BAHASAN : SIRAH NABI
PERANG MU’TAH
Oleh Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan Lc, M.A.
Mu’tah adalah nama sebuah desa di daerah Balqa’ di Syam. Peperangan yang terjadi pada bulan Jumadal Ula tahun 8 H ini disebut pula dengan Ghazwatu Jaisyil Umara’, artinya perang pasukan para pemimpin. Disebut demikian, karena banyaknya jumlah pasukan kaum Muslimin yang kala itu mencapai 3000 personel, dan sengitnya pertempuran melawan pihak kafir.
Menurut Ibnu Ishâq rahimahullah, dalam perang ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan yang dipimpin Zaid bin Hâritsah Radhiyallahu anhu seraya berpesan, “Bila Zaid terbunuh, maka Ja’far bin Abi Thâlib yang menggantikan. Dan bila Ja’far terbunuh, maka Abdullâh bin Rawâhah yang menggantikan”.[1]
Kaum Muslimin menyambut dengan suka cita para komandan yang disebut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi dan mengucap salam kepada mereka saat pasukan mulai berangkat. Ketika pasukan menyalami Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu anhu, mereka melihat ia menangis. Sehingga ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis, hai Ibnu Rawâhah ?”
Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu anhu menjawab, “Demi Allâh, aku bukan mencintai dunia maupun menangisi kalian, akan tetapi, aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tentang neraka yang bunyinya :
وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا
Setiap kalian pasti akan melewatinya. Itu adalah ketetapan Allâh yang pasti terlaksana [2]), maka aku tidak tahu, bagaimana aku keluar setelah melewatinya?”
Maka kaum Muslimin menimpali, “Semoga Allâh menyertai dan membela kalian, dan semoga kalian kembali kepada kami dalam keadaan baik-baik”.
Pasukan kaum Muslimin pun terus bergerak hingga singgah di sebuah daerah bernama Ma’an di Syam. Mereka mendengar Raja Hiraklius dengan 100 ribu pasukan Romawi telah tiba di Balqa’ dan diperkuat lagi dengan 100 ribu pasukan dari sejumlah kabilah Arab yang loyal kepada Romawi, seperti Lakham, Judzam, Qain, dan Bahra’.
Mendengar besarnya jumlah pasukan musuh, kaum Muslimin sempat menetap di Ma’an selama dua malam, sembari memikirkan keadaan mereka dan kembali mengatur strategi yang mesti diterapkan. Mereka mengusulkan agar berkirim surat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahukan jumlah pasukan musuh. Harapannya, supaya beliau mengirim pasukan tambahan atau menetapkan suatu keputusan untuk mereka taati.
Melihat gelagat kaum Muslimin yang ragu untuk berperang, maka Abdullâh ibnu Rawâhah pun menggelorakan semangat. Ia berseru, “Wahai kaum, apa yang kalian takutkan adalah sesuatu yang kalian kejar selama ini, yaitu mati syahid. Kita memerangi mereka bukan karena jumlah maupun kekuatan kita. Namun kita memerangi mereka karena agama Islam yang dengannya Allâh memuliakan kita. Berangkatlah ! Yang ada hanyalah satu dari dua kebaikan; kemenangan atau mati syahid !”
Mendengar seruan itu, pasukan kaum Muslimin tergugah semangatnya dan menyambutnya, “Sungguh benar ucapan Ibnu Rawâhah”.
Pasukan pun kembali bergerak maju hingga tiba di perbatasan Balqa’, tepatnya di salah satu desa yang bernama Masyârif. Di sana mereka mendapati pasukan Hiraklius yang terdiri dari bangsa Romawi dan Arab.
Ketika musuh mendekat, pasukan kaum Muslimin bergeser ke desa lain yang bernama Mu’tah, hingga di desa itulah kedua pasukan saling berhadapan. Kaum Muslimin telah siaga dengan menunjuk Qutbah bin Qatâdah Radhiyallahu anhu sebagai komandan sayap kanan dan di sayap kiri didaulatlah ‘Ubâdah bin Mâlik al-Anshâri Radhiyallahu anhu.
