Sabtu, 25 Juni 2016

Hukum I’tikaf Bagi Wanita

Hukum I’tikaf Bagi Wanita



Hukum I’tikaf Bagi Wanita [1]

SABTU, 20 Ramadhan 1437 H / 25 Juni 2016 M / 02:35 WIB

Bolehkah Wanita I’tikaf di Rumahnya?

Pertanyaan :

Bolehkah Wanita I'tikaf di Mushola dalam Rumah?

Jawaban :
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du, Ulama berbeda pendapat, bolehkah wanita itikaf di musholah rumahnya.

Pertama.
Wanita dibolehkan i’tikaf di mushola rumahnya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, at-Tsauri, dan an-Nakha’i.

Ibnu Rusyd mengatakan :

وإلا ما ذهب إليه أبو حنيفة من أن المرأة إنما تعتكف في مسجد بيتها

"Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita boleh beritikaf di mushola rumahnya". [Bidayah al-Mujtahid, hlm. 261]

Kedua.
Tempat itikaf bagi wanita sama dengan laki-laki, yaitu di masjid. Mereka tidak boleh itikaf di mushola dalam rumah. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Dan pendapat inilah yang lebih kuat, dengan pertimbangan,

1. Allah kaitkan syariat itikaf dengan masjid,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

”Janganlah kalian menggauli mereka sementara kalian sedang itikaf di masjid.”

Dan tidak ada pengecualian untuk ayat ini. Artinya berlaku umum, baik bagi lelaki maupun wanita.

2. Para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan itikaf di masjid. [HR. Muslim 1172]

Kegiatan wanita beritikaf di masjid merupakan hal yang biasa di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal beliau menganjurkan agar wanita lebih memilih shalat di rumah dari pada di masjid. Andaikan itikaf di rumah itu lebih baik, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyarankan mereka untuk itikaf di rumah. Allahu a’lam.

Apakah Itikaf bagi Wanita Dibolehkan?

Apakah Itikaf bagi Wanita Dibolehkan? [2]

Imam Bukhari membawakan Bab “I’tikaf Wanita”. Hadits yang beliau bawakan adalah hadits berikut ini.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata :

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّى الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ ، فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا ، فَضَرَبَتْ خِبَاءً ، فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – رَأَى الأَخْبِيَةَ فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « آلْبِرُّ تُرَوْنَ بِهِنَّ » . فَتَرَكَ الاِعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Aku mendirikan tenda untuk beliau. Kemudian beliau melaksanakan shalat Shubuh dan memasuki tenda tersebut. Hafshah meminta izin pada ‘Aisyah untuk mendirikan tenda, ‘Aisyah pun mengizinkannya. Ketika Zainab binti Jahsy melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf dalam tenda, ia meminta untuk didirikan tenda, lalu didirikanlah tenda yang lain. Ketika di Shubuh hari lagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat banyak tenda, lantas beliau bertanya, “Apa ini?” Beliau lantas diberitahu dan beliau bersabda, “Apakah kebaikan yang kalian inginkan dari ini?” Beliau meninggalkan i’tikaf pada bulan ini dan beliau mengganti dengan beri’tikaf pada sepuluh hari dari bulan Syawal.” [HR. Bukhari no. 2033]

Ada hadits yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam kitab beliau Bulughul Maram, yaitu hadits no. 699 tentang permasalahan i’tikaf.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:- أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat. [HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172]

Apa Hukum I’tikaf bagi Wanita?

Imam Syafi’i memakruhkan secara mutlak i’tikaf wanita di masjid yang ada shalat jama’ah. Beliau berdalil dengan hadits pertama yang di atas (hadits pertama, pen.). Hadits tersebut menunjukkan bahwa wanita dimakruhkan beri’tikaf kecuali di masjid rumahnya. Alasannya, jika wanita i’tikaf di masjid umum, banyak nantinya yang melihat wanita tersebut.

Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Seandainya Ibnu ‘Uyainah tidak menambah dalam hadits bab bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih memberikan izin wanita untuk i’tikaf di masjid, tentu i’tikaf wanita di masjid yang ada jama’ahnya menjadi tidak dibolehkan.”

Sedangkan ulama Hanafiyah menyaratkan i’tikaf wanita di masjid rumahnya. Menurut ulama Hanafiyah pula wanita masih boleh i’tikaf di masjid namun bersama suaminya. Demikian pendapat dari Imam Ahmad. [Lihat Fath Al-Bari, 4: 275].

Ibnul Mundzir dan ulama lainnya menyatakan bahwa wanita tidak boleh beri’tikaf sampai meminta izin pada suaminya. Jika wanita tersebut beri’tikaf tanpa meminta izin, maka suaminya boleh menyuruhnya keluar dari i’tikaf. Namun jika telah diberi izin, suami tetap masih boleh melarangnya setelah itu. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah (ahli ro’yi), jika awalnya suaminya mengizinkan kemudian melarangnya, maka suami berdosa. Sedangkan Imam Malik tidak membolehkan seorang suami melakukan seperti itu. [Lihat Fath Al-Bari, 4: 277].

Dari sini kita tahu bahwa masjid tetap syarat untuk i’tikaf. Karena wanita ketika i’tikaf saja harus meminta izin pada suami untuk keluar.

Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Jika wanita ingin melaksanakan i’tikaf di masjid, maka hendaklah menutupi diri (dari pandangan laki-laki, pen.). Disyaratkan bagi wanita untuk berdiam di masjid selama tempat tersebut tidaklah mengganggu (menyempitkan) orang-orang yang shalat.” [Fath Al-Bari, 4: 277]

Hanya Allah yang memberi taufik.

[Cerkiis.blogspot.com, Sumber: Disalin dari berbagai sumber pilihan]

Referensi :
Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari. Cetakan keempat, tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani. Penerbit Dar Thiybah.

Footnote :
[1]. artikel : konsultasisyariah.com
[2]. Panggang, Gunungkidul @ Darush Sholihin, 16 Ramadhan 1436 H. Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal, rumaysho.com