JUM'AT, 26 Ramadhan 1437 H / 01 Juli 2016 M / 06:39 WIB
BAHASAN SIRAH NABI
PERANG BADAR JILID2
Pada akhir Perang Uhud yang mengakibatkan banyak kaum Muslimin gugur sebagai syahid, panglima perang Quraisy, yaitu Abu Sufyân sebelum meninggalkan arena pertempuran, ia sempat berkoar-koar dan melontarkan tantangan, “Tahun depan kita bertempur (lagi) di Badar (Shafra'[1] )!” Mendengar tantangan ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh salah seorang Sahabat untuk menjawab tantangan tersebut dan menyanggupinya.[2]
Badr Shafra’ adalah sebuah tempat pasar musiman yang biasanya berlangsung sejak awal Dzulqa’dah sampai tanggal tanggal 8.
Ketika masa yang dijanjikan hampir tiba, Abu Sufyân merasa berat untuk mendatangi tempat yang telah disepakati itu dan juga dia berharap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memenuhi janjinya. Meski demikian, Abu Sufyân tetap ingin melancarkan psywar untuk melemahkan mental kaum Muslimin. Dia terus menunjukkan sikap yang seakan-akan ingin sekali menyerang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengerahkan pasukan dalam jumlah besar. Sikap ini terus ditunjukkan di hadapan publik, sehingga kabar ini sampai juga ke Madinah. Bahkan dia rela membayar Nu’aim bin Mas’ûd al-Asyja’i [3] yang sedang umrah ke Mekah dengan 20 ekor unta untuk menebar berita persiapan kaum Quraisy dalam rangka menyerang kaum Muslimin. Tujuan mereka tentu untuk menjatuhkan mental kaum Muslimin sehingga mereka enggan berangkat berperang bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tidak keluar, berarti kaum Quraisy punya alasan untuk tidak keluar juga.
Ketika kembali ke Madinah, Nu’aim melaksanakan misinya di tengah kaum Muslimin. Dia berusaha menyebar berita ini ke tengah kaum Muslimin, sehingga di antara mereka ada yang terpengaruh. Kondisi ini tentu sangat menggembirakan kaum munafik. Sampai akhirnya, kabar ini terdengar oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir tidak ada Sahabat yang mau dimobilisasi ke Badar. Meski demikian, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bertekad untuk memenuhi janjinya, walaupun harus berangkat seorang diri. Namun akhirnya, Allâh menghilangkan rasa takut ini dari hati kaum Muslimin dan siap menghadapi pasukan Quraisy [4].
MENUJU BADAR
Janji dan tantangan inilah yang mendorong Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memobilisasi pasukan dan berangkat menuju Badar pada bulan Sya’bân[5] tahun ke-4 Hijriyah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat bersama 1500 personil dengan 10 pasukan berkuda. Bendera perang diserahkan kepada ‘Ali bin Abu Thâlib Radhiyallahu anhu dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan ‘Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu anhu sebagai wakil beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah selama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di medan pertempuran[6]. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Badar selama 8 hari menunggu kedatangan pasukan musuh. Sementara itu, pasukan Quraisy yang berjumlah 2000 personil dan 50 pasukan berkuda di bawah komando Abu Sufyan sudah bergerak meninggalkan Mekah menuju Badar. Ketika sampai di Zahrân, sekitar 40 km dari Mekah, tiba-tiba Abu Sufyân meminta pasukannya untuk kembali ke Mekah dengan alasan waktunya tidak pas untuk bertempur karena sedang musim kemarau. Lalu mereka kembali ke Mekah. Sehingga akhirnya, dalam peristiwa ini tidak terjadi kontak senjata.
Setelah 8 hari berlalu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukan kembali ke Madinah. Peristiwa mangkirnya pasukan Quraisy dari janji mereka mempunyai pengaruh besar dalam mengembalikan jiwa besar kaum Muslimin setelah mengalami peristiwa pahit dalam perang Uhud tahun sebelumnya.
