Minggu, 03 Juli 2016

Beberapa Peristiwa Pasca Perang Khaibar

Beberapa Peristiwa Pasca Perang Khaibar

BAHASAN : SIRAH NABI

BEBERAPA PERISTIWA PASCA PERANG KHAIBAR

KEDATANGAN MUHAJIRIN HABASYAH
Salah satu peristiwa penting yang mengiringi takluknya Khaibar adalah kedatangan Ja’far bin Abi Thalib beserta rombongan dari Habasyah (Ethiopia). al-Hâkim meriwayatkan dengan sanadnya dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, bahwa Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu bersua dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari penaklukan Khaibar. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecup kening Ja’far Radhiyallahu anhu dan memeluknya, seraya bersabda,

وَاللهِ مَا أَدْرِي بِأَيِّهِمَا أَنَا أَفْرَحُ: بِفَتْحِ خَيْبَرَ أَمْ بِقُدُومِ جَعْفَرٍ ؟

Demi Allâh, aku tidak tahu manakah yang membahagiakanku: takluknya Khaibar atau kedatangan Ja’far?[1]

Menurut Ibnu Ishâq, ada enam belas orang laki-laki yang semula bermukim di Habasyah. Di antaranya adalah Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, Khâlid bin Sa’id ibnul ash dan saudaranya, ‘Amru. Bersama mereka ada sejumlah kaum wanita, seperti Ummu Habîbah binti Abi Sufyan dan puterinya Radhiyallahu anhum, Habîbah binti Ubaidillah bin Jahsy; lalu Asma’ binti ‘Umeis istri Ja’far, dan lain-lain. Jumlah total mereka sekitar 27 orang.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sahabatnya yang bernama ‘Amru bin Umayyah Adh Dhamry Radhiyallahu anhuma ke Habasyah untuk menjemput mereka semua. Mereka lantas dipulangkan oleh Raja Najasyi dengan menggunakan dua kapal. Kemudian mereka semua datang menghadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Khaibar (168 Km sebelah timur laut kota Madinah).

Jumlah ini bukanlah jumlah seluruh sahabat yang hijrah ke Habasyah, karena ada di antara mereka yang pulang setelah perang Badar (tahun ke-2 H), atau pulang setelah kepulangan rombongan ini dengan tidak diangkut oleh Raja Najasyi, dan ada pula yang wafat di negeri Habasyah. Jumlah total mereka yang laki-laki menurut Ibnu Ishâq rahimahullah adalah 34 orang, sedangkan yang wanita 16 orang, belum termasuk anak-anak.[2]

Salah satu yang wafat di bumi Habasyah adalah Ubaidillah bin Jahsy, suami Ummu Habîbah binti Abi Sufyan Radhiyallahu anhuma. Awalnya ‘Ubaidillah ikut hijrah sebagai Muslim yang ingin memelihara agamanya, akan tetapi begitu tiba di Habasyah, ia beralih memeluk agama Nasrani dan mencemooh kaum Muslimin dengan mengatakan bahwa dirinya telah melihat, sedangkan mereka ibarat orang yang berusaha membuka matanya untuk bisa melihat. ‘Ubaidillah akhirnya wafat di Habasyah dalam keadaan murtad, wal ‘iyâdzu billâh.[3]

UMRAH QADHA’

Dalam banyak riwayat dijelaskan bahwa pada tahun ke-6 H, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan 1400 orang sahabatnya hendak melaksanakan umrah. Namun ketika mereka sampai di Hudaibiyah, mereka dihalangi oleh kaum musyrikin untuk memasuki Mekah. Sehingga terjadilah perjanjian yang terkenal dengan perjanjian Hudaibiyah[4].

Salah satu poin yang disepakati dalam perjanjian tersebut adalah, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh sahabatnya harus pulang ke Madinah dan menunda umrah mereka hingga tahun depan. Oleh karenanya, sepulang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Khaibar, beliau menetap di Madinah selama delapan bulan. Di sela-selanya beliau gencar mengirimkan pasukan dan ekspedisi militer. Hingga pada bulan Dzulqa’idah tahun itu juga, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat untuk menunaikan umrah sebagai pengganti (qadha’) dari umrah tahun lalu yang tidak terlaksana akibat dihalangi oleh kaum musyrikin.

