ASAS KEBANGKITAN DUNIA ISLAM
Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Pertanyaan :
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : “Asas-asas apakah yang dapat menyebabkan Dunia Islam bangkit kembali .?
Jawaban :
Yang saya yakini ialah apa yang terdapat dalam hadits shahih. Ia merupakan jawaban tegas terhadap pertanyaan semacam itu, yang mungkin di lontarkan pada masa sekarang ini. Hadits itu adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Apabila kamu melakukan jual beli dengan sistem ‘iinah (seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan pembayaran di belakang, tetapi sebelum si pembeli membayarnya si penjual telah membelinya kembali dengan harga murah -red), menjadikan dirimu berada di belakang ekor sapi, ridha dengan cocok tanam dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menjadikan kamu dikuasai oleh kehinaan, Allah tidak akan mencabut kehinaan itu dari dirimu sebelum kamu rujuk (kembali) kepada dien kamu”. [Hadist Shahih riwayat Abu Dawud].
Jadi asasnya ialah rujuk (kembali) kepada Islam.
Persoalan ini, telah diisyaratkan oleh Imam Malik rahimahullah dalam sebuah kalimat ma’tsur yang ditulis dengan tinta emas : “Barangsiapa mengada-adakan bid’ah di dalam Islam kemudian menganggap bid’ah itu baik, berarti ia telah menganggap Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghianati risalah”. Bacalah firman Allah Tabaraka wa Ta’ala.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-sempurnakan buatmu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu”. [al-Maaidah/5 : 3].
“Oleh karenanya apa yang hari itu bukan agama, maka hari ini-pun bukan agama, dan tidaklah akan baik umat akhir ini melainkan dengan apa yang telah baik pada awal umat ini”
Kalimat terakhir (Imam Malik) di atas itulah yang berkaitan dengan jawaban dari pertanyaan ini, yaitu pernyataannya :
لاَ يَصْلُحُ آخِرُ هَذِهِ اْلأمَّةِ إِلا بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا
“Dan tidaklah akan baik umat akhir ini melainkan dengan apa yang telah baik pada awal umat ini”.
Oleh sebab itu, sebagaimana halnya orang Arab Jahiliyah dahulu tidak menjadi baik keadaannya kecuali setelah datangnya Nabi mereka, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa wahyu dari langit, yang telah menyebabkan kehidupan mereka di dunia berbahagia dan selamat dalam kehidupan akhirat. Demikian pula seyogyanya asas yang mesti dijadikan pijakan bagi kehidupan Islami nan membahagiakan di masa kini, yakni tiada lain hanyalah rujuk (kembali) kepada al-Kitab was-Sunnah.
Hanya saja, masalahnya memerlukan sedikit penjelasan, sebab betapa banyak jama’ah serta golongan-golongan di “lapangan” mengaku bahwa mereka telah meletakkan sebuah manhaj yang memungkinkan dengannya terwujud masyarakat Islam dan terwujud pelaksanaan hukum berdasarkan Islam.
Sementara itu kita mengetahui dari Al-Kitab dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jalan bagi terwujudnya itu semua hanya ada satu jalan, yaitu sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firmannya.
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan sesungguhnya (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya”. [al-An’am/6 : 153].
Dan sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah menjelaskan makna ayat ini kepada para shahabatnya. Beliau pada suatu hari menggambarkan kepada para shahabat sebuah garis lurus di atas tanah, disusul dengan menggambar garis-garis pendek yang banyak di sisi-sisi garis lurus tadi.
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat di atas ketika menudingkan jari tangannya yang mulia ke atas garis yang lurus dan kemudian menunjuk garis-garis yang terdapat pada sisi-sisinya, beliau bersabda:
هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ وَهَذِهِ سُبُلُ عَلَى رَأْسِ كُلِّ سَبِيل مِنْهَا الشَّيْطَانَ يَدْعُوا لَهُ
“Ini adalah jalan Allah, sedangkan jalan-jalan ini, pada setiap muara jalan-jalan tersebut ada syaithan yang menyeru kepadanya”. [Shahih sebagaimana terdapat di dalam “Zhilalul Jannah fi takhrij As-Sunnah : 16-17].
