadap ketetapan Allah. Karena setiap mukmin bisa mendapatkan keutamaan lailatul qadar, meskipun dalam kondisi hadats. Wanita haid atau nifas bisa melakukan amal apapun selama bukan ibadah yang dilarang. Allahu a’lam

Cara Wanita Haid Menghidupkan Lailatul Qadar.

[B]. Cara Wanita Haid Menghidupkan Lailatul Qadar.

Pertanyaan :
Bagaimana cara wanita haid menghidupkan lailatul qadar?

Jawaban :
Untuk wanita haid yang ingin medapatkan malam lailatul qadar, Wanita haid bisa melakukan banyak ibadah selain shalat.

Juwaibir mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh-Dhahak, “Bagaimana pendapatmu tentang wanita nifas, haid, musafir, dan orang yang tidur; apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh-Dhahak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Setiap orang yang Allah terima amalannya akan mendapatkan bagian lailatul qadar.” [Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 341]

Keterangan ini menunjukkan bahwa wanita haid, nifas dan musafir tetap bisa mendapatkan bagian lailatul qadar. Hanya saja, wanita haid dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat.

Untuk bisa mendapatkan banyak pahala ketika lailatul qadar, wanita haid atau nifas masih memiliki banyak kesempatan ibadah. Di antara bentuk ibadah yang bisa dilakukan adalah:

- Membaca Alquran tanpa menyentuh mushaf.

- Berzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (la ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah), dan zikir lainnya.

- Memperbanyak istigfar.

- Memperbanyak doa.

- Membaca dzikir ketika lailatul qadar, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat dari Aisyah radhiallahu ‘anha, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, jika aku menjumpai satu malam yang itu merupakan lailatul qadar, apa yang aku ucapkan?’


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ucapkanlah,

‘اللَّـهُـمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُـحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي’

(Ya Allah, sesungguhnya Engkau Dzat yang Maha Pemaaf dan Pemurah maka maafkanlah diriku.)'” [Hadis sahih; diriwayatkan At-Turmudzi dan Ibnu majah]

Dalam Fatwa Islam Tanya-Jawab dijelaskan, “Wanita haid boleh melakukan semua bentuk ibadah, kecuali shalat, puasa, tawaf di ka’bah, dan i’tikaf di masjid. Menghidupkan lailatul qadar tidak hanya dengan shalat, namun mencakup semua bentuk ibadah. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, ‘Makna ‘menghidupkan malam lailatul qadar’ adalah begadang di malam tersebut dengan melakukan ketaatan.’ An-Nawawi mengatakan, “Makna ‘menghidupkan lailatul qadar’ adalah menghabiskan waktu malam tersebut dengan bergadang untuk shalat dan amal ibadah lainnya.'”

Kesimpulan :
Meskipun wanita berhalangan, mereka masih mampu untuk mendapatkan malam lailatul qadar [1], Allahu a’lam.

Lailatul Qadar dan Tanda-Tandanya

[C]. Lailatul Qadar dan Tanda-Tandanya.

Pertanyaan :

Apa sajakah tanda lailatul qadar?

Jawaban :
Di antara tanda-tanda lailatul qadar adalah sebagaimana yang disebutkan dalam hadis berikut ini.

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tanda lailatul qadar,

ليلة طلقة لا حارة و لا باردة تصبح الشمس يومها حمراء ضعيفة

“Dia adalah malam yang indah, sejuk, tidak panas, tidak dingin, di pagi harinya matahari terbit dengan cahaya merah yang tidak terang.” [HR. Ibnu Khuzaimah; dinilai sahih oleh Al-Albani]

Kemudian, ciri yang lain adalah malam ini umumnya terjadi di malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan.

Dalil yang menunjukkan hal ini: Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menghidupkan sepuluh malam terakhir bulan Ramadan. Beliau bersabda, “Carilah malam qadar di malam ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Barang siapa yang tidak mampu beribadah di awal sepuluh malam terakhir, hendaknya tidak ketinggalan untuk beribadah di tujuh malam terakhir. Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang lailatul qadar, “Carilah di sepuluh malam terakhir. Jika ada yang tidak mampu maka jangan sampai ketinggalan ibadah di tujuh malam terakhir.” [HR. Muslim]

Catatan untuk mendapatkan lailatul qadar :

Selayaknya, kaum muslimin untuk tidak pilih-pilih malam untuk beribadah, sehingga hanya mau rajin ibadah jika menemukan tanda-tanda lailatul qadar di atas, karena bisa jadi ciri-ciri itu tidak dijumpai oleh sebagian orang. Mungkin juga, pada hakikatnya, ini adalah sikap pemalas, hanya mencari untung tanpa melakukan banyak usaha. Bisa jadi, sikap semacam ini membuat kita jadi tertipu karena Allah tidak memberikan taufik untuk beribadah pada saat lailatul qadar.

Sebaliknya, mereka yang rajin beribadah di sepanjang malam dan tidak pilih-pilih, insya Allah akan mendapatkan lailatul qadar.

Sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu pernah memberikan nasihat tentang lailatul qadar, kemudian beliau berkata,

من يقم الحول يصبها

“Siapa saja yang shalat malam sepanjang tahun, dia akan mendapatkannya.” [HR. Ahmad dan Abu Daud; dinilai sahih oleh Al-Albani]

Ketika mendengar keterangan dari Ibnu Mas’ud ini, Abdullah bin Umar mengatakan, “Semoga Allah merahmati Ibnu Mas’ud, sebenarnya beliau paham bahwa lailatul qadar itu di bulan Ramadhan, namun beliau ingin agar masyarakat tidak malas.” [Tafsir Al-Baghawi, 8:482] Allahu a’lam.

[Http://Cerkiis.blogspot.com, disalin dari Artikel : www.KonsultasiSyariah.com. Penulis : Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)]

Footnote :
[1]. Sumber: http://www.islam-qa.com/ar/ref/26753