Rabu, 10 Februari 2021

Terpeliharanya Darah Seorang Muslim

TERPELIHARANYA DARAH SEORANG MUSLIM

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَال: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ((لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ : الثَّيِّبُ الـزَّانِيْ ، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ ، وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْـمُـفَارِقُ لِلْجـَمَاعَةِ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak halal darah seorang muslim, kecuali karena salah satu dari tiga hal: orang yang berzina padahal ia sudah menikah, membunuh jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari jama’ah (kaum muslimin)’.” [HR al-Bukhâri dan Muslim]

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 6878), Muslim (no. 1676), Ahmad (I/382, 428, 444), Abu Dâwud (no. 4352), at-Tirmidzi (no. 1402), an-Nasâ`i (VII/90-91), ad-Dârimi (II/218), Ibnu Mâjah (no. 2534), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 28358), Ibnu Hibbân (no. 4390, 4391, 5945 dalam at-Ta’liqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân).

SYARAH HADITS

Pada asalnya darah seorang muslim haram untuk ditumpahkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

… فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا، فِيْ بَلَدِكُمْ هَذَا، لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ …

… Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian, kehormatan kalian, haram atas kalian seperti terlarangnya di hari ini, bulan ini dan negeri ini. Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir…. [1]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ.

Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.[2]

Dari Buraidah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَتْلُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْيَا.

Dosa membunuh seorang mukmin lebih besar daripada hancurnya dunia[3]

Bahkan darah seorang muslim lebih mulia daripada Ka’bah yang mulia[4]

Adapun pembunuhan karena salah satu dari ketiga hal tersebut dalam hadits di atas yang kita bahas, telah disepakati kaum muslimin. Ketiga hal tersebut (yang disebutkan dalam hadits di atas) adalah hak Islam, di mana menjadi halal dengannya darah seorang yang bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Pertama.
 الثَّيِّبُ الـزَّانِيْ (orang yang telah menikah lalu berzina). 
 
Kaum muslimin telah ijma’ (bersepakat) bahwa hadd (hukuman)nya ialah dirajam sampai mati. Karena, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah merajam Mâ’iz dan wanita al-Ghamidiyyah Radhiyallahu anhuma.[5]

Dalam Al-Qur`ân yang teksnya telah dinasakh (dihapus) disebutkan, Jika laki-laki tua dan wanita tua berzina, rajamlah keduanya dengan tegas sebagai hukuman dari Allah, dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.”[6]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengambil hukum rajam dari firman Allah Ta’ala:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ ۚ قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ

Wahai Ahlul Kitab! Sungguh, Rasul telah datang kepadamu, menjelaskan banyak hal dari (isi) kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula) yang dibiarkannya. Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menjelaskan. [al-Mâ`idah/5:15].

Beliau berkata, “Barang siapa tidak mempercayai hukum rajam, dia kafir terhadap Al-Qur`ân tanpa dia sadari”. Setelah itu Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma membacakan ayat di atas. Beliau melanjutkan, “Hukum rajam termasuk hal-hal yang disembunyikan Ahlul Kitab”.[7]

Hukum rajam juga diambil dari firman Allah Ta’ala:

إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا

Sungguh, Kami menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para Nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi… [al-Mâ`idah/5:44].

Sampai pada firman Allah,

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ

Dan hendaklah engkau memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah… [al-Mâ`idah/5:49].[8]

Diriwayatkan dari al-Barâ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu tentang kisah dirajamnya dua orang Yahudi. Al-Barâ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu berkata dalam haditsnya, “Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat,

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ

Wahai Rasul (Muhammad)! Janganlah engkau disedihkan karena mereka berlomba-lomba dalam kekafiran…- al-Mâ`idah/5 ayat 41- dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

…Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir. – al-Mâ`idah/5 ayat 44. Allah Ta’ala menurunkan ayat-ayat tersebut tentang seluruh orang kafir”.[9]

Pada awalnya, Allah Ta’ala memerintahkan penahanan wanita-wanita yang berzina hingga mereka mati atau Allah memberi jalan keluar bagi mereka, kemudian Allah memberi jalan keluar bagi mereka.

