Jumat, 11 Oktober 2019

Tinjauan Moderat Tentang Hukum Syariat


TINJAUAN MODERAT TENTANG HUKUM SYARI’AT

Oleh Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA

PENDAHULUAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ajaran Islam yang sempurna untuk mengatur segala hal yang berhubungan dengan persoalan hidup manusia. Semua demi kebahagian dan kesejahteraan mereka. Ini semua akan nampak bagi siapa saja yang mau mempelajari dan mendalami ajaran Islam dengan benar dan menyeluruh.

Oleh karena itu segi-segi pentingnya menjalankan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara perlu diketahui dan dikupas walaupun hanya sekilas saja.

PENGERTIAN SYARIAT
Syari’at dalam pengertiannya dapat digunakan dalam beberapa makna:
a.Digunakan untuk menyebutkan agama secara keseluruhan, maka dikatakan: Syari’at Islam.

b.Digunakan untuk menyebutkan tentang hukum-hukum, baik hukum pidana dan perdata maupun ibadah dan mu’amalah secara umum. maka dikatakan: Pokok isi al-Qur’an terdiri dari; aqidah (keyakinan), syari’at (hukum-hukum) dan akhlak (budi pekerti). Dalam pengertian ini kata syari’at sinonim bagi kata fiqih.

c. Digunakan untuk menyebut hukum hudûd semata (pidana), istilah ini lebih dominan dipakai oleh kelompok-kelompok Islam yang beraliran politik. Hal ini kita lihat dalam penilaian mereka terhadap orang Islam yang tidak bergabung dengan mereka dianggap tidak berjuang menegakkan syari’at. Sekalipun dalam kenyataannya orang tersebut berjuang mengakkan Islam dengan berdakwah sesuai dengan metode Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bahkan mungkin bisa dikafirkan karena tidak ikut pemahaman dan metode mereka dalam menegakkan syari’at. Seperti dengan cara membangkang dan melawan penguasa.
Untuk menentukan makna dari kata syari’at tersebut bergantung kepada posisi penggunaannya dalam sebuah susunan kalimat.

MENJALANKAN HUKUM ISLAM ITU PENTING
Sesungguhnya menjalankan hukum Islam adalah merupakan suatu hal yang amat peting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dewasa ini. Hal itu dapat kita tinjau dari beberapa segi:

Al-Qur’an Adalah Pedoman Hidup Yang Sempurna
Kitab suci al-Qur’an adalah sebaik-baik pedoman bagi manusia dalam mencapai kebahagian. Karena ia diturunkan oleh Zat Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksna, yaitu Allâh Yang Maha Adil dalam segala hukum-Nya. Seandainya seluruh para pakar hukum di dunia berkumpul untuk menandingi satu hukum yang disebutkan dalam al-Qur’an, niscaya mereka tidak akan mampu. Al-Qur’an tidaklah semata mengatur hubungan vertikal dengan Allâh Azza wa Jalla , akan tetapi juga mengatur berbagai hal yang dibutuhkan manusia dalam perkara duniawi. Hukum Allâh Azza wa Jalla adalah hukum yang terbaik dari segala hukum buatan manusia. Demikian pula Hukum Allâh Azza wa Jalla adalah hukum yang paling adil dari segala hukum yang ada di dunia.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allâh bagi orang-orang yang yakin ?[al-Maidah /5:50]

Bila hukum al-Qur’ân dilaksanakan dalam kehidupan manusia, niscaya kehidupan mereka akan mendapat keberkahan dan rahmat dari Allâh. Karena al-Qur’ân adalah kitab yang membawa keberkahan dan rahmat untuk manusia.

وَهَٰذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan al-Qur’ân itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat”. [al-An’am /6:155]

Keadilan al-Qur’ân tidak terbatas untuk orang-orang yang beriman dengan al-Qur’ân tersebut, akan tetapi mecakup seluruh manusia. Oleh sebab itu tidak perlu ada kecemasan dari orang-orang non Muslim terhadap hukum al-Qur’ân tersebut.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allâh, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allâh, sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [al-Maidah/5:8]

Dari sini terjawab kesangsian sebagian orang terhadap penerapan hukum Islam, dimana mereka takut akan terjadi penindasan terhadap umat lain. Sesungguhnya sejarah umat manusia telah membuktikan tentang keadilah Islam terhadap umat lain ketika Islam berkuasa di negeri Syam dan Andalus.

