MEMAHAMI SISI PERSAMAAN DAN SISI PERBEDAAN
Oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Pada dua makhluk yang berbeda, adakah sisi kesamaan diantara keduanya? Misalnya antara dua makhluk yang sangat jauh perbedaannya, seperti kuda dan semut. Sebaliknya pada dua makhluk yang serupa, adakah unsur perbedaan di antara keduanya? Misalnya antara dua bangunan yang sama dan sebangun?
Pertanyaan ini bukan untuk main-main dan olok-olok, seperti anggapan orang-orang Yahudi ketika Nabiyyullâh Musa Alaihissallam menceritakan bahwa Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk menyembelih seekor sapi betina. Orang-orang Yahudi menganggap bahwa itu adalah olok-olok kepada mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman menceritakan kisah tersebut :
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً ۖ قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا ۖ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Dan ingatlah tatkala Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allâh memerintahkan kalian untuk menyembelih seekor sapi betina” Mereka menjawab: Apakah engkau ingin memperolok kami? Musa menjawab: Aku berlindung diri kepada Allâh untuk menjadi golongannya orang-orang bodoh. [al-Baqarah/2:67]
Pertanyaan itu menjadi sangat penting ketika orang tidak memperhatikan bahwa seseungguhnya ada unsur kesamaan di antara dua hal yang berbeda. Sebaliknya juga ada unsur perbedaan di antara dua hal yang serupa. Ini fakta yang tidak terbantahkan ada pada para makhluk. Akal sehat sangat memahaminya, dan indera yang validpun dapat merasakan serta melihatnya.
Antara hidung yang satu dengan hidung yang lain tentu memiliki kesamaan sebutan, tetapi juga memiliki perbedaan. Ini harus diakui karena ini adalah fakta. Orang Mu’tazilah atau yang sefaham, memiliki hidung sungguh-sungguh (bukan majaz); kerbau juga memiliki hidung sungguh-sungguh (bukan majaz). Tetapi meskipun masing-masing memiliki sesuatu yang sungguh-sungguh dan sama sebutannya, namun jelas berbeda hakikat serta kaifiyat (bentuk tertentu)nya. Semua orang mengetahui perbedaan hakikat dan kaifiyat antara keduanya.
Orang tidak akan mengatakan bahwa supaya hidung manusia jangan serupa dengan hidung kerbau, maka hidung manusia harus dihilangkan, dengan alasan, kerbau juga memiliki hidung. Demikian pula kaki dan lainnya. Jadi bukan hidung dan kaki manusia yang harus dihilangkan supaya tidak serupa dengan kerbau. Tetapi keserupaan haikatnya yang ditiadakan, karena memang tidak sama dan tidak serupa persis hakikat serta kaifiyatnya. Semua orang, kecuali yang dungu, sangat mengerti perbedaan itu. Jika ada orang yang menyerupakan hidung manusia dengan hidung kerbau, maka itu adalah penghinaan.
Apabila perbedaan dan ketidakserupaan semacam itu jelas ada pada para makhluk, meskipun istilah dan sebutannya sama, tentu perbedaan dan ketidakserupaan antara Allâh dengan segenap makhluk-Nya, jauh lebih jelas lagi, sebab memang jelas berbeda, meskipun memiliki kesamaan dalam sebutan dan asal ma’nanya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya, sedangkan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat. [asy-Syûra/42:11]
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla meniadakan serta mengingkari keserupaan antara Allâh dengan yang selain-Nya. Tetapi peniadaan ini tidak berarti peniadaan terhadap Pendengaran dan Penglihatan Allâh Azza wa Jalla . Dia k tetap menetapkan apa yang Dia miliki berupa Pendengaran dan Penglihatan, begitu pula nama-nama serta sifat-sifat-Nya. Tetapi pada saat yang sama Dia meniadakan keserupaan antara Dia dengan yang lain. Meskipun makhluk juga memiliki pendengaran dan penglihatan.
