Rabu, 09 Oktober 2019

Beberapa Contoh Hadits Palsu Dan Lemah Dalam Kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn


Beberapa Contoh Hadits Palsu Dan Lemah Dalam Kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn

CATATAN UNTUK KITAB IHYA’ ULUMIDDIN

Ihya’ Ulûmiddîn, sebuah nama kitab yang sangat tenar di tengah kaum Muslimin, bukan hanya di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Ditilik dari makna harfiyah Ihya’ Ulûmiddîn, kita dapati sebuah makna yang sangat agung. Betapa tidak, Ihya’ Ulûmiddîn yang disematkan oleh penyusun kitab ini sebagai judul karya tulisnya itu bermakna menghidupkan ilmu-ilmu agama. Keagungan makna ini tidak diingkari oleh siapapun yang memiliki iman dalam hatinya. Karena, dengan ilmu-ilmu agama yang diaplikasikan dalam kehidupan nyata, seseorang akan bisa selamat dari siksa dan murka Allâh Azza wa Jalla serta bisa masuk ke surga-Nya yang penuh kenikmatan abadi.

Namun apakah semua kandungan kitab Ihya’ Ulumiddin itu benar ?

Dalam peribahasa kita, ada ungkapan “Tidak ada gading yang tak retak”. Para Ulama juga telah menegaskan bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak menetapkan keselamatan dari segala bentuk kesalahan kecuali untuk nabi-Nya dan tidak memberikan jaminan ‘bebas dari kesalahan’ untuk sebuah kitab kecuali untuk kitab-Nya, al-Qur’ân. Kita juga tidak lupa dengan perkataan Imam Mâlik rahimahullah : “Semua perkataan orang bisa diterima atau ditolak kecuali perkataan penghuni kuburan ini (sambil memberi isyarat ke arah makam Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ).”

Ini menuntut kita untuk memiliki sifat kritis dan lapang dada. Sifat kritis untuk menyaring semua info yang masuk ke kita dan sifat lapang dada untuk menerima segala bentuk kritikan ilmiah yang sampai ke kita.

Kitab yang sangat masyhur ini, ternyata tidak luput dari kesalahan, bahkan kesalahan fatal, karena terdapat kesalahan dalam masalah aqidah. Mungkin ada pertanyaan, siapakah kalian sehingga berani menyalahkan kitab tersohor ini beserta penulisnya yang sangat ternama itu ? Tentu, jawaban kami, bukan kami yang menyalahkan. Namun para Ulama Islam yang telah menjelaskan sisi-sisi kekeliruan dan kesalahannya, berdasarkan dalil-dalil al-Qur’ân dan Sunnah yang mereka kuasai. Itulah pesan yang ingin kami sampaikan agar umat mengetahui kesalahan-kesalahan tersebut lalu meninggalkannya, bukan untuk merendahkan apalagi mencela penulisnya. ‘Iyâdzan billâh.

Di antara kesalahan itu, ada yang berawal dari kesalahan dalil, karena ternyata yang menjadi dalilnya adalah hadits maudhû’ (hadits palsu), seperti hadits :

الْحَدِيْثُ فِي الْمَسْجِدِ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ الْبَهَائِمُ الْحَشِيْشَ

Percakapan dalam masjid akan memakan/menghapus (pahala) kebaikan seperti binatang ternak yang memakan rumput. [Ihyâ’ Ulûmiddîn, 1/152, cet. Darul Ma’rifah, Beirut]

Hadits ini dihukumi oleh Imam al-‘Irâqi rahimahullah, as-Subki rahimahullah dan al-Albâni rahimahullah sebagai hadits palsu yang tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadits. [Lihat Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah 1/60]

Juga hadits :

قَلِيْلُ التَّوْفِيْقِ خَيْرٌ مِنَ كَثِيْرِ الْعَقْلِ

Taufik yang sedikit lebih baik dari ilmu yang banyak. [Ihyâ’ Ulûmiddîn, 1/31]

Hadits ini juga dihukumi oleh para ulama di atas sebagai sebagai hadits palsu yang tidak ada asalnya. [Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/287 dan Difâ’un ‘anil Hadîtsin Nabawi hlm. 46]