Perang sengit berkecamuk. Zaid bin Hâritsah Radhiyallahu anhu melesat ke barisan musuh dengan membawa panji-panji Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berperang penuh semangat menerjang barisan musuh hingga syahid tertusuk tombak musuh.
Panji-panji pun lantas diambil alih oleh Ja’far bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu. Perang kembali berkecamuk. Tetapi Ja’far Radhiyallahu anhu tidak mendapatkan celah untuk keluar dari kepungan musuh. Dia pun meloncat dari atas punggung kuda tunggangannya dan menebas keempat kaki kudanya lalu menyeruak ke tengah barisan musuh hingga akhirnya syahid pula. Dan Ja’far adalah orang Islam pertama yang membunuh kudanya di medan perang.
Salah seorang saksi mata dari Bani Murrah bin ‘Auf mengisahkan:
Masih terbayang olehku ketika Ja’far Radhiyallahu anhu meloncat dari atas kudanya lalu menebas kaki-kaki kudanya, kemudian ia maju menyerang sambil bersyair,
يَا حَبَــــَّذا الْجَنـَّــةُ وَاقْتِرَابـُــــهَا طَــــيِّبـــَةً وَبـَـارِدًا شَرَابـُــــــهَا
والرومُ رُوْمٌ قَدْ دَنَا عَذَابُها كَــــافِرَةٌ بَعِيْـــدَةٌ أَنْسَابُــهَا
علَيَّ إذْ لاَقَيْتُهَا ضِرَابُــــهَا
Duhai, alangkah dekatnya Jannah itu tempat yang nyaman dan dingin minumannya
Bangsa Romawi telah dekat siksanya dan mereka orang kafir yang jauh nasabnya
Bila mereka di hadapanku maka wajib kuhabisi
Ibnu Hisyâm rahimahullah meriwayatkan dari sejumlah Ulama yang dianggapnya tsiqah, bahwa Ja’far bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu memegang panji-panji dengan tangan kanannya, akan tetapi kemudian ditebas oleh musuh hingga putus. Dia pun lantas memegangnya dengan tangan kirinya yang kemudian juga ditebas oleh musuh hingga putus. Maka didekaplah panji-panji itu dengan pangkal lengannya hingga iapun gugur dalam usia 33 tahun. Karena pengorbanannya tadi, Allâh Azza wa Jalla mengganti kedua tangannya dengan sepasang sayap, sehingga ia bebas terbang sesukanya di dalam Jannah.
Setelah Ja’far Radhiyallahu anhu terbunuh, panji-panji diambil alih oleh Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu anhu dan ia pun menerjang maju. Beberapa saat ia berusaha turun dari kudanya, akan tetapi dihinggapi keraguan, lalu ia bersyair untuk menguatkan tekadnya dan meniru kedua sahabatnya yang telah gugur.
Ibnu Rawâhah Radhiyallahu anhu akhirnya juga turun dari kudanya, dan ia dihampiri sepupunya yang membawa sepotong tulang dengan menyisakan sedikit daging, seraya berkata, “Makanlah agar kekuatanmu pulih!”
Ibnu Rawâhah pun mengambil daging tadi dan memakannya. Namun baru sekali menggigitnya, ia mendengar suara hiruk-pikuk dari arah tertentu, dan katanya, “Engkau masih di dunia!”
Mendengar seruan, serta merta dilemparlah daging itu. Sambil menghunus pedangnya, ia maju lagi dan terus berperang hingga syahid. Radhiyallâhu ‘anhum
Setelah terbunuhnya ketiga panglima tadi, panji-panji diambil oleh Tsâbit bin Arqam al- ‘Ajlani seraya berseru, “Wahai kaum Muslimin, tunjuklah seseorang agar memimpin kalian!”
