JUM'AT, 26 Ramadhan 1437 H / 01 Juli 2016 M / 04:38 WIB
PERANG BANI NADHÎR
TAHUN TERJADINYA PEPERANGAN
Para Ulama ahli sirah berbeda pendapat tentang kapan perang Bani Nadhîr berkecamuk. Az-Zuhri rahimahullah [1] menganggap peperangan ini terjadi enam bulan pasca perang Badar Kubra. Ini berarti peperangan ini terjadi sebelum perang Uhud. Ulama’ lain berpendapat bahwa peperangan ini terjadi setelah perang Uhud, tepatnya pada bulan Rabi’ul Awwal, tahun ke-4 hijrah.
SEBAB PEPERANGAN
Para ulama ahli sirah menyebutkan bahwa peperangan ini dipicu oleh tiga sebab :
Pertama, percobaan permbunuhan terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di lakukan oleh Bani Nadhîr pasca perang Badar[2].
Kedua, rencana orang-orang Yahudi Bani Nadhîr untuk membunuh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pembunuhan ini direncanakan oleh Bani Nadhîr ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta beberapa sahabat berangkat ke Bani Nadhîr untuk meminta mereka ikut menanggung diyat dua orang Bani Kilâb yang di bunuh oleh Amru bin Umayyah Radhiyallahu anhu [4]. Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di daerah Bani Nadhîr, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutarakan tujuan kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun orang-orang Yahudi Bani Nadhîr tidak memenuhi permintaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan hanya sebatas menolak permintaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan mereka berniat membunuh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi mengetahui rencana jahat mereka ini, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung pulang ke Madinah dan mempersiapkan pasukan[5].
Ketiga, perbuatan bani Nadhîr yang telah memprovokasi orang-orang kuffar Quraisy agar memerangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [6].
PERCOBAAN PEMBUNUHAN TERHADAP RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM[7]
Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutarakan maksud kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Bani Nadhîr, awalnya mereka menyanggupinya. Mereka mengatakan :
نَفْعَلُ يَا أَبَا القَاسِمِ , اجْلِسْ حَتَّى نَقْضِيَ حَاجَتَكَ
Wahai Abul Qâsim, kami akan memenuhinya. Silahkan duduk sampai kami bisa memenuhi kebutuhanmu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di dekat tembok rumah mereka bersama Abu Bakar Radhiyallahu anhu, Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu dan beberapa sahabat lainnya.
Sementara di tempat lain orang-orang Bani Nadhîr berkumpul dan berencana membunuh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan, “Siapa diantara kalian yang mau menjatuhkan batu ini ke kepala Muhammad sampai pecah ?”
Salah satu dari mereka yang bernama Amru ibnu Jihasy mengatakan, ”Saya.”
Mendengar rencana ini, Salam ibnu Misykam berusaha mencegah mereka, ”Jangan kalian lakukan ! Demi Allâh, pasti Allâh akan memberitahukan rencana kalian ini kepadanya.” Peringatan Salam bin Misykan ini tidak diindahkan. Mereka tetap berencana meneruskan niat jahat mereka.
Dalam keadaan seperti ini, Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui Malaikat Jibril Alaihissallam memberitahukan prihal rencana tersebut. Setelah mendapat wahyu itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera bangkit tanpa mengucapkan sepatah katapun dan pulang ke Madinah begitu pula para sahabat. Mereka bertanya tentang apa yang menyebabkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba bangkit dari tempat beliau dan pulang. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan niat keji orang-orang yahudi yang hendak membunuhnya.
Tidak beberapa lama, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Muhammad bin Maslamah untuk menyampaikan keputusan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Bani Nadhîr agar mereka keluar dari Madinah dan tidak tinggal bersama Rasûlullâh di Madinah. Mereka diberi tenggang waktu sepuluh hari. Barangsiapa ketahuan masih tinggal di Madinah setelah habis tempo, maka ia akan diperangi. Lalu, mereka bersiap-siap meninggalkan Madinah.[8]
PERAN KAUM MUNAFIQ[9]
Kali ini, Abdullah bin Ubay kembali memperlihatkan perannya dalam mengadu kaum Muslimin dengan musuh-musuhnya sebagaimana kelakuannya pada peperangan-peperangan sebelumnya. Dia mengutus seseorang untuk memprovokasi Bani Nadhîr agar tidak keluar dan melawan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia menjanjikan dua ribu personil untuk memperkuat mereka melawan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan dia menyatakan rela mati demi membela mereka. Dia juga menjanjikan bantuan dari Bani Quraizhah dan sekutunya Bani Ghathafân.