Ada sebagian orang mengatakan, “Meskipun maudhû’ (palsu) atau dhaîf, bukankah itu tetap merupakan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” Ucapan seperti ini menunjukkan orang yang melontarkannya belum memahami ilmu mustholah hadits dan belum menyadari bahaya dan ancaman besar akibat membuat atau ikut menyebarkan hadits palsu. Selain itu, kalau para ulama ahli hadits sudah menghukumi sebuah hadits sebagai hadits yang maudhû’ itu artinya berdasarkan penelitian mereka “hadits” itu bukan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh dinisbatkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga tidak bisa dijadikan sebagai landasan dalam beramal. Barangsiapa berani menisbatkan hadits maudhû’ kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah berdusta atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terkena ancaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Jalan mewujudkan penghambaan diri kepada Allâh Azza wa Jalla hendaknya dengan mencukupkan diri dengan hadits yang shahîh dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Itulah jalan terbaik, Sebagaimana perkataan Imam Nawawi rahimahullah dalam mukaddimah Riyâdhus Shâlihîn. Setelah memaparkan tujuan penciptaan manusia, beliau rahimahullah mengatakan :

وأَصْوَبُ طريقٍ لهُ في ذَلِكَ ، وَأَرشَدُ مَا يَسْلُكُهُ مِنَ المسَالِكِ ، التَّأَدُّبُ بمَا صَحَّ عَنْ نَبِيِّنَا سَيِّدِ الأَوَّلينَ والآخرينَ ، وَأَكْرَمِ السَّابقينَ والَّلاحِقينَ

“Jalan yang paling benar dan terbaik bagi seorang mukallaf dalam beribadah, suluk terbaik yang dia lakukan yaitu beradab atau bertingkah laku dengan kandungan (riwayat-riwayat) yang shahîh dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), sayyid orang terdahulu dan yang terakhir, manusia termulia pada zaman dahulu dan yang akan datang”.

Akhirnya, kami berdoa, semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa membimbing kita untuk menempuh jalan yang diridhai dan dicintai-Nya. Amin

BEBERAPA CONTOH HADITS PALSU DAN LEMAH DALAM KITAB IHYA ULUMIDDIN

Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

1. Hadits :

الْحَدِيْثُ فِي الْمَسْجِدِ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ الْبَهَائِمُ الْحَشِيْشَ

Percakapan dalam masjid akan memakan/menghapus (pahala) kebaikan seperti binatang ternak yang memakan rumput [1].

Hadits ini dihukumi oleh Imam al-‘Irâqi rahimahullah, as-Subki rahimahullah dan al-Albâni rahimaullah sebagai hadits palsu yang tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadits [2].

2. Hadits :

قَلِيْلُ التَّوْفِيْقِ خَيْرٌ مِنَ كَثِيْرِ الْعَقْلِ

Taufik yang sedikit lebih baik dari ilmu yang banyak [3].

Hadits ini juga dihukumi oleh para ulama di atas sebagai sebagai hadits palsu yang tidak ada asalnya [4] .

3. Hadits :

بُنِىَ اْلدِّيْنُ عَلَى النَّظَافَةِ

Agama Islam dibangun di atas kebersihan[5] .

Hadits ini adalah hadits yang palsu, karena pada sanadnya ada perawi yang bernama ‘Umar bin Shubh al-Khurâsâni. Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentangnya[6] : “Dia adalah perawi yang matruk (ditinggalkan riwayatnya karena sangat lemah), bahkan (Imam Ishâq) bin Rahuyah mendustakannya”[7].

4. Hadits :

إِنَّ الْعَالِمَ يُعَذَّبُ عَذَابًا يَطِيْفُ بِهِ أَهْلُ النَّارِ

Sesungguhnya orang yang berilmu akan disiksa (dalam neraka) dengan siksaan yang akan membuat sempit (susah) penduduk neraka[8].

Hadits ini dihukumi oleh Imam as-Subki rahimahullah sebagai hadits yang tidak ada asalnya [9].

