Kamis, 24 November 2022

Membuang Ma’mul Menyebabkan Maknanya Menjadi Umum


MEMBUANG MA’MUL[1] MENYEBABKAN MAKNANYA MENJADI UMUM

Kaidah ini merupakan salah satu dari kaidah yang sangat bermanfaat. Ketika kaidah ini diterapkan oleh seorang dalam memahami ayat-ayat al-Qur’ân, maka dia akan memetik banyak manfaat. Karena sebuah kata kerja atau yang semisal dengannya, jika sudah dikaitkan dengan sesuatu, maka makna kata kerja itu terikat dengan sesuatu itu. Namun jika sesuatu yang menjadi pengikat itu dibuang, maka maknanya akan meluas. Sehingga terkadang membuang ma’mûl lebih baik dan lebih bermanfaat daripada disebutkan. Contoh penerapan kaidah dalam al-Qur’ân banyak sekali. Misalnya, dalam banyak ayat, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

… agar kamu memahami. [An-Nûr/24:61]

لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

… agar kamu ingat. [al-An’âm/6:152]

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

… agar kamu bertakwa (menjaga diri-red), [al-Baqarah/2:21]

Dalam potongan ayat-ayat diatas, tidak disebutkan sesuatu yang menjadi ma’mûl (obyek)nya, sehingga makna potongan yang pertama menjadi agar kalian memahami semua yang Allâh Azza wa Jalla tunjukkan, ajarkan dan turunkan kepada kalian. Potongan yang kedua, maknanya menjadi agar kalian mengingat semua kebaikan dunia dan agama kalian. Potongan yang ketiga, maknanya menjadi agar kalian menjaga diri dari semua yang wajib dihindari seperti dosa dan maksiat.

Masuk dalam keumuman ini, semua yang terkait dengan kontek pembicaraan kalimat tersebut. Misalnya dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (menjaga diri), [al-Baqarah/2:183].

Kalimat, ‘agar kalian bertakwa (menjaga diri)’ maknanya luas. Maksudnya mencakup semua yang disebutkan sebagai hikmat puasa. Artinya agar kalian bisa menjaga diri dari semua yang diharamkan secara umum, juga agar menjaga diri dari segala yang diharamkan atas orang-orang yang berpuasa, juga agar kalian bisa memiliki karakter orang-orang yang bertakwa. Dan begitu selanjutnya, ini berlaku pada semua kontek yang disebutkan padanya kalimat ini.

Contoh yang lain, dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allâh, lalu ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya). [al-A’râf/7:201]

Dalam ayat ini, kaidah di atas bisa diterapkan pada tiga kalimat :

Pertama : Firman Allâh yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa (yang menjaga diri)” disini sesuatu yang menjadi ma’mûl (obyek) nya tidak disebutkan, sehingga maknanya menjadi umum. Artinya orang yang menjaga diri dari murka Allâh Azza wa Jalla ; menjaga diri dari api neraka; menjaga diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat dan segala hal yang harus dijauhi. Semua ini masuk dalam keumuman cakupan ayat diatas.

Kedua : Firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, ” Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat,”

Dalam potongan ayat ini, orang-orang yang bertakwa dan terbiasa meninggalkan segala yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla , ketika ada syaitan yang menghiasi dosa sehingga tampak indah baginya, dia akan segera ingat. Apa yang dia ingat ? Karena sesuatu yang menjadi ma’mûl (obyek) nya tidak disebutkan maka maknanya menjadi lebih umum yaitu dia ingat segala hal yang menyebabkan dia tergerak untuk segera bertaubat seperti ingat keagungan Allâh Azza wa Jalla ; ingat kepada apa yang menjadi tuntutan keimanan dan ketakwaannya; ingat akan adzab dan siksa-Nya; ingat akan akibat buruk dosa.

Ketiga : Firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, “… lalu ketika itu juga mereka melihat.” Apa yang mereka lihat ? Maknanya luas, mencakup melihat kebenaran; melihat manfaat meninggalkan maksiat; melihat celah yang bisa dimanfaat syaitan untuk menggodanya; melihat jalan keluar yang bisa menyelamatkan dirinya dari perbuatan dosa ini, sehingga dia bisa segera bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dengan taubat nasuha. Dengan demikian, dia akan segera kembali ke derajatnya semula, sementara syaitan kembali dengan membawa kekecewaan.

Contoh yang lain yaitu dalam firman Allâh Azza wa Jalla berkaitan dengan kaum Muslimin, yang terkadang menggunakan lafazh al-Mukminûn atau terkadang INNAL LADZIINA AAMANUU tanpa menyebutkan apa yang harus diimani, maka maknanya juga menjadi luas, mencakup segala hal yang wajib diimani.

Termasuk juga kebaikan yang diperintahkan agar dikerjakan atau keburukan tyang harus dijauhi. Kalau tidak disebutkan jenis obyeknya, maka maknanya menjadi umum, mencakup semua kebaikan atau semua keburukan.

Begitu juga dengan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

… dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang berbuat baik. [al-Baqarah/2:195]

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya [Yûnus/10:26]

هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ

Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula) [ar-Rahmân/55:60]

Karena sesuatu yang menjadi ma’mûl (obyek) dari kata ihsân (melakukan kebaikan) tidak disebutkan, maka maknanya mencakup semua jenis ihsân, baik ihsân kepada Allâh Azza wa Jalla yang dijelaskan oleh Rasûlullâh n dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Engkau beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla melihatmu

Juga mencakup ihsân (berbuat baik) kepada makhluk, baik dengan perkataan, perbuatan, kedudukan, ilmu, harta dan lain sebagainya.

Keumuman makna karena ma’mûlnya dibuang juga bisa ditemukan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu [at-Takâtsur/102:1]

Dalam ayat ini tidak sebutkan apa yang dipergunakan untuk bermegah-megahan, sehingga maknanya mencakup segala yang biasa dipergunakan untuk berbangga diri seperti pepularitas, kekayaan, kedudukan, anak keturunan dan hal-hal lain yang menjadi incaran banyak orang serta melalaikan dari ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla .

Inilah beberapa contoh penerapan kaidah ini dalam al-Qur’an dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya. Semoga dengan contoh-contoh ini, pemahaman dan penerapan kaidah menjadi lebih jelas. Wallahu a’lam.

(Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di, halaman. )

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Secara bahasa, ma’mul fih adalah kalimat atau kata yang cara bacanya dipengaruhi oleh yang lain. Sesuatu yang mempengaruhi ini disebut âmil. Diantara contoh ma’mul adalah maf’ûl bih (obyek).

🌐 Cerkiis.blogspot.com