Sabtu, 06 Januari 2018

Pasal Kedua : Al-Masih Ad-Dajjal

Pasal Kedua : Al-Masih Ad-Dajjal

KITAB : HARI KIAMAT (2)

Pasal Kedua AL-MASIH AD-DAJJAL

Oleh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

1. Makna al-Masiih
Abu ‘Abdillah al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan dua puluh tiga pendapat tentang asal kata tersebut [1]. Sementara penulis kitab al-Qaamuus melanjutkan-nya menjadi lima puluh pendapat.”[2]

Lafazh ini dimutlakkan untuk orang yang benar, juga dimutlakkan untuk orang yang sesat lagi pendusta.

Al-Masih ‘Isa bin Maryam Alaihissallam adalah orang yang benar, sementara al-Masih ad-Dajjal adalah yang sesat lagi pendusta.

Allah menciptakan dua al-Masih, salah satu dari keduanya adalah lawan untuk yang lain.

Nabi ‘Isa Alaihissallam adalah al-Masih yang membawa petunjuk, dia menyembuhkan orang buta sejak lahir, yang berpenyakit kusta, juga menghidupkan yang mati dengan seizin Allah.

Sementara Dajjal -semoga Allah melaknatnya- adalah al-Masih yang membawa kesesatan. Dia menguji manusia dengan sesuatu yang diberikan kepadanya berupa kemampuan-kemampuan yang luar biasa, seperti menurunkan hujan, menghidupkan bumi dengan tumbuhan, dan hal-hal lain yang diluar kebiasaan.

Dajjal dinamakan juga dengan al-Masih karena salah satu matanya buta, atau karena dia mengelilingi dunia hanya dalam waktu empat puluh hari.[3]

Pendapat pertamalah yang paling kuat, karena adanya hadits:

إِنَّ الدَّجَّالَ مَمْسُوْحُ الْعَيْنِ.

“Sesungguhnya Dajjal itu terhapus (buta) sebelah matanya.” [4]

2. Makna ad-Dajjal
Lafazh ad-Dajjal diambil dari perkataan orang Arab (دَجَلَ الْبَعِيْرَ), makna-nya adalah dicat dengan ter dan menutupi dengannya.[5]

Makna asal dari kata (الدَّجَلُ) ad-Dajalu adalah mencampuradukkan, dikatakan “دَجَلَ إِذَا لَبِسَ وَمَوَّهَ” maknanya adalah merancukan dan mengaduk-aduk.

Jadi, Dajjal adalah orang yang merancukan, pendusta dan yang diberikan sesuatu yang luar biasa. Kata tersebut termasuk bentuk mubaalaghah (melebihkan) dengan wazan (فَعَّالٌ), jadi maknanya adalah banyaknya kebohongan juga kerancuan darinya [6]. Bentuk jamaknya (دَجَّالُوْنَ), sementara Imam Malik menjamakkannya dengan kata (دَجَاجَلَةُ), dan termasuk jama’ taksir.[7]

Al-Qurthubi menuturkan bahwa Dajjal secara bahasa memiliki sepuluh makna.[8]

Dan lafazh Dajjal menjadi sebutan nama untuk al-Masih yang buta lagi pendusta. Jika dikatakan “Dajjal”, orang langsung ingat hanya kepadanya.

Dajjal dinamakan Dajjal karena dia telah menutupi kebenaran dengan kebathilan, atau karena dia telah menutupi kekufurannya di hadapan manusia dengan kebohongan, juga perancuannya kepada mereka. Ada juga yang me-ngatakan bahwa dia menutupi perkara yang benar dengan jumlah pengikutnya yang banyak [9], wallaahu a’lam.

3. Sifat Dajjal dan Hadits-Hadits yang Menjelaskannya
Dajjal adalah seorang laki-laki dari keturunan Adam. Dia memiliki banyak sifat yang dijelaskan dalam berbagai hadits agar manusia mengenalnya dan memberikan peringatan kepada mereka atas kejelekannya, sehingga ketika dia keluar maka orang-orang yang beriman akan mengenali dan tidak terkena fitnahnya. bahkan mereka akan tetap mengetahui sifat-sifatnya yang dikabar-kan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sifat-sifat ini dapat membedakannya dari manusia yang lain. Maka tidak akan ada yang tertipu kecuali orang bodoh yang telah ditetapkan kesengsaraan baginya. Hanya kepada Allah-lah kita memohon keselamatan.