Dalam Shahîh Muslim dari hadits ‘Ubâdah bin Shâmit , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

خُذُوْا عَنِّيْ ، خُذُوْا عَنِّيْ ،قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيْلًا : الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِئَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِئَةٍ وَالرَّجْمُ.

Ambillah dariku! Ambillah dariku! Sungguh, Allah telah memberikan jalan keluar bagi mereka (wanita-wanita yang berzina): jejaka dengan gadis dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun dan laki-laki yang telah menikah dengan wanita yang telah menikah dicambuk seratus kali dan dirajam.[10]

Ada sejumlah ulama mengambil tekstual hadits di atas dan mewajibkan cambuk 100 kali bagi tsayyib (laki-laki atau wanita yang telah menikah) kemudian dirajam, seperti yang dilakukan oleh ‘Ali bin Abi Thâlib terhadap Syurahah al-Hamdaniyyah.

‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu berkata, “Aku mencambuknya berdasarkan Kitabullaah dan merajamnya berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.[11] Dan beliau mengisyaratkan bahwa Al-Qur`ân menetapkan hukuman cambuk bagi semua pezina tanpa membedakan pelakunya sudah menikah atau belum.

Sedang Sunnah menetapkan hukum rajam bagi pezina yang telah menikah secara khusus, disamping beliau juga mengambil hukum dari Al-Qur`ân. Ini adalah pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad dan Ishâq, dan ini merupakan pendapat al-Hasan dan sebagian ulama Salaf.

Sejumlah ulama Salaf berkata, “Jika kedua pelaku zina adalah tsayyib (yang sudah menikah) yang sudah tua, keduanya dirajam dan dicambuk. Tetapi apabila masih muda, keduanya dirajam saja tanpa dicambuk karena dosa orang yang berusia lanjut itu lebih buruk, terutama dosa zina”. Ini adalah pendapat Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu anhu. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Ahmad dan Ishâq.[12]

Kedua.
 النَّفْسُ بِالنَّفْسِ (jiwa dengan jiwa).

Maksudnya ialah jika seorang mukallaf membunuh jiwa tanpa alasan yang benar dan disengaja, ia dibunuh karenanya. Al-Qur`ân telah menunjukkan akan hal ini melalui firman Allah Ta’ala,

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ

Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa… [al-Mâ`idah/5:45].

Dan Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَىٰ بِالْأُنْثَىٰ

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita… . [al-Baqarah/2:178].

Ada banyak pembunuhan yang dikecualikan dari firman Allah Ta’ala:

أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ

…nyawa (dibalas) dengan nyawa… [al-Mâ`idah/5:45].

Ada beberapa pembunuhan yang tidak diqishash (tidak dibalas bunuh), yaitu sebagai berikut:

1. Jika seorang ayah membunuh anaknya.

Jumhur ulama berpendapat bahwa ayah tidak dibunuh karena pembunuhannya terhadap anaknya sendiri. Ini diriwayatkan dengan shahîh dari ‘Umar Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ يُقْتَلُ الْوَالِدُ بِالْوَلَدِ.

Seorang ayah tidak boleh dibunuh dengan sebab membunuh ayahnya.[13]

Hadits tentang hal ini diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari banyak jalan dan pada sanad-sanadnya ada pembicaraan.

2. Jika orang merdeka membunuh budak.

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa orang merdeka yang membunuh budak tidak dibunuh karena pembunuhannya itu.

Para ulama telah bersepakat bahwa tidak ada qishash diantara para budak dan orang-orang merdeka dalam penderaan organ tubuh. Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala “nyawa (dibalas) dengan nyawa” – al-Mâ`idah/5 ayat 45-, ialah nyawa orang-orang merdeka, karena setelah ayat tersebut dilanjutkan dengan penyebutan qishash pada organ tubuh, yang hanya diberlakukan khusus untuk orang merdeka.[14] Wallahu a’lam.