Imam Syaukâni rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini:
Barangsiapa yang memahami serta menghayati ayat mulia ini dengan benar dan sebenar-benarnya, niscaya ia akan bisa berjalan lurus pada jalan syari’at yang putih bersih dan terang benderang di tengah-tengah perselisihan orang-orang yang berselisih tentang Sifat Allâh Azza wa Jalla . Akan semakin terang lagi pandangan mata hatinya jika merenungkan ma’na firman Allâh Azza wa Jalla berikutnya: وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (sedangkan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat). Karena sesungguhnya penetapan sifat Mendengan dan Melihat ini, sesudah pernyataan tidak adanya sesuatupun yang menyerupai Allah, di dalamnya benar-benar mengandung sesuatu yang menyejukkan keyakinan, mengobati hati dan mendinginkan kalbu.
Oleh karena itu, hormatilah hujjah (ayat) yang terang-benderang dan kuat ini, wahai pencari kebenaran! Sesungguhnya dengan hujjah ini engakau akan dapat menghancurkan banyak perkara bid’ah, akan dapat meluluh-lantakkan pokok-pokok kesesatan, dan akan dapat merendahkan kelompok-kelompok ahli kalam, terutama jika engkau gabungkan dengan firman Allâh Azza wa Jalla : وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِهِ عِلْمًا (Ilmu pengetahuan mereka tidak akan dapat meliputi Allâh).[1]
Dengan demikian, sebenaranya terdapat sisi kesamaan dan sisi perbedaan. Sisi kesamaan atau keserupaan yang ada harus diakui sebagai sisi kesamaan. Sedangkan sisi perbedaan yang ada harus pula diakui perbedaannya. Dan ini adalah perkara yang sangat masuk akal.[2]
Sebagai misal, sisi kesamaannya antara lain Allâh menyebutkan diri-Nya memiliki Pendengaran dan Penglihatan, makhlukpun memiliki pendengaran dan penglihatan. Sedangkan sisi perbedaannya, bahwa Pendengaran serta Penglihatan Allâh pasti merupakan Pendengaran serta Penglihatan agung yang khusus sesuai dengan keagungan-Nya. Adapun pendengaran serta penglihatan makhluk adalah pendengaran serta penglihatan khusus pada makhluk yang lemah, terbatas dan tergantung pada kekuasaan Allâh. Demikian, contoh-contoh lainnya masih banyak.[3]
Itulah yang oleh sebagian ulama disebut qadrun musytarak (sisi kesamaan) dan qadrun mukhtash/mumayyaz (sisi perbedaan; masing-masing memiliki kekhususannya). Sebab, dalam setiap dua hal, diantara keduanya pasti terdapat qadrun musytarak dan qadrun mumayyaz/mukhtash.
Selanjutnya, bisa diperhatikan uraian dalil dari contoh berikut ini.
Allâh Azza wa Jalla menamakan diri-Nya dengan nama Samî’ (Maha Mendengar) dan Bashîr (Maha Melihat) dalam firman-Nya :
إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Seseungguhnya Allâh adalah sebaik-baik yang memberi pelajaran kepadamu. Sesungguhnya Allâh Samî’ (Maha Mendengar) dan Bashîr (Maha Melihat). [an-Nisa’/4:58]
Allâh pun menyebut manusia dengan sebutan samî’ (mendengar) dan bashîr (melihat) dalam firman-Nya:
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari tetes-tetes air mani yang bercampur (antara benih laki-laki dan perempuan), yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan). Karena itu Kami jadikan ia samî’ (mendengar) dan bashîr (melihat). [al-Insân/76:2].
Tetapi masing-masing berbeda. Allâh meniadakan keserupaan antara Samî’ pada ayat pertama dengan samî’ pada ayat kedua. Juga meniadakan keserupaan antara Bashîr pada ayat pertama dengan bashîr pada ayat kedua, dengan firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya, sedangkan Dia Samî’ (Maha Mendengar), Bashîr (Maha Melihat). [asy-Syûra/42:11].
Samî’ serta Bashîr pada ayat pertama milik Allâh, sedangkan samî’ serta bashîr pada ayat kedua adalah milik manusia.
Demikian pula Allâh menetapkan bahwa diri-Nya memiliki ilmu. Firman-Nya:
عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ
Allâh Maha Mengetahui (Maha berilmu) bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka. [al-Baqarah/2:235].
Dia-pun menetapkan bahwa manusia memiliki ilmu. Firman-Nya:
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Maka jika kamu telah mengetahui (berilmu) bahwa mereka (benar-benar) wanita-wanita yang beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka sebelumnya, yaitu) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan tidak pula orang-orang kafir itu halal bagi mereka. [al-Mumtahanah/60:10].