Al-Qur’ân Adalah Jalan Keluar Dari Berbagai Permasalahan Yang Terjadi
Imam Syâfi’i rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satupun permasalahan yang menimpa salah satu pemeluk agama Allâh Azza wa Jalla , kecuali dalam kitab Allâh Azza wa Jalla ada dalil yang menjelaskan petunjuk dalam permasalahan tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

الر ۚ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. [Ibrahim /14:1]

Dan firman Allâh Azza wa Jalla lagi :

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang muslim”. [An-Nahl /16:89]

Juga firman Allâh Azza wa Jalla :

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.[1] [An-Nahl /16:44]

Demikian Imam Syafi’i rahimahullah memandang al-Qur’ân setelah beliau membaca dan menela’ah kandungannya. Pernyataan ini lahir dari beliau bukan sekedar polesan bibir dan wacana. Tapi berdasarkan fakta dan ilmu yang beliau rahimahullah meliki tentang al-Qur’ân itu sendiri. Demikian pula para Ulama-ulama dan setiap orang yang menela’ah dan memahami al-Qur’ân dengan baik dan benar. al-Qur’ân tidak hanya berbicara tentang urusan akhirat saja tapi justru menerangkan segala persoalan yang dibutuhkan manusian dalam kehidupan di dunia. al-Qur’ân tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan pencipta mereka, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lain. Demikian pula al-Qur’ân tidak sekedar mengatur hubungan antar umat yang seagama, tetapi al-Qur’ân juga mengatur hubungan umat yang berbeda agama.

Isi al-Qur’ân tidak terbatas pada ruang lingkup tertentu yang dibatasi oleh masa dan tempat. Isi al-Qur’ân kompleks dan global. al-Qur’ân mengatur segala aspek sisi kehidupan manuisa dalam segala kondisi dan situasi. al-Qur’ân mengatur hubungan antara rakyat dan pemerintah sebagaimana ia mengatur hubungan antara sesama pribadi masyarakat. Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. [an-Nisa’ /4:59]

Adalah sebuah keharusan, kita menyelesaikan segala persoalan kita dan persoalan negara ini dengan ajaran al-Qur’ân. Karena al-Qur’ân tidak sebagaimana yang dikenal oleh kaum liberal dan sekuler hanya sekedar mengatur persoalan rumah tangga dan persoalan beribadah di masjid semata. Mereka menganggap Islam tidak punya konsep dalam mengatur kehidupan bernegara yang majemuk dan plural dalam berbagai hal. Anggapan ini lahir dari orang yang buta tetang al-Qur’ân dan sejarah Islam. Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya:

مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِآبَائِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ ۚ إِنْ يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا

Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta. [al-Kahfi /18:5]

Kewajiban Berhukum Dengan Hukum Yang Diturunkan Allâh Azza wa Jalla
Ayat-ayat al-Qur’ân banyak sekali yang memerintahkan kita untuk menjalankan hukum yang diturunkan Allâh Azza wa Jalla dalam memutuskan berbagai perkara yang terjadi kehidupan kita. Berikut ini penulis sebutkan beberapa ayat yang berkenaan dengan hal tersebut:

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian hukum yang telah diturunkan Allâh kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allâh), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allâh hendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. [al-Mâidah /5:49]

Ayat ini menjelaskan beberapa hal :
1. Perintah tentang wajibnya memnyelesaikan perkara-perkara yang terjadi sesuai dengan apa yang diturunkan Allâh.
2. Larangan mengikuti hawa nafsu orang-orang yang menetang hukum yang diturunkan Allâh.
3. Akan ada sekelompok manusia yang berusaha memfitnah untuk memalingkan kita dari menjalankan hukum Allâh.
4. Ancaman Allâh terhadap orang yang berpaling dari menjalankan hukum yang diturunkan-Nya.
5. Kebanyakan manusia senang berbuat kefasikan dengan cara menolak hukum yang diturunkan Allâh.

