BAHASAN : SIRAH NABI
ANTARA TRAGEDI RAJI, BI’R MAUNAH DAN QUNUT NAZILAH
Pada bahasan sebelumnya disampaikan sebuah peristiwa tragis yang menimpa para shahabat Rasûlullâh yang berjumlah 10 dibawah pimpinan ‘Ashim bin Tsabit al-Aqlah. Mereka diutus oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai respon terhadap permintaan utusan kabilah Bani Udhal dan al-Qarrah yang meminta bantuan tenaga untuk mengajari mereka tentang agama Islam. Namun itu hanya akal bulus mereka saja. Para shahabat ini kemudian dibantai didekat mata air Bani Hudzail, didaerah Raji’, kecuali Khubaib dan Zaid Radhiyallahu anhuma. Oleh karenanya rombongan ini disebut sariyatur Raji’.
Pada bulan yang sama dengan pengiriman sariyatu raji’, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengirim para shahabat pilihan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Najd. Rombongan ini berjumlah 70 orang. Mereka dikenal sebagai para shahabat yang ahli baca al-Qur’an, rajin shalat tahajjud serta suka bekerja keras lalu hasilnya diinfakkan untuk para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertempat tinggal di shuffah (serambi masjid nabawi).
LATAR BELAKANG PENGIRIMAN PARA SHAHABAT KE NAJD
Imam Muslim rahimahullah menerangkan penyebab mereka diutus adalah permintaan dari beberapa orang agar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkenan mengirim para shahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa mengajari mereka membaca al-Qur’an[2]. Sementara Imam Bukhâri rahimahullah [3] menyebutkan penyebab lain, namun substansinya tidak berbeda. Beliau rahimahullah menyebut, bahwa penyebab pengiriman ini adalah permintaan bantuan dari beberapa utusan Bani Sulaim untuk menghadapi musuh mereka. Permintaan ini dikabulkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengirimkan 70 shahabat pilihan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penjelasan Imam Bukhâri tentang penyebab pengiriman ini sejalan dengan keterangan Ibnu Sa’d.[4]
Ibnu Ishâq rahimahullah menyebutkan bahwa Abu Barra’ ‘Amir bin Mâlik menemui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajaknya masuk Islam. Orang ini tidak merespon ajakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak menunjukkan sikap menerima ataupun sikap penolakan. Kemudian dia berujar, “Wahai Rasûlullâh ! Sekiranya engkau berkenan mengutus shahabat-shahabatmu kepada penduduk Najd untuk mendakwahkan agamamu kepada mereka, aku sangat berharap mereka menyambutnya.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku mengkhawatirkan perlakuan penduduk Najd atas mereka.” Abu Barra` mengucapkan kalimat untuk meyakinkan Rasûlullâh, “Aku yang menjamin mereka.”[5]
Riwayat-riwayat tentang latar belakang ini bisa dipertemukan dengan menganggap kedua peristiwa itu benar adanya. Artinya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan para shahabatnya demi memenuhi permintaan Abu Barra’ dan Bani Sulaim.
TRAGEDI SUMUR MA’UNAH
Pada waktu yang telah ditentukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat ini bertolak menuju Najd meninggalkan Madinah. Ketika tiba di Bi`r Ma’unah sebuah daerah yang terletak antara wilayah Bani ‘Amir dan wilayah Bani Sulaim, para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mengutus Haram bin Milhan Radhiyallahu anhu saudara Ummu Sulaim[6] bintu Milhan untuk mengantarkan surat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Amir bin Thufail, sepupu Abu Bara’ ‘Amir bin Malik[7]. Namun ‘Amir bin Thufail tidak menghiraukan surat itu bahkan ia memberi isyarat kepada seseorang pengikutnya untuk menikam Haram Radhiyallahu anhu dengan tombak dari belakang. Orang itu melaksanakan apa yang diisyaratkan ‘Amir. Haram Radhiyallahu anhu ditikam. Sesaat setelah ditikam dan Haram Radhiyallahu anhu melihat darah segar mengalir dari lukanya, beliau Radhiyallahu anhu mengatakan, “Allahu Akbar, Demi Rabb Ka’bah, aku telah beruntung.”[8]
Kemudian ‘Amir bin Thufail memprovokasi orang-orang Bani ‘Amir agar memerangi rombongan shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Bani ‘Amir menolak ajakan ‘Amir bin Thufail karena para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam jaminan Abu Barra`. Tekadnya untuk memerangi rombongan ini tidak luntur disebabkan kegagalannya memprovokasi Bani ‘Amir. Dia arahkan hasutannya ke Bani Sulaim. Ajakan ini disambut oleh kabilah ‘Ushaiyyah, Ri’l dan Dzakwan. Mereka mulai bergerak dan mengepung para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pertempuran sengit tak terhindarkan. Satu persatu shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam gugur sebagai syahid, sampai akhirnya tidak ada yang tersisa kecuali Ka’b bib Zaid bin Najjar Radhiyallahu anhu yang dibiarkan sekarat dengan harapan agar meninggal pelan-pelan. Namun Allâh Azza wa Jalla menakdirkan lain, Ka’b ternyata bisa bertahan hidup sampai perang Khandaq. Sementara itu ada dua shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tertinggal yaitu Amr bin Umayyah dan al Mundzir Uqbah bin ‘Amir. Melihat para shahabat mereka telah menjadi korban, tanpa rasa gentar, mereka maju dan menyerang kaum kuffar. Al Mundzir terbunuh. Sementara Amr ditawan namun akhirnya dilepas dengan tebusan.