Di antara sifat-sifat tersebut bahwa dia seorang laki-laki, masih muda, berkulit merah, pendek, jarak antara kedua betisnya berjauhan (leter o), berambut keriting, keningnya lebar, dadanya bidang, mata yang kanannya buta, mata tersebut tidak muncul tidak pula tertancap dalam seakan-akan buah anggur yang menonjol, sementara di atas matanya yang kiri ada daging keras yang tumbuh, di antara kedua matanya tertulis huruf ك، ف، ر dengan huruf yang terputus-putus, atau (كافـر) dengan bersambung, setiap muslim dapat membacanya, baik dia orang yang buta huruf maupun tidak. Dan di antara sifatnya bahwa dia orang yang mandul, tidak memiliki anak.

Berikut ini sebagian hadits shahih yang menjelaskan berbagai sifatnya di atas, dan hadits-hadits tersebut merupakan sebagian dalil yang menunjukkan kemunculan Dajjal.

a. Diriwayatkan dari ‘Umar Radhyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ أَطُوْفُ بِالْبَيْتِ... (فَذَكَرَ أَنَّهُ رَأَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ ، ثُمَّ رَأَى الدَّجَّالَ، فَوَصَفَهُ، فَقَالَ:) فَإِذَا رَجُلٌ جَسِيْـمٌ، أَحْمَرُ، جَعْدُ الرَّأْسِ، أَعْوَرُ الْعَيٍنِ، كَأَنَّ عَيْنَهُ عِنَبَةٌ طَافِئَةٌ؛ قَالُوْا: هَذَا الدَّجَّالُ أَقْرَبُ النَّاسِ بِهِ شَبَهًا اِبْنُ قَطَنٍ، رَجُلٌ مِنْ خُزَاعَةَ.

“Ketika aku sedang tidur, aku (bermimpi) melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah….” (Kemudian beliau menuturkan bahwa beliau melihat Nabi ‘Isa q, lalu melihat Dajjal dan mensifatinya, beliau berkata), “Tiba-tiba saja ada seorang laki-laki dengan badan yang besar, merah (kulitnya), rambutnya keriting, matanya buta sebelah, seolah-olah matanya adalah buah anggur yang menonjol.” Mereka (para Sahabat) berkata, “Orang yang paling mirip dengan Dajjal ini adalah Ibnu Quthn [10], seorang laki-laki dari Khuza’ah.” [11]

b. Diriwayatkan dari ‘Umar Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan Dajjal di tengah-tengah manusia, lalu beliau bersabda:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى لَيْسَ بِأَعْوَرَ، أَلاَ وَإِنَّ الْمَسِيْحَ الدَّجَّالَ أَعْوَرُ الْعَيْنِ الْيُمْنَى؛ كَأَنَّ عَيْنَهُ عِنَبَةٌ طَافِيَةٌ.

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak picek (buta sebelah), dan ketahuilah sesungguhnya al-Masih Dajjal adalah picek mata sebelah kanannya. Matanya bagaikan anggur yang menonjol.” [12]

c. Dijelaskan dalam hadits an-Nawwas bin Sam’an Radhiyallahu anhu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika mensifati Dajjal:

إِنَّهُ شَابٌّ، قَطَطٌ، عَيْنُهُ طَافِيَةٌ، كَأَنِّي أُشَبِّهُهُ بِعَبْدِ الْعُزَّى بْنِ قَطَنٍ.

“Sesungguhnya dia adalah seorang pemuda, rambutnya sangat keriting, matanya menonjol, seolah-olah aku sedang menyerupakannya dengan ‘Abdul ‘Uzza bin Quthn.” [13]

d. Dalam hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مَسِيْحَ الدَّجَّالِ رَجُلٌ، قَصِيْرٌ، أَفْجَعُ، جَعْدُ، أَعْوَرٌ، مَطْمُوْسُ الْعَيْنِ، لَيْسَ بِنَاتِئَةٍ وَلاَ جَحْـرَاءَ، فَإِنْ أَلْبَسَ عَلَيْكُمْ؛ فَاعْلَمُوْا أَنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرَ.

“Sesungguhnya Dajjal adalah seorang laki-laki, pendek, jarak antara kedua betisnya berjauhan, keriting, buta sebelah, mata yang terhapus tidak terlalu menonjol, tidak pula terlalu ke dalam, maka jika dia melakukan kerancuan (mengaku sebagai Rabb) kepadamu, maka ketahuilah sesungguhnya Rabb kalian tidak buta sebelah.”[14]

e. Dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَأَمَّا مَسِيْحُ الضَّلاَلَةِ؛ فَإِنَّهُ أَعْوَرُ الْعَيْنِ، أَجْلَى الْجَبْهَةِ، عَرِيْضُ النَّحْرِ، فِيْهِ دَفَأٌ.

“Adapun Masihud Dhalalah (Dajjal), maka sesungguhnya dia buta sebelah matanya, keningnya lebar, atas dadanya bidang dan badannya agak bongkok.”[15]

f. Dalam hadits Hudzaifah Radhiyallahu anhu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:

اَلدَّجَّالُ أَعْوَرُ الْعَيْنِ الْيُسْرَى، جُفَالُ الشَّعَرِ.