“Engkau saja !” sahut mereka.
“Tidak, aku tidak akan menerimanya!” jawab Tsabit.
Akhirnya mereka sepakat untuk menunjuk Khâlid ibnul Walîd sebagai panglima. Begitu Khâlid mengambil panji-panji itu, dia pun berusaha menolak serangan musuh dan menyelamatkan sisa-sisa pasukan kaum Muslimin, lalu menyingkir dari medan perang.
Menurut Ibnu Ishaq rahimahullah, ketika ketiga panglima tadi terbunuh, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kala itu berada di Madînah menceritakan kepada para sahabatnya:
أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدُ بنُ حَارِثَةَ فَقَاتَلَ بِهَا حَتَّى قُتِلَ شَهِيْدًا؛ ثُمَّ أَخَذَهَا جَعْفَرٌ فَقَاتَلَ بِهَا حَتَّى قُتِلَ شَهِيْدًا؛
(panji-panji dibawa oleh Zaid bin Hâritsah, lalu ia bertempur hingga mati syahid; kemudian panji-panji dibawa oleh Ja’far, dan ia bertempur hingga mati syahid);
kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiam hingga raut muka kaum Anshâr pun berubah. Mereka mengira, sesuatu yang tidak disukai telah terjadi pada diri Abdullâh bin Rawâhah Radhiyallahu anhu. Namun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata :
ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُاللهِ بنُ رَوَاحَةَ فَقَاتَلَ بِهَا حَتَّى قُتِلَ شَهِيْدًا، ثم قال: لَقَدْ رُفِعُوا إِلَيَّ فِي الجَنَّةِ، فِيمَا يَرَى النَّائِمُ، عَلَى سُرُرٍ مِنْ ذَهَبٍ، فَرَأَيتُ فِي سَرِيرِ عَبْدِاللهِ بنِ رَوَاحَةَ اِزْوِرَارًا عَنْ سَرِيرَيْ صَاحِبَيْهِ، فَقُلْتُ: عَمَّ هَذَا؟ فَقِيلَ لِي: مَضَيَا وَتَرَدَّدَ عَبْدُاللهِ بَعْضَ التَّرَدُّدِ، ثُمَّ مَضَى
Kemudian panji-panji diambil oleh Abdullâh bin Rawâhah, dan ia bertempur hingga mati syahid. Lalu Nabi bersabda, “Mereka semua ditampakkan kepadaku sedang berada di atas dipan-dipan emas seperti dalam mimpi. Dan kulihat dipan Ibnu Rawâhah agak jauh posisinya dari dipan kedua sahabatnya, maka kutanyakan mengapa bisa begitu? Dan dikatakan kepadaku bahwa kedua sahabatnya maju tanpa ragu, sedangkan Ibnu Rawâhah tampak ragu-ragu, baru kemudian ia maju.[3]
Dalam Shahîhul Bukhâri disebutkan, setelah Ibnu Rawâhah terbunuh, Rasûlullâh mengatakan panji-panji kemudian diambil oleh salah satu pedang Allâh, maksudnya Khâlid ibnul Walîd Radhiyallahu anhu, lalu Allâh Azza wa Jalla memenangkan mereka.[4]
Ibnu Ishâq rahimahullah menuturkan, setelah mengetahui Ja’far Radhiyallahu anhu dan sahabat-sahabatnya menemui syahid, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk Asma’ binti Umeis Radhiyallahu anha, istri Ja’far. Ketika itu Asma’ Radhiyallahu anha telah menyiapkan adonan roti, memandikan anak-anak Ja’far dan mendandaninya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memanggil anak-anaknya tersebut dan menciuminya sambil bercucuran air mata.
Asma’ bertanya, “Biarlah ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu. Apa yang membuatmu menangis, wahai Rasûlullâh ? Adakah engkau mendengar sesuatu tentang Ja’far dan sahabat-sahabatnya?”