Peristiwa ini dikenal dengan beberapa nama yaitu Badar al-mau’id (Badar tempat yang direncanakan sebagai arena perang), Perang Badar kedua, Perang Badar terakhir dan Perang Badar Shugra (Kecil).[7]
PERANG DUMATUL JANDAL
Setelah 8 hari di Badar, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah. Kondisi Madinah kala itu dalam keadaan aman tenteram. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai berpikir untuk menyebarkan dakwah ke sekitar Madinah. Enam bulan pasca Perang Badar jilid 2, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar kabar bahwa beberepa kabilah di sekitar Dûmatul Jandal –suatu daerah dekat Syam, yang berjarak 15 hari perjalanan dari Madinah- sering mengganggu dan merampok siapa saja yeng melewati daerah mereka, padahal di sana ada pusat perdagangan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang termasuk para pedagang dari Arab. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mendengar bahwa para pengacau ini mulai memobilisasi anggota mereka dalam jumlah besar untuk bergerak dan menyerang Madinah. Demi mendengar berita ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meresponnya dengan mengerahkan pasukan yang berjumlah seribu personil. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Sibâ’ bin ‘Urfuthah al-Ghifâri sebagai wakil beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Dalam perjalanan kali ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Madzkur dari Bani ‘Uzdrah sebagai penunjuk jalan[8]. Ia adalah seorang petunjuk jalan yang mengerti betul jalan pintas dan rahasia menuju daerah Dûmatul Jandal.
Jumhur ulama ahli sirah sepakat bahwa peristiwa ini terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ke-5 Hijrah, tepat 5 hari terakhir bulan Rabi’ul Awwal, bulan ke-49 sejak hijrah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah.
Dalam peristiwa kali ini, juga tidak sempat terjadi kontak senjata. Karena ketika mendengar kehadiran pasukan kaum Muslimin, para pengacau itu lari ketakutan meninggalkan kampung halaman mereka. Sehingga ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Dûmatul Jandal, daerah tersebut lengang. Dan kebiasaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika berhasil menaklukkan suatu wilayah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menginap di tempat itu selama beberapa malam. Begitu juga ketika berhasil menguasai Dûmatul Jandal, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di sana selama beberapa malam sambil menyebar pasukannya untuk mencari jejak musuh. Namun, tidak ada yang bisa menemukan jejak mereka kecuali pasukan di bawah pimpinan Muhammad bin Maslamah yang berhasil menangkap salah seorang dari mereka. Orang ini kemudian ditawari agar memeluk agama Islam. Dia menerima tawaran tersebut, lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah.
PELAJARAN DARI KISAH DI ATAS
Dari kisah di atas, kita bisa mengambil pelajaran betapa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam punya tekad yang kuat untuk menepati janji meski dalam kondisi sulit. Karena mengingkari janji adalah sifat orang munafik. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
Ada empat sifat, jika (keempat) sifat ini ada pada diri seseorang berarti dia munafik sejati. Barangsiapa memiliki sebagiannya berarti dia memiliki sebagian sifat munafik sampai dia meninggalkan sifat itu; (yaitu) jika dipercaya dia khianat, jika berbicara dia berbohong, jika berjanji dia ingkar, dan jika bertikai, dia berlaku curang [HR. al-Bukhâri dan Muslim]
Maraji’ :
1. ar-Rahîqul Makhtûm
2. Fiqhus sirah Min Zâdil Ma’âd
3. Subulul Huda war Rasyâd fi Sîrati Khairil ‘Ibâd, Imam Muhammad bin Yûsuf ash-Shâlihi
4. as-Sîratun Nabawiyyah fi Dhau’il Mashâdirl Ashliyyah
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]
Footnote
Badr Shafra’ adalah sebuah tempat pasar musiman yang biasanya berlangsung sejak awal Dzulqa’dah sampai tanggal tanggal 8.