“Dajjal itu buta mata sebelah kirinya, dan berambut gembal.” [16]

g. Dalam hadits Anas Radhiyallahu anhu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مَكْتُوْبٌ كَافِرٌ.

“Dan sesungguhnya di antara dua matanya tertulis Kaafir.” [17]

Dalam satu riwayat:

ثُمَّ تَهَجَّاهَا (ك، ف، ر)؛ يَقْرَؤُهُ كُلُّ مُسْلِمٍ.

“Kemudian beliau mengejanya kaaf faa’ raa’, setiap muslim dapat membacanya.”[18]

Sementara dalam riwayat lain:

يَقْرَؤُهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ كَاتِبٌ وَغَيْرُ كَاتِبٍ.

“Setiap mukmin dapat membacanya, baik yang bisa menulis atau tidak.” [19]

Tulisan tersebut nampak secara hakiki [20]. Semua manusia tidak memiliki masalah dalam tulisan ini, yang pintar maupun yang bodoh. Demikian pula orang yang ummi (buta huruf), “Hal itu karena sesungguhnya kemampuan mata diciptakan oleh Allah untuk para hamba sesuai dengan kehendak-Nya dan kapan Dia menghendakinya. Seorang mukmin akan dapat melihatnya dengan mata penglihatannya walaupun dia tidak bisa menulis; sementara orang kafir tidak melihatnya walaupun dia bisa menulis, sebagaimana orang-orang yang beriman bisa melihat berbagai macam dalil dengan pandangannya sementara orang kafir tidak bisa melihatnya. Maka Allah menciptakan kemam-puan untuk melihat (lagi membaca) tanpa harus belajar terlebih dahulu, karena pada zaman tersebut banyak hal yang terjadi diluar kebiasaan.” [21]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Yang benar berdasarkan pendapat para ulama bahwa tulisan tersebut nampak secara nyata. Ia adalah tulisan secara hakiki, Allah menjadikannya sebagai tanda dari berbagai tanda yang pasti atas kekufuran, kebohongan dan kebathilannya. Allah Ta’ala menampakkannya kepada setiap muslim yang bisa menulis atau tidak, dan menyembunyikannya dari setiap orang yang Allah kehendaki kesengsaraan baginya dan terfitnah olehnya, hal itu sama sekali tidak mustahil.”[22]

h. Dan di antara sifatnya adalah apa yang dijelaskan dalam hadits Fathimah binti Qais Radhiyallahu anhuma tentang kisah al-Jassasah. Di dalam hadits tersebut, Tamim ad-Dari Radhiyallahu anhu berkata, “Akhirnya kami pergi dengan cepat hingga kami masuk ke sebuah kuil, ternyata di dalamnya ada seorang yang sangat besar yang tidak pernah kami lihat sama sekali sebelumnya, dan dia diikat dengan sangat kuat.” [23]

i. Dan di dalam hadits ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا بَيْنَ خَلْقِ آدَمَ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ خَلْقٌ أَكْبَرُ مِنَ الدَّجَّالِ.

“Sejak penciptaan Adam sampai hari Kiamat tidak ada satu makhluk yang lebih besar fitnahnya daripada Dajjal.” [24]

j. Adapun (sifat) Dajjal bahwa dia tidak memiliki keturunan, dijelaskan dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu tentang kisahnya bersama Ibnu Shayyad, dia berkata kepada Abu Sa’id, “Bukankah engkau pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّهُ لاَ يُوْلَدُ لَهُ.

‘Sesungguhnya dia (Dajjal) tidak bisa memiliki keturunan?’
Dia (Abu Sa’id) berkata, ‘Benar,’ jawabku.” [25]

Yang perlu diperhatikan dari berbagai riwayat terdahulu bahwa pada sebagian riwayat dijelaskan mata yang kanannya buta, sementara pada riwayat lainnya mata kirilah yang buta, padahal semua riwayat tersebut adalah shahih, maka ada sesuatu yang musykil di dalamnya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berpendapat bahwa hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan dalam ash-Shahiihain dan hadits yang menjelaskan bahwa mata kanannya yang buta adalah lebih kuat daripada riwayat Muslim yang menjelaskan bahwa mata kirinya yang buta, karena hadits yang disepakati atas keshahihannya lebih kuat daripada yang lain. [26]

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berpendapat bahwa kedua mata Dajjal adalah cacat, karena semua riwayat adalah shahih. Mata yang dihapus adalah mata yang padam, maksudnya yang hilang cahayanya, yaitu mata yang sebelah kanan sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Ibnu ‘Umar. Adapun mata yang kiri adalah mata yang di depannya ada daging tebal, maksudnya mata yang tertutupi tetapi masih ada cahayanya, ini pun cacat. Jadi dia adalah orang yang cacat kedua matanya, karena kata al-a’war untuk semua anggota badan arti-nya buruk/cacat, terutama jika berhubungan dengan mata. Maka kedua mata Dajjal adalah cacat, salah satunya hilang penglihatannya dan yang lain dengan kecacatannya.

