Kamis, 10 Maret 2016

35 - 37. Mengambil Ilmu dari Orang Bodoh, Banyaknya Para Wanita Yang Berpakaian Tetapi Telanjang, Benarnya Mimpi Seorang Mukmin

Mengambil Ilmu dari Orang Bodoh

Oleh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

KITAB : HARI KIAMAT [1]

35. MENGAMBIL ILMU DARI ORANG BODOH (BUKAN AHLINYA)
Diriwayatkan oleh Imam ‘Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah, dengan sanadnya dari Abu Umayyah al-Jumahi Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ ثَلاَثًا: إِحْدَاهُنَّ: أَنْ يَلْتَمِسَ الْعِلْمَ عِنْدَ اْلأَصَاغِرِ.

“Ada tiga hal yang termasuk tanda-tanda Kiamat, salah satunya: ilmu diambil dari orang-orang kecil (bodoh).’” [1]

Imam ‘Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah pernah ditanya tentang (makna) orang-orang kecil? Lalu beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berkata dengan akal mereka sendiri, adapun anak kecil yang diambil riwayatnya oleh orang dewasa, maka sesungguhnya ia bukanlah orang kecil (di dalam hadits ini).”

Beliau rahimahullah pun berkata dalam masalah itu, “Mereka mendapatkan ilmu dari orang-orang kecil dari kalangan mereka, yaitu dari ahli bid’ah.” [2]

Dan diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari kalangan Sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tokoh-tokoh (ulama-ulama) mereka. Jika mereka mengambil ilmu dari orang-orang kecil (ahlul bid’ah) dari kalangan mereka dan hawa nafsu mereka bercerai-berai, maka mereka akan binasa.”[3]

[Http://Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir.]

Footnote
[1]. Kitab az-Zuhd, karya Ibnul Mubarak (hal. 20-21, no. 61) tahqiq Habiburrahman al-A’zhami, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Albani berkata, “Shahih.” Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (II/243, no. 2203).
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjadikannya sebagai penguat dalam kitab al-Fat-h (I/143).
[2]. Hasyiah kitab az-Zuhd (hal. 31), tahqiq dan ta’liq Syaikh Habiburrahman al-A’zhami.
[3]. Kitab az-Zuhd, karya Ibnul Mubarak (hal. 281, no. 815).
At-Tuwaijiri berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabiir, dan al-Ausath dan ‘Abdur-razzaq dalam Mushannafnya dengan ungkapan yang sama, dan sanadnya shahih dengan syarat Muslim.”
Ithaaful Jamaa’ah (I/424), dan lihat al-Mushannaf (XI/346, no. 20446) tahqiq Syaikh Habiburrahman al-A’zhami.

Banyaknya Para Wanita Yang Berpakaian Tetapi Telanjang

KITAB : HARI KIAMAT [1]

36. BANYAKNYA PARA WANITA YANG BERPAKAIAN TETAPI TELANJANG
Di antara tanda-tandanya adalah keluarnya wanita dari etika-etika Islam, hal itu dengan mengenakan pakaian yang tidak menutup aurat, menampakkan perhiasan, rambut juga segala hal yang wajib ditutupi dari tubuhnya. Dijelaskan dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyalahu anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

سَيَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِي رِجَالٌ يَرْكَبُونَ عَلَـى سُرُوجٍ كَأَشْبَاهِ الرِّحَالِ يَنْزِلُونَ عَلَـى أَبْوَابِ الْمَسَاجِدِ نِسَاؤُهُمْ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ عَلَـى رُءُوسِهِمْ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْعِجَافِ، اِلْعَنُوهُنَّ فَإِنَّهُنَّ مَلْعُونَاتٌ لَوْ كَانَتْ وَرَاءَكُمْ أُمَّةٌ مِنَ الأُمَمِ لَخَدَمْنَ نِسَاؤُكُمْ نِسَاءَهُمْ كَمَا يَخْدِمْنَكُمْ نِسَاءُ اْلأُمَمِ قَبْلَكُمْ.

“Pada akhir umatku akan ada kaum pria yang menunggang di atas pelana-pelana kuda bagaikan rumah-rumah [1]. Mereka turun di pintu-pintu masjid, wanita-wanita mereka berpakaian tetapi telanjang, kepala mereka bagaikan punuk unta yang kurus [2]. Laknatlah mereka karena sesungguhnya mereka adalah wanita-wanita terlaknat. Seandainya setelah kalian ada salah satu umat, niscaya wanita-wanita kalian akan menjadi pembantu bagi wanita-wanita mereka sebagaimana wanita-wanita sebelum kalian menjadi pembantu bagi wanita-wanita kalian.” [3] [HR. Imam Ahmad]

Sementara dalam riwayat al-Hakim:[4]

سَيَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِي رِجَالٌ يَرْكَبُونَ عَلَى الْمَيَاثِرِ حَتَّى يَأْتُوْا أَبْوَابَ مَسَاجِدَهُمْ، نِسَاؤُهُنَّ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ.

