Minggu, 13 November 2022

Orang Yang Hendak Menafsirkan Al-Qur’ân


ORANG YANG HENDAK MENAFSIRKAN AL-QUR’AN HARUS MEMPERHATIKAN DALALAH MUTHABAQAH, DALALATUT TADHAMMUN DAN DALALAH ILTIZAM.

Orang yang hendak menafsirkan al-Qur’ân harus memperhatikan Dalâlah Muthâbaqah [1], Dalâlatut Tadhammun Dan Dalâlah Iltizâm yang ditunjukkan oleh ayat. Sebagaimana juga harus memperhatikan makna lain yang tidak ditunjukkan secara eksplisit oleh ayat

Ini merupakan salah satu kaidah terpenting dalam menafsirkan al-Qur’ân, yang menuntut kecerdasan, pengamatan yang cermat dan niat yang benar.

Sesungguhnya al-Qur’ân diturunkan oleh Dzat yang mengetahui segala sesuatu. Rabb yang ilmu-Nya meliputi segala yang terkandung dalam hati manusia, Maha mengetahui makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an, mengetahui segala yang mengiringi atau yang mendahului makna-makna itu serta mengetahui segala yang terkait dengannya. Oleh karena itulah, para Ulama sepakat untuk berdalil dengan menggunakan konsekuensi makna pada setiap firman Allah Azza wa Jalla.

Metode untuk menerapkan kaidah ini yaitu (pertama-red) dengan memahami makna-makna yang ditunjukkan oleh teks ayat. Apabila telah dipahami dengan baik, maka (kedua-red) harus dipikirkan segala yang terkait dengan makna tersebut, sarana-sarana untuk mewujudkannya serta syarat-syaratnya. Juga harus dipikirkan akibat-akibatnya, karena segala yang muncul darinya juga yang akan terbangun di atasnya. Dengan konsisten pada unsur-unsur di atas, maka akan memiliki kemampuan yang baik untuk menyelami makna-makna itu dengan detail. Sesungguhnya al-Qur’ân itu haq; maka konsekuensi dari sesuatu yang haq itu adalah haq; segala yang terkait dengan sesuatu yang haq juga haq; cabang dari sesuatu yang haq itu juga haq. Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah Azza wa Jalla untuk menempuh metode ini, berarti telah terbuka baginya ilmu-ilmu yang bermanfaat dan pengetahuan yang sangat agung.

Berikut adalah beberapa contoh sebagai penjelasan:

1. Dalam Asmâ’ul Husnâ “ar-Rahmân ar-Rahîm”. Lafal ini menunjukkan sifat rahmat (kasih sayang) yang dimiliki oleh Allah Azza wa Jalla juga keluasannya. Jika anda sudah paham bahwa sifat Rahmat (kasih-sayang) yang tidak ada tandingannya ini merupakan sifat yang ada pada Allah Azza wa Jalla ; juga anda paham bahwa Allah Azza wa Jalla memberikan rahmat-Nya kepada seluruh makhluk, tidak ada seorang pun yang luput dari rahmat Allah Azza wa Jalla meski hanya sekejap. Maka, anda juga akan tahu bahwa Allah Azza wa Jalla itu Maha hidup, Maha kuasa untuk melaksanakan keinginan-Nya, Maha tahu dan Maha bijak. Karena sifat rahmat berkaitan erat dengan semua ini. Kemudian juga keluasan rahmat Allah Azza wa Jalla ini, bisa anda jadikan sebagai dalil untuk menunjukkan bahwa syariat Allah Azza wa Jalla itu adalah cahaya dan rahmat-Nya. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla sering menjadikan rahmat dan ihsan-Nya sebagai alasan menetapkan banyak syari’at.

2. Contohnya lainnya adalah firman Allah Azza wa Jalla :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. [an-Nisâ`/4:58]

Apabila seseorang telah paham bahwa Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar menunaikan semua amanah kepada orang yang berhak. Maka ia dapat menjadikan ini sebagai dalil atas wajibnya menjaga amanah, tidak menyia-nyiakannya atau menelantarkannya. Karena amanah tidak mungkin bisa ditunaikan kecuali dengan menjaga amanah itu sendiri.