“Ya, mereka telah gugur hari ini,” jawab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mendengar berita dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Asma’ pun berteriak hingga kaum wanita datang mengerumuninya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas keluar dan kembali ke rumahnya. Beliau pun berseru, “Jangan lupa untuk membuatkan makanan bagi keluarga Ja’far, sebab mereka sedang disibukkan dengan kematian Ja’far”.
Ibnu Ishâq rahimahullah meriwayatkan dari Muhammad bin Ja’far, dari Urwah bin Zubair, katanya, “Ketika pasukan kaum Muslimin telah mendekati perbatasan Madînah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghampiri mereka bersama kaum Muslimin. Anak-anak kecil pun berlarian menyambut mereka, sedangkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut masuk bersama pasukan dengan mengendarai untanya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar anak-anak digendong kembali, dan supaya putera Ja’far dibawa kehadapannya. Maka didatangkanlah Abdullâh bin Ja’far yang kemudian digendong oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam“.
Orang-orang lantas menaburkan pasir ke arah pasukan sambil meneriaki mereka sebagai orang-orang yang lari dari jihad fi sabilillah! Akan tetapi Rasûlullâh menyanggah ucapan tersebut dengan mengatakan, “Mereka bukanlah orang-orang yang melarikan diri, namun mereka akan balik menyerang insya Allâh”.
Menurut Ibnu Katsir, riwayat ini mursal (terputus sanadnya) dan mengandung keanehan. Beliau menganggap Ibnu Ishaq telah salah faham dalam menyitir redaksinya, sehingga mengira bahwa yang dicemooh tadi adalah sebagian besar pasukan. Padahal cemoohan tersebut hanya ditujukan kepada sebagian orang yang lari ketika berhadapan dengan musuh. Adapun pasukan lainnya tidak lari namun justru menang, sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasûlullâh di atas mimbar, bahwa panji-panji lalu dipegang oleh salah satu pedang Allâh, dan Allâh memenangkan mereka.
Karenanya, kaum Muslimin tidak mungkin menjuluki mereka sebagai orang-orang yang lari setelah mendengar sabda Nabi tadi. Mereka justru menyambut pasukan tersebut dengan penuh hormat dan bangga. Mereka hanya mencemooh dan menaburkan pasir kepada orang-orang yang lari dan meninggalkan pasukan saat di medan perang.
Salah satu dari mereka yang lari adalah Abdullâh bin Umar, sebagaimana penuturannya berikut: “Aku pernah ikut dalam suatu ekspedisi militer yang dikirim Rasûlullâh. Tatkala orang-orang lari berhamburan, aku ikut lari bersama mereka. Kami lantas saling bertanya, ’Apa yang harus kita lakukan?’ Kita telah lari dari medan perang dan mendapat murka Allâh?,’ lalu kami berkata, ’Andai saja kita masuk ke kota Madinah dan bermalam di sana tanpa terlihat seorang pun,’ lalu setelah kami masuk, kami berkata, ’Alangkah baiknya jika kita menyerahkan diri kepada Rasûlullâh. Kalau memang kita bisa bertaubat, maka kita akan tinggal di sana. Namun jika kita tidak bisa bertaubat, maka kita akan pergi kembali,’ maka kami menghampiri Rasûlullâh menjelang shalat Subuh. Usai shalat kami menghadap beliau seraya berkata, ’Wahai, Rasûlullâh! Kami adalah orang-orang yang melarikan diri,’ beliau lantas menatap kami dan bersabda, ‘Justru kalian adalah orang-orang yang menyerang musuh,’ maka kami mendekati beliau dan mencium tangannya. Kata kami, ‘Wahai, Rasûlullâh! Mulanya kami hendak melakukan ini dan itu…,, namun beliau menyanggah, ‘Akulah pasukan induk kaum Muslimin’.” [5] Wallahu’alma bish-Shawab.