Tetapi tentu ilmu manusia tidak sebagaimana ilmu Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Oleh karena itulah Allâh berfirman tentang ilmu-Nya:
وَسِعَ كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا
Ilmu (pengetahuan) Allâh meliputi segala sesuatu. [Thâhâ/20:98].
Allâh juga berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَىٰ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ
Sesungguhnya, tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik di bumi maupun di langit. [Ali Imran/3: 5].
Demikian antara lain firman Allâh tentang ilmu-Nya, dan Allâh juga berfirman tentang ilmu manusia:
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Tidaklah kamu diberi ilmu melainkan sedikit. [al-Isrâ’/17: 85].
Adanya keserupaan nama dan sifat ini tidak mengharuskan adanya keserupaan para pemilik nama dan sifat tersebut dalam hal hakikat serta kaifiyat (bentuk tertentu)nya. Dengan memahami masalah ini, seorang muslim tidak akan meniadakan sesuatu yang sebenarnya ada dan menjadi hak Allâh Azza wa Jalla. Tidak merasa takut untuk menetapkan serta mengakuinya. Tetapi ketika menyatakan bahwa sesuatu itu ada pada Allâh, karena memang ia ada dan merupakan hak Allâh, sesorang tidak boleh menyerupakan hakikat atau kaifiyat antara apa yang ada pada Allâh dengan apa yang ada pada makhluk. Ia tidak boleh menyerupakan sifat Allâh dengan sifat makhluk.
Dengan mamahami sisi persamaan dan sisi perbedaan dalam bab Asma’ dan Sifat Allâh, seorang muslim akan tetap adil pemahamannya, akan selamat dari kesesatan ahli tamtsil (para penyerupa) dan ahli ta’thil (para penafi Sifat Allâh). Juga tidak akan terjebak pada sikap kontradiktif. Hal ini bahkan akan berguna dalam memahami masalah selain aqidah. Wallâhu a’lam.
Maraji’
1. Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Jam’u wa Tartib: Abdur-Rahman bin Muhammad bin Qasim trahimahullah.
2. Taqrib at-Tadmuriyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t, takhrij: Sayyid bin Abbas al-Julaimiy, Maktabah as-Sunnah, cet. I, 1413 H/1992 M
3. Ar-Risalah at-Tadmuriyah, Mujmal I’tiqad as-Salaf, Penerbit: Kulliyyatu asy-Syari’ah, Jami’atu al-Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh, tanpa tahun.
4. Syarh al-‘Aqidah ath Thahawiyah, Imam Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafi, tahqiq : Jama’ah min al-‘Ulama, takhrij : Syaikh al-Albani, al-Maktab al-Islamiy, 1430 H/2009 M, terbitan khusus dari Wizarah al-Auqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah, Qatar.
5. Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, Cet. VI, 1413 H/1993 M.
6. Fathu al-Qadir, Imam asy-Saukani t , Dar al-Ma’rifah, Beirut, tanpa tahun.
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVI/1434H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Dengan bahasa bebas, perkataan ini dinukil oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dalam Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, Cet. VI, 1413 H/1993 M, hlm. 37, tentang Itsbat as-Sam’i wa al-Bashari Lillâh l . Lihat pula Fathu al-Qadir, Imam asy-Saukani rahimahullah, Dar al-Ma’rifah, Beirut, tanpa tahun IV/528, tafsir Surah asy-Syûra/42:11.
[2]. Perhatikan pengertian demikian dalam Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam, III/9.
[3]. Ibid. III/10-16. Perhatikan juga Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, Imam Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafi, tahqîq : Jama’ah min al-‘Ulama, takhrîj : Syaikh al-Albani, al-Maktab al-Islamiy, 1430 H/2009 M, terbitan khusus dari Wizarah al-Auqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah, Qatar, hal. 99 dst, di bawah sub judul: Qauluhu: wa lâ Syai’a Mitsluhu
[4]. Lihat misalnya, Taqrib at-Tadmuriyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t, takhrîj: Sayyid bin Abbas al-Julaimiy, Maktabah as-Sunnah, Cet. I, 1413 H/1992 M, hlm. 87. Lihat pula Ar-Risalah at-Tadmuriyah, Mujmal I’tiqad as-Salaf, Penerbit: Kulliyyatu asy-Syari’ah, Jami’atu al-Imam, Riyadh, tanpa tahun, al-Qa’idah as-Sadisah, hlm. 73.
