Sabtu, 06 Januari 2018

Pasal Kedua : Apakah Dajjal Masih Hidup (Sekarang Ini)? Dan Apakah Dia Sudah Ada Pada Zaman Nabi ?

Pasal Kedua : Apakah Dajjal Masih Hidup (Sekarang Ini)? Dan Apakah Dia Sudah Ada Pada Zaman Nabi ?

KITAB : HARI KIAMAT (2)

Pasal Kedua AL-MASIH AD-DAJJAL

Oleh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

4. Apakah Dajjal Masih Hidup (Sekarang Ini)? Dan Apakah Dia Sudah Ada Pada Zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam?
Sebelum menjawab dua pertanyaan ini, hendaknya kita mengetahui keadaan Ibnu Shayyad, apakah dia Dajjal atau bukan?

Jika Dajjal itu bukan Ibnu Shayyad, apakah dia sudah ada sebelum ia menampakkan fitnahnya atau belum?

Dan sebelum menjawab pertanyan-pertanyaan ini, kami akan mengenal-kan Ibnu Shayyad terlebih dahulu.

a. Ibnu Shayyad.
Namanya adalah Shafi -ada juga yang mengatakan ‘Abdullah- bin Shayyad atau Shaa-id.[1]

Ia dari kalangan Yahudi Madinah, ada juga yang mengatakan dari ka-langan Anshar. Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, ia masih kanak-kanak.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa ia masuk Islam, dan anaknya adalah ‘Umarah yang termasuk di antara Tabi’in yang terkemuka. Imam Malik rahimahullah dan yang lainnya meriwayatkan darinya.[2]

Imam adz-Dzahabi rahimahullah memuat biografi tentangnya dalam kitab ‘Tajriidu Asmaa-ish Shahaabah’, beliau berkata, “‘Abdullah bin Shayyad, Ibnu Syahin [3] menyebutkan dalam periwayatannya, ia berkata, ‘Dia adalah Ibnu Sha-id, ayahnya seorang Yahudi, ‘Abdullah dilahirkan dalam keadaan buta dan dalam keadaan telah dikhitan, dialah yang dikatakan orang sebagai Dajjal. Kemudian ia masuk Islam, ia termasuk kalangan Tabi’in, dan pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (ketika masih kafir).” [4]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya al-Ishaabah, menyebutkan biografinya sebagaimana yang diutarakan oleh Imam adz-Dzahabi, selanjutnya ia berkata, “Di antara anaknya adalah ‘Umarah bin ‘Abdullah bin Shayyad, ia termasuk orang terkemuka di antara kaum muslimin, dan termasuk rekan Sa’id bin Musayyib. Imam Malik dan yang lainnya telah meriwayatkan hadits darinya.”

Kemudian Ibnu Hajar menyebutkan sejumlah hadits tentang Ibnu Shay-yad, sebagaimana akan kita sebutkan pada kesempatan berikutnya.

Selanjutnya beliau berkata, “Secara garis besar, mengkategorikan Ibnu Shayyad dalam golongan Sahabat tidak memiliki arti penting, sebab apabila ia benar-benar Dajjal, maka secara pasti ia tidak mungkin tergolong Sahabat karena kematiannya pasti dalam keadaan kafir. Akan tetapi jika tidak seperti itu, maka keadaan bertemunya dia dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah saat dirinya belum masuk Islam.” [5]

Akan tetapi jika setelahnya ia masuk Islam, maka ia termasuk Tabi’in yang melihat wajah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (sebelumnya), sebagaimana yang dikatakan oleh adz-Dzahabi.

Ibnu Hajar dalam kitabnya Tahdzibut Tahdziib memuat biografi ‘Umarah bin Shayyad dan berkata, “‘Umarah bin ‘Abdillah bin Shayyad al-Anshari, Abu Ayyub al-Madani, ia meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah, Sa’id bin Musayyib, ‘Atha' bin Yasar. Adapun para perawi yang meriwayatkan darinya adalah adh-Dhahhak bin ‘Utsman al-Khuzami, Imam Malik bin Anas dan selainnya. Ibnu Ma’in dan an-Nasa-i berkata, “Ia tsiqah.” Abu Hatim berkata, “Haditsnya baik.” Dan Ibnu Sa’ad berkata, “Ia tsiqah tetapi periwayatannya sedikit.” Imam Malik bin Anas tidak mengunggulkan keutamaan yang lain darinya, dan mereka berkata: kami bani Usyaihib bin an-Najjar, dan terkenal dengan sebutan bani Najjar, dan mereka sekarang sekutunya bani Malik bin an-Najjar, namun tidak diketahui asal-usul mereka [6]

b. Prihal Ibnu Shayyad.
Ibnu Shayyad adalah tukang dusta, terkadang ia menjadi dukun yang ucapannya bisa jadi benar atau salah. Kemudian tersebar kabar tentangnya di tengah-tengah manusia bahwasanya dia adalah Dajjal. Sebagaimana akan di-jelaskan berikutnya dalam pembahasan ujian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya.