“Akan ada di akhir umatku, kaum pria yang menunggangi pelana-pelana besar (kendaraan) sehingga mereka datang ke pintu masjid, sedangkan wanita-wanita mereka berpakaian tetapi telanjang.”

Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا: قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَـرِ، يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَـاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَـاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا.

‘Ada dua kelompok manusia penghuni Neraka yang belum pernah aku lihat: kaum laki-laki yang membawa cambuk seperti buntut sapi mereka memukul manusia dengannya, dan kaum wanita yang berpakaian tetapi telanjang, selalu melakukan kemaksiatan dan mengajarkan kemaksiatannya kepada orang lain,[5] kepala-kepala mereka bagaikan punuk unta [6] yang miring, mereka tidak akan masuk ke dalam Surga dan tidak akan mendapatkan wanginya, padahal wangi Surga itu tercium dari jarak sekian dan sekian.’”[7]

Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

إِنَّ مِنْ أَشْـرَاطِ السَّاعَةِ... أَنْ تَظْهَـرَ ثِيَابٌ تَلْبَسُهَا نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ.

“Sesungguhnya di antara tanda-tanda Kiamat… maraknya pakaian-pakaian yang dipakai oleh kaum wanita, mereka berpakaian tetapi telanjang.” [8]

Hadits-hadits ini adalah mukjizat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa-apa yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebelum masa kita sekarang ini telah terjadi [9], dan akan lebih banyak lagi pada zaman ini.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menamakan wanita-wanita seperti ini dengan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, karena mereka berpakaian akan tetapi mereka telanjang, karena pakaian mereka sama sekali tidak memenuhi fungsinya sebagai penutup lantaran sangat tipisnya atau karena menggambarkan (bentuk tubuh) seperti pakaian-pakaian kebanyakan wanita zaman sekarang.[10]

Ada juga yang mengatakan bahwa makna “berpakaian tetapi telanjang” adalah wanita tersebut menutupi badannya akan tetapi mengikat kerudungnya, mengetatkan pakaiannya, sehingga lekuk-lekuk bagian tubuhnya nampak, dada juga pantatnya tercetak, atau sebagian badannya terbuka, kemudian dia disiksa karena hal itu di akhirat. [11]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengumpulkan sifat-sifat wanita seperti mereka bahwa mereka “Berpakaian tetapi telanjang”, juga “Selalu melakukan kemaksiatan dan mengajarkannya kepada orang lain,” dan “Kepala-kepala mereka bagaikan punuk unta yang miring.” Ini adalah khabar tentang sesuatu yang bisa disaksikan di zaman kita sekarang, seakan-akan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyaksikan zaman kita ini, lalu mensifatinya. Bahkan, di zaman sekarang ini ada tempat-tempat untuk mengatur rambut wanita, memperindahnya, juga membentuknya, yaitu tempat-tempat yang bernama “Salon Kecantikan.” Biasanya tempat tersebut di bawah pengawasan kaum pria yang memberikan harga mahal. Bahkan tidak hanya itu saja, kebanyakan kaum wanita tidak merasa puas dengan apa-apa yang Allah karuniakan kepadanya berupa rambut alami, mereka mengambil jalan lain dengan membeli rambut palsu yang disambungkan dengan rambutnya tersebut, agar nampak lebih indah dan cantik, sehingga para laki-laki tertarik kepadanya.[12]

[Http://Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir.]