3. Orang muslim membunuh orang kafir.

Jika yang dibunuh adalah kafir harbi (orang kafir yang memerangi kaum muslimin), maka ia tidak dibunuh (qishash) tanpa ada perbedaan pendapat di antara ulama. Karena tidak diragukan lagi membunuh kafir harbi itu dibolehkan. Jika yang dibunuh itu kafir dzimmi (orang kafir yang berada dalam lindungan Islam dengan membayar jizyah) dan kafir mu’ahad (orang kafir yang terikat perdamaian dengan kaum muslimin), maka jumhur ulama berpendapat bahwa orang muslim tidak dibunuh (tidak diqishash) karena membunuh orang-orang kafir seperti itu. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ.

Orang muslim tidak dibunuh karena membunuh orang kafir.[15]

Meskipun tidak dihukum bunuh, akan tetapi ada ancaman bagi orang yang membunuh kafir dzimmi atau mu’ahad dengan sengaja, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ قَتَلَ قَتِيْلاً مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا.

Barang siapa yang membunuh seorang dari ahli dzimmah, maka ia tidak akan mencium aroma Surga. Sesungguhnya aroma surga dapat tercium dari (jarak) perjalan 40 tahun.[16]

Adapun Laki-laki yang membunuh wanita, maka laki-laki dibunuh karena pembunuhannya terhadap wanita tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Telah shahîh bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membunuh seorang laki-laki Yahudi yang membunuh budak wanita.[17] Sebagian besar ulama berpendapat bahwa tidak ada sesuatu pun yang diserahkan kepada keluarga laki-laki itu. Wallahu a’lam.

Ketiga.
 وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ (Orang yang meninggalkan agama lagi memisahkan diri dari jama’ah [kaum musilimin])”

Maksudnya, orang yang meninggalkan Islam, murtad, dan meninggalkan jama’ah kaum muslimin. Termasuk meninggalkan Islam dan meninggalkan jama’ah kaum muslimin kendati mengakui dua kalimat syahadat dan mengklaim muslim, yaitu orang yang menolak salah satu rukun Islam, atau mencaci-maki Allah atau Rasul-Nya, atau kafir kepada sebagian malaikat atau sebagian nabi, atau sebagian kitab yang telah disebutkan dalam Al-Qur`ân padahal ia mengetahuinya. Hukuman orang yang murtad adalah dibunuh. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ.

Barang siapa menukar agamanya, bunuhlah dia.[18]

Ketentuan tersebut berlaku bagi laki-laki dan wanita. Jumhur ulama membedakan antara orang kafir asli dan orang yang masuk Islam, kemudian murtad. Mereka menjadikan kekafiran baru (murtad) lebih berat karena sebelumnya masuk Islam. Oleh karena itu, ia tetap dibunuh jika murtad, adapun penduduk kafir harbi ada yang tidak boleh dibunuh, seperti orang lanjut usia, orang sakit, dan orang buta, maka mereka tidak dibunuh dalam peperangan.

Orang yang murtad, ia dibunuh karena sifat yang ada padanya, yaitu meninggalkan agama dan memisahkan diri dari jama’ah. Jika ia kembali kepada agama Islam dan bersatu dengan jama’ah kaum muslimin, maka sifat yang menghalalkan darahnya itu telah hilang, dan hilang pula penghalalan darahnya itu. Wallahu a’lam. Dan lafazh hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya, kuat, dan keshahîhannya disepakati para ulama.

Ada hadits-hadits lain yang menjelaskan tentang bolehnya membunuh seorang muslim karena selain tiga hal di atas tsayyib (orang yang sudah menikah) yang berzina, pembunuh, dan orang yang murtad dari agamanya lagi meninggalkan jama’ah (kaum muslimin). Orang-orang yang boleh (halal) dibunuh oleh ulil amri dengan sebab pelanggaran syari’at, di antaranya:

1. Liwath (homoseksual/sodomi).

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ وَجَدْتُمُوْهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْـمَفْعُوْلَ بِهِ.

Apabila kalian mendapati orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homosexual/sodomi) maka bunuhlah pelaku dan objeknya.[19]

Pendapat tersebut dipegang oleh banyak ulama, di antaranya adalah Imam Mâlik dan Ahmad, mereka berkata: “Hadits itu mengharuskan pembunuhan dalam kondisi apa pun; baik telah menikah maupun belum menikah”.