Ketika masa yang dijanjikan hampir tiba, Abu Sufyân merasa berat untuk mendatangi tempat yang telah disepakati itu dan juga dia berharap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memenuhi janjinya. Meski demikian, Abu Sufyân tetap ingin melancarkan psywar untuk melemahkan mental kaum Muslimin. Dia terus menunjukkan sikap yang seakan-akan ingin sekali menyerang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengerahkan pasukan dalam jumlah besar. Sikap ini terus ditunjukkan di hadapan publik, sehingga kabar ini sampai juga ke Madinah. Bahkan dia rela membayar Nu’aim bin Mas’ûd al-Asyja’i [3] yang sedang umrah ke Mekah dengan 20 ekor unta untuk menebar berita persiapan kaum Quraisy dalam rangka menyerang kaum Muslimin. Tujuan mereka tentu untuk menjatuhkan mental kaum Muslimin sehingga mereka enggan berangkat berperang bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tidak keluar, berarti kaum Quraisy punya alasan untuk tidak keluar juga.
Ketika kembali ke Madinah, Nu’aim melaksanakan misinya di tengah kaum Muslimin. Dia berusaha menyebar berita ini ke tengah kaum Muslimin, sehingga di antara mereka ada yang terpengaruh. Kondisi ini tentu sangat menggembirakan kaum munafik. Sampai akhirnya, kabar ini terdengar oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir tidak ada Sahabat yang mau dimobilisasi ke Badar. Meski demikian, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bertekad untuk memenuhi janjinya, walaupun harus berangkat seorang diri. Namun akhirnya, Allâh menghilangkan rasa takut ini dari hati kaum Muslimin dan siap menghadapi pasukan Quraisy [4].
MENUJU BADAR
Janji dan tantangan inilah yang mendorong Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memobilisasi pasukan dan berangkat menuju Badar pada bulan Sya’bân[5] tahun ke-4 Hijriyah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat bersama 1500 personil dengan 10 pasukan berkuda. Bendera perang diserahkan kepada ‘Ali bin Abu Thâlib Radhiyallahu anhu dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan ‘Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu anhu sebagai wakil beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah selama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di medan pertempuran[6]. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Badar selama 8 hari menunggu kedatangan pasukan musuh. Sementara itu, pasukan Quraisy yang berjumlah 2000 personil dan 50 pasukan berkuda di bawah komando Abu Sufyan sudah bergerak meninggalkan Mekah menuju Badar. Ketika sampai di Zahrân, sekitar 40 km dari Mekah, tiba-tiba Abu Sufyân meminta pasukannya untuk kembali ke Mekah dengan alasan waktunya tidak pas untuk bertempur karena sedang musim kemarau. Lalu mereka kembali ke Mekah. Sehingga akhirnya, dalam peristiwa ini tidak terjadi kontak senjata.
Setelah 8 hari berlalu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukan kembali ke Madinah. Peristiwa mangkirnya pasukan Quraisy dari janji mereka mempunyai pengaruh besar dalam mengembalikan jiwa besar kaum Muslimin setelah mengalami peristiwa pahit dalam perang Uhud tahun sebelumnya.
Peristiwa ini dikenal dengan beberapa nama yaitu Badar al-mau’id (Badar tempat yang direncanakan sebagai arena perang), Perang Badar kedua, Perang Badar terakhir dan Perang Badar Shugra (Kecil).[7]
PERANG DUMATUL JANDAL
Setelah 8 hari di Badar, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah. Kondisi Madinah kala itu dalam keadaan aman tenteram. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai berpikir untuk menyebarkan dakwah ke sekitar Madinah. Enam bulan pasca Perang Badar jilid 2, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar kabar bahwa beberepa kabilah di sekitar Dûmatul Jandal –suatu daerah dekat Syam, yang berjarak 15 hari perjalanan dari Madinah- sering mengganggu dan merampok siapa saja yeng melewati daerah mereka, padahal di sana ada pusat perdagangan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang termasuk para pedagang dari Arab. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mendengar bahwa para pengacau ini mulai memobilisasi anggota mereka dalam jumlah besar untuk bergerak dan menyerang Madinah. Demi mendengar berita ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meresponnya dengan mengerahkan pasukan yang berjumlah seribu personil. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Sibâ’ bin ‘Urfuthah al-Ghifâri sebagai wakil beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Dalam perjalanan kali ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Madzkur dari Bani ‘Uzdrah sebagai penunjuk jalan[8]. Ia adalah seorang petunjuk jalan yang mengerti betul jalan pintas dan rahasia menuju daerah Dûmatul Jandal.