Dan firman Allâh :

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”. [al-A’râf /7:3]

Ayat ini mengaskan agar kita mengikuti segala yang diturunkan Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’ân serta menjauhi segala aturan yang menyelisihinya.

Juga firman Allâh:

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allâh wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi pembela orang-orang yang khianat. [an-Nisâ’ /4:105]

Dalam ayat ini Allâh memerintahkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengadili manusia sesuai dengan apa yang diwahyukan Allâh kepadanya. Karena bila mengadili dengan hukum yang tidak sesuai dengan yang diturunkan Allâh, dikhawatirkan akan terjadi pembelaan terhadap orang-orang yang khianat.

Allâh Azza wa Jalla melarang kita untuk ragu-ragu dalam menjalankan hukum-Nya, karena kebenaran hukum Allâh itu telah diakui oleh para Ahli kitab sekalipun. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا ۚ وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

Maka patutkah aku mencari hakim selain Allâh, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (al-Quran) kepadamu dengan terperinci ? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa al-Quran itu benar-benar diturunkan dari Rabbmu. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. [al-An’am /6:114]

Keraguan dalam menjalankan hukum Allâh, akan membawa malapetaka dalam kehidupan kita. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya. [az-Zumar /39:55]

Ajaran Islam Jangan Dipilah-Pilih
Allâh Azza wa Jalla menyuruh kita untuk masuk kedalam Islam secar total, jangan kita memilah sebagian ajaran Islam dan memilih bagian yang lain. Seperti, hanya mengambil ajaran tentang ibadah dan akhlak saja, dan meninggalkan hukum-hukum lainnya. Menjalankan hukum syari’at Islam adalah bagian dari mengamalkan Islam itu sendiri

Allâh menyuruh kita agar masuk kedalam Islam itu secara utuh dan total.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ﴿٢٠٨﴾فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allâh) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Baqarah /2:208-209]

Demikian pula dalam hal mengimani al-Qur’an, kita wajib mengimani dan mengamalkannya dengan sempurna tanpa dipilah-pilih. Balasan bagi orang suka memilah-milih ajaran Islam, ia akan diadzab di akhirat kelak dengan adzab yang keras. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya : Apakah kamu beriman kepada sebahagian Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allâh tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong. [al-Baqarah /2:85-86]

Ayat ini adalah celaan terhadap orang-orang Yahudi dan orang-orang yang menyerupai prilaku mereka dalam beriman kepada kitab Allâh. Mereka beriman pada sebagiannya dan kafir terhadap bagian yang lain. Mereka memilih hal-hal yang sesuai dengan hawa nafsu dan adat-istiadat mereka untuk mereka imani dan amalkan, adapun selainnya mereka tolak.

Hukum Allâh Jangan Ditolak Dengan Alasan Kebudayaan, Adat Dan Kebiasaan
Sebahagian manusia ada yang menolak hukum Allâh Azza wa Jalla dengan alasan bertentangan dengan kebudayaan atau adat dan kebiasaan yang sudah mengakar di masyarakat. Ini adalah alasan klasik yang selalu dipegang oleh orang-orang yang ingin menolak hukum Allâh Azza wa Jalla. Sebagaimana Allâh sebutkan dalamm beberapa ayat al-Qur’ân berikut ini :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allâh,” Mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” [al-Baqarah /2:170]

Dan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allâh dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” [al-Maidah /5:104]

Juga firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang diturunkan Allâh.” Mereka menjawab, “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? [Luqmân /31:21]

Hukum Orang Yang Membenci Dan Menolak Hukum Allâh

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allâh (al Quran) lalu Allâh menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka”. [Muhammad /47:9]

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allâh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. [al-Mâidah /5:44]

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allâh, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim [al-Mâidah /5:45]

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allâh, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”. [al-Mâidah /5:47]

Bila yang mendasari keengganan seseorang untuk melaksanakan hukum Allâh adalah kebenciannya terhadap hukum Allâh itu sendiri, maka itu bisa menyeretnya ke jurang kekufurun. Demikian pula orang yang berasumsi bahwa hukum Allâh Azza wa Jalla tidak cocok untuk zaman sekarang, atau hukum selain hukum Allâh lebih baik dari hukum Allâh dan penerapannya boleh-boleh saja.

