BANTAHAN TERHADAP PEMIKIRAN MURJI’AH
Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Sesungguhnya kebaikan manusia, baik di dunia maupun di akhirat, itu semua tergantung pada keimanannya yang benar. Dengan iman yang benar, seorang hamba akan hidup bahagia, dan ia selamat dari berbagai keburukan dan kesusahan di dunia dan di akhirat. Dengan iman, seorang hamba meraih pahala dan masuk surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Di dalamnya terdapat berbagai kesenangan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas pada hati manusia. Demikian juga, dengan iman seorang hamba akan selamat dari neraka, dengan berbagai siksanya yang tiada tara. Maka menjadi keharusan, jika pengetahuan tentang iman yang benar merupakan ilmu yang sangat penting dan pantas untuk diperhatikan.
MAKNA IMAN MENURUT AHLUS-SUNNAH
Secara bahasa, iman ada yang mengartikan dengan tashdîq (membenarkan), tuma`nînah (ketentraman), dan iqrar (pengakuan). Dan makna poin ketiga inilah yang paling tepat.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Telah diketahui bahwasanya iman adalah iqrar (pengakuan), tidak semata-mata tashdîq (membenarkan). Dan iqrar (pengakuan) memuat perkataan hati, yakni tashdîq (membenarkan), dan perbuatan hati, yakni inqiyad (ketundukan hati)”.[1]
Dengan demikian, iman adalah iqrar (pengakuan) hati yang mencakup dua hal. Pertama, keyakinan hati, yaitu membenarkan terhadap berita. Kedua, perkataan hati, yaitu ketundukan terhadap perintah. Sehingga maknanya, yaitu keyakinan yang disertai dengan kecintaan dan ketundukan terhadap segala yang dibawa oleh Nabi Muhammad n dari Allah Ta’ala.
Adapun menurut syara’ (agama), iman yang sempurna mencakup qaul (perkataan) dan ‘amal (perbuatan). Syaikul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Di antara prinsip Ahlus-Sunnah wal- Jama’ah, bahwasanya ad-dîn (agama) dan al-iman, adalah perkataan dan perbuatan; perkataan hati dan lisan, perbuatan hati, lisan dan anggota badan”.[2]
Dari perkataan Syaikhul-Islam di atas, nampak bahwa iman menurut Ahlus-Sunnah wal Jama’ah mencakup lima perkara, yaitu perkataan hati, perkataan lisan, perbuatan hati, perbuatan lisan, dan perbuatan anggota badan. Banyak dalil yang menunjukkan masuknya lima perkara di atas ke dalam istilah iman.
IMAN MENURUT PENDAPAT MURJI`AH
Murji’ah adalah sebuah firqah yang memiliki pemahaman irja`. Maksud irja` ini memiliki dua makna.
Pertama. Mengakhirkan. Yaitu mereka mengakhirkan amal dari iman. Dalam arti, bahwa menurut mereka, amal tidak termasuk bagian dari iman. Pendapat ini merupakan kesesatan karena menyelisihi ‘aqidah Ahlus-Sunnah.
Kedua. Memberikan raja’ (harapan). Mereka mengatakan, dengan adanya iman maka maksiat tidak membahayakan. Sebagaimana juga ketaatan itu tidak bermanfaat dengan adanya kekufuran. Anggapan ini juga merupakan kesesatan, karena mereka memandang remeh terhadap nash-nash ancaman yang terdapat dalam Al-Kitab dan as-Sunnah.
Para salafush-shalih telah menyatakan kesesatan firqah Murji`ah ini. Az-Zuhri rahimahullah berkata; ”Tidaklah muncul bid’ah di dalam Islam yang lebih berbahaya terhadap pemeluk (agama Islam) dari irja`”.[3]
Ada beberapa firqah Murji`ah, namun secara umum terbagi dalam tiga golongan.
Pertama. Golongan yang mengatakan bahwa iman hanyalah apa yang ada di dalam hati saja. Sebagaimana Asy’ariyah menyatakan iman adalah keyakinan dan amalan hati. Begitu pula Jahmiyah menyatakan iman hanyalah keyakinan hati saja.
Kedua. Golongan yang mengatakan, iman hanyalah perkataan lisan saja. Mereka ini dikenal sebagai golongan Karamiyyah.
