Rabu, 22 Februari 2017
Pembagian Mushaf Al - Qur'an Di Kampung Sedong Tahap Pertama (22 Februari 2017)
Rabu, 08 Februari 2017
Mutiara Nasihat
Selasa, 07 Februari 2017
Kisah Taubat Tiga Orang Sahabat Yang Tidak Ikut Dalam Perang Tabuk
BAHASAN : SIRAH NABI
KISAH TAUBAT TIGA ORANG SAHABAT YANG TIDAK IKUT DALAM PERANG TABUK
Setelah menempuh perjalanan panjang dan lama dari Tabûk, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukan kaum Muslimin tiba di Madinah. Setibanya di Madinah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki masjid lalu shalat dua rakaat. Demikianlah kebiasaan beliau setelah melakukan perjalanan jauh.
Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dan orang-orang yang tidak ikut dalam perang Tabûk mulai berdatangan menemui Beliau sambil menjelaskan alasan mereka tidak ikut dalam perang Tabûk. Orang-orang munafik yang tidak ikut dalam peperangan tersebut menyebutkan berbagai alasan dusta, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menerima alasan-alasan yang mereka ucapkan, membai’at mereka kembali dan memohonkan ampunan buat mereka, sedangkan urusan hati mereka diserahkan kepada Allâh Azza wa Jalla.
Beda Sikap Kaum Mukminin Dan Kaum Munafik Pada Perang Tabuk
BAHASAN : SIRAH NABI
BEDA SIKAP KAUM MUKMININ DAN KAUM MUNAFIK PADA PERANG TABUK
Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan perintah berperang dan berinfaq untuk mempersiapkan pasukan perang Tabuk, maka tampak dua sikap yang berbeda dari dua golongan yang berbeda pula, dari orang-orang beriman yang taat kepada Allâh dan Rasul-Nya dan satu lagi dari yang munafiq yang senantiasa menyelisihi Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.
Perang Tabuk Atau Al-'Usrah
BAHASAN : SIRAH NABI
PERANG TABUK ATAU AL-‘USRAH [1]
MENGAPA DINAMAKAN PERANG TABUK DAN AL-‘USRAH?
Imam Muslim[2] meriwayatkan perjalanan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya yang sedang menuju Tabûk. Dalam hadits itu disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَأْتُوْنَ غَدًا إِنْ شَاءَ اللهُ عَيْنَ تَبُوْكَ وَإِنَّكُمْ لَنْ تَأْتُوْهَا حَتَّى يُضَحَّى النَّهَارُ فَمَنْ جَاءَهَا مِنْكُمْ فَلاَ يَمُسَّ مِنْ مَائِهَا شَيْئًا حَتَّى آتِيَ
Insya Allâh besok kalian akan sampai di mata air Tabûk, dan sungguh kalian tidak akan sampai ketempat itu kecuali setelah waktu agak siang dan barangsiapa sampai duluan maka janganlah dia menyentuh airnya sedikitpun sampai aku datang (ke tempat itu)
Pembagian Ghanimah Perang Hunain
PEMBAGIAN GHANIMAH PERANG HUNAIN[1]
Setelah memutuskan untuk mengakhiri pengepungan benteng Thaif, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Ji’ranah tempat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyimpan ghanimah (harta rampasan) perang Hunain sebelum berangkat mengepung Thaif. Setibanya di Ji’ranah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak langsung membagi harta rampasan perang tersebut kepada para Shahabat yang ikut dalam perang Hunain kecuali perak yang jumlahnya tidak tidak terlalu banyak. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja menunda pembagian ghanimah ini beberapa hari, dengan harapan akan ada utusan dari kabilah Hawazin yang datang untuk menyatakan taubat dan menerima Islam. Namun ternyata tidak ada yang datang. Akhirnya ghanîmah dibagikan kepada kaum muhajirin dan para tawanan yang dibebaskan, sementara kaum Anshar tidak mendapatkan bagian sedikitpun.
Perang Hunain (Bagian-2)
BAHASAN : SIRAH NABI
PERANG HUNAIN
Dalam bagian sebelumnya, telah dikisahkan tatkala perang memanas, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil segenggam tanah lalu melemparkannya ke wajah kaum musyrikin sembari berseru: شَاهَتِ الوُجُوْهُ (wajah-wajah yang buruk), maka tidak tersisa seorang pun dari mereka saat itu melainkan kedua matanya kemasukan tanah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
انْهَزِمُوْا وَرَبِّ مُحَمَّدٍ
(kalahlah kalian, demi Rabb-nya Muhammad), maka mereka pun lari mulai berlarian hingga terpukul mundur.[1]
Perang Hunain (Bagian-1)
BAHASAN : SIRAH NABI
PERANG HUNAIN
Setelah kota Mekah takluk di tangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata masih ada sejumlah kabilah Arab yang belum menyerah, seperti Bani Tsaqîf, Hawazin, dan sejumlah kabilah lainnya. Semua kabilah tadi akhirnya bersatu untuk melawan kaum Muslimin, sembari mengerahkan anak-anak, kaum wanita, dan harta benda mereka.