Namun untuk menghukum sesorang itu keluar dari Islam perlu dipelajari terlebih dahulu tentang kode etik at-takfîr yang dijelaskan oleh para Ulama. Tidak serta merta seseorang dikafirkan tanpa memperhatikan kode etik yang sudah dijelaskan oleh para Ulama Ahlussunnah dalam kitab-kitab mereka. Kemudian yang berhak menerapkan kode etik tersebut terhadap seseorang yang melakukan sebuah tindakan yang bisa mengeluarkannya dari Islam adalah para Ulama yang berkompeten serta mendapat mandat dari pemerintah.

Namun apabila ia tidak berasumsi seperti hal-hal di atas, maka hal tersebut tidak membawanya kepada jurang kekufuran, akan tetapi ia telah melakukan salah satu dosa besar.

Hukum Allâh Adalah Hukum Yang Paling Adil Dari Segala Hukum
Allâh berfirman:

أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ

Bukankah Allâh Hakim yang seadil-adilnya? [an-Tîn /95:8]

Dalam ayat yang lain :

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allâh bagi orang-orang yang yakin? [al-Mâidah /5:50]

Setiap Muslim meyakini bahwa Allâh adalah Maha Tahu dan Maha Bijaksana dalam segala hukumnnya. Oleh sebab itu, apabila hukum-hukum Allâh diterapkan maka pasti akan melahirkan keadilan dan efek positif dalam kehidupan manusia, seperti qishash, cambuk dan rajam, secara lahir manurut ilmu manusia yang dangkal seakan-akan kurang tepat untuk dilaksanakan. Akan tetapi dalam kenyataan negara yang menerapkan hukum tersebut, terbukti dapat menekan angka kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyakat dengan sekecil-kecilnya.

Menjalankan Hukum Allâh akan Membuka Pintu Kemakmuran Bagi Sebuah Bangsa
Allâh berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. [al-A’raf /7:96]

Dalam ayat yang mulia ini Allâh Azza wa Jalla abadikan janjinya kepada manusia, bahwa jika mereka mau melaksanakan hukum-hukum-Nya dalam kekuasaan mereka, niscaya Allâh Azza wa Jalla akan mebuka pintu-pintu kesejahteraan bagi rakyatnya. Janji yang sama juga Allâh Azza wa Jalla sampai kepada umat pengikut Nabi Musa Alaihissallam dan nabi Isa Alaihissallam. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ ۚ مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ ۖ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ

Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. [al-Maidah /5:66]

Dalam ayat yang lain Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan Allâh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. [an-Nûr /24:55]

Dalam ayat ini Allâh menjanjikan kepada orang-orang mengesakan Allâh dalam ibadahnya kekuasaan, kejayaan dan kesentosaan.

Perlu diketahui bahwa yang disebut ibadah itu tidak terbatas pada shalat, zakat dan puasa semata, akan tetapi mencakup penegakkan hukum Allâh Azza wa Jalla dalam segala urusan kehidupan umat manusia, baik yang berhubungan dengan urusan pribadi dan keluarga maupun urusan pemerintahan negara adalah bagian dari ibadah.

Menjalankan Hukum Allâh Bagian Dari Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan.
Menjalankan hukum Allâh Azza wa Jalla adalah sebagai tanda syukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas nikmat kemerdekaan yang diberikan kepada bangsa ini. Sebagaimana tertuang dalam alinia ke tiga dalam pembukaan UUD 1945, bahwa bangsa ini mengakui kemerdekaan adalah merupakan rahmat dari Allâh Yang Maha Kuasa.