2. Laki-laki yang menikahi wanita mahramnya.

Telah diriwayatkan perintah untuk membunuhnya. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membunuh laki-laki yang menikah dengan mantan istri ayahnya.[20] Pendapat ini dipegangi oleh sejumlah ulama, mereka mewajibkan pembunuhan orang tersebut, baik telah menikah maupun belum.

3. Tukang sihir.

Disebutkan dalam Sunan at-Tirmidzi, dari hadits Jundub secara marfu’:

حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبَةٌ بِالسَّيْفِ.

Hukuman bagi tukang sihir adalah pukulan dengan pedang (dibunuh).[21]

At-Tirmidzi rahimahullah menyebutkan bahwa yang benar hadits ini mauquf hanya kepada Jundub.

Ini adalah pendapat sejumlah ulama, di antara mereka adalah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Azîz, Mâlik, Ahmad, dan Ishaq. Tetapi mereka berkata: “Penyihir dianggap kafir karena sihirnya; jadi, hukum dirinya seperti hukum orang murtad”.[22]

4. Pembunuhan orang yang menggauli hewan.

Ada hadits marfu’ tentang hal ini, dan ini adalah pendapat sejumlah ulama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَتَى بَهِيْمَةً فَاقْتُلُوْهُ وَاقْتُلُوْهَا مَعَهُ.

Barang siapa menggauli hewan, maka bunuhlah ia dan hewan yang digaulinya itu.[23]

5. Orang yang meninggalkan shalat.

Menurut sebagian besar ulama, ia dibunuh, kendati mereka berkata “ia tidak kafir.” Pembahasan masalah ini panjang.

6. Peminum khamr pada kali keempat.

Perintah pembunuhannya diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalur yang banyak, diriwayatkan dari beberapa sahabat.[24] Ini adalah pendapat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma dan selainnya. Namun sebagian besar ulama berpendapat bahwa pembunuhan peminum khamr telah dihapus. Buktinya, diriwayatkan bahwa peminum khamr pada kali keempat didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun beliau tidak membunuhnya.

Diriwayatkan bahwa seseorang didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena meminum minuman keras lalu orang tersebut dilaknat seseorang sambil berkata, “Betapa seringnya orang ini didatangkan kepada beliau”. Nabi bersabda, “Engkau jangan melaknatnya, karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya”.[25] Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membunuh peminum khamr itu.

Sebenarnya hukum bunuh bagi pecandu khamr pada kali keempat tidak dimansûkh (tidak dihapus) sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syâkir dalam Ta’liq Musnad Imam Ahmad. Hukum bunuh ini termasuk ta’zir, diserahkan kepada ulil amri. Adapun dicambuk, maka ia tetap dicambuk setiap kali minum khamr.[26]

7. Pencuri pada kali kelima.

Maka dia dibunuh.[27] Ada yang mengatakan bahwa sebagian fuqaha’ berpendapat seperti itu.[28] Wallahu a’lam.

8. Khalifah sempalan.

إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ؛ فَاقْتُلُوا اْلآخَرَ مِنْهُمَا.

Apabila dua khalifah dibai’at, bunuhlah khalifah terakhir (kedua).[29]

9. Orang yang memecah-belah jama’ah kaum muslimin.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمْيْعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ، فَأَرَادَ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ ؛ فَاقْتُلُوْهُ. وَفِيْ رِوَايَةٍ : فَاضْرِبُوْهُ بِالسَّيْفِ كَائِنًا مَنْ كَانَ.

“Barang siapa datang kepada kalian, sedang ketika itu urusan kalian ada pada satu orang, kemudian ia ingin membelah tongkat kalian atau memecah-belah jama’ah kalian, maka bunuhlah ia.” Dalam riwayat lain: “Pukullah ia dengan pedang, siapa pun orangnya”.[30]

10. Orang yang menghunus pedang.

An-Nasâ`i meriwayatkan hadits dari Ibnuz Zubair Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ رَفَعَ السِّلاَحَ ثُمَّ وَضَعَهُ فَدَمُهُ هَدَرٌ.