Janji Abdullah bin Ubay direspon oleh Hayyi bin Akhtab pemimpin bani Nadhir. Karena merasa mendapat pertolongan kaum munafiq, mereka memutuskan untuk tidak keluar meninggalkan Madinah. Mereka menyampaikan keputusan tersebut kepada Rasûlullâhn.
SITUASI YANG DI ALAMI KAUM MUSLIMIN SEBELUM PERANG INI
Para Ulama’ ahli sirah menyebutkan, perang dengan Bani Nadhîr ini terjadi pasca musibah berat menimpa kaum Muslimin, yaitu gugurnya sebagian sahabat dalam perang Uhud, kemudian terbunuhnya para shahabat pilihan yang diutus Rasûlullâh dalam dua tragedi yang sangat berdekatan. Peristiwa Raji’ dan peristiwa Bi’ru Ma’unah, dua peristiwa menyedihkan terjadi dalam satu bulan yaitu bulan Shafar tahun ke-4 hijrah.
Kejadian-kejadian ini menorehkan kesedihan mendalam pada diri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Sehingga berperang dalam situasi bathin seperti ini jelas kurang menguntungkan. Namun jawaban Hayyi bin Akhtab, pimpinan Bani Nadhir membuat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak punya pilihan lain kecuali memerangi Bani Nadhîr yang telah berkhianat dan melanggar perjanjian dan tidak mengindahkan perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
PENYERANGAN DIMULAI
Saat mendengar jawaban Hayyi bin Akhtab, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dan di ikuti oleh para sahabat. Penyerangan ke Bani Nadhîr akan dimulai. Panji peperangan kali ini dibawa oleh Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh Ibnu Ummi Maktûm Radhiyallahu anhu tinggal di Madinah sebagai pengganti Rasûlullâh selama beliau di medan perang.
AKHIR DARI KISAH BANI NADIR DI MADINAH
Bani Nadhîr mulai takut dan semakin takut ketika mengetahui Rasûlullâh dan pasukannya akan menyerang, terlebih lagi setelah mendapat kepastian Abdullah bin Ubaiy dan Bani Quraizhah berhianat. Mereka membiarkan Bani Nadhîr menghadapi kaum Muslimin tanpa ada pertolongan yang mereka janjikan. Itu juga yang di lakukan Bani Ghathafân. Allâh Azza wa Jalla memisalkan perbuatan kaum munafiq ini dalam firman-Nya :
كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلْإِنسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِّنكَ
(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia mengatakan kepada manusia, “Kafirlah kamu”, Maka tatkala manusia itu telah kafir, ia berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, ” [al-Hasyr/59:16]
Setelah mendapat kepastian akan pengkhianatan Abdullah bin Ubay, Bani Nadhîr memilih bertahan dalam benteng dan melawan kaum Muslimin dengan panah dan bebatuan. Keberadaan kebun dan pohon korma di sekitar benteng, menguntungkan mereka. Ini memaksa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menebang dan membakar kebun dan pohon-pohon kurma[10] yang ada di sekitar benteng, sebagai psywar untuk mengecilkan nyali musuh. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengepung mereka selama enam hari[11] sampai akhirnya mereka menyerah dan memilih keluar Madinah sambil mengajukan syarat diperbolehkan membawa harta yang bisa di bawa oleh onta-onta mereka. Permintaan ini disetujui oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga sebagian di antara mereka ada yang merobohkan rumah mereka kemudian bahan-bahan rumah itu di bawa dengan onta-onta mereka, bahkan ada yang membawa atap rumah dengan onta-onta tersebut sebagaimana Allâh ceritakan dalam al-Qur’ân.[12]
Kemudian Bani Nadhîr menyebar. Diantara mereka ada yang pergi ke daerah Syam, namun kebanyakan mereka termasuk para pemuka Bani Nadhîr memilih eksodus ke Khaibar[13]. Dikisahkan, hanya dua dari mereka yang mau memeluk agama Islam yaitu Yamin ibn Amru dan Abu Sa’an bin Wahab.
PEMBAGIAN HARTA GHANIMAH OLEH RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Dengan eksodusnya Bani Nadhir dari Madinah, maka harta yang mereka tinggalkan terhitung sebagai al-fai. [14] Pembagian harta jenis ini diserahkan sesuai kebijakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam peristiwa ini, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih banyak memberikannya kepada para sahabat dari kalangan muhâjirîn, karena mereka lebih butuh bila dibandingkan kaum Anshâr. Hanya dua dari kalangan Anshar yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri al-fai ini yaitu Abu Dujânah Radhiyallahu anhu dan Sahal bin Hanîf Radhiyallahu anhu karena keduanya sangat miskin.