Maka dari itu kita semua, baik rakyat maupun penguasa, seharusnya benar-benar menyadari akan nikmat kemerdekaan yang diberikan Allâh Azza wa Jalla kepada bangsa. Betapa besarnya nikmat kemerdekaan tersebut, hanya dengan bermodalkan persenjataan sederhana bisa mengusir penjajah yang memiliki pasukan yang terlatih dan persenjataan modern dan lengkap. Kalau bukan karena pertolongan dan bantuan Allâh Azza wa Jalla , niscaya kemerdekaan tersebut tidak akan pernah diraih bangsa ini.

Betapa banyaknya para kiyai dan santri yang gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini! Apa yang telah kita berikan untuk menghargai jasa-jasa mereka ? Bukaankah mereka mengorbankan jiwa dan raga mereka demi untuk mempejuangkan Islam ? Bukan untuk mengejar pangkat dan jabatan. Saatnyalah bangsa ini menghargai perjuangan mereka dengan merealisasikan cita-cita mereka, yaitu tegaknya syari’at Allâh di bumi pertiwi ini.

Konstitusi Menjamin Kemerdekaan Menjalankan Ajaran Agama
Dinyatakan dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”

Dalam pasal ini jelas sekali ditegaskan tentang kebebasan menjalankan ajaran agama bagi setiap pemeluknya. Dan tiadak ada pengecualian terhadap ajaran tertentu dalam agama tertentu. Menjalankan hukum Islam adalah bagian dari ajaran Islam yang diperintahkan Allâh yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya. Jika hal itu dilarang berarti umat Islam belum memperoleh kemerdekaan dan kebebasan dengan sepenuhnya dalam menjalankan ajaran agama mereka. Berarti UUD 1945 belum dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya oleh bangsa kita.

Menjalankan Hukum Agama Adalah Pesan Tertulis Dalam Konstitusi
Sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945 alinia ke empat: “Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa…”.

Kemudian ditegaskan kembali dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945 bahwa “Negara berdasar atas Kethanan Yang Maha Esa”.

Apa maksud para pendiri bangsa kita menjadikan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dari Pancasila? Maskudnya adalah agar hukum Tuhan dijadikan sebagai sumber utama dalam segala aspek kehidupan bangsa ini. “Dalam kaitan dengan tertip Hukum Indonesia maka secara material nilai Ketuhanan Yang Maha Esa harus merupakan sumber bahan dan sumber nilai bagi hukum positif di Indonesia”. [Kaelan, Yogyakarta: 2008].

Bahwa pendidikan adalah untuk mencetak manusia yang bertaqwa kepada Allâh. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 31 ayat 2 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya dalam ayat 5 dijelaskan bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjujung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa….

Ini berarti bahwa nagara menjunjung tinggi nilai-nalai dan norma-norma yang datang dari Tuhan. Konsekuensinya segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaran negara harus sesuai dengan hakikat nilai-nilai yang berasal dari Tuhan. Nilai-nilai yang berasal dari Tuhan pada hakikatnya adalah merupakan hukum Tuhan yang merupakan sumber material bagi segala norma, terutama Hukum positif di Indonesia. [Kaelan, Yogyakarta: 2008]

Disini dapat kita pahami bahwa negara kita bukan berpaham komunis yang anti Tuhan dah hukum Tuhan. Dan bukan pula negara liberal yang memberi kebebasan warganya untuk menilai dan mengkritik agamanya, misalnya tentang Nabi, Rasul, Kitab Suci bahkan Tuhan sekalipun. (Kaelan, Yogyakarta: 2008). Demikian pula bahwa negara kita bukanlah negara sekuler yang memisahkan norma-norma hukum positif dengan nilai-nilai dan norma-norma agama.

APAKAH DI INDONESIA SUDAH DITEGAKKAN SYARI’AT?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, tergantung kepada pengertian dan makna dari kata syari’at yang kita sebutkan di awal tulisan ini. Jika syari’at diartikan dengan ajaran Islam secara keseluruhan atau diartikan dengan syari’at sinonim bagi kata fiqih. Maka jawabannya adalah sesungguhnya sebagian besar syari’at telah tegak di Indonesia, namun secara kesuluruhan belum. Seperti shalat, infaq, sadaqah, zakat, puasa, haji, membangun masjid, dan seterusnya. Ini semua adalah syari’at.