Barang siapa menghunus pedang kemudian meletakkannya, maka darahnya tidak ada perhitungan (sia-sia).[31]

Imam Ahmad pernah ditanya tentang makna hadits ini, kemudian beliau menjawab: “Aku tidak tahu apa makna hadits tersebut”. Ishaaq bin Rahawaih berkata: “Yang dimaksud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ialah seseorang yang menghunus pedang, kemudian meletakkannya kepada manusia hingga ia membunuh mereka tanpa bertanya kepada salah seorang dari mereka. Dengan begitu, pembunuhan dirinya dihalalkan”. Itu pendapat al-Haruriyyah yang membunuh kaum laki-laki, wanita, dan anak-anak. Wallahu a’lam.

11. Orang yang memata-matai kaum muslimin untuk kepentingan orang kafir.

Imam Ahmad memilih tawaqquf (tidak berpendapat tentang ini). Sejumlah sahabat Mâlik dan Ibnu ‘Aqil dari sahabat-sahabat kami memperbolehkan pembunuhan mata-mata muslim jika memata-matai untuk orang kafir secara berulang-ulang. Mereka berhujjah dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Hâthib bin Abi Balta’ah yang menulis surat untuk penduduk Makkah. Di suratnya, Hâthib bin Abi Balta’ah memberitahukan kepada penduduk Makkah tentang keberangkatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka dan menyuruh mereka siap siaga. Oleh karena itu, ‘Umar bin al-Kahththâb Radhiyallahu anhu meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuh Hâthib bin Abi Balta’ah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ia mengikuti Perang Badar”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda, “Hâthib bin Abi Balta’ah tidak patut dibunuh karena perbuatannya,” namun beliau memberikan alasan yang membuatnya tidak boleh dibunuh, yaitu keikutsertaannya di Perang Badar dan ampunan Allah Ta’ala bagi seluruh Mujahidin Perang Badar. Dan alasan yang menghalangi pembunuhan tersebut tidak ada lagi pada orang selain Hâthib bin Abi Balta’ah.[32]

12. Orang yang mencaci-maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menghina beliau.

Para ulama sepakat bahwa orang itu harus dibunuh.[33]

- Ada hadits mursal[34] bahwa “Barang siapa memukul ayahnya, maka bunuhlah.” Tetapi riwayat ini tidak shahîh. Wallahu a’lam.[35]

- Demikian juga merampok di jalanan, apakah bisa menghalalkan darah atau tidak? Karena perampokan di jalan memicu pertumpahan darah yang diharamkan? Allah Ta’ala berfirman:

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا

…Barang siapa membunuh seseorang bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia… (Qs. al-Mâ`idah/5:32).

Menunjukkan bahwa pembunuhan jiwa diperbolehkan karena dua sebab: (1) pembunuhan jiwa, dan (2) membuat kerusakan di bumi. Termasuk dalam kategori membuat kerusakan di bumi, ialah memerangi Allah dan Rasul-Nya, murtad, dan zina, karena semua itu termasuk kerusakan di muka bumi. Begitu juga terus-menerus minum minuman keras, maka itu memicu pertumpahan darah yang diharamkan.

Para sahabat pada masa ‘Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu sepakat menghukum orang yang terus-menerus minum minuman keras dengan hukuman 80 cambukan. Mereka menjadikan mabuk (teler) sebagai pemicu kebohongan dan menuduh orang lain berzina yang menyebabkannya dicambuk 80 kali.

- Begitu juga jika seseorang menghina Al-Qur`ân, atau melemparkannya ke kotoran, atau menolak sesuatu yang telah diketahui secara pasti dalam agama, misalnya shalat, dan lain-lain, ia keluar dari agama dan dihukum. Apakah meninggalkan salah satu rukun Islam juga bisa diartikan meninggalkan agama? Apakah orang yang bersangkutan itu keluar dari agama secara total karena meninggalkan salah satu rukun Islam tersebut atau tidak? Ulama berbeda pendapat tentang orang yang meninggalkan salah satu dari rukun Islam, apakah ia telah keluar dari agama ataukah tidak? Wallahu a’lam.