Ketiga. Golongan yang mengatakan, iman adalah keyakinan hati dan perkataan lisan. Mereka ini Murji`ah dari kalangan fuqahâ (para ahli fiqih).
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan dalam Majmû‘ Fatâwa:
Murji’ah itu ada Tiga Golongan.
Pendapat Pertama, orang-orang yang mengatakan bahwa iman hanyalah apa yang ada di dalam hati saja. Kemudian di antara mereka ini, ada yang memasukkan amal-amal hati di dalam iman. Mereka ini merupakan mayoritas golongan Murji`ah. Sebagaimana Abul-Hasan al-Asy’ari telah menyebutkan perkataan-perkataan mereka di dalam kitabnya. Banyak golongan yang beliau paparkan. Tetapi kami akan menyebutkan pokok-pokok pendapat mereka. Di antara mereka ada yang tidak memasukkan amal hati ke dalam iman, seperti Jahm dan pengikutnya, as-Shalihi. Inilah yang dia bela dan diikuti oleh mayoritas pengikutnya.
Pendapat Kedua, orang yang menyatakan bahwa iman adalah perkataan lisan saja. Pendapat ini tidak dikenal oleh seorang pun sebelum kemunculan firqah al-Karrâmiyyah.
Pendapat Ketiga, bahwasanya iman adalah keyakinan hati dan perkataan lisan. Inilah yang terkenal dari ahli fiqih dan ahli ibadah dari golongan Murji`ah.[4]
Tiga golongan ini sepakat menyatakan bahwa amal anggota badan tidak termasuk bagian iman. Pendapat ini tentu merupakan penyimpangan dan kesesatan, walaupun kadarnya berbeda-beda. Karena ijma’ (kesepakatan) Salaf menetapkan bahwa amal anggota badan termasuk iman, bahkan hal ini ditunjukkan oleh Al-Kitab dan as-Sunnah.
BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT MURJI`AH
Bantahan-bantahan berikut dikupas secara ringkas, dan diarahkan terhadap pengertian iman menurut Murji’ah sebagaimana telah diungkapkan di atas.
1. Golongan yang mengatakan iman hanyalah apa yang ada di dalam hati saja, berupa keyakinan dan amalan hati, seperti pendapat Asy’ariyah.
Bantahan:
Menurut pendapat mereka ini, bahwa orang yang meyakini berita yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Ta’ala, baik berupa Al-Qur’an maupun As-Sunnah, dan hatinya tunduk, maka dia telah beriman, walaupun tidak mengikrarkan syahâdatain dan walaupun dia sama sekali tidak melakukan amalan lahiriyah. Maka pendapat ini bertentangan dengan ijma’ yang mewajibkan mengikrarkan syahadatain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: ”Jika seseorang tidak mengucapkan dua syahadat, padahal dia mampu, maka dia kafir dengan kesepakatan kaum Muslimin”.[5]
Demikian juga bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan hubungan amal hati dengan amalan anggota badan.
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik maka seluruh tubuh juga baik. Jika segumpal daging itu rusak maka seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.[6]
Tentang hadits ini, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ”Jika hati itu baik dengan apa yang ada di dalamnya, yaitu berupa keimanan, secara ilmu dan amal yang berkaitan dengan hati, pasti mengharuskan kebaikan tubuh dengan perkataan yang nampak dan beramal dengan keimanan yang sempurna”.[7]
Beliau juga menyatakan: ”Adalah suatu kemustahilan, seseorang beriman dengan keimanan yang kokoh di dalam hatinya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan shalat, zakat, puasa, dan haji atasnya, dan (kemudian) selama hidupnya, dia tidak pernah bersujud kepada Allah sama sekali, tidak berpuasa Ramadhan, tidak membayar zakat, dan tidak berhaji ke Baitullah; ini mustahil; ini tidaklah muncul kecuali bersamaan dengan kemunafikan dan kezindiqan di dalam hati, tidak dengan iman yang benar”.[8]
2. Golongan yang mengatakan bahwa iman hanyalah keyakinan hati atau ma’rifat saja, seperti yang dinyatakan oleh Jahm bin Shafwân.
