FATHU MAKKAH (TAHUN KE-8H)
Oleh Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan, Lc, MA
KEBERANGKATAN PASUKAN DAN PERISTIWA YANG MENGIRINGINYA
Pada tanggal 10 Ramadhân tahun 8 H, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Abu Ruhm Radhiyallahu anhu sebagai wakil beliau di Madinah, lalu beliau berangkat bersama 10 ribu pasukan menuju Mekkah. Selama perjalanan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin tetap berpuasa hingga sampai ke tempat bernama Kadîd, yang terletak di antara ‘Usfan dan Qudaid (sekitar 70-150 Km dari Mekkah). Di tempat ini, Rasûlullâh dan kaum Muslimin menghentikan puasanya.
Ada beberapa peristiwa yang terjadi selama perjalanan menuju Mekkah, di antaranya ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya tiba di daerah Juhfah (sekitar 180 km dari Mekkah), beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpapasan dengan Abbas Radhiyallahu anhu pamannya, yang berhijrah dengan istri dan anaknya. ‘Abbâs Radhiyallahu anhu selama ini bertindak selaku mata-mata Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah, dan setelah tugasnya selesai, ‘Abbâs pun pergi dari Mekkah. Ini menunjukkan bahwa tidak hijrahnya ‘Abbâs Radhiyallahu anhu selama ini adalah karena perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Peristiwa lain yang terjadi ialah sepupu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Sufyân ibnul-Harits ibnu Abdil-Muththalib masuk Islam; demikian pula Abdullâh bin Umayyah ibnul-Mughirah. Mereka berdua juga hijrah dari Mekkah dan bertemu dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di tempat yang bernama Tsaniyyatul-‘Uqab, antara Mekkah dan Madinah. Keduanya berusaha menemui Rasûlullâh, maka Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma berkata kepada Rasûlullâh, “Wahai Rasûlullâh, dia adalah putera dari paman dan bibimu sekaligus iparmu,” namun Nabi Shllallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku tidak memerlukan mereka berdua. Adapun anak pamanku, maka ia telah menjatuhkan nama baikku; sedangkan anak bibiku, maka ia pernah berkata ngawur sewaktu di Mekkah”.
Ketika jawaban Nabi Shllallahu ‘alaihi wa sallam tadi sampai kepada mereka berdua, Abu Sufyân ibnul Harits kala itu membawa anaknya yang masih kecil, ia bersumpah, “Demi Allâh, Rasûlullâh harus mengizinkanku menemuinya, atau aku akan pergi bersama anak ini ke sebuah tempat dan tinggal di sana hingga mati kelaparan atau kehausan”.
Mendengar sumpah sepupunya tadi, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya iba dan mengizinkan mereka untuk masuk menemuinya. Di sanalah Abu Sufyân menyatakan keislaman dan meminta maaf atas kesalahannya lewat sebuah syair yang indah.
Sebelum ini Abu Sufyân Ibnul Harits sering menghina Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui syair-syairnya. Sedangkan Abdullâh bin Umayyah pernah berkata kepada beliau, “Demi Allâh, aku takkan beriman kepadamu sampai engkau membikin tangga ke langit, lalu menaikinya sembari kulihat. Kemudian engkau datang membawa surat pernyataan yang diiringi oleh empat orang malaikat sebagai saksi atas kebenaran ucapanmu. Demi Allâh, kalaupun engkau bisa melakukannya, maka kurasa aku tetap takkan mempercayaimu,” lanjut Abdullâh bin Umayyah.