- Termasuk dalam permasalahan ini ialah apa yang dikatakan para ulama tentang hukuman mati untuk orang-orang yang mengajak kepada bid’ah, karena perbuatan bid’ah mirip dengan keluar dari agama dan pengantar menuju kepadanya. Jika penyeru bid’ah merahasiakan diri dan tidak mengajak orang lain, ia seperti orang-orang munafik yang merahasiakan diri. Jika ia mengajak kepada bid’ah, dosanya amat berat karena ia merusak agama Islam.

Diriwayatkan dengan shahîh dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan untuk memerangi Khawarij dan membunuh mereka.[36]

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Khawarij. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa Khawarij kafir, jadi mereka dibunuh karena kekafiran mereka. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa Khawarij dibunuh karena ulah mereka membuat kerusakan di bumi dengan cara menumpahkan darah kaum muslimin dan mengkafirkan kaum muslimin. Ini pendapat Imam Mâlik dan sejumlah orang dari sahabat-sahabat kami. Para ulama yang berpendapat seperti itu membolehkan memulai memerangi Khawarij dan membunuh siapa saja di antara mereka yang terluka. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa jika Khawarij mengajak manusia kepada ajaran mereka, maka mereka diperangi dan jika mereka memperlihatkan ajaran mereka namun tidak mengajak manusia kepadanya, maka mereka tidak diperangi. Ini pendapat Imam Ahmad dan Ishâq. Pendapat tersebut didasari pada pembolehan memerangi orang-orang yang mengajak kepada bid’ah yang berat. Di antara ulama ada yang berpendapat untuk tidak memulai memerangi Khawarij hingga mereka sendiri yang memulai peperangan yang menyebabkan mereka boleh diperangi, misalnya mereka menumpahkan darah dan lain sebagainya, sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu. Ini pendapat Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan banyak sekali dari sahabat-sahabat kami.

Dari sini bisa dijadikan dalil tentang bolehnya membunuh ahli bid’ah jika pembunuhan dirinya bisa menghentikan kejahatannya terhadap kaum muslimin dan meredam bibit-bibit fitnah. Ibnu ‘Abdil Barr dan selainnya meriwayatkan dari madzhab Imam Mâlik yang membolehkan pembunuhan orang yang mengajak kepada bid’ah dan yang melakukan adalah ulil amri.[37]

FAWÂ`ID HADITS

1). Hadits ini menunjukkan tentang terjaganya kehormatan seorang muslim.

2). Haram dan terhormatnya darah seorang muslim. Dan ini adalah perkara yang disepakati berdasarkan dalil dari Al-Qur`ân, as-Sunnah, dan Ijma’.

3). Darah seorang muslim menjadi halal untuk ditumpahkan karena salah satu dari tiga keadaan berikut: (1). Orang yang sudah menikah lalu berzina, baik laki-laki maupun wanita maka hukumannya adalah dirajam sampai mati. (2). Orang yang membunuh orang lain dan syarat-syarat qishash telah terpenuhi padanya, maka ia dibunuh. (3). Orang yang memisahkan diri dari jama’ah kaum Muslimin, maka ia dibunuh karena telah murtad dari agama Islam.

4). Darah selain orang Islam itu halal untuk ditumpahkan selama ia bukan kafir mu’ahad, atau kafir musta`man, atau dzimmi. Apabila keadaan mereka adalah salah satu dari ketiga jenis kafir itu, maka darahnya tidak boleh ditumpahkan.

5). Baiknya metode pengajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau terkadang membawakan sabdanya itu dengan melakukan pembagian dalam satu masalah, karena pembagian tersebut dapat membatasi masalah dan menghimpunnya serta lebih mudah dan lebih cepat untuk dihapal dan sulit untuk dilupakan

6). Hadits ini menganjurkan umat Islam untuk berpegang teguh dengan jama’ah kaum Muslimin dan tidak boleh memisahkan diri dari mereka

7). Allah Ta’ala mensyari’atkan hudûd (hukum hadd) untuk mencegah, melindungi serta membentengi masyarakat dari berbagai tindak kejahatan.