Juga, jika seseorang telah mengetahui bahwa Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar memutuskan suatu perkara dengan adil. Maka, ia dapat menggunakan ini sebagai dalil atas wajibnya setiap hakim yang memutuskan semua perkara, yang besar maupun yang kecil, untuk mengetahui dan memahami apa yang akan dipergunakan untuk menetapkan hukum. Jika ia seorang hakim agung, maka ia wajib memiliki ilmu yang luas sehingga ia berhak menduduki posisi itu. Sedangkan jika ia seorang hakim dalam sebagian masalah saja, seperti hakim yang akan menyelesaikan percekcokan dalam rumah tangga, maka dia wajib memiliki ilmu tentang masalah yang akan ditanganinya. Ini juga bisa kita jadikan sebagai dalil atas wajibnya menuntut ilmu. Yaitu menuntut ilmu tentang masalah-masalah yang dibutuhkan seorang hamba menjadi fardhu ‘ain atas hamba yang bersangkutan; karena Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan banyak perintah kepada kita dan juga melarang kita dengan banyak larangan. Sebagaimana diketahui bersama, pelaksanaan perintah dan usaha menjauhi larangan oleh seorang hamba tergantung pada ilmu yang dia miliki. Sebab, bagaimana mungkin orang yang tidak tahu bisa melaksanakan atau menjauhi sesuatu yang dia sendiri tidak tahu.

Begitu juga perintah Allah Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya agar ber-amar ma’ruf (menyeru kepada keibaikan) dan nahi munkar (mencegah kemungkaran). Penerapan perintah ini juga tergantung kepada pengetahuan seseorang tentang perkara-perkara yang ma’rûf dan perkara-perkara yang mungkar, sehingga dia bisa menyerukan yang ma’rûf dan mencegah dari yang mungkar. Dalam kaidah :

مَا لاَيَتِمُّ الْوَاجِبْ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Sesuatu perkara yang wajib, jika tidak bisa sempurna dilaksanakan kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya juga wajib.

Demikian pula sesuatu yang menjadikan sebuah larangan tidak bisa ditinggalkan kecuali dengannya, maka sesuatu itu hukumnya juga wajib. Karena, meninggalkan larangan hukumnya wajib. Jadi, sebelum melaksanakan amal shalih, terlebih dahulu harus memiliki ilmu tentangnya. Begitu juga dalam meninggalkan larangan, harus mengetahui ilmunya dulu baru bisa meninggalkan larangan. Karena seseorang tidak mungkin bisa meninggalkan sesuatu yang dia tidak tahu dengan sengaja dan dalam rangka beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.

3. Contoh lain tentang penerapan kaidah di atas adalah dalam perintah dan dorongan Allah Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya agar berjihad. Konsekuensi dari perintah jihad ini adalah perintah terhadap semua sarana untuk bisa melaksanakan jihad, seperti belajar memanah, berkendaraan, belajar menggunakan peralatan jihad, juga perintah untuk memproduksinya. Dalâlatul iltizâm dari perintah jihad ini juga merupakan dalâlah muthâbaqah dalam firman Allah Azza wa Jalla :

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ

Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi. [al-Anfâl/8:60]

Ayat ini mencakup segala kekuatan, baik pikiran, fisik, strategi dan lainnya.

4. Contoh yang lainnya adalah permohonan para hamba kepada Allah Azza wa Jalla supaya dijadikan imam bagi orang-orang yang bertakwa. Permohonan ini mencakup semua hal yang menjadikan mereka layak sebagai imam dalam agama, seperti ilmu yang banyak, pengetahuan yang tinggi, amal shalih dan akhlak terpuji. Karena permohonan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla agar diberi sesuatu, berarti memohon agar diberi sesuatu yang diminta itu, sekaligus memohon agar diberi segala sarananya. Sebagaimana permohonan seorang hamba agar dimasukkan ke surga dan dijauhkan dari neraka. Maka ini sekaligus sebagai permohonan agar diberi petunjuk terhadap semua yang bisa mendekatkannya ke surga dan menjauhkan dirinya dari neraka.

5. Contoh yang lain, Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar para hamba berbuat baik dan mengadakan perbaikan. Allah Azza wa Jalla memuji orang-orang yang mengadakan perbaikan. Dan Allah Azza wa Jalla mengabarkan bahwa Allah Azza wa Jalla tidak akan memperbaiki perbuatan orang-orang yang suka berbuat kerusakan.