Bantahan:
Pernyataan demikian merupakan pendapat yang sangat rusak. Karena jika begitu, berarti Fir’aun dan kaumnya termasuk orang-orang yang beriman, karena hati mereka membenarkan Nabi Musa dan Nabi Harun, namun ia tidak beriman kepada keduanya. Allah Yang Maha Mengetahui isi hati manusia telah memberitakan isi hati Fir’aun dan kaumnya dengan firman-Nya:
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا ۚ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ
Dan mereka (Fir’aun dan kaumnya) mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan. [an-Naml/27:14]
Padahal sudah pasti jika Fir’aun dan kaumnya termasuk orang-orang kafir yang akan masuk neraka. Allah berfirman:
يَقْدُمُ قَوْمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَوْرَدَهُمُ النَّارَ ۖ وَبِئْسَ الْوِرْدُ الْمَوْرُودُ
Ia (Fir’aun) berjalan di muka kaumnya di hari Kiamat lalu memasukkan mereka ke dalam neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi. [Huud/11:98].
Demikian juga, konsekuensi dari anggapan mereka itu, berarti Iblis termasuk orang-orang yang beriman, karena dia mengetahui Rabbnya, bahkan berdoa kepada-Nya. Allah berfirman:
قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
Iblis berkata: “Ya Rabbku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan. [al-Hijr/15:36].
Menanggapi pemikiran Jahm bin Shafwan, Imam Ibnu Abil-‘Izzi al-Hanafi rahimahullah berkata: ”Kekafiran menurut Jahm, yaitu bodoh (tidak mengenal) terhadap ar-Rabb Ta’ala, padahal tidak ada orang yang lebih bodoh dari Jahm terhadap Rabbnya. Karena dia menjadikan ar-Rabb sebagai wujud semata, dan meniadakan seluruh sifat-sifat yang ada pada-Nya. Tidak ada kebodohan yang lebih besar dari anggapan yang seperti ini, sehingga dia menjadi kafir dengan pengakuannya sendiri”.[9]
3. Golongan yang mengatakan bahwa iman hanyalah perkataan lisan saja. Ini merupakan pendapat Murji`ah dari firqah Karrâmiyyah.
Bantahan:
Jika iman hanya perkataan lisan saja, maka berarti orang-orang munafik termasuk sebagai orang yang beriman. Pendapat ini sangat jelas kerusakannya.
Allah berfirman:
وَعَدَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ هِيَ حَسْبُهُمْ ۚ وَلَعَنَهُمُ اللَّهُ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ مُقِيمٌ
Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela’nati mereka, dan bagi mereka adzab yang kekal. [at-Taubah/9:68].
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: ”Ahlus-Sunnah telah sepakat berkaitan dengan hilangnya keimanan; bahwasanya tashdîq (meyakini berita) tidak bermanfaat- jika tidak disertai dengan amalan hati, kecintaan hati dan ketundukannya”.[10]
4. Golongan yang mengatakan, iman ialah keyakinan hati dan perkataan lisan. Mereka adalah Murji’ah dari kalangan fuqaha (para ahli fiqih).
Bantahan:
Pendapat seperti ini menyelisihi ijma’ Salafush-Shalih yang mengatakan amal termasuk iman. Amalan (perbuatan) anggota badan adalah perbuatan yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan anggota badan. Seperti: berdiri shalat, ruku’, sujud, haji, puasa, jihad, membuang barang menggaggu dari jalan, dan lain-lain.
Di antara dalil yang menunjukkan amal anggota badan termasuk dari iman, yaitu firman Allah Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabbmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. [al-Hajj/22:77].
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan ruku’, sujud, dan beribadah kepada Allah. Perintah ini menunjukkan bahwa melaksanakannya merupakan iman.
Lebih jelas lagi dapat ditelaah dari firman Allah Ta’ala:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. [al-Baqarah/2:143].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang firman Allah ”Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu”, yaitu shalat kamu ke Baitul-Maqdis sebelum itu. Allah tidak akan menyia-nyiakan pahalanya di sisi-Nya. Di dalam kitab Shahîh (Shahîh Bukhari, no 4486 – Pen) disebutkan dari al-Barâ`, dia berkata; ” Sebagian orang yang dahulu shalat ke arah Baitul-Maqdis telah meninggal, maka orang-orang berkata: ‘Bagaimana keadaan mereka dalam hal itu?’ Maka Allah menurunkan ‘Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu’.[11]
Ayat di atas secara jelas menunjukkan, bahwa amal anggota badan termasuk iman, karena Allah menyebut shalat dengan iman.