[5]. Lihat Taqrib at-Tadmuriyah, 22, juga Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam, III/10-16]
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً ۖ قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا ۖ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Dan ingatlah tatkala Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allâh memerintahkan kalian untuk menyembelih seekor sapi betina” Mereka menjawab: Apakah engkau ingin memperolok kami? Musa menjawab: Aku berlindung diri kepada Allâh untuk menjadi golongannya orang-orang bodoh. [al-Baqarah/2:67]
Pertanyaan itu menjadi sangat penting ketika orang tidak memperhatikan bahwa seseungguhnya ada unsur kesamaan di antara dua hal yang berbeda. Sebaliknya juga ada unsur perbedaan di antara dua hal yang serupa. Ini fakta yang tidak terbantahkan ada pada para makhluk. Akal sehat sangat memahaminya, dan indera yang validpun dapat merasakan serta melihatnya.
Antara hidung yang satu dengan hidung yang lain tentu memiliki kesamaan sebutan, tetapi juga memiliki perbedaan. Ini harus diakui karena ini adalah fakta. Orang Mu’tazilah atau yang sefaham, memiliki hidung sungguh-sungguh (bukan majaz); kerbau juga memiliki hidung sungguh-sungguh (bukan majaz). Tetapi meskipun masing-masing memiliki sesuatu yang sungguh-sungguh dan sama sebutannya, namun jelas berbeda hakikat serta kaifiyat (bentuk tertentu)nya. Semua orang mengetahui perbedaan hakikat dan kaifiyat antara keduanya.
Orang tidak akan mengatakan bahwa supaya hidung manusia jangan serupa dengan hidung kerbau, maka hidung manusia harus dihilangkan, dengan alasan, kerbau juga memiliki hidung. Demikian pula kaki dan lainnya. Jadi bukan hidung dan kaki manusia yang harus dihilangkan supaya tidak serupa dengan kerbau. Tetapi keserupaan haikatnya yang ditiadakan, karena memang tidak sama dan tidak serupa persis hakikat serta kaifiyatnya. Semua orang, kecuali yang dungu, sangat mengerti perbedaan itu. Jika ada orang yang menyerupakan hidung manusia dengan hidung kerbau, maka itu adalah penghinaan.
Apabila perbedaan dan ketidakserupaan semacam itu jelas ada pada para makhluk, meskipun istilah dan sebutannya sama, tentu perbedaan dan ketidakserupaan antara Allâh dengan segenap makhluk-Nya, jauh lebih jelas lagi, sebab memang jelas berbeda, meskipun memiliki kesamaan dalam sebutan dan asal ma’nanya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya, sedangkan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat. [asy-Syûra/42:11]
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla meniadakan serta mengingkari keserupaan antara Allâh dengan yang selain-Nya. Tetapi peniadaan ini tidak berarti peniadaan terhadap Pendengaran dan Penglihatan Allâh Azza wa Jalla . Dia k tetap menetapkan apa yang Dia miliki berupa Pendengaran dan Penglihatan, begitu pula nama-nama serta sifat-sifat-Nya. Tetapi pada saat yang sama Dia meniadakan keserupaan antara Dia dengan yang lain. Meskipun makhluk juga memiliki pendengaran dan penglihatan.
Imam Syaukâni rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini:
Barangsiapa yang memahami serta menghayati ayat mulia ini dengan benar dan sebenar-benarnya, niscaya ia akan bisa berjalan lurus pada jalan syari’at yang putih bersih dan terang benderang di tengah-tengah perselisihan orang-orang yang berselisih tentang Sifat Allâh Azza wa Jalla . Akan semakin terang lagi pandangan mata hatinya jika merenungkan ma’na firman Allâh Azza wa Jalla berikutnya: وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (sedangkan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat). Karena sesungguhnya penetapan sifat Mendengan dan Melihat ini, sesudah pernyataan tidak adanya sesuatupun yang menyerupai Allah, di dalamnya benar-benar mengandung sesuatu yang menyejukkan keyakinan, mengobati hati dan mendinginkan kalbu.