An-Nawawi rahimahullah mengomentari penggabungan dalil ini dengan perkata-annya, “Penggabungan inilah yang paling tepat.”[27]

Pendapat ini dianggap yang paling kuat oleh Abu ‘Abdillah al-Qurthubi rahimahullah.[28]

[Cerkiis.blogspot.com, artikel: almanhaj. Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

Footnote
[1]. Lihat at-Tadzkirah (hal. 679).
[2]. Lihat Tartiibul Qaamuus (IV/239), penulis al-Qaamuus menuturkan bahwa beliau memaparkan berbagai pendapat ini dalam kitab Syarhu Masyaariqil Anwaar dan yang lainnya.
[3]. Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (IV/326-327), Lisaanul ‘Arab (II/594-595).
[4]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah, bab Dzikrud Dajjaal (XVIII/61, Syarh an-Nawawi).
[5]. Lihat Lisaanul ‘Arab (XI/236), Tartiibul Qaamuus (II/152).
[6]. Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (II/102).
[7]. Lisaanul ‘Arab (XI/236).
[8]. At-Tadzkirah (hal. 658).
[9]. Lisaanul ‘Arab (XI/236-237), dan Tartiibul Qaamuus (II/152).
[10]. Ibnu Quthn. Namanya adalah ‘Abdul Uzza bin Quthn bin ‘Amr al-Khuza’i, ada yang mengatakan bahwa dia adalah keturunan Bani Musthaliq dari Khuza’ah. Ibunya adalah Halah binti Khuwailid, dia bukan seorang Sahabat. Meninggal pada zaman Jahiliyyah. Adapun riwayat yang menjelaskan bahwa dia berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Apakah berdampak negatif penyerupaannya?” beliau men-jawab, “Tidak, engkau seorang muslim sementara dia adalah kafir.” Ini adalah tambahan yang lemah dari al-Mas’udi dalam riwayat Ahmad, dan hadits ini telah bercampur-baur dengan hadits lain.
Lihat komentar Ahmad Syakir terhadap kitab Musnad Ahmad (XV/30-31), lihat al-Ishaabah fii Tamyiizish Shahaabah (IV/239), dan Fat-hul Baari (VI/488, XIII/101).
[11]. Shahiihul al-Bukhari, kitab al-Fitan bab Dzikrud Dajjal (XIII/90, al-Fat-h), dan Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Dzikrul Masiih Ibni Maryam q wal Masiihid Dajjal (II/237, Syarh an-Nawawi).
[12]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab Dzikrud Dajjal (XIII/90, al-Fat-h), dan Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah, bab Dzikrud Dajjal (XVIII/59, Syarh an-Nawawi).
[13]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah, bab Dzikrud Dajjal (XVIII/65, Syarh an-Nawawi).
[14]. Sunan Abi Dawud (XI/443-‘Aunul Ma’buud). Hadits ini shahih, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (II/317-318, no. 2455).
[15]. Musnad Imam Ahmad (XV/28-30) tahqiq dan syarah Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih,” dan dihasankan oleh Ibnu Katsir.
Lihat an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/130) tahqiq Dr. Thaha Zaini.
[16]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah bab Dzikrud Dajjal (XVIII/60-61, Syarh an-Nawawi).
[17]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab Dzikrud Dajjal (XIII/91, al-Fat-h), dan Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah bab Dzikrud Dajjal (XVIII/59, Syarh an-Nawawi).
[18]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan bab Dzikrud Dajjal (XVIII/59, Syarh an-Nawawi).
[19]. Shahiih Muslim (XVIII/61, Syarh an-Nawawi).
[20]. Berbeda dengan orang yang berkata, “Tulisan tersebut adalah kiasan dari tanda sesuatu yang terjadi,” sesungguhnya ini adalah pendapat yang lemah. Lihat Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVIII/ 60-61), dan Fat-hul Baari (XIII/100).
[21]. Fat-hul Baari (XIII/100).
[22]. Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVIII/60).
[23]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah, bab Qishshatul Jassasah (XVIII/82, Syarh an-Nawawi).
[24]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan, bab Baqiyatu min Ahaadiitsid Dajjal (XVIII/86-87, Syarh an-Nawawi).
[25]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan, bab Dzikri Ibni Shayyad (XVIII/50, Syarh an-Nawawi).
[26]. Fat-hul Baari (XIII/97).
[27]. Lihat Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (II/235).
[28]. At-Tadzkirah (hal. 663).