BAHASAN : SIRAH NABI,
EKSPEDISI MILITER DZATUS-SALASIL[1]
Oleh Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan, Lc, MA
Hanya selang beberapa hari sepulang dari Mu’tah, Nabi kembali memberangkatkan ekspedisi militer kaum Muslimin yang dipimpin oleh ‘Amru ibnul-Ash ke Dzâtus-Salâsil. Tujuan ekspedisi ini untuk memberi pelajaran kepada Suku Qudha’ah yang terprovokasi, melihat kelemahan kaum Muslimin di Mu’tah. Suku Qudha’ah konon mengumpulkan pasukan untuk menyerbu kota Madinah, hingga mereka dihadang oleh ‘Amru dengan pasukan gabungan dari Muhajirin dan Anshar sebanyak 300 orang.
Dalam Shahîh-nya, Ibnu Hibban meriwayatkan dengan sanad yang shahîh bahwa ‘Amru mengatakan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepadaku dengan pesan, “Pakailah pakaianmu dan bawalah senjatamu, lalu menghadaplah kepadaku,” aku pun bergegas menghadap, dan kudapati beliau sedang berwudhu’. Usai berwudhu’, beliau menatapku dari atas ke bawah, lalu berseru:
“Aku hendak mengangkatmu menjadi panglima pasukan, yang dengannya Allah akan memberimu ghanimah dan keselamatan. Ini adalah tawaran yang baik bagimu untuk mendapatkan harta,” lanjut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Wahai Rasûlullâh, aku masuk Islam bukanlah karena harta.[2] Namun aku memang mencintai Islam dan berjuang bersama Rasûlullâh,” jawab ‘Amru.
“Hai ‘Amru, sebaik-baik harta yang baik ialah yang berada di tangan orang shalih,” sahut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menjelang sampainya Amru Radhiyallahu anhu di lokasi tempat musuh melakukan mobilisasi, ia mendengar jumlah pasukan musuh sedemikian besar, sehingga ia pun meminta bala bantuan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bantuan pun tiba di Dzâtus-Salâsil di bawah komando Abu Ubaidah ibnul-Jarrah Radhiyallahu anhu. Mereka terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar yang berjumlah 200 orang, di antaranya terdapat Abu Bakar ash-Shiddîq dan Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhuma.
Menurut sejumlah kitab Maghazi, sempat terjadi perselisihan antara pasukan bantuan dengan ‘Amru ibnul ‘Ash tentang siapakah yang menjadi imam shalat. ‘Amru merasa dialah yang berhak menjadi imam karena ia yang menjadi panglima. Adapun kaum Muhajirin mengusulkan agar pasukan diimami oleh Amirnya masing-masing. Tetapi perselisihan ini akhirnya terselesaikan setelah Abu Ubaidah menyatakan diri tunduk di bawah komando ‘Amru ibnul-‘Ash, demi melaksanakan perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mereka berdua jangan berselisih.
Tak lama kemudian terjadilah pertempuran antara kaum Muslimin dengan pasukan musuh. Nampaklah kejeniusan Amru ibnul ‘Ash Radhiyallahu anhu sebagai panglima perang. Ia berhasil menyatukan pasukan dan menjaga keselamatan mereka. Dia sadar betul jika pihak musuh dapat mengetahui pergerakan pasukannya melalui mata-matanya, sehingga mereka bisa mengerahkan pasukan yang lebih banyak lagi. Karenanya, ‘Amru Radhiyallahu anhu memutuskan untuk bergerak pada malam hari. Sedangkan siang harinya untuk istirahat. Inilah siasat paling jitu untuk menjaga keselamatan pasukan kaum Muslimin. Mereka tidak hanya selamat dari serangan musuh yang mendadak, namun juga terhindar dari teriknya panas matahari yang dapat melemahkan fisik saat berhadapan dengan musuh nanti.