8). Di dalam hadits ini terdapat ancaman dari membunuh jiwa yang diharamkan Allah Ta’ala.

9). Orang yang berzina padahal ia telah menikah, maka hukumannya dirajam (dilempari dengan batu) sampai mati.

10). Dibolehkannya qishash. Namun keluarga si korban boleh memilih antara ditegakkannya qishash atau memaafkan si pembunuh dengan membayar diyat atau memaafkannya tanpa harus membayar diyat.

11). Wajibnya membunuh orang murtad apabila ia tidak mau bertaubat.

12). Penegakan hadd adalah hak Ulil Amri atau orang yang diberikan wewenang olehnya.

MARAJI’:

Al-Qurân dan terjemahnya.
As-Sunanul-Kubra lin-Nasâ`i.
Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
Ghâyatul Marâm fî Takhrîji Ahâdîtsi al-Halâl wal Harâm.
Irwâ`ul Ghalîl fî Takhrîji Ahâdîtsi Manâris-Sabîl.
Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâ
Kutubus-Sab’ah.
Mushannaf, Ibni Abi Syaibah.
Mustadrak ‘alash-Shahîhain.
Qawâ’id wa Fawâ`id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthâ
Shahîh Ibni Hibbân dengan at-Ta’liqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân.
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
Sunan ad-Dârimi.
Syarah ‘Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
Tafsîr Ibni Jarîr ath-Thabari, dan kitab-kitab lainnya.

[Cerkiis.blogspot.com, artikel: almanhaj. Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

Footnote :