Walaupun kejahatan mereka berdua demikian besar, Nabi Shllallahu ‘alaihi wa sallam tetap memaafkan mereka dan ini merupakan potret keluruhan budi pekerti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memaafkan kesalahan orang lain. Abu Sufyân ibnul Harits juga telah menebus semua kejahatan masa lalunya dengan menggubah syair indah yang memuji Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menjelaskan bahwa dirinya telah mendapat hidayah. Abu Sufyân Radhiyallahu anhu di kemudian hari menjadi seorang Muslim yang baik dan memiliki peran besar dalam perang Hunain bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[1]
KEISLAMAN ABU SUFYAN BIN HARB
Kemudian Rasûlullâh beserta pasukan meneruskan perjalanan mereka hingga tiba di sebuah lembah bernama Marr adh-Dhahran (sekitar 22 km sebelah utara Mekkah). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam singgah di sana pada waktu Isya’, lalu memerintahkan pasukan yang berjumlah 10 ribu personel untuk menyalakan api unggun, dan mengangkat Umar bin Khatthab sebagai penjaga keamanan.[2]
Melihat pemandangan tersebut, Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Bagaimana kiranya nasib suku Quraisy besok, kalau Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai masuk ke Mekkah secara paksa sebelum mereka menghadap beliau dan mendapat jaminan keamanan darinya ? Pastilah itu akan menjadi kebinasaan suku Quraisy sepanjang masa”.
Dia lantas menunggangi bighal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencari seseorang yang dapat menyampaikan berita ke Mekkah agar para pembesarnya datang menghadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta keamanan sebelum beliau memasukinya secara paksa.
Pada saat yang sama, Abu Sufyân, Hakim bin Hizam, dan Budail bin Warqa’ juga sedang keluar mencari-cari berita. Ketika mereka menyaksikan cahaya api unggun tersebut, Abu Sufyân berkomentar, “Aku belum pernah menyaksikan api unggun dan pasukan sebanyak ini”.
“Demi Allâh, ini pasti pasukan milik Khuzâ’ah yang tersulut api peperangan,” sahut Budail.
“Ah, tidak mungkin! Khuzâ’ah terlalu remeh dan kecil untuk memiliki pasukan dan api sebesar itu,” sanggah Abu Sufyân.
Sayup-sayup, Abbâs mendengar pembicaraan mereka dan mengenali suara tersebut, maka ia lantas memanggil Abu Sufyân, “Hai, Abu Hanzhalah (julukan Abu Sufyân)!”
Abu Sufyân balik bertanya, “Engkau Abu Fadhl (julukan Abbas)?”
“Benar!” jawab Abbas.
“Ada apa denganmu?” tanya Abu Sufyân.
“Waduh, celaka engkau, wahai Abu Sufyân! Itu adalah pasukan Rasûlullâh. Alangkah malang nasib suku Quraisy besok!” kata Abbas.
“Lalu bagaimana solusinya?” tanya Abu Sufyân.
“Demi Allâh, kalau sampai Rasulullâh berhasil menangkapmu, pasti kepalamu dipenggal. Ayo, naikilah bighal ini bersamaku agar kubawa engkau menghadap Rasûlullâh, dan kumintakan jaminan keamanan bagimu,” kata Abbâs.
Abbâs mengatakan, “Abu Sufyân lantas memboncengku dan memulangkan kedua temannya. Aku lantas pergi menghadap Rasûlullâh, dan tiap kali kami melewati api unggun, pasukan di sekitarnya bertanya, “Siapa ini?” namun begitu mereka melihat bighal Rasûlullâh , mereka mengatakan, “Ini paman Rasûlullâh yang menunggangi bighalnya”.
Hingga lewatlah kami dekat api unggun yang dinyalakan Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu, maka sontak ia bertanya, “Siapa ini?” sembari bangkit menghampiriku. Dan begitu melihat Abu Sufyân membonceng di belakangku, ia berteriak, “Aaah! Ini Abu Sufyân musuh Allâh. Segala puji bagi Allâh yang menundukkanmu kepadaku saat tak ada gencatan senjata,” sambil lari menghadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Umar Radhiyallahu anhu masuk menemui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasûlullâh, inilah Abu Sufyân yang Allâh tundukkan untukku saat tak ada gencatan senjata, maka biarkan kupenggal lehernya!”