Kejeniusan lain yang nampak dari ‘Amru Radhiyallahu anhu dalam memimpin ekspedisi ini, ia melarang pasukannya menyalakan api unggun untuk menghangatkan badan. Ini merupakan keputusan brilian dan sangat bijak, karena menyalakan api unggun pada malam hari sama dengan menyingkap keberadaan mereka di mata musuh. Tentu hal ini sangat berbahaya mengingat sedikitnya jumlah kaum Muslimin dibandingkan dengan jumlah musuh. Oleh karenanya, ia bersikap sangat tegas hingga mengatakan:
لاَ يُوقِدُ أَحَدٌ مِنْهُمْ نَارًا إِلاَّ قَذَفْتُهُ فِيهَا
Tidaklah seseorang dari mereka menyalakan api, melainkan kucampakkan ia ke dalamnya![3]
Tentu saja mereka akhirnya mengeluhkan sikap sang amir yang keras tadi kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ‘Amru Radhiyallahu anhu pun mengatakan, “Aku sengaja tidak mengizinkan mereka menyalakan api agar musuh tidak mengetahui jumlah mereka yang sedikit,” sehingga Nabi pun menyetujui tindakannnya ini.
Bertemulah kembali pasukan kaum Muslimin dengan musuh. ‘Amru berhasil merangsek masuk ke pemukiman Qudha’ah setelah mereka tercerai-berai dan terpukul mundur. Di sini, ‘Amru Radhiyallahu anhu kembali nampak kepiawaiannya sebagai panglima perang. Dia memerintahkan pasukan kaum Muslimin agar tidak mengejar musuh yang lari tunggang-langgang. Dia khawatir jika pasukannya nanti justru masuk ke dalam jebakan musuh. Ketika ia ditanya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keputusannya ini, ia menjawab, ”Aku tidak ingin mereka mengejar musuhnya, yang menyebabkan pihak musuh mendatangkan bala bantuan,” dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali menyetujui kebijakan ‘Amru ibnul-Ash ini.[4]
Dalam peperangan ini terdapat sebuah peristiwa cukup terkenal yang menunjukkan ‘Amru Radhiyallahu anhu tidak hanya lihai dalam siasat perang, namun ia juga seorang komandan yang faqîh fiddîn. Abu Qais maula ‘Amru ibnul-‘Ash mengisahkan, bahwa ‘Amru Radhiyallahu anhu pernah turut serta dalam suatu ekspedisi militer. Saat itu pasukan menghadapi cuaca amat dingin yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Tatkala ‘Amru Radhiyallahu anhu hendak mengimami shalat Subuh, ia berkata:
“Demi Allâh, semalam aku mimpi basah, tetapi sungguh demi Allâh, aku tidak pernah merasa kedinginan seperti ini. Apakah kalian pernah menghadapi hawa dingin seperti ini?” tanya ‘Amru Radhiyallahu anhu.
“Tidak,” jawab mereka.
‘Amru ibnul-Ash pun membasuh celah-celah paha dan ketiaknya dengan air, lalu ia berwudhu seperti hendak shalat, kemudian ia shalat mengimami mereka. Sekembali ke Madinah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka, “Menurut kalian, bagaimanakah ‘Amru dan teman-temannya?”
Mereka pun menyebutkan yang baik-baik tentang ‘Amru Radhiyallahu anhu dan mengatakan, “Wahai Rasûlullâh, ia pernah mengimami kita dalam keadaan junub,” maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil ‘Amru Radhiyallahu anhu dan menanyainya.