FAIDAH PELAJARAN
~ Menurut as-Suhaili pensyarah Sirah Nabawiyah, tidak ada seorang pun yang mencela perbuatan Ja’far tersebut. Ini menunjukkan boleh membunuh hewan tunggangan jika khawatir akan dimanfaatkan oleh musuh. Artinya, perbuatan ini tidak termasuk menyiksa dan membunuh binatang secara sia-sia. Akan tetapi, Imam Abu Dâwud rahimahullah mengatakan, riwayat ini sanadnya “tidak kuat”. Menurutnya ada sejumlah riwayat dari para sahabat yang melarangnya. Akan tetapi az-Zurqani mengomentari, yang dimaksud “tidak kuat” di sini adalah tidak shahîh, karena derajat riwayat ini hasan sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar.
~ Perbuatan keempat sahabat ini menunjukkan keberadaan panji-panji dalam medan perang itu sangat penting. Yang memegangnya adalah komandan. Hikmahnya –wallaahu a’lam– agar pasukan mengetahui posisi komandan, sekaligus dapat mengikuti instruksi dengan mudah.
~ Keberadaan imam (pemimpin) itu sangat penting dalam jihad. Tanpa imam, maka jihad tidak dapat digelorakan.
~ Dianjurkan untuk melantunkan syair atau ungkapan-ungkapan yang dapat meningkatkan semangat jihad, baik untuk diri sendiri maupun kaum Muslimin.
~ Dianjurkan membawa bekal ke medan perang dan boleh menyantapnya untuk memulihkan kekuatan.
~ Diperbolehkan memberitahukan kematian seseorang kepada khalayak umum.
~ Bila jumlah musuh terlalu besar dan tidak mungkin untuk dihadapinya, maka dianjurkan untuk menyingkir dari medan Ini tidak berarti lari dari medan perang, namun dianggap sebagai kemenangan karena dapat memelihara sisa pasukan Islam yang masih ada, sebagaimana disimpulkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (7/513).
~ Boleh menggantungkan kepemimpinan kepada sejumlah orang secara urut, dan boleh mengambil alih kepemimpinan tanpa penunjukkan, sebagaimana telah dilakukan oleh Tsabit bin Arqam.
~ Terdapat perbedaan derajat antara satu sahabat dengan sahabat lainnya yang mati syahid, karena perbedaan keberanian dan ketulusan mereka.
~ Diperbolehkan menolak diangkat menjadi komandan perang bila merasa diri tidak cakap.
~ Secara umum seseorang boleh menjadi pemimpin atas orang lain yang lebih afdhal dari dirinya.
MARAJI’
As-Sirah an-Nabawiyah, oleh Ibnu Hisyam.
Shahih Bukhâri.
Sunan Abi Dawud.
Sunan at-Tirmidzi.
Musnad Imam Ahmad.
Fathul Bâri, oleh Ibnu Hajar al-Asqalani.
Al-Qaulul Mubîn fii Sîrati Sayyidil Mursalîn, oleh Muhammad Thayyib an-Najjar
[Http://Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVI/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079, artikel: almanhaj]
Footnote
[1] Az-Zurqani menambahkan, “Bila Ibnu Rawahah terbunuh juga, maka hendaklah kaum Muslimin menunggu terpilihnya seseorang dari mereka untuk memimpin”.
[2] QS. Maryam/19:71
[3] Hadits ini juga diriwayatkan al-Bukhâri dalam Shahih-nya (no 3757) dengan redaksi yang mirip tanpa menyebutkan mimpi Rasulullah.
[4] Idem.
[5] HR Abu Dawud (no 2649), Tirmidzi (no 1716), Ahmad (no 5384), dan lain-lain dengan sanad dha’if.
Maksud “induk kaum muslimin” adalah kaum Muslimin boleh kembali kepada beliau kapan saja bila musuh yang dihadapinya terlalu banyak, seperti dalam kasus ini.