“Tapi aku telah memberinya suaka, wahai Rasûlullâh,” sergah Abbâs. Meski begitu, Umar tetap ngotot ingin membunuhnya dan minta izin berulang kali hingga Abbâs berujar, “Tunggu dulu, wahai Umar. Seandainya ia (Abu Sufyân) berasal dari Bani ‘Adiy (marga Umar), engkau tidak akan berkata demikian, khan? Ini kau lakukan karena engkau tahu bahwa dia tokoh Bani Abdi Manaf,” lanjut Abbas.
Maka jawab Umar, “Tunggu, wahai Abbas! Sungguh keislamanmu saat engkau masuk Islam, adalah lebih kusukai daripada keislaman Khatthab, ayahku, andaipun dia masuk Islam. Dan aku tak punya kepentingan apa-apa dengan sikap ini, kecuali karena aku tahu bahwa keislamanmu lebih disukai oleh Rasûlullâh daripada keislaman Khatthab, kalaupun ia masuk Islam,” sanggah Umar Radhiyallahu anhu.
Maka Rasûlullâh pun memerintahkan Abbâs agar membawa Abu Sufyân ke tendanya, dan mendatanginya lagi besok pagi. Keesokan harinya, Abbâs kembali menghadap Rasûlullâh. Begitu melihatnya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Celaka engkau, wahai Abu Sufyân, apa engkau masih belum yakin bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi selain Allâh?”
“Demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu, engkau sungguh penyabar, santun, dan memelihara silaturahmi. Sungguh demi Allâh, aku telah menduga bahwa andai saja di sana ada ilah selain Allâh, pastilah ia dapat membelaku,” jawab Abu Sufyân.
“Celaka engkau, wahai Abu Sufyân, apa engkau masih belum yakin bahwa aku adalah Rasûlullâh ?” tanya beliau kembali.
“Demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu, engkau sungguh penyabar, santun, dan memelihara silaturahmi. Untuk yang satu ini, masih ada ganjalan di hatiku sampai saat ini,” jawab Abu Sufyân.
“Hei, celaka engkau! Cepatlah masuk Islam sebelum lehermu dipenggal!” sergah Abbas. Maka Abu Sufyân pun mengucapkan dua kalimat syahadat dan menyatakan keislamannya. Setelah itu, Abbas mengusulkan kepada Rasulullah, “Wahai Rasûlullâh, Abu Sufyân adalah orang yang suka mendapat kehormatan, maka berilah ia suatu kehormatan.”
“Baiklah,” kata Rasûlullâh. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنَ دَخَلَ دَارَ أَبِي سُفْيَانَ فَهُوَ آمِنٌ، مَنْ أَغْلَقَ بَابَهُ فَهُوَ آمِنٌ، وَمَنْ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَهُوَ آمِنٌ
Barangsiapa masuk ke rumah Abu Sufyân, maka dia aman. Barangsiapa menutup pintu rumahnya, maka dia aman. Barangsiapa masuk ke masjid, maka dia aman.
Setelah Abu Sufyân pergi, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh Abbas agar membawa Abu Sufyân ke sebuah celah di lereng gunung yang nanti akan dilewati oleh pasukan Rasûlullâh, agar ia bisa menyaksikannya. Maka Abbas pun membawanya ke tempat tersebut, dan lewatlah pasukan Rasûlullâh kabilah demi kabilah dengan panji masing-masing. Tiap kali ada kabilah yang lewat, Abu Sufyân bertanya, “Siapa itu, wahai Abbâs Radhiyallahu anhu ?”
“Itu adalah Bani Sulaim,” jawab Abbas.
“Hmm, aku tidak ada urusan dengan Bani Sulaim,” gumam Abu Sufyân.
Lalu lewatlah kabilah berikutnya, dan Abu Sufyân kembali bertanya, “Siapa itu, wahai Abbas?”
“Itu adalah suku Muzainah,” jawab Abbas.
“Hmm, aku tidak ada urusan dengan Muzainah,” gumam Abu Sufyân.