Akan tetapi bila syari’at diartikan dengan Hukum Hudûd maka jawaban dari pertanyaan di atas adalah negatif. Walaupun demikian halnya bukan berarti hukum syari’at yang telah dijalankan menjadi batal atau tidak diterima Allâh Azza wa Jalla . Itu juga bukan berarti bahwa meninggalkannnya tidak berdosa, akan tetapi tidak membuat pelakunya keluar dari Islam. Selama ada semangat dan niat serta upaya untuk menginginkan agar dijalankannya syari’at itu secara utuh. Namun kondisi dan kemampuanlah yang membatasi untuk menjalankannya. Terkhusus masalah menegakkan hukum Hudûd yang berkewajiban menjalankannya adalah penguasa, adapun rakyat dan Ulama hanya sebatas memberikan masukan dan nasehat dengan cara baik. Hal tersebut-pun tidak bisa dijadikan alasan untuk membangkang kepada penguasa apalagi sampai berupaya untuk menumbangakan dan mengkudeta kekuasaan yang sah.

APA UPAYA UNTUK MENYEMPURNAKAN PENEGAKAN HUKUM ALLAH DI TENGAH-TENGAH KAUM MUSLIMIN?
Upaya untuk menyempurnakan penegakkan syari’at di tengah-tengah kaum Muslimin adalah dimulai dari tingkat yang paling rendah yaitu dari diri sendiri. Artinya hendaknya sertiap pribadi Muslim memulai penegakkan syari’at tersebut dari diri dan keluarga masing-masing. Kemudian di lingkungan tempat ia bekerja dan komunitasnya. Dengan demikian sedikit demi sedikit, secara beransur-ansur syari’at tersebut akan tegak dalam kehidupan kita.

Sebagaimana pesan Syaikh Nasiruddin al Albâni rahimahullah salah seorang Ulama hadits abad ini, “Tegakkanlah syari’at islam itu dalam diri kalian, niscaya Allâh akan menegakkannya di bumi kalian”.

Upaya penyempurnaan penegakkan syari’at dalam negara kita, bagaikan seorang yang mau memperbaiki bangunan rumahnya yang rusak. Maka tidak mungkin ia menghancurkan rumahnya secara keseluruhan kemudian dibangun baru lagi. Karena bila demikian halnya, ia dan kelurganya akan kehilangan tempat tinggal. Disamping itu ia harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk membangunnya lagi. Nah! bagaimana kalau rumah itu rusak lagi, apakah setiap ada kerusakan pada rumahnya akan dia hancurkan selalu, kemudian baru dibangun lagi ? Sesungguhnya orang yang memiliki akal sehat tidak akan melakukan itu.

Kemudian dalam memperbaiki kerusakan harus ada prioritas, jangan sembrono dengan semaunya. Karena bila demikian halnya pekerjaanya akan sia-sia. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dakwah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula nabi-nabi sebelumnya. Saat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di Makkah tidak pernah menyuruh para sahabat untuk merusak dan menghacurkan rumah tokoh-tokoh kafir Quraisy. Apalagi menculik dan membunuh. Tapi beliau memulai dari menanamkan keimanan terlebih dulu.

Artinya cara-cara kekrasan dan anarkis tidak elegan untuk ditempuh dalam menegakkan syari’at. Karena menumpas kemungkaran tidak boleh dengan cara yang mungkar pula. Dan menegakkan yang ma’ruf harus dengan cara yang ma’ruf pula. Oleh sebab itu tidak dibenarkan dalam agama kita demi untuk membantu anak yatim kita mencuri dan menipu. Untuk contoh-contoh tentang hal tersebut amat banyak dalam agama kita. Wallahu A’lam bish Shawaab

[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVI/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat : “Ahkamul Qur’an : 21