[1] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 67, 105, 1741) dan Muslim (no. 1679 (30)), dari Sahabat Abu Bakrah Radhiyallahu anhu.
[2] Shahîh. HR an-Nasâ`i (VII/82), dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Diriwayatkan juga oleh at-Tirmidzi (no. 1395). Hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan an-Nasâ`i dan lihat Ghâyatul- Marâm fî Takhrîj Ahâdîtsil-Halâl wal-Harâm (no. 439).
[3] Shahîh. HR an-Nasâ`i (VII/83), dari Buraidah. Dishahîhkan oleh al-Albâni dalam Shahîh Sunan an-Nasâ`i dan lihat Ghâyatul-Maram fî Takhrîj Ahâdîtsil-Halâl wal-Harâm (no. 439).
[4] Hasan: Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 3420), dihasankan oleh Syaikh al-Albâni.
[5] Shahîh. Shahîh al-Bukhâri (no. 6824), Shahîh Muslim (no. 1692, 1693, 1694, 1695), Sunan Abi Dawud (no. 4422, 4425, 4426, 4427,4431, 4442), dan Shahîh Ibni Hibbân (no. 4421, 4422 dalam at-Ta’lîqâtul-Hisân).
[6] Shahîh. HR an-Nasâ`i dalam as-Sunanul-Kubra (no. 7108, 7109, 7112), ‘Abdurrazzâq dalam al-Mushannaf (no. 13363), Ibnu Hibbân (no. 4411, 4412- at-Ta’liqâtul-Hisân), al-Hâkim (II/415), dan al-Baihaqi (VIII/211).
[7] Shahîh. Diriwayatkan oleh an-Nasâ`i dalam as-Sunanul-Kubra (no. 7124), Ibnu Hibbân (no. 4413 –at-Ta’liqâtul-Hisân), Ibnu Jarîr ath-Thabari dalam Tafsîr-nya (no. 11612, 11613), dan dishahîhkan oleh al-Hâkim (IV/359) dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[8] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/313).
[9] Shahîh. HR Muslim (no. 1700) dan Abu Dawud (no. 4448).
[10] Shahîh. HR Muslim (no. 1690) dan Ibnu Hibbân (no. 4408, 4409, 4410- at-Ta’lîqâtul Hisân).
[11] Shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (I/93), al-Hâkim (IV/364-365), al-Baihaqi (VIII/220), an-Nasâ`i dalam as-Sunanul-Kubra (no. 7102, 7103), dan asal hadits ini ada di Shahîh al-Bukhâri (no. 6812).
[12] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/314-315).
[13] Shahîh. HR. Ibnu Mâjah (no. 2662) dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ`ul Ghaliil (no. 2214).
[14] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/316).
[15] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 111, 1870, 3047, 3172, 3179, 6755, 6903, 6915, 7300), at-Tirmidzi (no. 1412), dan an-Nasâ`i (VIII/23-24) dari Sahabat ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu.
[16] Shahîh. HR Ahmad (II/186), al-Hâkim (II/126-127), al-Baihaqi dalam Sunannya (IX/205), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu nanhuma. Hadits ini dishahîhkan oleh al-Hâkim dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
[17] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2413, 2476, 5295, 6876, 6877, 6879, 6884, 6885) dan Muslim (no. 1672) dari Sahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu.
[18] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3017, 6922), Ahmad (I/217), Abu Dawud (no. 4351), at-Tirmidzi (no. 1458), an-Nasâ`i (VII/105), Ibnu Mâjah (no. 2535), dan Ibnu Hibbân (no. 4458 –at-Ta’lîqâtul-Hisân) dari Sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma.
[19] Shahîh. HR Ahmad (I/300), Abu Dawud (no. 4462), at-Tirmidzi (no. 1456), Ibnu Mâjah (no. 2561), Ibnul-Jârûd (no. 820), dan al-Hâkim (IV/355) beliau menshahîhkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ`ul Ghalîl (no. 2350).
[20] Shahîh. HR Ahmad (IV/295), Abu Dawud (no. 4457), at-Tirmidzi (no. 1362), Ibnu Majah (no. 2607), dan an-Nasâ`i (VI/119) dari al-Bara’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu.
[21] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1460), al-Hâkim (IV/360) dan ad-Daraquthni (III/114). Yang benar hadits ini mauquf sampai kepada Jundub Radhiyallahu anhu.
[22] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/321).
[23] Shahîh. HR Abu Dawud (no. 4464), at-Tirimidzi (no. 1454), Ibnu Majah (no. 2564), dan al-Baihaqi (VIII/233), dan al-Hâkim (IV/355) dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâul Ghalîl (no. 2348).
[24] Hasan shahîh. HR Ahmad (IV/93), Abu Dawud (no. 4482), at-Tirmidzi (no. 1444), Ibnu Mâjah (no. 2573) dishahihkan oleh Ibnu Hibbân dan al-Hâkim (IV/93) dari Sahabat Mu’âwiyah Radhiyallahu anhu.
[25] Shahîh. HR Al-Bukhâri (no. 6780) dan al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (X/337, no. 2606).
[26] Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (III/348) pembahasan hadits no. 1360.
[27] Hasan. HR Abu Dawud (no. 4410), an-Nasa-i (VIII/90-91), al-Baihaqi (VIII/272).
[28] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/322).
[29] Shahîh. HR Muslim (no. 1853) dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu.
[30] Shahîh. HR Muslim (no. 1852) dari Sahabat ‘Arjafah Radhiyallahu anhu .
[31] Shahîh. Diriwayatkan oleh an-Nasâ`i (VII/117) dan al-Hâkim (II/159) dari jalan Ma’mar bin Rasyid dari ‘Abdullah bin Thawus, dari ayahnya, darinya secara marfu’. Al-Hâkim berkata, “Shahîh berdasarkan syarat asy-Syaikhaini (al-Bukhâri dan Muslim),” dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali berkata dalam Iiqâzhul-Himâm, “(Derajatnya) seperti yang keduanya katakan.”
[32] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/320-325) dengan ringkas.
[33] Lihat bahasan khusus masalah ini dalam kitab ash-Shârimul-Maslûl ‘alâ Syâtimir-Rasûl karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh.
[34] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam al-Marâsil (no. 485) dari Abu Sa’id bin al-Musayyib.
[35] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/325).
[36] Shahîh. HR Ahmad (I/81, 113, 131), al-Bukhâri (no. 3611, 5057, 6930), Muslim (no. 1066), Abu Dawud (no. 4767), an-Nasâ`i (VII/119), dan Ibnu Hibbân (no. 6739) dari Sahabat ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu.
[37] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/328-329).