Sebelum berangkat, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat ‘Uwaif ibnul Adh-bat ad-Diely Radhiyallahu anhu sebagai pemimpin di Madinah menggantikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara waktu. Menurut Ibnu Ishâq rahimahullah, yang turut berangkat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah semua orang yang tahun lalu tidak jadi umrah. Saat begitu kaum musyrikin mendengar keberangkatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Mekah, mereka saling kasak-kusuk mengatakan bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya pasti sudah kecapaian luar biasa.

Mereka sengaja berbaris di samping Dârun Nadwah (tempat pertemuan suku Quraisy) sembari mengamati Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu anhum yang hendak menunaikan umrah. Oleh karena itu, begitu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke Masjidil Haram, beliau langsung beridh-thiba’ (menyingkap pundak kanannya), seraya berkata, “Semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati orang yang menunjukkan kekuatannya kepada mereka hari ini”, lalu beliau mengusap Hajar Aswad dan mulai lari-lari kecil. Para sahabat pun ikut berlari kecil bersama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga ketika mereka telah berada di balik Ka’bah dan tidak terlihat oleh kaum musyrikin, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan seperti biasa hingga menyalami Hajar Aswad lagi, kemudian berlari kecil lagi hingga tiga putaran. Setelah itu beliau berjalan seperti biasa.

Oleh karenanya, Ibnu Abbas pernah berpendapat bahwa hal tersebut dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam semata-mata karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar kasak-kusuk suku Quraisy tadi. Namun, ketika haji wada’, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali melakukannya, sehingga jadilah ia sunnah yang berlaku selamanya.

Menurut Ibnu Ishâq rahimahullah, pada tahun itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki kota Mekah dengan mengendarai unta yang dituntun oleh Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu anhu, sembari bersyair :

خَلُّوا بَنِي الكُفَّارَ عَنْ سَبِيْلِهِ خَلُّوا فَكُلُّ الْخَيْرِ فِي رَسُوْلِهِ
يَا رَبِّ إِنِّي مُؤْمِنٌ بِقِيْلِهِ أَعْرِفُ حَقَّ اللهِ فِي قَبُوْلِهِ
نَحْنُ قَتَلْنَاكُمْ عَلَى تَأْوِيْلِهِ كَمَا قَتَلْنَاكُمْ عَلَى تَنْزِيْلِهِ
ضَرْباً يُزِيْلُ الْهَامَّ عَنْ مَقِيْلِهْ وَيُذْهِلُ الْخَلِيْلَ عَنْ خَلِيْلِهِ

Menyingkirlah hai orang-orang kafir dari jalan-Nya
Menyingkirlah, sebab semua kebaikan ada pada RasulNya
Ya Rabbi aku beriman dengan perkataannya
Kutahu hak Allâh dalam menerima ajakannya
Kami memerangi kalian karena menakwilkannya
seperti memerangi kalian demi menerima al-Qur’an
Dengan pukulan yang menggeser kepala dari tempatnya
dan menjadikan seseorang lupa terhadap kekasihnya

Akan tetapi, menurut Ibnu Hisyâm rahimahullah, dua bait terakhir tadi bukan ucapan Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu anhu, namun diucapkan oleh ‘Ammar bin Yasir dalam kesempatan yang lain. Sebab yang dimaksud oleh Ibnu Rawâhah dalam bait-bait ini adalah kaum musyrikin, sedangkan kaum musyrikin belum menerima al Qur’an. Lantas bagaimana mereka hendak diperangi karena menakwilkan al-Qur’an, kalau sedari awal mereka tidak pernah mengakuinya ? Sebab penakwilan baru terjadi setelah adanya pengakuan.

PERNIKAHAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DENGAN MAIMUNAH RADHIYALLAHU ANHA

Usai melakukan umrah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah binti al-Hârits dengan Abbâs bin ‘Abdil Muththalib sebagai walinya. Abbâs memberinya mahar sebesar 400 Dirham. Lalu selama tiga hari berikutnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap tinggal di Mekah, hingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh utusan suku Quraisy yang bernama Khuwaitib bin Abdil ‘Uzza bersama sejumlah orang. Mereka sengaja ditugaskan oleh pihak Quraisy untuk meminta Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari Mekah.

“Batas waktu yang kau miliki telah habis, jadi tinggalkan kami sekarang juga” kata mereka.

“Memang apa salahnya jika kalian membiarkanku menikmati pernikahan ini di antara kalian? Aku akan mengundang kalian untuk makan-makan…” kata Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Kami tidak membutuhkan makananmu. Tinggalkan kami sekarang…” jawab mereka.

Maka Rasûlullâh pun berangkat pulang dan mewakilkan Abu Rafi’ untuk mengurus keberangkatan Maimunah Radhiyallahu anha, hingga akhirnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan istrinya di sebuah daerah bernama Sarif, kemudian melanjutkan perjalanan ke Madinah pada bulan Dzulhijjah.

Ibnu Hisyâm rahimahullah lantas menukil dari Abu ‘Ubaidah Radhiyallahu anhu, bahwa dalam kepulangan beliau ke Madinah tadi, Allâh Azza wa Jalla menurunkan firmanNya :

لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ ۖ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ ۖ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِنْ دُونِ ذَٰلِكَ فَتْحًا قَرِيبًا

Sesungguhnya Allâh akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya. (Yaitu) bahwa kamu pasti akan memasuki Masjidilharam, insya Allâh dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allâh mengetahui apa yang tiada kamu ketahui, dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat [al-Fath/48:27]. Maksud dari ‘kemenangan yang nyata sebelum itu’, adalah penaklukan kota Khaibar[5].

FAIDAH-FAIDAH DARI BERBAGAI PERISTIWA TADI

• Disunnahkan menyambut seorang Muslim yang datang dari tempat jauh, terutama bila ia memiliki kekerabatan dengan tuan rumah. Karenanya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecup kening Ja’far Radhiyallahu anhu dan memeluknya, sebab beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah saudara sepupu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah lama berpisah dengannya.

• Bolehnya seseorang hijrah dari negeri kafir ke negeri kafir lainnya, jika di negeri kafir yang kedua ia bisa lebih leluasa menjalankan agamanya. Apalagi jika penguasa negeri kafir tersebut terkenal sebagai orang yang adil dan menghargai tamu yang mencari suaka di negaranya, seperti halnya Raja Najasyi.

• Walaupun hijrah ke negeri kafir lainnya dibolehkan (dengan catatan tadi), tetap saja kaum Muslimin harus waspada terhadap pola hidup masyarakat sekitar. Karena ternyata, orang yang awalnya adalah sahabat Nabi dan rela hijrah demi memelihara agamanya, akhirnya murtad karena pengaruh lingkungan, apalagi orang sekarang yang lemah iman.

• Bila diperhatikan, hijrah demi menyelamatkan akidah merupakan ibadah agung dan pengorbanan luar biasa. Namun, kisah murtadnya ‘Ubaidillah bin Jahsy ini hendaknya menjadi renungan, bahwa seshalih apa pun dan sebesar apa pun pengorbanan seseorang, ia tetaplah tidak terjaga dari penyimpangan. Ia bisa saja keliru, sesat, dan bahkan murtad dari Islam. Oleh karenanya, seseorang tidak boleh merasa ‘ujub (bangga diri) dengan amalnya dan lalai meminta keistiqamahan kepada Allâh Azza wa Jalla. Sebab berbagai fitnah selalu mengintai siang dan malam. Boleh jadi seseorang yang di pagi hari masih mukmin, sore harinya telah murtad, atau sebaliknya… dan hal itu ia lakukan karena tergoda oleh nilai dunia, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