Setelah statusnya sebagai tawanan hilang dari dirinya, Amr bin Umayyah Radhiyallahu anhu bergegas pergi ke Madinah dan melaporkan peristiwa memilukan ini. Dalam perjalanannya ke Madinah, beliau Radhiyallahu anhu berjumpa dengan dua orang Bani Kilâb. Tanpa berpikir panjang, beliau Radhiyallahu anhu menyerang kedua orang itu sampai akhirnya keduanya terbunuh. Setelah berhasil membunuh mereka, beliau Radhiyallahu anhu merasa puas dan merasa telah membalas kematian para shahabat beliau Radhiyallahu anhu. Amr bin Umayyah Radhiyallahu anhu tidak tahu kalau orang yang dibunuh itu sudah ada perjanjian damai dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, setelah mendengar berita pembunuhan ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan pembayaran diyat (denda) atas pembunuhan. Diyat ini dibebankan kepada seluruh kaum Muslimin dan kaum Yahudi yang terikat perjanjian. Saat Amr bin Umayyah pergi ke wilayah Yahudi untuk keperluan diyat inilah, orang-orang Yahudi berusaha untuk membunuh beliau Radhiyallahu anhu. Peristiwa inilah diantara yang menyulut pertempuran antara kaum Muslimin dengan Bani Nadhir.
Pembantaian yang dialami oleh para shahabat ini telah menorehkan luka teramat dalam di hati Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu menceritakan :
فَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَزِنَ حُزْنًا قَطُّ أَشَدَّ مِنْهُ
Aku belum pernah melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih berduka dibandingkan duka akibat peristiwa tersebut. [HR. Bukhâri]
Pasca dua peristiwa memilukan yang menimpa para shahabat pilihan itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut nazilah selama satu bulan atau lebih. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan keburukan buat orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan terhadap para shahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
PELAJARAN DARI KISAH TRAGEDI RAJI’ DAN BI’R MAUNAH
1. Dua kisah ini menunjukkan bahwa seluruh kaum Muslimin memiliki tanggung jawab untuk ikut andil dalam dakwah dan mengajari manusia tentang Islam.
2. Tugas dakwah terus berjalan, meski dalam kondisi sulit. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengirim para shahabat beliau ke Najd, meski beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir para utusan akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan utusan dalam tragedi Raji’.
3. Dalam penggalan kisah Khubaib Radhiyallahu anhu yang tidak mencederai bayi orang yang menawannya [9] padahal beliau Radhiyallahu anhu mampu melakukannya dan memiliki kesempatan untuk membalas dendam terdapat pelajaran yang sangat berharga.
4. Seorang Muslim yang sudah berada dalam tawanan musuh boleh menerima jaminan keamanan (suaka), sebagaimana yang dilakukan Khubaib dan Zaid Radhiyallahu anhuma atau boleh juga menolak, meski harus terbunuh, sebagaimana sikap yang diperlihat ‘Ashim[10]
5. Kedua peristiwa menyedihkan ini menunjukkan betapa iman kepada Allâh Azza wa Jalla dan RasulNya sudah menghujam dalam dan mengakar kuat dalam hati-hati para shahabat. Sehingga mereka siap mengorbankan apa saja demi mempertahankannya.
6. Para shahabat Radhiyallahu anhum adalah orang-orang pilihan yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla dan RasulNya
7. Disyari’at melakukan qunut dalam shalat fardhu untuk mendo’akan orang-orang yang zhalim serta menghilangkan musibah yang menimpa kaum Muslimin.
[Http://Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]
Footnote
[1]. Diangkat dari kitab Sirah Nabawiyah di Dhau’il Mashaadiril ashliyah, hlm. 413-417
[2]. HR Muslim, no. 677
[3]. Al Fath, 15/267, no. 4090
[4]. At-Thabaqât, 2/53 dengan sanad shahih
[5]. Ibnu Hisyâm, 2/260 dengan sanad mursal, Ibnu Sa’d, 2/51 tanpa sanad dan al Wâqidi, 1/246 namun sanadnya lemah.
[6]. Fiqhus Sirah min Zâdil Ma’âd, hlm. 216
[7]. Al-Fath
[8]. Dalam masalah ini, riwayat-riwayat yang dibawakan para ahli sejarah sama dengan riwayat-riwayat yang dibawakan oleh Bukhâri dan Muslim dalam kitab shahih mereka.
[9]. Pada rubrik Sirah edisi 03/Th XIV
[10]. Pada rubrik Sirah edisi 03/Th XIV