Begitu mendengar gerakan mereka, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung mengutus Abdullah bin Abi Hadrad al- Aslami untuk klarifikasi berita tersebut.[1] Setelah nyata kebenaran berita dan maksud mereka maka Rasûlullâh bersiap-siap untuk perang.
Fathu Makkah (Tahun Ke-8 Bagian 2)
FATHU MAKKAH (TAHUN KE-8H)
Oleh Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan, Lc, MA
KEBERANGKATAN PASUKAN DAN PERISTIWA YANG MENGIRINGINYA
Pada tanggal 10 Ramadhân tahun 8 H, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Abu Ruhm Radhiyallahu anhu sebagai wakil beliau di Madinah, lalu beliau berangkat bersama 10 ribu pasukan menuju Mekkah. Selama perjalanan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin tetap berpuasa hingga sampai ke tempat bernama Kadîd, yang terletak di antara ‘Usfan dan Qudaid (sekitar 70-150 Km dari Mekkah). Di tempat ini, Rasûlullâh dan kaum Muslimin menghentikan puasanya.
Fathu Makkah (Tahun Ke-8 Bagian 1)
FATHU MAKKAH (TAHUN KE-8H)
Oleh Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan, Lc, MA
SEBAB-SEBAB YANG MEMICUNYA
Musyrikin Quraisy melakukan kesalahan besar ketika membantu sekutunya -Bani Bakr- untuk melawan Khuzâ’ah –sekutu kaum Muslimin-, yaitu dengan memberi senjata, kuda dan pasukan. Bani Bakr dan sekutu mereka pun menyerang Kabilah Khuzâ’ah di sebuah daerah bernama al-Watîr. Mereka membunuh lebih dari dua puluh orang anggota Khuzâ’ah. Suku Khuzâ’ah yang belum siap berperang tadi lantas berlindung ke tanah suci (Mekkah) untuk menyelamatkan diri dari kejaran Bani Bakr dan sekutunya (Quraisy). Sesampainya di Mekkah, Khuzâ’ah berkata kepada panglima musuhnya, “Hai Naufal, kami sekarang berada di kawasan suci tuhanmu!” Namun Naufal justru menukas, “Tidak ada tuhan hari ini… hai Bani Bakr, lampiaskan dendam kalian!” teriaknya.[1]
Ekspedisi Militer Dzatus-Salasil
BAHASAN : SIRAH NABI,
EKSPEDISI MILITER DZATUS-SALASIL[1]
Oleh Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan, Lc, MA
Hanya selang beberapa hari sepulang dari Mu’tah, Nabi kembali memberangkatkan ekspedisi militer kaum Muslimin yang dipimpin oleh ‘Amru ibnul-Ash ke Dzâtus-Salâsil. Tujuan ekspedisi ini untuk memberi pelajaran kepada Suku Qudha’ah yang terprovokasi, melihat kelemahan kaum Muslimin di Mu’tah. Suku Qudha’ah konon mengumpulkan pasukan untuk menyerbu kota Madinah, hingga mereka dihadang oleh ‘Amru dengan pasukan gabungan dari Muhajirin dan Anshar sebanyak 300 orang.
Perang Mut'ah
BAHASAN : SIRAH NABI
PERANG MU’TAH
Oleh Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan Lc, M.A.
Mu’tah adalah nama sebuah desa di daerah Balqa’ di Syam. Peperangan yang terjadi pada bulan Jumadal Ula tahun 8 H ini disebut pula dengan Ghazwatu Jaisyil Umara’, artinya perang pasukan para pemimpin. Disebut demikian, karena banyaknya jumlah pasukan kaum Muslimin yang kala itu mencapai 3000 personel, dan sengitnya pertempuran melawan pihak kafir.
Menurut Ibnu Ishâq rahimahullah, dalam perang ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan yang dipimpin Zaid bin Hâritsah Radhiyallahu anhu seraya berpesan, “Bila Zaid terbunuh, maka Ja’far bin Abi Thâlib yang menggantikan. Dan bila Ja’far terbunuh, maka Abdullâh bin Rawâhah yang menggantikan”.[1]
Langganan:
Postingan (Atom)