c. Ujian Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Kepadanya.
Ketika tersebar berita tentang Ibnu Shayyad bahwa dia adalah Dajjal, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin mengetahui keadaannya. Ketika itu beliau pergi dengan sem-bunyi-sembunyi sehingga Ibnu Shayyad tidak merasakannya dengan harapan agar beliau mendengarkan sesuatu darinya. Dan ketika itu beliau mengajukan beberapa pertanyaan yang dapat menjelaskan jati dirinya.

Dijelaskan dalam sebuah hadits dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwasanya ‘Umar pergi bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga sekelompok Sahabat, sehingga mereka mendapati sedang bermain bersama anak-anak di sebuah bangunan tinggi seperti benteng Ibnu Maghalah [7]. Ketika itu Ibnu Shayyad telah mendekati baligh, dia tidak merasakan sesuatu hingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menepuknya dengan tangan beliau, lalu berkata kepada Ibnu Shayyad, “Apakah engkau bersaksi bahwasanya aku adalah utusan Allah?” Kemudian Ibnu Shayyad menatapnya, lalu berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusannya orang-orang yang ummi (buta huruf),” selanjutnya Ibnu Shayyad berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Apakah engkau bersaksi bahwasanya aku adalah utusan Allah?” Beliau menolaknya dan berkata, “Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya.” “Apa yang engkau lihat?” Lanjut Nabi. Ibnu Shayyad berkata, “Datang kepadaku seorang yang jujur dan seorang pendusta.” Kemudian Nabi berkata, “Pikiranmu kacau balau, apakah aku menyembunyikan sesuatu darimu?” Kemudian Ibnu Shayyad menjawab, “Ad-Dukh [8].” “Duduklah, sesungguhnya engkau tidak akan pernah melampaui kedudukanmu,” kata Nabi. Lalu ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Biarkanlah aku memenggal lehernya!” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Jika dia memang (Dajjal), maka engkau tidak akan bisa mengalahkannya, dan jika dia bukan (Dajjal), maka tidak ada kebaikan bagimu membunuhnya.”[9]

Dalam riwayat lain, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm bertanya kepadanya, “Apa yang engkau lihat?” Dia menjawab, “Aku melihat singgasana di atas air, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Engkau melihat singgasana iblis di atas lautan, apa lagi yang engkau lihat?” Dia menjawab, “Aku melihat dua orang yang jujur dan satu orang pendusta, atau dua orang pendusta dan satu orang yang jujur.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Pikirannya telah kacau, tinggalkanlah dia!”[10]

Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata, “Setelah itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama Ubay bin Ka’ab bertolak ke sebuah perkebunan kurma yang di dalamnya ada Ibnu Shayyad. Dengan sembunyi-sembunyi beliau berusaha untuk mendengarkan sesuatu dari Ibnu Shayyad sebelum Ibnu Shayyad melihat beliau. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatnya sedang berbaring -dengan mengenakan pakaian kasar yang ada tandanya-. Lalu ibu Ibnu Shayyad melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang bersembunyi di balik batang pohon kurma, dia berkata kepada Ibnu Shayyad. “Wahai Shafi -nama Ibnu Shayyad- ini adalah Muhammad,” lalu dia meloncat, kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Seandainya ibunya membiarkannya, niscaya perkaranya akan jelas.” [11]

Abu Dzarr Radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutusku untuk menemui ibunya, beliau berkata, ‘Tanyalah berapa lama dia mengandungnya?’ Lalu aku mendatanginya dan bertanya kepadanya, kemudian dia menjawab, ‘Aku mengandungnya selama 12 bulan.’” (Abu Dzarr) berkata, “Kemudian beliau mengutusku (lagi) kepadanya, ‘Tanyakanlah kepadanya tentang jeritannya ketika lahir?’” (Abu Dzarr) berkata, “Lalu aku kembali kepadanya, dan bertanya, dia menjawab, ‘Dia menjerit bagaikan anak yang berumur satu bulan.’” Selanjutnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya (anak itu), ‘Sesungguhnya aku telah merahasiakan sesuatu kepadamu.’ Dia menjawab, ‘Engkau telah merahasiakan bagian depan dari hidung dan mulut seekor domba yang berwarna hitam (seperti tanah) dan asap (ad-dukhan) dariku.’” (Abu Dzarr) berkata, “Dia hendak mengatakan ad-dukhan, lalu tidak dapat melakukannya, sehingga dia hanya mengatakan ad-dukh, ad-dukh.” [12]

Maka pertanyaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya dengan ad-dukhan (asap) ditujukan untuk mengetahui hakikat dirinya.