Allah ‘Azza wa Jalla-pun menguatkan ayat beserta penjelasannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas, dengan ayat lain, yaitu firman-Nya.
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas petunjuk (kebenaran) baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-seburuk tempat kembali”. [an-Nisaa/4 : 115]
Dalam ayat ini terdapat sebuah hikmah yang tegas, yakni bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengikatkan “jalannya orang-orang mukmin” kepada apa yang telah di bawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal inilah yang telah diisyaratkan oleh Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits iftiraq (perpecahan) ketika beliau ditanya tentang al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat), saat itu beliau menjawab :
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ
“(Yaitu) apa yang aku dan shahabatku hari ini ada di atasnya” [Lihat As-Silsilah Ash-Shahihah : 203]
Apakah gerangan hikmah yang di maksud ketika Allah menyebutkan “Jalannya orang-orang mukmin (sabiilul mukminim)” dalam ayat tersebut .? Dan apakah kiranya hal yang dimaksud ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikatkan para shahabatnya kepada diri beliau sendiri dalam hadits di muka .? Jawabannya, bahwa para shahabat radliyallahu anhum itu adalah orang-orang yang telah menerima pelajaran dua wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah) langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau telah menjelaskannya langsung kepada mereka tanpa perantara, tidak sebagaimana keadaan orang-orang yang sesudahnya.
Tentu saja hasilnya adalah seperti yang pernah dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
إنَ الشَّاهِدَ يَرَى مَا لا يَرَى اْلغَائِبُ
“Sesungguhnya orang yang hadir akan dapat melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang yang tidak hadir” [Lihat Shahih Al-Jami’ : 1641].
Oleh sebab itulah, iman para shahabat terdahulu lebih kuat daripada orang-orang yang datang sesudahnya. Ini pula telah diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits mutawatir :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang yang sesudahnya, kemudian orang-orang yang sesudahnya lagi ” [Muttafaq ‘alaihi].
Berdasarkan hal ini, seorang muslim tidak bisa berdiri sendiri dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah, tetapi ia harus meminta bantuan dalam memahami keduanya dengan kembali kepada para shahabat Nabi yang Mulia, orang-orang yang telah menerima pelajaran tentang keduanya langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkadang menjelaskannya dengan perkataan, terkadang dengan perbuatan dan terkadang dengan taqrir (persetujuan) beliau.
Jika demikian, adalah mendesak sekali dalam “mengajak orang kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah” untuk menambahkan prinsip “berjalan di atas apa yang ditempuh oleh as-Salafu as-Shalih” dalam rangka mengamalkan ayat-ayat serta hadits-hadits yang telah disebutkan di muka, manakala Allah menyebutkan “Jalannya orang-orang mukmin (sabilul mu’minin)”, dan menyebutkan Nabi-Nya yang mulia serta para shahabatnya dengan maksud supaya memahami Al-Kitab was Sunnah sesuai dengan apa yang dipahami oleh kaum salaf generasi pertama dari kalangan shahabat radliyallahu anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka secara ihsan.
Kemudian, dalam hal ini ada satu persoalan yang teramat penting namun dilupakan oleh banyak kalangan jama’ah serta hizb-hizb Islam. Persoalan itu ialah : “Jalan mana gerangan yang dapat digunakan untuk mengetahui apa yang ditempuh oleh para shahabat dalam memahami dan melaksanakan sunnah ini..?”.
Jawabannya : “Tiada jalan lain untuk menuju pemahaman itu kecuali harus rujuk (kembali) kepada Ilmu Hadits, Ilmu Mushtalah Hadits, Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil dan mengamalkan kaidah-kaidah serta musthalah-musthalah-nya tersebut, sehingga para ulama dapat dengan mantap mengetahui mana yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mana yang tidak shahih”.
