Jumat, 01 Juli 2016

Peperangan Dzat Ar-Riq'a

Peperangan Dzat Ar-Riq'a

JUM'AT, 26 Ramadhan 1437 H / 01 Juli 2016 M / 06:15 WIB

PEPERANGAN DZAT AR-RIQA’

BAHASAN : SIRAH NABI

KENAPA DINAMAKAN DZAT AR-RIQA’


Dalam Shahîhul Bukhâri[1] dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu disebutkan, “Dinamakan Dzât ar-Riqâ’ (secara bahasa artinya tambalan-red) karena para Sahabat menambal luka pada kaki mereka dengan kain, akibat menempuh perjalanan dengan jalan kaki karena kendaraan (tunggangan) sangat terbatas, sehingga mereka terpaksa bergiliran untuk mengendarainya. Satu kendaraan untuk enam orang secara bergantian.

TAHUN KEJADIAN

Ulama sîrah berbeda pendapat tentang tahun kejadiannya[2]. Diantara pendapat itu, ada dua yang paling kuat. Kedua pendapat itu adalah pendapat yang mengatakan peperangan ini terjadi sebelum perang Khandaq dan pendapat yang mengatakan terjadi setelah perang Khaibar.

SEBAB PEPERANGAN

Ketika mendengar berita bahwa Bani Anmar atau Tsa’labah dan Bani Muharib telah berkumpul untuk menyerang Madinah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera keluar bersama empat ratus atau tujuh ratus Sahabat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih Abu Dzar Radhiyallahu anhu[3] untuk menggantikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah.

Dalam peperangan ini tidak terjadi kontak senjata antara kedua pasukan. Namun keduanya khawatir kalau-kalau musuh tiba-tiba menyerang. Sehingga Rasullullah beserta para shahabat melaksakan shalat khauf.[4]

PERISTIWA-PERISTIWA PENTING

Pada masa-masa peperangan ini terjadi beberapa peristiwa penting yang di alami Rasûlullâh dan para sahabatnya :

1. Percobaan Pembunuhan Terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Ketika Rasûlullâh dan para Sahabat kembali dari perang Dzatir Riqâ’, tepatnya menjelang siang, saat terik matahari menyengat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tiba di lembah yang rindang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di bawah salah satu pohon, sementara para shahabat berpencar mencari tempat untuk berteduh dan istirahat.

Perawi peristiwa ini yaitu Jâbir mengatakan, “Ketika kami tiduran, tiba-tiba Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil kami. Kami mendatangi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami dapati Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama seorang badui.[5] Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita, “Orang ini mengambil pedangku ketika aku sedang tertidur kemudian menghunusnya dan mengatakan, ‘Siapa yang membelamu dari saya ?’ Saya (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menjawab, ‘Allah ! Ini orangnya yang sedang duduk ini.’

Jâbir Radhiyallahu anhu mengatakan, “Rasulullah tidak menghukum orang tersebut [6].” Lalu turun firman Allah [7] :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ قَوْمٌ أَن يَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allâh kepadamu, saat suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), lalu Allâh menahan tangan mereka dari kamu. dan bertakwalah kepada Allâh [Al-Maidah/5:11][8]

2. Kisah Dua Shahabat Yang Berjaga[9]

Dalam perjalanan pulang, kaum Muslimin menahan seorang wanita musyrikin, sehingga suaminya bernadzar untuk tidak kembali sampai dapat membalas dengan membunuh atau melukai salah seorang Sahabat dan membawa istrinya kembali. Pada malam itu dia datang, sementara Rasûlullâh telah memerintahkan dua orang yaitu Abbâd bin Bisyr dan Ammâr bin Yâsir untuk berjaga. Kemudian orang itu memanah Abbâd bin Bisyr Radhiyallahu anhu yang tengah shalat. Abbad Radhiyallahu anhu mencabut anak panah itu tanpa memutus shalat, sehingga seketika salam tiga anak panah telah melukainya. Setelah itu, beliau Radhiyallahu anhu membangunkan Ammâr.

Ammâr kaget dan mengatakan, “Subhanallah, kenapa engkau tidak membangunkanku ?[10]

Abbâd Radhiyallahu anhu menjawab, “Saya sedang melaksakan shalat dan membaca surat al-Qur’ân yang tidak ingin saya potong sebelum selesai. Ketika ia terus membidikkan panahnya kepadaku, saya ruku’ kemudian membangunkanmu. Demi Allâh ! Seandainya saya tidak khawatir menyia-nyiakan tugas yang di perintahkan Rasulullah, niscaya nyawaku hilang sebelum saya menyelesaikan shalat.

3. Kisah Jâbir Radhiyallahu anhu[11]

Kisah ini berawal dari pertanyaan Rasûlullâh ke Jâbir mengapa ontanya sangat lambat ?

