JUM'AT, 26 Ramadhan 1437 H / 01 Juli 2016 M / 07:41 WIB
BAHASAN : SIRAH NABI
PERANG BANI MUSHTALIQ ATAU MURAISI
Para ahli sirah sepakat bahwa Bani Musthaliq adalah bagian dari kabilah Bani Khuza’ah yang memiliki hubungan persaudaraan dengan Aus dan Khazraj di Madinah. Bani Musthaliq bertempat tinggal di daerah Qudaid dan Asafân yang merupakan wilayah tengah daerah kabilah Bani Khuza’ah yang membentang di sepanjang jalur Makkah dan Madinah mulai dari Marraz Zahran sampai al-Abwa’. Sebuah posisi yang strategis bagi dua pihak yang sedang berseteru yaitu pihak Quraisy dan pihak Kaum Muslimin. Bani Khuza’ah memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslimin, meskipun kesyirikan masih mengakar di tengah mereka dan jarak mereka ke Makkah lebih dekat bila dibandingkan jarak mereka ke Madinah. Diantara penyebab kentalnya suasana kesyirikan di Bani Khuza’ah yaitu adanya berhala Manat di tengah mereka. Berhala ini termasuk diantara berhala yang ramai dikunjungi oleh orang arab pada musim haji. Kedatangan banyak orang untuk berziarah ke wilayah mereka mendatangkan keuntungan materi bagi Bani Khuzâ’ah, disamping “keuntungan” yang bersifat non-materi. Kondisi ini ditengarai menjadi salah satu penyebab keterlambatan mereka dalam memeluk Islam, sebagaimana kondisi Makkah.
Sikap bermusuhan terhadap kaum Muslimin mulai diperlihatkan oleh Bani Khuzâ’ah ketika bergabung dengan pasukan dalam perang Uhud.
PENYEBAB PEPERANGAN
Peperangan ini disulut oleh kabar yang sampai kepada Rasûlullâh bahwa Bani Musthaliq di bawah pimpinan Hârits bin Dhirar tengah menyusun rencana untuk menyerang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keberanian kaum kuffar terhadap kaum Muslimin tidak terlepas dari peristiwa pahit yang menimpa kaum Muslimin dalam perang Uhud.
Mendengar berita ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera mengirim Buraidah bin al-Hashîb al-aslami untuk mengecek kebenaran berita ini. Buraidah Radhiyallahu anhu berangkat menjalankan misi penuh resiko ini. Sesampainya di daerah lawan, Buraidah Radhiyallahu anhu melakukan penyamaran dan menyelinap di tengah Bani Musthaliq. Sikap inilah yang mempermudahnya untuk mengetahui kebenaran berita rencana penyerangan itu. Setelah dirasa cukup, Buraidah Radhiyallahu anhu bergegas kembali Madinah lalu menyampaikan apa yang dia ketahui kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. berdasarkan informasi Buraidah Radhiyallahu anhu ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memobilisasi para shahabatnya untuk bergerak menuju Bani Musthaliq. Kala itu, jumlah pasukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 700 pasukan dan 30 pasukan berkuda.
PERISTIWA PERANG BANI MUSHTHALIQ
Mendengar berita ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera mengirim Buraidah bin al-Hashîb al-aslami untuk mengecek kebenaran berita ini. Buraidah Radhiyallahu anhu berangkat menjalankan misi penuh resiko ini. Sesampainya di daerah lawan, Buraidah Radhiyallahu anhu melakukan penyamaran dan menyelinap di tengah Bani Musthaliq. Sikap inilah yang mempermudahnya untuk mengetahui kebenaran berita rencana penyerangan itu. Setelah dirasa cukup, Buraidah Radhiyallahu anhu bergegas kembali Madinah lalu menyampaikan apa yang dia ketahui kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. berdasarkan informasi Buraidah Radhiyallahu anhu ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memobilisasi para shahabatnya untuk bergerak menuju Bani Musthaliq. Kala itu, jumlah pasukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 700 pasukan dan 30 pasukan berkuda.
PERISTIWA PERANG BANI MUSHTHALIQ
Para Ulama ahli sejarah berbeda pendapat tentang tahun berapa peristiwa ini berlangsung ? Yang râjih (pendapat terkuat), peristiwa ini terjadi pada hari senin awal bulan sya’ban tahun 5 Hijriyah.[1] Rasûlullâh dan para shahabat beliau yang terdiri kaum anshar dan muhajirin mulai bergerak meninggalkan Madinah. Dan sebagai pengganti beliau selama tidak ada di Madinah, beliau memilih Zaid bin Hâritsah Radhiyallahu anhu, ada yang mengatakan Abu Dzar dan ada juga yang Numailah bin Abdullah al-Laitsi.[2]
Karena Bani Mushthaliq termasuk kelompok masyarakat yang sudah sampai kepada mereka dakwah Islam dan mereka juga sudah ikut ambil bagian dalam perang Uhud dengan bergabung dipihak kuffâr Quraisy serta telah menyusun rencana untuk menyerang kaum Muslimin di Madinah, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan untuk menyerang mereka secara mendadak, tanpa memberikan warning terlebih dahulu. Imam Bukhâri dan Imam Muslim membawakan sebuah riwayat yang menyatakan :
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَغَارَ عَلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ وَهُمْ غَارُّونَ وَأَنْعَامُهُمْ تُسْقَى عَلَى الْمَاءِ فَقَتَلَ مُقَاتِلَتَهُمْ وَسَبَى ذَرَارِيَّهُمْ وَأَصَابَ يَوْمَئِذٍ جُوَيْرِيَةَ
Sesungguhnya Rasûlullâh menyerang bani Mushthaliq secara mendadak saat mereka sedang lalai sementara ternak-ternak sedang diberi minum, sehingga pasukan mereka terbunuh dan keluarga mereka ditahan. Termasuk diantara yang tertawan ketika itu adalah Juwairiyah (putri Harits bin Dirar)
Peristiwa penyerangan ini terjadi di dekat telaga al-Muraisi. Oleh karena itu, peperangan ini disebut juga perang al-Muraisi.