Sebagai penutup jawaban, kami bisa mengatakan dengan bahasa yang lebih jelas kepada kaum muslimin yang betul-betul ingin kembali mendapatkan ‘izzah (kehormatan), kejayaan dan hukum bagi Islam, yaitu anda harus bisa merealisasikan dua perkara :
Pertama.
Anda harus mengembalikan syari’at Islam ke dalam benak-benak kaum muslimin dalam keadaan bersih dari segenap unsur yang menyusup ke dalammnya, apa yang sebenarnya bukan berasal daripadanya, ketika Allah Tabaraka wa Ta’ala menurunkan firmannya :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-sempurnakan ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu” [al-Maaidah/5 : 3].
Mengembalikan persoalan hari ini menjadi seperti persoalan zaman pertama dahulu, membutuhkan perjuangan ekstra keras dari para ulama kaum muslimin di pelbagai penjuru dunia.
Kedua.
Kerja keras yang terus menerus tanpa henti ini harus dibarengi dengan ilmu yang telah terbersihkan itu.
Pada hari kaum muslimin telah kembali memahami dien mereka sebagai mana yang dipahami para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian melaksanakan pengamalan ajaran Islam yang telah terbersihkan ini secara benar dalam semua segi kehidupan, maka pada hari itulah kaum mu’minin dapat bergembira merasakan kemenangan yang datangnya dari Allah.
Inilah yang bisa saya katakan dalam ketergesa-gesaan ini, dengan memohon kepada Allah agar Dia memberikan pemahaman Islam secara benar kepada kita dan seluruh kaum muslimin, sesuai dengan tuntunan kitab-Nya dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih sebagaimana yang telah ditempuh oleh salafuna ash-shalih.
Kita memohon kepada Allah agar Dia memberikan taufiq kepada kita supaya dapat mengamalkan yang demikian itu, sesungguhnya Dia Sami’ (Maha Mendengar) lagi Mujib (Maha Mengabulkan Do’a).
والله أعلم
(Diterjemahkan dari Majalah Al-Ashalah, edisi 11, tgl. 15 Dzulhijjah 1414H)
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 13/Tahun ke-II (03/II/1416-1995). Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Yang saya yakini ialah apa yang terdapat dalam hadits shahih. Ia merupakan jawaban tegas terhadap pertanyaan semacam itu, yang mungkin di lontarkan pada masa sekarang ini. Hadits itu adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Apabila kamu melakukan jual beli dengan sistem ‘iinah (seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan pembayaran di belakang, tetapi sebelum si pembeli membayarnya si penjual telah membelinya kembali dengan harga murah -red), menjadikan dirimu berada di belakang ekor sapi, ridha dengan cocok tanam dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menjadikan kamu dikuasai oleh kehinaan, Allah tidak akan mencabut kehinaan itu dari dirimu sebelum kamu rujuk (kembali) kepada dien kamu”. [Hadist Shahih riwayat Abu Dawud].
Jadi asasnya ialah rujuk (kembali) kepada Islam.
Persoalan ini, telah diisyaratkan oleh Imam Malik rahimahullah dalam sebuah kalimat ma’tsur yang ditulis dengan tinta emas : “Barangsiapa mengada-adakan bid’ah di dalam Islam kemudian menganggap bid’ah itu baik, berarti ia telah menganggap Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghianati risalah”. Bacalah firman Allah Tabaraka wa Ta’ala.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-sempurnakan buatmu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu”. [al-Maaidah/5 : 3].
“Oleh karenanya apa yang hari itu bukan agama, maka hari ini-pun bukan agama, dan tidaklah akan baik umat akhir ini melainkan dengan apa yang telah baik pada awal umat ini”
Kalimat terakhir (Imam Malik) di atas itulah yang berkaitan dengan jawaban dari pertanyaan ini, yaitu pernyataannya :
لاَ يَصْلُحُ آخِرُ هَذِهِ اْلأمَّةِ إِلا بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا
“Dan tidaklah akan baik umat akhir ini melainkan dengan apa yang telah baik pada awal umat ini”.