KESESATAN MURJI’AH LAINNYA
Pada uraian di atas telah disampaikan pendapat dari berbagai firqah Murji’ah tentang pengertian iman. Pendapat sesat mereka berpangkal dari pemahaman-pemahaman menyimpang sebagai berikut.
1. Menurut kelompok Murji`ah, iman merupakan satu bagian dan tidak terbagi-bagi.
Bantahan:
Anggapan mereka ini bertentangan dengan ‘aqîdah Ahlus-Sunnah yang berpendapat bahwa iman memiliki bagian-bagian atau cabang-cabang. Jumlah cabang-cabang iman itu lebih dari 73 bagian.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ
Iman ada 73 lebih atau 63 lebih bagian. Yang paling utama ialah perkataan Laa ilaaha illallah, dan yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu merupakan satu bagian dari iman. [HR Muslim, no. 35].
Di antara cabang-cabang iman itu ada yang merupakan pokok-pokok iman. Jika cabang tersebut hilang maka keimanan juga hilang. Cabang-cabang ini, seperti rukun iman yang enam. Demikian juga ada sebagian cabang iman yang merupakan furu` (cabang kecil). Jika cabang tersebut hilang maka keimanan tidak hilang, akan tetapi nilai dan kadarnya berkurang. Misalnya seperti menyingkirkan gangguan dari jalan. Oleh karena itulah iman itu bisa bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan, dan berkurang karena kemaksiatan.
Kemudian anggapan kaum Murji`ah yang berpendapat bahwa iman itu hanya satu bagian, berarti keimanan orang yang paling fasik sama dengan keimanan Abu Bakar Radhiyallahu anhu, bahkan bisa dianggap setara dengan keimanan para nabi dan malaikat. Sehingga adakah kerusakan yang lebih besar dari anggapan ini?
2. Dengan anggapan karena iman itu hanya satu bagian, maka keimanan tidak bertambah dan tidak berkurang.
Bantahan:
Anggapan mereka ini bertentangan dengan Al-Kitab dan as-Sunnah yang menunjukkan bahwa iman itu bisa bertambah dan dapat berkurang.
Allah Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka, dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. [Ali ‘Imran/3:173].
Ketika Imam Sufyan bin ‘Uyainah ditanya, apakah iman itu bertambah dan berkurang? Maka beliau menjawab: ”Tidakkah kamu membaca ‘maka perkataan itu menambah keimanan mereka’ -Ali ‘Imran/3 ayat 173- ‘dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk’ -al-Kahfi/18 ayat 13”. [12]
3. Tidak boleh berkata “insya Allah” dalam menyatakan keimanan. Karena berarti menunjukkan keragu-raguan. Bahkan sebagian kaum Murji`ah mengafirkan orang yang melakukannya.
Bantahan:
Jika perkataan “insya Allah” untuk menyatakan keimanan itu sebagai bentuk keraguan, maka perkataan itu tidak boleh. Karena keimanan harus dengan keyakinan.
Seseorang menyatakan “insya Allah” dalam menyatakan keimanan, bisa jadi karena hal lainnya, seperti karena tidak mengetahui akhir hayat seseorang. Sebagaimana kita ketahui, penilaian keimanan itu adalah di akhir hayatnya. Atau karena iman yang sempurna itu mencakup melakukan seluruh kebaikan yang diperintahkan Allah, dan juga meninggalkan seluruh keburukan yang dilarang-Nya. Sehingga, jika seseorang mengatakan ”saya mukmin”, berarti dia memuji diri sendiri dengan mengatakan sebagai seorang mukmin. Jika persaksiaannya benar, berarti ia menyatakan diri sebagai ahli surga. Tentu hal ini batil.
Kesimpulannya, berkata “insya Allah” dalam menyatakan keimanan, bisa terlarang dan bisa saja dibolehkan, sebagaimana perincian di atas. Wallahu a’lam. [13] .
4. Murji`ah berpendapat bahwa amalan anggota badan tidak termasuk iman.
Bantahan:
Pendapat seperti ini tentu bertentangan dengan ijma’ Salaf yang menyatakan bahwa amal anggota badan termasuk iman. Penjelasan masalah ini telah dijelaskan dalil-dalilnya di depan.