Footnote
[1]. (الرِّحَالُ) bentuk jamak dari kata (رَحْلٌ) maknanya adalah tempat tunggangan di atas unta jantan atau betina, (الرِّحَالُ) lebih besar daripada (اَلسَّرْجُ) dan ditutupi dengan kulit, biasanya digunakan untuk kuda dan unta-unta yang bagus, dan dikatakan untuk tempat tinggal manusia (رَحْلٌ)
Sementara di dalam Musnad Ahmad (XII/36, dengan tahqiq Ahmad Syakir) dengan lafazh (كَأَشْبَاهِ الرِّجَالِ) dengan huruf jim.
Menurut hemat kami -wallaahu a’lam- sesungguhnya di dalam redaksi hadits ada perubahan yang tidak didapatkan oleh Muhaqqiq, karena itulah ketika dia hendak menjelaskan makna lafazh, beliau berkata, “Ada sedikit kerancuan di dalam makna, memberikan penyerupaan (الرِّحَالُ) dengan (الرِّجَالُ) adalah sesuatu yang tidak mungkin.” Ini adalah pengarahan yang terlalu dipaksakan.
Adapun jika lafazhnya adalah (كَأَشْبَاهِ الرِّحَالِ) dengan huruf ha, maka hilanglah kerancuan, jadi maksudnya adalah menyerupakan اَلسُّرُوْجُ dengan الرِّحَـالُ, jadi maknanya adalah rumah-rumah, bisa juga sebagai isyarat untuk kursi-kursi indah yang ada di dalam mobil pada zaman sekarang ini, karena mobil pada zaman sekarang ini sudah menjadi kendaraan bagi kaum pria dan wanita, mereka me-ngendarainya untuk pergi ke masjid dan tempat lainnya. Wallaahu a’lam.
Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (II/209), Lisaanul ‘Arab (XI/274-275), dan Ithaaful Jamaa’ah (I/452-452).
[2]. (اَلْبُخْتُ) lafazh asing yang diarabkan, maknanya adalah unta dari Khurasan, yang memiliki ciri khas dengan pundaknya yang panjang. Lihat kitab Lisaanul ‘Arab (II/9-10), dan an-Nihaayah karya Ibnul Atsir (I/101) adapun (اَلْعِجَافُ) adalah bentuk jamak dari kata (عَجْفَاءُ) maknanya adalah yang kurus dari unta atau yang lainnya. Lihat an-Nihaayah, karya Ibnul Atsir (III/186).
[3]. Musnad Imam Ahmad (XII/26) (no. 7078), tahqiq Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih.”
[4]. Mustadrak al-Hakim (IV/436), beliau berkata, “Ini adalah hadits shahih dengan syarat asy-Syaikhani, tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.”
Adz-Dzahabi berkata, “‘Abdullah yakni al-Qatabani, walaupun Muslim menjadikannya sebagai hujjah, akan tetapi Abu Dawud dan an-Nasa-i mendha’ifkannya.”
Abu Hatim berkata, “Dia adalah kerabat Ibnu Luhai’ah.”
Komentar saya, “Hadits-hadits lainnya memperkuatnya.”
[5]. مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ ada empat makna untuk kalimat tersebut:
a). مَائِلاَتٌ adalah wanita-wanita yang keluar dari ketaatan kepada Allah Ta’ala dan segala hal yang diwajibkan terhadap mereka, berupa menjaga kemaluan juga yang lainnya, sedangkan مُمِيْلاَتٌ adalah wanita-wanita yang mengajarkan apa yang ia lakukan (berupa perbuatan tersebut) kepada orang lain.
b). مَائِلاَتٌ berlenggak lenggok dalam berjalan, مُمِيْلاَتٌ pundak-pundaknya yang miring.
c). مَائِلاَتٌ bersisir seperti wanita-wanita yang selalu melakukan zina, yang terkenal di kalangan mereka, مُمِيْلاَتٌ menyisiri orang lain dengan gaya seperti itu.
d). Wanita-wanita yang selalu condong kepada laki-laki, merayu laki-laki dengan segala perhiasannya dan hal-hal lain.
Lihat Syarah an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVII/191).
[6]. رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ, kepala-kepala mereka besar karena rambut yang disatukan (dikonde), dan di-lipatkan di atas kepalanya sehingga agak condong ke salah satu sisi kepala sebagaimana punuk unta yang miring.
Lihat Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVII/191).
[7]. Shahiih Muslim, bab Jahannam A’aadzanallaahu minhaa (XVII/190, Syarh an-Nawawi).
[8]. Al-Haitsami berkata, “Sebagiannya terdapat dalam ash-Shahiih dan para perawinya adalah para
perawi ash-Shahiih , selain Muhammad bin al-Harits bin Sufyan, dia adalah tsiqah.” Majma’uz Zawaa-id (VII/327).
[9]. Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVII/190).
[10]. Al-Halaal wal Haraam fil Islaam (hal. 83), Dr. Yusuf al-Qardhawi, cet. XII th. 1398 H, cet. al-Maktab al-Islami-Beirut, Damaskus.
[11]. Lihat Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVII/190).
[12]. Lihat al-Halaal wal Haraam fil Islaam (hal. 84).

Benarnya Mimpi Seorang Mukmin

KITAB : HARI KIAMAT [1]

37. BENARNYA MIMPI SEORANG MUKMIN
Dan di antara tanda-tandanya adalah benarnya mimpi seorang mukmin di akhir zaman. Setiap kali seseorang yang benar dalam keimanannya, maka mimpinya pun benar. Dijelaskan dalam ash-Shahiihain [1] dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا اقْتَـرَبَ الزَّمَانُ لَمْ تَكَدْ رُؤْيَا الْمُسْلِمِ تَكْذِبُ، وَأَصْدَقُكُـمْ رُؤْيَا أَصْدَقُكُمْ حَدِيثًا، وَرُؤْيَا الْمُسْلِمِ جُـزْءٌ مِنْ خَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ.