Hingga lewatlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan batalyon seragam hijaunya, yang terdiri dari suku Muhajirin dan Anshar. Tidak ada yang nampak dari mereka melainkan kilauan pedang dan besi. Maka Abu Sufyân bertanya keheranan, “Subhanallâh, wahai Abbas, siapa mereka?”
“Itulah Rasûlullâh dalam pasukan Muhajirin dan Anshar,” jawab Abbas.
“Sungguh, sebelum ini tak ada seorang pun yang menguasai mereka,” celetuk Abu Sufyân, lanjutnya,”Namun, demi Allâh, hari ini kerajaan anak saudaramu itu menjadi sangat besar.”
Maka kata Abbas, “Wahai Abu Sufyân, itu bukanlah kerajaan, namun kenabian”
“Baik sekali kalau begitu,” jawab Abu Sufyân.
“Ayo, selamatkan kaummu sekarang!” kata Abbas.[3]
DARI PENGGALAN KISAH FATHU MAKKAH DI ATAS, ADA BEBERAPA PELAJARAN YANG BISA DIPETIK.
Pertama, Islam adalah agama pemaaf, dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi yang penyayang. Hal ini dibuktikan dengan memaafkan sejumlah orang yang semula adalah musuh bebuyutannya dan berulang kali menyakitinya selama bertahun-tahun. Namun ketika mereka memilih Islam, maka hilanglah seluruh dendam kesumat tadi, dan bergantilah ia dengan cinta karena Allâh.
Kedua, pentingnya menguatkan keimanan orang yang baru masuk Islam dengan memberi penghargaan khusus yang sesuai dengan karakternya, sebagaimana yang dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Abu Sufyân bin Harb.
Ketiga, pentingnya melancarkan perang urat syaraf demi menghindari kontak senjata semampunya, sebagaimana yang dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat perintahnya untuk menyalakan api unggun yang demikian banyak. Demikian pula ketika beliau menyuruh Abbas membawa Abu Sufyân sebagai tokoh Quraisy agar menyaksikan langsung betapa besar pasukan yang akan menguasai Mekkah. Sebab beliau ingin agar warga Mekkah menyerah tanpa perlawanan sedikit pun, sehingga tidak terjadi pertumpahan darah di bumi yang suci tersebut.
Keempat, ketulusan cinta Umar bin Khatthab kepada Nabi Shllallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarganya, sampai-sampai keislaman Abbas lebih dicintainya daripada keislaman ayahnya –seandainya ia masuk Islam-, dan itu semata-mata karena Abbas lebih dicintai oleh Rasûlullâh.
Kelima, pentingnya meluruskan pemahaman bahwa ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah demi mencari ridha Allâh, bukan demi kekuasaan, fanatisme golongan, atau kepentingan pribadi beliau. Sebagaimana yang dilakukan Abbas ketika menegur Abu Sufyân yang mengatakan, “Alangkah besarnya kerajaan anak saudaramu sekarang”, dengan mengatakan, “Wahai Abu Sufyân, itu adalah kenabian”.
Jadi, “kenabian” adalah cap yang senantiasa melekat dalam semua gerak-gerik Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sejak beliau diutus hingga dipanggil menghadap Allâh kembali. “Kenabian” adalah karakter yang senantiasa mewarnai sikap beliau dalam semua kondisi, baik ketika beliau lemah dan tertindas, hingga beliau kuat dan berkuasa.[4]
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVI/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079, artikel: almanhaj]
Footnote
[1] Lihat at-Tarîkh al-Islami, 7/182.
[2] Lihat Thabaqat Ibnu Sa’ad (2/135) dan as-Sîrah an-Nabawiyah, Ali Shallabi, hlm. 455.
[3] Lihat Shahîh as Sîrah an-Nabawiyah, hlm. 518-520.
[4] Lihat as-Sîrah an-Nabawiyah, Ali Shallabi, hlm. 457-458.