Oleh karena itu, hormatilah hujjah (ayat) yang terang-benderang dan kuat ini, wahai pencari kebenaran! Sesungguhnya dengan hujjah ini engakau akan dapat menghancurkan banyak perkara bid’ah, akan dapat meluluh-lantakkan pokok-pokok kesesatan, dan akan dapat merendahkan kelompok-kelompok ahli kalam, terutama jika engkau gabungkan dengan firman Allâh Azza wa Jalla : وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِهِ عِلْمًا (Ilmu pengetahuan mereka tidak akan dapat meliputi Allâh).[1]
Dengan demikian, sebenaranya terdapat sisi kesamaan dan sisi perbedaan. Sisi kesamaan atau keserupaan yang ada harus diakui sebagai sisi kesamaan. Sedangkan sisi perbedaan yang ada harus pula diakui perbedaannya. Dan ini adalah perkara yang sangat masuk akal.[2]
Sebagai misal, sisi kesamaannya antara lain Allâh menyebutkan diri-Nya memiliki Pendengaran dan Penglihatan, makhlukpun memiliki pendengaran dan penglihatan. Sedangkan sisi perbedaannya, bahwa Pendengaran serta Penglihatan Allâh pasti merupakan Pendengaran serta Penglihatan agung yang khusus sesuai dengan keagungan-Nya. Adapun pendengaran serta penglihatan makhluk adalah pendengaran serta penglihatan khusus pada makhluk yang lemah, terbatas dan tergantung pada kekuasaan Allâh. Demikian, contoh-contoh lainnya masih banyak.[3]
Itulah yang oleh sebagian ulama disebut qadrun musytarak (sisi kesamaan) dan qadrun mukhtash/mumayyaz (sisi perbedaan; masing-masing memiliki kekhususannya). Sebab, dalam setiap dua hal, diantara keduanya pasti terdapat qadrun musytarak dan qadrun mumayyaz/mukhtash.
Selanjutnya, bisa diperhatikan uraian dalil dari contoh berikut ini.
Allâh Azza wa Jalla menamakan diri-Nya dengan nama Samî’ (Maha Mendengar) dan Bashîr (Maha Melihat) dalam firman-Nya :
إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Seseungguhnya Allâh adalah sebaik-baik yang memberi pelajaran kepadamu. Sesungguhnya Allâh Samî’ (Maha Mendengar) dan Bashîr (Maha Melihat). [an-Nisa’/4:58]
Allâh pun menyebut manusia dengan sebutan samî’ (mendengar) dan bashîr (melihat) dalam firman-Nya:
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari tetes-tetes air mani yang bercampur (antara benih laki-laki dan perempuan), yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan). Karena itu Kami jadikan ia samî’ (mendengar) dan bashîr (melihat). [al-Insân/76:2].
Tetapi masing-masing berbeda. Allâh meniadakan keserupaan antara Samî’ pada ayat pertama dengan samî’ pada ayat kedua. Juga meniadakan keserupaan antara Bashîr pada ayat pertama dengan bashîr pada ayat kedua, dengan firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya, sedangkan Dia Samî’ (Maha Mendengar), Bashîr (Maha Melihat). [asy-Syûra/42:11].
Samî’ serta Bashîr pada ayat pertama milik Allâh, sedangkan samî’ serta bashîr pada ayat kedua adalah milik manusia.
Demikian pula Allâh menetapkan bahwa diri-Nya memiliki ilmu. Firman-Nya:
عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ
Allâh Maha Mengetahui (Maha berilmu) bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka. [al-Baqarah/2:235].
Dia-pun menetapkan bahwa manusia memiliki ilmu. Firman-Nya:
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Maka jika kamu telah mengetahui (berilmu) bahwa mereka (benar-benar) wanita-wanita yang beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka sebelumnya, yaitu) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan tidak pula orang-orang kafir itu halal bagi mereka. [al-Mumtahanah/60:10].
Tetapi tentu ilmu manusia tidak sebagaimana ilmu Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Oleh karena itulah Allâh berfirman tentang ilmu-Nya:
وَسِعَ كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا
Ilmu (pengetahuan) Allâh meliputi segala sesuatu. [Thâhâ/20:98].