‘Jika Kiamat sudah dekat, maka hampir-hampir mimpi seorang muslim tidak dusta. Mimpi kalian yang paling benar adalah yang paling benar pembicaraannya. Dan mimpi seorang muslim adalah satu bagian dari empat puluh lima bagian kenabian.’”

Ini adalah lafazh Muslim.

Sementara dalam lafazh al-Bukhari:

لَمْ تَكَدْ رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ تَكْذِبُ ... وَمَا كَانَ مِنَ النُّبُوَّةِ فَإِنَّهُ لاَ يَكْذِبُ.

“Hampir saja mimpi seorang mukmin tidak dusta... dan apa saja yang berasal dari kenabian, maka ia tidak dusta.”

Ibnu Abi Hamzah rahimahullah berkata, “Makna ungkapan bahwa mimpi seorang mukmin di akhir zaman tidak dusta adalah sebagian besar mimpi seorang mukmin terjadi dalam bentuk yang tidak memerlukan tafsiran, dan kebohongan tidak akan pernah masuk ke dalamnya. Berbeda dengan mimpi yang sebelumnya, terkadang pentakwilannya agak samar sehingga seseorang menafsirkannya, tetapi kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang dikatakan. Maka masuklah kebohongan ke dalamnya dengan tafsiran tersebut.”

Beliau berkata, “Dan hikmah pengkhususan peristiwa tersebut di akhir zaman bahwasanya seorang mukmin ketika itu menjadi orang yang asing, sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadits:

بَدَأَ اْلإسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا.

“Islam datang dalam keadaan asing, lalu dia akan kembali asing sebagaimana awal kedatangannya.[2] [HR. Muslim]

Saat itu kawan seorang mukmin juga yang menolongnya sangat sedikit, maka dia dimuliakan dengan mimpi yang benar. [3]

Para ulama berbeda pendapat tentang penentuan waktu terjadinya mimpi seorang mukmin menjadi benar dengan beberapa pendapat: [4]

Pertama: Hal itu akan terjadi ketika menjelang Kiamat, kebanyakan ilmu (agama) diambil dan syari’at Islam telah terhapus dengan sebab fitnah dan banyaknya pembunuhan. Manusia seperti berada di zaman fathrah (zaman di antara dua Nabi), mereka membutuhkan seorang mujaddid dan pemberi pengingatan dalam masalah agama yang telah terhapus, sebagaimana umat terdahulu diingatkan oleh para Nabi. Akan tetapi, Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Nabi terakhir dan kenabiaan berakhir pada umat ini maka mereka digantikan dengan orang yang bermimpi dengan mimpi yang benar, yang merupakan bagian dari kenabian dengan membawa kabar gembira dan peringatan. Pendapat ini diperkuat dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :

يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ.

“Zaman saling berdekatan dan ilmu diambil.” [5]

Ibnu Hajar rahimahullah menguatkan pendapat ini.

Kedua: Hal itu terjadi ketika jumlah orang-orang yang beriman sedikit, sementara kekufuran, kebodohan, dan kefasikan menimpa orang-orang yang ada. Sehingga seorang mukmin merasa kesepian, lalu diberikan pertolongan dengan mimpi yang benar sebagai penghormatan dan penghibur baginya.

Pendapat ini hampir sama dengan perkataan Ibnu Abi Hamzah terdahulu. Berdasarkan dua pendapat ini, maka mimpi seorang mukmin tidak khusus pada zaman tertentu. Akan tetapi, setiap kali kekosongan dunia semakin mendekat, agama semakin merosot, maka saat itu mimpi seorang mukmin yang jujur adalah benar.

Ketiga: Hal itu khusus terjadi pada masa Nabi ‘Isa Alaihissallam (di akhir zaman), karena penduduk pada zamannya adalah umat terbaik setelah kurun pertama. Perkataan mereka paling benar, maka mimpi seorang mukmin yang jujur dengan imannya pada saat itu benar-benar terjadi, wallaahu a’lam.

[Http://Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir.]

Footnote
[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab at-Ta’biir, bab al-Qaid fil Manaam (XII/404, al-Fat-h), dan Shahiih Muslim, kitab ar-Ru'-yaa, (XV/20, Syarh an-Nawawi).
[2]. Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Bayaanul Islaam Bada-a Ghariiban wa Saya’uudu Ghariiban (II/176, Syarh Muslim).
[3]. Fat-hul Baari (XII/406).
[4]. Lihat kitab Fat-hul Baari (XII/406-407).
[5]. Shahiih Muslim, kitab al-‘Ilmi, bab Raf’ul ‘Ilmi (XVI/222, Syarh an-Nawawi).