Oleh sebab itu, sebagaimana halnya orang Arab Jahiliyah dahulu tidak menjadi baik keadaannya kecuali setelah datangnya Nabi mereka, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa wahyu dari langit, yang telah menyebabkan kehidupan mereka di dunia berbahagia dan selamat dalam kehidupan akhirat. Demikian pula seyogyanya asas yang mesti dijadikan pijakan bagi kehidupan Islami nan membahagiakan di masa kini, yakni tiada lain hanyalah rujuk (kembali) kepada al-Kitab was-Sunnah.
Hanya saja, masalahnya memerlukan sedikit penjelasan, sebab betapa banyak jama’ah serta golongan-golongan di “lapangan” mengaku bahwa mereka telah meletakkan sebuah manhaj yang memungkinkan dengannya terwujud masyarakat Islam dan terwujud pelaksanaan hukum berdasarkan Islam.
Sementara itu kita mengetahui dari Al-Kitab dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jalan bagi terwujudnya itu semua hanya ada satu jalan, yaitu sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firmannya.
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan sesungguhnya (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya”. [al-An’am/6 : 153].
Dan sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah menjelaskan makna ayat ini kepada para shahabatnya. Beliau pada suatu hari menggambarkan kepada para shahabat sebuah garis lurus di atas tanah, disusul dengan menggambar garis-garis pendek yang banyak di sisi-sisi garis lurus tadi.
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat di atas ketika menudingkan jari tangannya yang mulia ke atas garis yang lurus dan kemudian menunjuk garis-garis yang terdapat pada sisi-sisinya, beliau bersabda:
هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ وَهَذِهِ سُبُلُ عَلَى رَأْسِ كُلِّ سَبِيل مِنْهَا الشَّيْطَانَ يَدْعُوا لَهُ
“Ini adalah jalan Allah, sedangkan jalan-jalan ini, pada setiap muara jalan-jalan tersebut ada syaithan yang menyeru kepadanya”. [Shahih sebagaimana terdapat di dalam “Zhilalul Jannah fi takhrij As-Sunnah : 16-17].
Allah ‘Azza wa Jalla-pun menguatkan ayat beserta penjelasannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas, dengan ayat lain, yaitu firman-Nya.
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas petunjuk (kebenaran) baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-seburuk tempat kembali”. [an-Nisaa/4 : 115]
Dalam ayat ini terdapat sebuah hikmah yang tegas, yakni bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengikatkan “jalannya orang-orang mukmin” kepada apa yang telah di bawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal inilah yang telah diisyaratkan oleh Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits iftiraq (perpecahan) ketika beliau ditanya tentang al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat), saat itu beliau menjawab :
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ
“(Yaitu) apa yang aku dan shahabatku hari ini ada di atasnya” [Lihat As-Silsilah Ash-Shahihah : 203]
Apakah gerangan hikmah yang di maksud ketika Allah menyebutkan “Jalannya orang-orang mukmin (sabiilul mukminim)” dalam ayat tersebut .? Dan apakah kiranya hal yang dimaksud ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikatkan para shahabatnya kepada diri beliau sendiri dalam hadits di muka .? Jawabannya, bahwa para shahabat radliyallahu anhum itu adalah orang-orang yang telah menerima pelajaran dua wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah) langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau telah menjelaskannya langsung kepada mereka tanpa perantara, tidak sebagaimana keadaan orang-orang yang sesudahnya.
Tentu saja hasilnya adalah seperti yang pernah dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
إنَ الشَّاهِدَ يَرَى مَا لا يَرَى اْلغَائِبُ
“Sesungguhnya orang yang hadir akan dapat melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang yang tidak hadir” [Lihat Shahih Al-Jami’ : 1641].
Oleh sebab itulah, iman para shahabat terdahulu lebih kuat daripada orang-orang yang datang sesudahnya. Ini pula telah diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits mutawatir :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang yang sesudahnya, kemudian orang-orang yang sesudahnya lagi ” [Muttafaq ‘alaihi].