Allâh juga berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَىٰ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ
Sesungguhnya, tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik di bumi maupun di langit. [Ali Imran/3: 5].
Demikian antara lain firman Allâh tentang ilmu-Nya, dan Allâh juga berfirman tentang ilmu manusia:
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Tidaklah kamu diberi ilmu melainkan sedikit. [al-Isrâ’/17: 85].
Adanya keserupaan nama dan sifat ini tidak mengharuskan adanya keserupaan para pemilik nama dan sifat tersebut dalam hal hakikat serta kaifiyat (bentuk tertentu)nya. Dengan memahami masalah ini, seorang muslim tidak akan meniadakan sesuatu yang sebenarnya ada dan menjadi hak Allâh Azza wa Jalla. Tidak merasa takut untuk menetapkan serta mengakuinya. Tetapi ketika menyatakan bahwa sesuatu itu ada pada Allâh, karena memang ia ada dan merupakan hak Allâh, sesorang tidak boleh menyerupakan hakikat atau kaifiyat antara apa yang ada pada Allâh dengan apa yang ada pada makhluk. Ia tidak boleh menyerupakan sifat Allâh dengan sifat makhluk.
Dengan mamahami sisi persamaan dan sisi perbedaan dalam bab Asma’ dan Sifat Allâh, seorang muslim akan tetap adil pemahamannya, akan selamat dari kesesatan ahli tamtsil (para penyerupa) dan ahli ta’thil (para penafi Sifat Allâh). Juga tidak akan terjebak pada sikap kontradiktif. Hal ini bahkan akan berguna dalam memahami masalah selain aqidah. Wallâhu a’lam.
Maraji’
1. Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Jam’u wa Tartib: Abdur-Rahman bin Muhammad bin Qasim trahimahullah.
2. Taqrib at-Tadmuriyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t, takhrij: Sayyid bin Abbas al-Julaimiy, Maktabah as-Sunnah, cet. I, 1413 H/1992 M
3. Ar-Risalah at-Tadmuriyah, Mujmal I’tiqad as-Salaf, Penerbit: Kulliyyatu asy-Syari’ah, Jami’atu al-Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh, tanpa tahun.
4. Syarh al-‘Aqidah ath Thahawiyah, Imam Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafi, tahqiq : Jama’ah min al-‘Ulama, takhrij : Syaikh al-Albani, al-Maktab al-Islamiy, 1430 H/2009 M, terbitan khusus dari Wizarah al-Auqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah, Qatar.
5. Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, Cet. VI, 1413 H/1993 M.
6. Fathu al-Qadir, Imam asy-Saukani t , Dar al-Ma’rifah, Beirut, tanpa tahun.
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVI/1434H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Dengan bahasa bebas, perkataan ini dinukil oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dalam Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, Cet. VI, 1413 H/1993 M, hlm. 37, tentang Itsbat as-Sam’i wa al-Bashari Lillâh l . Lihat pula Fathu al-Qadir, Imam asy-Saukani rahimahullah, Dar al-Ma’rifah, Beirut, tanpa tahun IV/528, tafsir Surah asy-Syûra/42:11.
[2]. Perhatikan pengertian demikian dalam Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam, III/9.
[3]. Ibid. III/10-16. Perhatikan juga Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, Imam Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafi, tahqîq : Jama’ah min al-‘Ulama, takhrîj : Syaikh al-Albani, al-Maktab al-Islamiy, 1430 H/2009 M, terbitan khusus dari Wizarah al-Auqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah, Qatar, hal. 99 dst, di bawah sub judul: Qauluhu: wa lâ Syai’a Mitsluhu
[4]. Lihat misalnya, Taqrib at-Tadmuriyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t, takhrîj: Sayyid bin Abbas al-Julaimiy, Maktabah as-Sunnah, Cet. I, 1413 H/1992 M, hlm. 87. Lihat pula Ar-Risalah at-Tadmuriyah, Mujmal I’tiqad as-Salaf, Penerbit: Kulliyyatu asy-Syari’ah, Jami’atu al-Imam, Riyadh, tanpa tahun, al-Qa’idah as-Sadisah, hlm. 73.
[5]. Lihat Taqrib at-Tadmuriyah, 22, juga Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam, III/10-16]