Al-Waqidi rahimahullah menyebutkan bahwa kaum Muslimin berhasil membunuh 10 orang Bani Musthaliq di dekat sumur itu dan menawan 200 keluarga lainnya yang tertangkap di sana beserta 2000 unta dan 5000 kambing. Sementara Ibnu Ishâq menyebutkan versi lain, yang tertawan 100 keluarga. Mendengar kabar penyerangan yang dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, al-Hârits bin Dhirar dan para sekutunya sangat ketakutan, apalagi setelah mengetahui bahwa mata-mata mereka gagal melakukan misinya. Akhirnya mereka lari, mereka lebih memilih menyelamatkan diri daripada berhadapan kaum Muslimin. Dan itulah akhir dari perang melawan Bani Musthaliq atau perang al-Muraisi.
Setelah dipastikan kemenangan ada di pihak kaum Muslimin, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi ghanimah yang diproleh kaum Muslimin dalam peperangan itu. Juwairiyah, putri al-Hârits bin Dhirar yang merupakan salah satu tawanan perang menjadi bagian Tsâbit bin Qais Radhiyallahu anhu. Tsâbit Radhiyallahu anhu kemudian bersedia membebaskan Juwairiyah tapi dengan syarat membayar sejumlah harta sebagai tebusan. Tebusan ini kemudian dilunasi oleh Rasûlullâh lalu beliau menikahi Juwairiyyah. Efek dari peristiwa ini dirasakan langsung oleh Bani Musthaliq yang menjadi tawanan perang kala itu. Karena setelah Juwairiyah resmi dinikahi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 100 keluarga Bani Musthaliq yang menjadi tawanan dibebaskan oleh kaum Muslimin karena dianggap sebagai saudara ipar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
DIANTARA PERISTIWA PENTING TERKAIT PERANG BANI MUSHTHALIQ
Dalam peperangan ini seorang kaum Muslimin yang berasal dari Bani Kalb bin ‘Auf yang bernama Hisyâm bin Shabâbah Radhiyallahu anhu, saudara dari Maqis bin Shubâbah menjadi korban salah sasaran di tengah pertempuran. Beliau Radhiyallahu anhu dikira musuh oleh salah seorang shahabat dari kalangan Anshar yang membunuhnya. Kematian Hisyâm menimbulkan dendam membara di hati saudaranya yang bernama Maqîs. Maqîs berangkat dari Makkah menuju Madinah untuk menuntut balas. Dia datang dengan berpura-pura telah memeluk Islam lalu menuntut diyat (denda) atas kematian saudaranya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar diyatnya dibayar, maka diyat dibayarkan dan diserahkan kepada Maqîs. Namun karena tujuannya membalas dendam bukan diyat, maka dia masih menetap di Madinah sambil mencari kesempatan untuk melampiaskan dendamnya. Sehingga ketika kesempatan itu ada, dia tidak menyia-nyiakannya. Setelah berhasil membunuh shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membunuh saudaranya, Maqîs lari ke Makkah dan kembali lagi ke agama nenek moyangnya. Orang ini akhirnya juga mati pada saat penaklukkan kota Makkah. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar dia dibunuh.
PELAJARAN DARI KISAH
1. Keharusan mengecek kebenaran berita sebelum direspon. Dalam kisah diatas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan shahabat beliau Buraidah Radhiyallahu anhu untuk mengecek kebenaran berita rencana penyerangan Bani Musthaliq terhadap kaum Muslimin
2. Disyari’atkan pembagian ghanimah.
(Diangkat dari as-siratun Nabawiyah fi Dhau’il Mashadiril Ashliyyah dengan sedikit tambahan dari Zaadul Ma’ad dan as-siratun Nabawiyah as-shahihah)
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]
Footnote
[1]. Pendapat ini disampaikan oleh Musa bin Uqbah Radhiyallahu anhu dari gurunya az-Zuhri dari Urwah. Lihat Bidayah wan Nihayah, 4/176 dan 3/265; as-Sunanul Kubra, Baihaqi, 9/54. Dalam sanadnya ada Ibnu Luhai’ah bukan dari jalur abadilah dan ada juga Muhammad bin Fulaih seorang perawi shaduq yuham (yang jujur tapi tertuduh). Pendapat Musa bin Uqbah ini juga dikeluarhkan oleh al-Hakim dan Abu Sa’id sebagaimana dalam al-Fath (15/318, Kitab al Maghazi, bab Ghazwatu bani Mushthaliq). Adapun pendapat yang dinukil oleh Imam Bukhari bahwa Musa bin Uqbah mengatakan peristiwa ini terjadi pada tahun ke-4 itu adalah sebuah kekeliruan dalam penulisan, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu hajar (al-fath, 15/318)
[2]. Zadul ma’ad 3/257
[3]. Ghanimah adalah harta rampasan perang. (lihat al Mu’jamul Wasith)