‘Amru ibnul-Ash menyampaikan alasannya. Dia berbuat demikian karena kedinginan, lalu mengatakan: “Wahai, Rasûlullâh! Allah berfirman, ‘Janganlah kalian membunuh diri kalian’-QS an Nisâ/4 ayat 29- dan bila aku nekad mandi, maka aku akan binasa,” maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tersenyum mendengar jawaban tadi.[5]
Dalam ekspedisi ini, ‘Amru ibnul-“ash berhasil mengembalikan wibawa Islam dan kaum Muslimin di mata musuh. Pengaruhnya sampai ke perbatasan Negeri Syam. Sejumlah kabilah Arab yang sempat membelot ke pihak Romawi, akhirnya kembali berdamai dengan kaum Muslimin. Bahkan ada kabilah-kabilah baru yang masuk menjadi sekutu kaum Muslimin, dan banyak pula warga Bani Abs, Bani Murrah, Bani Dzubyan, dan Bani Fazarah yang masuk Islam. Dengan demikian, kaum Muslimin menjadi kelompok terkuat di utara Jazirah Arab, walaupun belum menguasai jazirah seluruhnya.[6]
Ada sejumlah faidah (pelajaran) yang bisa dipetik dari kisah ini, diantaranya:
- Keikhlasan ‘Amru ibnul-‘Ash Radhiyallahu anhu dalam berjihad dan berkhidmat untuk Islam dan kaum Muslimin.
- Sikap tawadhu’ Abu ‘Ubaidah ibnul-Jarrah Radhiyallahu anhu yang rela menjadi makmum di belakang ‘Amru ibnul-‘Ash, padahal dialah yang lebih afdhal karena jauh lebih dahulu masuk Islam.
- Kepiawaian ‘Amru ibnul-‘Ash Radhiyallahu anhu dalam memimpin pasukan.
- Boleh berijtihad saat al-Qur’ân masih turun dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.
- Kematangan ijtihad ‘Amru ibnul-‘Ash Radhiyallahu anhu dalam memahami dan mengamalkan ayat al-Qur’an menunjukkan kesungguhannya dalam mempelajari al-Qur’ân sejak dirinya masuk Islam. Hebatnya lagi, pemahaman yang mendalam tentang ayat al-Qur’ân ini didapatnya hanya empat bulan setelah keislamannya. Sebab, menurut riwayat yang masyhur ‘Amru ibnul-‘Ash Radhiyallahu anhu masuk Islam bulan Shafar tahun 8 H.
Wallâhu Ta’ala a’lam.
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVI/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079, artikel: almanhaj]
Wallâhu Ta’ala a’lam.
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVI/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079, artikel: almanhaj]
Footnote
[1] Menurut sebagian ahli sejarah, perang ini dinamakan demikian karena kaum musyrikin saling mengikat diri mereka dengan salâsil (rantai) agar tidak lari. Atau karena di daerah tersebut terdapat mata air bernama as-Salâsil. Ia berjarak sekitar 10 hari perjalanan dari kota Madinah ke arah utara.
[2] Saat itu, usia keislaman ‘Amru ibnul-‘Ash baru sekitar empat bulan, sebab ia masuk Islam pada bulan Shafar tahun 8 H. Sedangkan peperangan ini terjadi pada bulan Jumada Tsani tahun itu juga.
[3] Lihat Shahîh as-Sîrah an-Nabawiyyah, hlm. 509.
[4] Ibid., hlm. 509.
[5] HR al-Hakim dan Ibnu Hibban. Hadits ini di-shahîh-kan oleh al-Hakim.
[6] Lihat Shahîh as-Sîrah an-Nabawiyyah, Dr. Ali Shallabi dengan penyusunan ulang, Durus wa ‘Ibar, hlm. 441-443.
[2] Saat itu, usia keislaman ‘Amru ibnul-‘Ash baru sekitar empat bulan, sebab ia masuk Islam pada bulan Shafar tahun 8 H. Sedangkan peperangan ini terjadi pada bulan Jumada Tsani tahun itu juga.
[3] Lihat Shahîh as-Sîrah an-Nabawiyyah, hlm. 509.
[4] Ibid., hlm. 509.
[5] HR al-Hakim dan Ibnu Hibban. Hadits ini di-shahîh-kan oleh al-Hakim.
[6] Lihat Shahîh as-Sîrah an-Nabawiyyah, Dr. Ali Shallabi dengan penyusunan ulang, Durus wa ‘Ibar, hlm. 441-443.