• Wajibnya menepati perjanjian dengan pihak musuh, walaupun dengan mengorbankan hal-hal yang sifatnya duniawi. Apalagi jika perjanjian tersebut mengandung kemaslahatan besar bagi Islam dan kaum Muslimin. Sebagaimana kita ketahui, dengan gagalnya umrah Hudaibiyah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin telah kehilangan banyak waktu, harta, dan tenaga. Mereka telah menempuh perjalanan cukup jauh dari Madinah (lebih dari 400 Km). Mereka juga telah berhari-hari mengarungi padang pasir Arab dengan kondisi yang demikian berat (sekitar 9-10 hari), ditambah lagi hewan-hewan ternak yang mereka siapkan sebagai hadyu (sembelihan). semuanya mereka korbankan demi menepati janji mereka dengan pihak musuh, yang sebenarnya mengandung segudang kemaslahatan dunia-akhirat.

• Sunnahnya menunjukkan kekuatan fisik kaum Muslimin di depan orang-orang kafir, apalagi jika mereka telah menganggap kita sebagai orang lemah. Ini merupakan isyarat akan pentingnya menjaga nama baik atau reputasi kaum Muslimin di mata umat lainnya, selama prinsip-prinsip dalam Islam tetap terjaga.

• Disunnahkannya melakukan umrah di bulan Dzulqa’idah, sebab selama hidupnya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya empat kali melakukan umrah, dan tiga di antaranya terjadi di bulan Dzulqa’idah, yaitu umrah Hudaibiyah (th 6 H), umrah Qadha’ (th 7 H), umrah Ji’ronah (th 8 H), dan yang terakhir adalah umrah beliau ketika haji wada’ (th 10 H)[6]. Untuk yang terakhir ini beliau juga mulai berangkat di penghujung bulan Dzulqa’idah dengan menggabungkan antara haji dan umrah (qiran). Oleh karenanya, Ibnul Qayyim rahimahullah pernah membahas manakah yang lebih afdhal: umrah di bulan Ramadhan ataukah di bulan Dzulqa’idah ? Dan beliau rahimahullah akhirnya tidak bisa mentarjih, mengingat umrah di bulan Ramadhan adalah perintah Nabi, sedangkan umrah di bulan Dzulqa’idah adalah penerapan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Allâh Azza wa Jalla tidak akan memilihkan bagi Nabi-Nya melainkan yang paling afdhal.[7]

• Sederhananya prosesi pernikahan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliau menikahi Maimunah Radhiyallahu anha dalam kondisi safar tanpa banyak persiapan. Bahkan pertemuan beliau dengan istri barunya ini diadakan di tengah jalan, dan dengan cara yang sangat sederhana. Yaitu dengan memerintahkan para sahabat untuk menyiapkan sebuah kemah bagi Maimunah Radhiyallahu anha, lalu beliau masuk ke dalamnya.

• Mahar yang diberikan oleh pengantin laki-laki kepada calon istrinya tidak harus berasal dari harta pribadinya, namun boleh juga dari pemberian orang lain. Seperti yang dilakukan oleh Abbâs paman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pernikahannya dengan Maimunah Radhiyallahu anha. Demikian pula yang dilakukan oleh Raja Najasyi ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Habibah saat masih di negeri Habasyah.

[Http://cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]

Footnote
[1]. Lihat al Mustadrak (3/234) dan al-Hâkim menyatakannya sebagai hadits shahih.

[2]. Diringkas dari Tahdzîb Sîrah Ibni Hisyâm (1/340-343).

[3]. Lihat Tahdzîb Sîrah Ibni Hisyâm (1/341).

[4]. Yaitu sebuah tempat yang terletak di Barat kota Mekah, dan berjarak sekitar 22 Km dari Masjidil Haram.

[5]. Diringkas dari Tahdzîb Sîrah Ibni Hisyâm (1/344).

[6]. Sebagaimana yang disebutkan oleh Anas bin Mâlik dalam ash-Shahihain. Lihat: Shahîh Bukhâri (no 4148 – tarqim Fathul Baari), dan Shahîh Muslim (Kitâbul Hajj, bab 35, no 3092 – tarqim Al Maknaz).

[7]. Lihat: Zâdul Ma’âd (2/90).