Jumhur ulama ahli sirah sepakat bahwa peristiwa ini terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ke-5 Hijrah, tepat 5 hari terakhir bulan Rabi’ul Awwal, bulan ke-49 sejak hijrah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah.
Dalam peristiwa kali ini, juga tidak sempat terjadi kontak senjata. Karena ketika mendengar kehadiran pasukan kaum Muslimin, para pengacau itu lari ketakutan meninggalkan kampung halaman mereka. Sehingga ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Dûmatul Jandal, daerah tersebut lengang. Dan kebiasaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika berhasil menaklukkan suatu wilayah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menginap di tempat itu selama beberapa malam. Begitu juga ketika berhasil menguasai Dûmatul Jandal, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di sana selama beberapa malam sambil menyebar pasukannya untuk mencari jejak musuh. Namun, tidak ada yang bisa menemukan jejak mereka kecuali pasukan di bawah pimpinan Muhammad bin Maslamah yang berhasil menangkap salah seorang dari mereka. Orang ini kemudian ditawari agar memeluk agama Islam. Dia menerima tawaran tersebut, lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah.
PELAJARAN DARI KISAH DI ATAS
Dari kisah di atas, kita bisa mengambil pelajaran betapa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam punya tekad yang kuat untuk menepati janji meski dalam kondisi sulit. Karena mengingkari janji adalah sifat orang munafik. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
Ada empat sifat, jika (keempat) sifat ini ada pada diri seseorang berarti dia munafik sejati. Barangsiapa memiliki sebagiannya berarti dia memiliki sebagian sifat munafik sampai dia meninggalkan sifat itu; (yaitu) jika dipercaya dia khianat, jika berbicara dia berbohong, jika berjanji dia ingkar, dan jika bertikai, dia berlaku curang [HR. al-Bukhâri dan Muslim]
Maraji’ :
1. ar-Rahîqul Makhtûm
2. Fiqhus sirah Min Zâdil Ma’âd
3. Subulul Huda war Rasyâd fi Sîrati Khairil ‘Ibâd, Imam Muhammad bin Yûsuf ash-Shâlihi
4. as-Sîratun Nabawiyyah fi Dhau’il Mashâdirl Ashliyyah
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]
Footnote
[1]. Subulul Huda war Rasyâd fi Sîrati Khairil ‘Ibâd, Imam Muhammad bin Yûsuf ash-Shâlihi, 4/478
[2]. Ibnu Hisyâm, 2/94. Lihat, ar-Rahîqul Makhtûm, hlm. 220
[3]. Setelah peristiwa itu, Nu’aim masuk islam.
[4]. Subulul Huda war Rasyad fi Sîrati Khairil ‘Ibâd, Imam Muhammad bin Yusuf ash-Shalihi, 4/478
[5]. Ini menurut Ibnu Ishâq dengan riwayat yang mu’allaq, dalam sirah Ibnu Hisyâm (3/292), sedangkan menurut al-Wâqidi dan Ibnu Sa’ad, juga dengan riwayat yang mu’allaq, peristiwa itu terjadi pada bulan Dzulqa’dah. Dalam hal ini, jika al-Wâqidi tidak membawakan sanadnya, maka pendapat Ibnu Ishâq lebih diutamakan daripada pendapat al-Wâqidi dan Ibnu Sa’ad, namun al-Wâqidi membawakan sanadnya, maka pendapat al-Wâqidi lebih diutamakan.
[6]. Fiqhus sirah Min Zâdil Ma’âd, hlm. 221
[7]. ar-Rahîqul Makhtûm, hlm. 238
[8]. ar-Rahîqul Makhtûm, hlm. 238