5. Dengan prinsip sesat ini, kaum Murji`ah berpandangan bahwa tidak kekufuran yang terjadi pada anggota badan. Begitu pula perbuatan maksiat tidak mengeruhkan kemurnian iman.
Bantahan:
Pandangan ini bertentangan dengan ijma’ Salaf yang menyatakan bahwa kekafiran bisa terjadi karena kayakinan, perkataan, perbuatan, atau keraguan. Begitu pula perbuatan maksiat itu bisa mengurangi nilai keimanan. Bahkan bagi pelakunya dikhawatirkan menemui su-ul khatimah.
PEMBUKTIAN BERSIH DAN TERBEBAS DARI PEMIKIRAN MURJI`AH
Para ulama salaf telah menyebutkan beberapa penjelasan yang menunjukkan bersih dan terbebasnya seseorang dari pemikiran irja’. Maknanya, barangsiapa mengatakannya maka ini menunjukkan indikasi bahwa orang tersebut bersih dari sifat irja’ yang tercela.
Perkataan itu ialah sebagai berikut.
- Mengatakan bahwasanya iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.
- Menyatakan bahwa dosa-dosa akan membahayakan walaupun ada keimanan, dan dosa-dosa itu akan mengurangi keimanan.
- Menyatakan bahwa dosa-dosa akan membahayakan walaupun ada keimanan, dan dosa-dosa itu akan mengurangi keimanan.
Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang orang yang mengatakan ”iman itu bertambah dan berkurang”, maka beliau menjawab: ”Orang itu bersih dari irja`”.[14]
Imam al-Barbahari rahimahullah berkata: ”Barangsiapa mengatakan iman adalah perkataan dan perbuatan, iman itu bertambah dan berkurang, maka dia telah keluar dari irja’ semuanya, (dari) awal hingga dan akhirnya”.[15]
- Menyatakan boleh mengucapkan “insya Allah” dalam keimanan.
Imam Abdur-Rahman bin Mahdi rahimahullah berkata: ”Jika seseorang meninggalkan pernyataan ‘insya Allah’ (istitsnâ) dalam keimanan, maka itu adalah prinsip irja`”.[16]
- Menyatakan bahwa kekufuran bisa terjadi pada amalan-amalan anggota badan.
Hal ini karena semua firqah Murji`ah menyatakan bahwa tidak terjadi kekafiran dengan sebab amalan-amalan anggota badan.
- Menyatakan bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan.
- Menyatakan bahwa dosa-dosa akan membahayakan walaupun ada keimanan, dan dosa-dosa itu akan mengurangi keimanan.
Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang orang yang mengatakan ”iman itu bertambah dan berkurang”, maka beliau menjawab: ”Orang itu bersih dari irja`”.[14]
Imam al-Barbahari rahimahullah berkata: ”Barangsiapa mengatakan iman adalah perkataan dan perbuatan, iman itu bertambah dan berkurang, maka dia telah keluar dari irja’ semuanya, (dari) awal hingga dan akhirnya”.[15]
- Menyatakan boleh mengucapkan “insya Allah” dalam keimanan.
Imam Abdur-Rahman bin Mahdi rahimahullah berkata: ”Jika seseorang meninggalkan pernyataan ‘insya Allah’ (istitsnâ) dalam keimanan, maka itu adalah prinsip irja`”.[16]
- Menyatakan bahwa kekufuran bisa terjadi pada amalan-amalan anggota badan.
Hal ini karena semua firqah Murji`ah menyatakan bahwa tidak terjadi kekafiran dengan sebab amalan-amalan anggota badan.
- Menyatakan bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan.
Imam Ahmad rahimahullah berkata: ”Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak ‘engkau berpemahaman irja`?’, (namun) beliau menjawab ‘aku menyatakan iman adalah perkataan dan perbuatan, maka bagaimana (mungkin) aku menjadi orang yang memiliki pemahaman irja’?”[17]
Dari riwayat ini kita mengetahui bahwa tuduhan terhadap seorang ulama sebagai seorang Murji’ah –padahal tidak- sudah terjadi pada zaman Imam Ibnul-Mubarak. Sehingga tidak heran jika tuduhan-tuduhan itu juga bergema pada masa kini terhadap sebagian tokoh-tokoh Salafiyyin, sebagaimana dituduhkan kepada Imam al-Albani dan sebagian murid beliau- padahal mereka bersih dari tuduhan tersebut. Oleh karena itu, orang-orang yang melontarkan tuduhan itu hendaklah mengingat sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ قَالَ فِي مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ اللَّهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ
Barangsiapa berkata tentang seorang mukmin sesuatu yang tidak ada padanya, Allah akan menempatkannya pada lumpur neraka, sehingga dia keluar dari apa yang telah dia katakan. [18]
Demikian sedikit penjelasan tentang firqah Murji`ah dan kesesatannya. Semoga bermanfaat.