PELAJARAN YANG DAPAT DI AMBIL DARI PEPERANGAN BANI NADHIR
1. Pemberitahuan Allâh Azza wa Jalla kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang rencana Bani Nadhir untuk membunuh Rasûlullâh merupakan bukti bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar seorang nabi dan rasul
2. Peristiwa pembakaran pohon-pohon kurma dan kebun Bani Nadhîr yang di lakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menunjukkan bahwa keputusan seperti ini diserahkan kepada imam atau pemimpin, apabila dilihat hal tersebut bisa melemahkan musuh.
3. Mengahargai dan menjaga perjanjian yang sudah di sepakati bahkan dengan musuh sekalipun.
4. Melanggar perjanjian yang sudah di sepakati dapat berakibat buruk bahkan bisa memicu permusuhan atau peperangan.
5. Mengingkari janji adalah perangai Yahudi. Ini terbukti perbuatan mereka yang sering melanggar perjanjian.
6. Harta yang di dapatkan dari musuh tanpa ada kontak senjata di bagikan sesuai dengan kebijakan pemimpin.
7. Kaum munafiq selalu berusaha merongrong kekuatan kaum Muslimin dan memprovokasi musuh-musuh kaum Muslimin agar memerangai kaum Muslimin.
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]
Footnote
[1]. Mukhtashar Zâdul Ma’âd, hlm. 177 dan disebutkan juga oleh al-Baihaqi dan Imam Bukhari (lihat Sirah Ibnu Kastir, 3/16). Adapun yang menguatkan pendapat yang menyatakan peperangan Bani Nadhir terjadi setelah perang Uhud yaitu pengharaman khamr turun pada malam-malam pengepungan Bani Nadhîr, sementara pada saat perang Uhud, khamr masih dibolehkan. Terbukti, sebagian sahabat yang syahid ada yang masih membawa khamr dan meminumnya, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahîh Bukhâri, dalam Kitâbul Jihâd wa Siar dan Kitâbul Maghâzi, Bâb Ghazwatu Uhud. Lihat Sirah karya Ibni Katsir, 3/16-17 dan Mukhtashar Sîratir Rasûl, hlm. 124.
[2]. Mushannaf, abdurrozzaq, 5/359-360.
[3]. Diyât adalah harta yang wajib diberikan oleh pelaku kejahatan pidana kepada korban (lihat al-Wajîz fi Fiqhis Sunnati wal Kitâbil Aziz, hlm. 409). Yang mendasari Rasulullah meminta bantuan orang-orang Bani Nadhir untuk membayar diyat yaitu adanya ikatan perjanjian untuk saling menolong antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mereka.
[4]. Amru bin Umayyah Radhiyallahu anhu membunuh kedua orang tersebut karena ingin balas dendam atas pembantaian terhadap beberapa sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam peristiwa Bi’ru Ma’unah (Lihat ar-Rahîqul Makhtûm, hlm. 294)
[5]. As-Sirah, Ibnu Katsîr(3/145) sebab ke-2 inilah yang memicu perang ini. Karna sebab yang pertama mengisaratkan bahwa kejadian ini setelah perang Badar, padahl perang Bani Nadhir terjadi setelah perang Uhud, peristiwa Rajî’ serta peristiwa Bi’ru Mau’nah (lihat catan kaki no:1), sedangkan penyebab yang ke tiga adalah riwayat yang dha’if .
[6]. Riwayat Musa bin Uqbah t (ad-Dalâ’il, al-Baihaqi, 3/140 ) dengan sanad yang dha’if.
[7]. Sirah ibni Hisyâm(2/189-190). Lihat Shahih Bukhâri (Bab Hadist Bani Nadhir).
[8]. Lihat Sirah karya Ibnu Hisyâm(2/189), Zâdul Ma’âd(3/115), ar-Rahîqul Makhtûm(hlm. 295).
[9]. Lihat rujukan sebelumnya.
[10]. Fathul Bâri, Ibnu Hajar(9/85) dan al-Hasyr/59:5
[11]. Ibnu Hisyâm rahimahullah mengisahkan bahwa pengepungan berlangsung selama enam hari (Lihat, Sirah, Ibnu Hisyâm(2/190) dan al-Wâqidi rahimahullahj mengatakan pengepungan berlangsung selama 15 hari, (Lihat, Sirah, Ibnu Katsir(3/146).
[12]. al-Hasyr/59:2
[13]. irah, Ibnu Hisyam(2/190-191).
[14]. Harta yang di dapatkan dari musuh tanpa melalui pertempuran atau tanpa kontak senjata, seperti harta yang di tinggalkan orang kafir yang lari karena takut kepada kaum Muslimin sebelum berperang (al-Wajiz, hlm. 490).