Berdasarkan hal ini, seorang muslim tidak bisa berdiri sendiri dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah, tetapi ia harus meminta bantuan dalam memahami keduanya dengan kembali kepada para shahabat Nabi yang Mulia, orang-orang yang telah menerima pelajaran tentang keduanya langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkadang menjelaskannya dengan perkataan, terkadang dengan perbuatan dan terkadang dengan taqrir (persetujuan) beliau.
Jika demikian, adalah mendesak sekali dalam “mengajak orang kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah” untuk menambahkan prinsip “berjalan di atas apa yang ditempuh oleh as-Salafu as-Shalih” dalam rangka mengamalkan ayat-ayat serta hadits-hadits yang telah disebutkan di muka, manakala Allah menyebutkan “Jalannya orang-orang mukmin (sabilul mu’minin)”, dan menyebutkan Nabi-Nya yang mulia serta para shahabatnya dengan maksud supaya memahami Al-Kitab was Sunnah sesuai dengan apa yang dipahami oleh kaum salaf generasi pertama dari kalangan shahabat radliyallahu anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka secara ihsan.
Kemudian, dalam hal ini ada satu persoalan yang teramat penting namun dilupakan oleh banyak kalangan jama’ah serta hizb-hizb Islam. Persoalan itu ialah : “Jalan mana gerangan yang dapat digunakan untuk mengetahui apa yang ditempuh oleh para shahabat dalam memahami dan melaksanakan sunnah ini..?”.
Jawabannya : “Tiada jalan lain untuk menuju pemahaman itu kecuali harus rujuk (kembali) kepada Ilmu Hadits, Ilmu Mushtalah Hadits, Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil dan mengamalkan kaidah-kaidah serta musthalah-musthalah-nya tersebut, sehingga para ulama dapat dengan mantap mengetahui mana yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mana yang tidak shahih”.
Sebagai penutup jawaban, kami bisa mengatakan dengan bahasa yang lebih jelas kepada kaum muslimin yang betul-betul ingin kembali mendapatkan ‘izzah (kehormatan), kejayaan dan hukum bagi Islam, yaitu anda harus bisa merealisasikan dua perkara :
Pertama.
Anda harus mengembalikan syari’at Islam ke dalam benak-benak kaum muslimin dalam keadaan bersih dari segenap unsur yang menyusup ke dalammnya, apa yang sebenarnya bukan berasal daripadanya, ketika Allah Tabaraka wa Ta’ala menurunkan firmannya :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-sempurnakan ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu” [al-Maaidah/5 : 3].
Mengembalikan persoalan hari ini menjadi seperti persoalan zaman pertama dahulu, membutuhkan perjuangan ekstra keras dari para ulama kaum muslimin di pelbagai penjuru dunia.
Kedua.
Kerja keras yang terus menerus tanpa henti ini harus dibarengi dengan ilmu yang telah terbersihkan itu.
Pada hari kaum muslimin telah kembali memahami dien mereka sebagai mana yang dipahami para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian melaksanakan pengamalan ajaran Islam yang telah terbersihkan ini secara benar dalam semua segi kehidupan, maka pada hari itulah kaum mu’minin dapat bergembira merasakan kemenangan yang datangnya dari Allah.
Inilah yang bisa saya katakan dalam ketergesa-gesaan ini, dengan memohon kepada Allah agar Dia memberikan pemahaman Islam secara benar kepada kita dan seluruh kaum muslimin, sesuai dengan tuntunan kitab-Nya dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih sebagaimana yang telah ditempuh oleh salafuna ash-shalih.
Kita memohon kepada Allah agar Dia memberikan taufiq kepada kita supaya dapat mengamalkan yang demikian itu, sesungguhnya Dia Sami’ (Maha Mendengar) lagi Mujib (Maha Mengabulkan Do’a).
والله أعلم
(Diterjemahkan dari Majalah Al-Ashalah, edisi 11, tgl. 15 Dzulhijjah 1414H)
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 13/Tahun ke-II (03/II/1416-1995). Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]