Ini bisa dijadikan dalil bahwa setiap perkara yang mendatangkan kebaikan agama atau dunia bagi seorang hamba serta sarana untuk mewujudkan perbaikan ini, masuk dalam perintah dan anjuran Allah Azza wa Jalla di atas. Sebaliknya, semua keburukan, bahaya serta kerusakan, masuk dalam lingkup larangan Allah Azza wa Jalla .

Ini juga bisa dijadikan dalil wajibnya mengusahakan sesuatu yang bisa mewujudkan perbaikan sesuai dengan kemampuan. Sebagaimana perkataan Nabi Syuaib Alaihissallam :

إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ

Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. [Hûd/11:88]

6. Contoh yang lain adalah firman Allah Azza wa Jalla :

حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ

Kobarkanlah semangat para Mukmin untuk berperang. [al-Anfâl/8:65]

Dan juga:

وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang Mukmin [al-Ahzâb/33:47]

Perintah dalam ayat ini berarti juga perintah untuk melaksanakan sarana agar bisa memberikan kabar gembira serta perintah untuk melaksanakan segala sarana yang bisa memberikan dorongan dan motivasi; segala yang terkait dengannya dan segala yang mengiringinya seperti latihan untuk menumbuhkan keberanian serta usaha membangun kekuatan mental seperti menggalang persatuan dan lain sebagainya.

7. Contoh yang lain adalah perintah Allah Azza wa Jalla untuk menyampaikan hukum-hukum syariat, mengingatkan manusia serta perintah agar mengajarkan hukum syari’at kepada manusia. Maka segala hal yang menjadi sarana untuk melaksanakan perintah ini yaitu menyampaikan hukum-hukum syariat kepada para mukallaf masuk dalam perintah Allah Azza wa Jalla di atas. Seperti perintah agar menyampaikan tentang hilâl untuk penetapan puasa, hari raya dan haji. Maka perintah menyampaikan di sini meliputi perintah menyampaikan dengan suara, atau tembakan atau cara yang lebih cepat seperti mesin faksimile dan lain-lain. Demikian juga perintah menyampaikan ini mencakup perintah terhadap setiap sarana pendukung untuk menyampaikan suara kepada pendengar, seperti berbagai perangkat modern saat ini. Tidak adanya berbagai perangkat ini pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tidak menjadikan perangkat-perangkat ini terlarang dalam Islam. Al-Qur’ân tidak melarang penggunaan sesuatu, selama bermanfaat bahkan bagi orang bisa memahami al-Qur’ân dengan baik; sehingga dia akan mendapati bahwa al-Qur’an menganjurkan penggunaannya.

Ini merupakan bukti kebenaran al-Qur’ân, bahwa ilmu yang benar tidak akan bertentangan dengan al-Qur’ân. Karena sesungguhnya al-Qur’ân itu datang membawa hal-hal yang dapat difahami logika secara global atau terperinci; dan hal-hal yang tidak terjangkau akal manusia. Sedangkan pemahaman bahwa al-Qur’ân datang membawa sesuatu yang ditolak oleh akal sehat, maka hal itu tidak mungkin terjadi. Berbagai percobaan telah membuktikan pernyataan ini. Bukti lainnya adalah kemajuan teknologi dan industri, perkembangan pengetahuan alam yang pesat, sehingga manusia sekarang ini mampu mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui, semua ini tidak dinyatakan mustahil oleh al-Qur’ân, bahkan ada sebagian ayat yang secara umum mengisyaratkan adanya kemajuan ini. Wallâhu a’lam wa ahkâm.

(Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di, Hal 34-37)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Dalâlah muthâbaqah yaitu sebuah kalimat menunjukkan makna lengkapnya. Misalnya, kata “mobil” yang bermakna mobil secara keseluruhan, mulai dari bagian terkecil sampai terbesar. Bila kata mobil disebutkan tapi yang diinginkan adalah bagian dari mobil berarti itu dalâlah tadhammun, contoh, mobil rusak. Yang rusak hanya bagian tertentu saja, tidak semua. Sedangkan dalâlah iltizâm, maksudnya adalah penunjukkan sebuah kalimat terhadap hal-hal yang berkait dengan maknanya tetapi bukan bagian dari makna sendiri. Misalnya, kalimat “mobil itu berjalan”. Orang yang mendengar kalimat ini akan terbayang keberadaan sopir yang mengendalikannya.

🌐 Cerkiis.blogspot.com