Yang dimaksud dengan ad-dukhan di sini adalah apa yang ada pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِينٍ

“Maka tunggulah hari ketika langit membawa asap yang nyata.” [Ad-Dukhaan: 10]

Sementara dalam hadits Ibnu ‘Umar pada riwayat al-Imam Ahmad, “Sesungguhnya aku telah menyembunyikan sesuatu kepadamu.” Beliau meyembunyikan firman Allah:

فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِينٍ

“Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata.” [Ad-Dukhaan: 10][13]

Ibnu Katsir رحمه الله berkata, “Sesungguhnya Ibnu Shayyad sebagai penyingkap sesuatu dengan cara dukun, dengan lisan jin-jin yang memutus-mutuskan perkataan, karena itulah dia berkata, ‘Ia adalah ad-dukh,” maksudnya ad-Dukhaan. Ketika itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui sumber perkataannya bahwa itu adalah dari syaithan. Lalu beliau berkata, ‘Duduklah! Karena engkau tidak akan melebihi kedudukanmu.’” [14]

d. Kematiannya.
Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Kami kehilangan Ibnu Shayyad pada peristiwa al-Harrah.” [15]

Ibnu Hajar telah menshahihkan riwayat ini dan melemahkan pendapat yang mengatakan bahwa dia meninggal di Madinah dan mereka (para Sahabat) membuka wajahnya lalu menshalatkannya.[16]

[Cerkiis.blogspot.com, artikel: almanhaj. Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

Footnote
[1]. Lihat Fat-hul Baari (III/220, VI/164), ‘Umdatul Qaari Syarh al-Bukhari (VIII/170, XIV/278-303), karya Badruddin al-‘Aini, cet. Darul Fikr, an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/128), Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVIII/46), ‘Aunul Ma’buud (XI/) (lembarannya tidak ada).
[2]. Lihat an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/128), tahqiq Dr. Thaha Zaini.
[3]. Beliau adalah al-Hafizh Abu Hafs ‘Umar bin Ahmad bin ‘Utsman bin Syahin al-Baghdadi, al-waa’izh (ulama yang selalu mamberi nasehat), pakar tafsir, termasuk juga pakar hadits, banyak menguasai bidang ilmu. Ia memiliki banyak karya tulis, yang paling banyak dalam bidang tafsir dan tarikh. Wafat tahun 385 H rahimahullah. Lihat biografinya dalam Syadzaraatudz Dzahab (III/117), al-A’laam (V/40) karya az-Zarkali.
[4]. Lihat Tajriid Asmaa-ish Shahaabah, (I/319, no. 3366), karya al-Hafizh adz-Dzahabi, cet. Darul Ma’arif Beirut.
[5]. Lihat al-Ishaabah fii Tamyiizis Shahaabah, bag. ke 4, di antara yang memiliki awal nama (‘Abdullah), (III/133, no. 6609), karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Cet. as-Sa’adah - Mesir cet. I, th. 1328 H.
[6]. Lihat: kitab Tahdzibut tahdziib, VII/418, (no: 681).
[7]. (مَغَالَة) dengan huruf mim yang difat-hahkan, diberi titik dan tanpa syiddah, maknanya adalah salah satu nama kabilah di kalangan Anshar. Fat-hul Baari (III/220).
[8]. Maksudnya adalah ad-Dukhaan (asap), akan tetapi dia mengungkapkannya secara terputus-putus seperti cara para dukun, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
[9]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Janaa-iz bab Idzaa Aslamash Shabiyyu fa Maata Hal Yushalla ‘Alaihi wa Hal Yu’radhu ‘alash Shabiyyil Islaam (III/318, al-Fat-h).
[10]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah, bab Dzikru Ibni Shayyad (XVIII/49-50, Syarh an-Nawawi).
[11]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Janaa-iz bab Idzaa Aslamash Shabiyyu fa Maata hal Yushalla ‘alaihi (III/ 318, al-Fat-h).
[12]. Musnad Ahmad (V/148, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanz).
Ibnu Hajar berkata tentang sanadnya, “Shahih,” Fat-hul Baari (XIII/325).
Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzar dan ath-Thabrani dalam al-Ausath, dan perawi Ahmad adalah perawi ash-Shahiih, selain al-Harits bin Hushairah, dia adalah tsiqah.” Majmaa’uz Zawaa-id (VIII/2-3).
[13]. Musnad Ahmad (IX/139, no. 6360), tahqiq Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih.”
[14]. Tafsiir Ibni Katsir (VII/234).
[15]. Sunan Abi Dawud (XI/476, ‘Aunul Ma’buud).
[16]. Lihat Fat-hul Baari (XIII/328).