Jâbir Radhiyallahu anhu menjawab, “Ontanya lelah.” Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dan menyentuh onta itu dengan tongkat seraya berdoa. Setelah itu, onta milik Jâbir berjalan lebih cepat dan mendahului onta Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jâbir berusaha menahannya agar tidak mendahului Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah kamu sudah menikah ?” Jâbir menjawab, “Ya” Rasûlullâh melanjutkan, “Apakah engkau menikahi gadis atau janda ?” Jâbir menjawab, “Saya menikahi janda.”

Rasûlullâh, “Apakah engkau tidak menikahi gadis yang bisa engkau ajak bercengkerama dan tertawa?”

Lalu Jâbir menjelaskan kenapa menikahi janda ? Yaitu karena ayahnya meninggalkan beberapa anak perempuan yang masih perlu perhatian dan beliau ingin ada yang bisa mengurusi mereka. Dan ini bisa dilakukan oleh wanita yang lebih tua dari mereka. Selanjutnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Maukah kau jual ontamu ?” Jâbir Radhiyallahu anhu pun sepakat menjual ontanya kepada Rasûlullâh seharga 40 dirham.

Dalam riwayat lain disebutkan, Jâbir Radhiyallahu anhu ingin menghadiahkannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak mau mengambilnya kecuali dengan harga.[12]

Keesokan harinya, Jâbir membawa ontanya ke Rasûlullâh dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam minta Bilal menyerahkan bayarannya dengan sedikit tambahan dari harga semestinya. Ketika Jâbir Radhiyallahu anhu hendak pergi, Rasûlullâh memanggilnya dan mengembalikan ontanya.

PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL DARI PEPERANGAN DZAT AR-RIQA’

1. Pensyariatan shalat khauf saat kondisi perang menunjukkan keagungan shalat. Kewajiban melaksanakannya tidak gugur meski dalam kondisi perang. Ini juga mengisyaratakan, wajibnya shalat berjamaah. Karena kalau sunat, tentu situasi perang merupakan alasan tertepat untuk meninggalkannya.

2. Meneladani sifat pemaaf Rasûlullâh kepada semua orang sekalipun orang itu berencana membunuhnya

3. Mengharapkan pertolongan dan bertawakkal hanya kepada Allâh Azza wa Jalla

4. Dalam kisah Rasûlullâh bersama badui terdapat tanda kenabian, keberanian serta keyakinan beliau yang kuat dan kesabaran beliu menghadapi cobaan dan sabar menghadapi orang yang tidak tahu.

5. Melaksakan ibadah tanpa meninggalkan tanggung jawab yang dipikulnya. Ini diambil dari kisah Abbâd yang menyelesaikan shalatnya karena merasa bertanggung jawab menjaga kaum muslimin sebagaimana perintah Rasulullah.

6. Empati Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para shahabat merupakan tauladan yang patut dicontoh oleh setiap pemimpin.

[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]

Footnote

[1]. Shahîhul Bukhari, Bab Ghazwatir Riqâ’; Shahîh Muslim, Kitâbul Jihâd was Siar, Bab Ghazwatir Riqâ’’. Lihat as-Sîratun Nabawiyyah fi Dhau’il Mashâdirl ashliyyah, 1/523)

[2]. Lihat as-Sîratun Nabawiyyah fi Dhau’il Mashâdirl ashliyyah, (1/523- 524)

[3]. Ulama sirah tidak memastikan siapa yang menggantikan Rasulullah di Madinah, Abu Dzar atau Utsman bin Affan (Lihat sirah Ibni Hisyam dan yang lainnya)

[4]. Shahîhul Bukhari, Kitabul Maghazi, Bab Ghazwatir Riqâ’. Tentang shalat khauf silahkan lihat perinciannya dalam kitab-kitab fiqih dan hadits.

[5]. Dalam Shahih Bukhâri (al-Fath, 9/236) disebutkan bahwa badui itu bernama Gaurats bin Hârits

[6]. Shahih Bukhâri (al-Fath, 9/235-236), Shahîh Muslim (Syarh Shahîh Muslim, 5/366-367). Lihat as-Sîratun Nabawiyyah fi Dhau’il Mashâdirl ashliyyah, 1/426

[7]. Lihat Tafsir Ibnu Katsîr, 3/79, ada juga yang menyebutkan sebab lain dari sebab turun ayat ini.

[8]. Lihat as-Sîratun Nabawiyyah fi Dhau’il Mashâdirl ashliyyah, 1/426

[9]. Lihat Sirah karya Ibnu Katsîr (3/164-165); as-Sîratun Nabawiyyah fi Dhau’il Mashâdirl ashliyyah, 1/427) ar-Rahîqul Makhtûm, 381-382.

[10]. Ammâr tidur karena giliran jaga di akhir malam. Ini berdasarkan kesepakatan antara mereka.

[11]. Shahihul Bukhâri, Bab assuhulati was samâhati fis syira’

[12]. Shahîh Bukhâri, Kitâbul Wakalah, Bab Iza Wakala Rajulun