5. Hadits :

شِرَارُ الْعُلَمَاءِ الَّذِيْنَ يَأْتُوْنَ الْأُمَرَاءَ وَخِيَارُ الْأُمَرَاءِ الَّذِيْنَ يَأْتُوْنَ الْعُلَمَاءَ

Seburuk-buruk ulama adalah yang selalu mendatangi para penguasa (pemerintah) dan sebaik-sebaik penguasa adalah yang selalu mendatangi para ulama[10] .

Hadits ini juga dihukumi oleh Imam as-Subki rahimahullah sebagai hadits yang tidak ada asalnya [11].

6. Hadits :

مَنْ قَالَ أَنَا مُؤْمِنٌ فَهُوَ كَافِرٌ وَمَنْ قَالَ أَنَا عَالِمٌ فَهُوَ جَاهِلٌ

Barangsiapa berkata: ‘Aku adalah seorang mukmin’ maka dia kafir, dan barang siapa berkata: ‘Aku adalah orang yang berilmu’ maka dia adalah orang yang jahil (bodoh)”[12] .

Hadits ini juga dihukumi oleh Imam as-Subki rahimahullahsebagai hadits yang tidak ada asalnya [13] dan dinyatakan lemah oleh Imam as-Sakhâwi rahimahullah [14].

7. Hadits :

لَيْسَ لِلْعَبْدِ مِنْ صَلاَتِهِ إِلاَّ مَا عَقَلَ

Seorang hamba tidak akan mendapatkan (keutamaan) dari shalatnya kecuali apa yang dipahaminya dari shalatnya [15].

Hadits ini juga dihukumi oleh Imam as-Subki rahimahullah sebagai hadits yang tidak ada asalnya [16].

8. Hadits :

أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللهُ الْعَقْلَ

Sesuatu yang pertama kali Allâh Azza wa Jalla ciptakan adalah akal…”[17] .

Hadits ini dihukumi oleh Imam adz-Dzahabi rahimahullah dan Syaikh al-Albâni rahimahullah sebagai hadits yang batil dan palsu[18].

9. Hadits :

مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya, maka Allâh Azza wa Jalla akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya”[19].

Hadits ini dihukumi oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah sebagai hadits yang palsu[20] .

10. Hadits :

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْقُلُوْا عَنْ رَبِّكُمْ وَتَوَاصَوْا بِالْعَقْلِ

“Wahai manusia, pahamilah (dengan akal) dari Rabb-mu dan saling berwasiatlah dengan akal”[21] .

Hadits ini adalah hadits palsu, diriwayatkan oleh Dâwûd bin al-Muhabbar dalam kitab al-‘Aql yang dikatakan oleh Ibnu Hajar: “Dia adalah perawi yang matruk (ditinggalkan riwayatnya karena sangat lemah) dan kitab al-‘Aql yang ditulisnya mayoritas berisi hadits-hadits yang palsu”[22] .

11. Hadits tentang shalat ar-Raghâib di bulan Rajab[23] .
Hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh Imam al-‘Iraqi [24].

[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Footnote
[1]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/152, cet. Darul ma’rifah, Beirut).
[2]. Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah 1/60
[3]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/31).
[4]. Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/287 dan Difâ’un ‘anil Hadîtsin Nabawi hlm. 46
[5]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/49).
[6]. Dalam Taqrîbut Tahdzîb hlm. 414
[7]. Lihat Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah no. 3264
[8]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/60).
[9]. Lihat Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/287
[10]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/68).
[11]. Lihat Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/288
[12]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/125).
[13]. Lihat Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/289
[14]. Lihat al-Maqâshidul Hasanah hlm. 663
[15]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/159).
[16]. Lihat Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/289
[17]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/83) dan (3/4).
[18]. Lihat Lisânul Mîzân 4/314 dan Takhrîju Ahâdîtsil Misykâh no. 5064
[19]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/71), (3/13) dan (3/23)
[20]. Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah no. 422
[21]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/202)
[22]. Dalam Taqrîbut Tahdzîb hlm. 200
[23]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/83)
[24]. Lihat takhrij beliau pada catatan kaki kitab tersebut (2/366, cet. Dar asy-Syi’ab, Kairo)