MARAJI`:
Al-Imâm al-Albâni wa Mauqifuhu minal-Irja`, Abdul ‘Aziz bin Rayyis ar-Rayyis, Darul-Hijrah, hlm. 23.
‘Aqidah Wasithiyah, Syaikul-Islam Ibnu Taimiyyah, dengan syarah-syarahnya.
Al-Minhah Ilâhiyah fî Tahdzîb Syarh ath-Thahâwiyah, ‘Abdul-Akhir Hammad al-Ghunaimi, Darush-Shahabah.
Majmu’ Fatâwa, Syaikul-Islam Ibnu Taimiyyah.
Tafsir Ibni Katsir.
Dan lain-lain.
[artikel: almanhaj. Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Majmû’ Fatâwa (7/638).
[2] Syarh ‘Aqîdah Wâsithiyah, Syaikh Muhammad Khalîl Harrâs, hlm. 231. Takhrîj: ‘Alwi bin Abdul- Qadir as-Saqqâf.
[3] Catatan kaki kitab al-Istighâtsah ar-Raddu ‘alal-Bakri, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah. Tahqîq: ‘Abdullah bin Dajin as-Suhaili, Darul-Wathan, Cetakan I, Tahun 1417 H/ 1997 M (1/212-213).
[4] Majmû‘ Fatâwa (7/195).
[5] Majmû‘ Fatâwa (7/609).
[6] HR Muslim, no. 1599. Hadits ini juga diriwayatkan Imam al-Bukhâri, at-Tirmidzi, an-Nasâ-i, Abu Dâwud, Ibnu Mâjah, Ahmad, dan ad-Dârimi, dengan lafazh yang berbeda-beda namun maknanya sama. Hadits ini dimuat oleh an-Nawâwi dalam Arba’in an-Nawâwiyah, hadits no. 6, dan Riyâdhush- Shâlihîn, no. 588.
[7] Majmû‘ Fatâwa (7/611).
[8] Majmû‘ Fatâwa (7/611).
[9] Al-Minhah Ilâhiyah fî Tahdzîb Syarh ath-Thahâwiyah, ‘Abdul Akhir Hammâd al-Ghunaimi, Dârush- Shahâbah, hlm. 132.
[10] Kitâbush-Shalâh, hlm. 54.
[11] Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm surat al-Baqarah/2 ayat 143.
[12] Diriwayatkan oleh al-Âjurri dalam asy-Syarî‘ah, hlm. 117, juga Ibnu Baththah dalam al-Ibânah, no. 1142. Dinukil dari 39.
[13] Lihat al-Minhah Ilâhiyah fî Tahdzîb Syarh ath-Thahâwiyah, hlm. 153-156.
[14] As-Sunnah, al-Khallal (2/581), as-Sunnah, ‘Abdullah bin Imam Ahmad, no. 600. Dinukil dari al-Imam al-Albani wa Mauqifuhu minal-Irja`, karya ‘Abdul ‘Aziz bin Rayyis ar-Rayyis, hlm. 23.
[15] Syarhus-Sunnah, al-Barbahari, hlm. 132. Dinukil dari al-Imam al-Albani wa Mauqifuhu minal-Irja`, hlm. 23.
[16] Diriwayatkan oleh al-Aajuri dalam asy-Syari’ah (2/664). Dinukil dari al-Imam al-Albani wa Mauqifuhu minal-Irja`, hlm. 23.
[17] As-Sunnah, al-Khallal (3/566). Dinukil dari al-Imam al-Albani wa Mauqifuhu minal-Irja`, hlm. 23.
[18] Shahih. HR Abu Dawud, no. 3597, Ahmad (2/27), dan al-Baihaqi (6/82).