Selasa, 07 Februari 2017

Kisah Taubat Tiga Orang Sahabat Yang Tidak Ikut Dalam Perang Tabuk

Kisah Taubat Tiga Orang Sahabat Yang Tidak Ikut Dalam Perang Tabuk

BAHASAN : SIRAH NABI

KISAH TAUBAT TIGA ORANG SAHABAT YANG TIDAK IKUT DALAM PERANG TABUK


Setelah menempuh perjalanan panjang dan lama dari Tabûk, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukan kaum Muslimin tiba di Madinah. Setibanya di Madinah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki masjid lalu shalat dua rakaat. Demikianlah kebiasaan beliau setelah melakukan perjalanan jauh.

Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dan orang-orang yang tidak ikut dalam perang Tabûk mulai berdatangan menemui Beliau sambil menjelaskan alasan mereka tidak ikut dalam perang Tabûk. Orang-orang munafik yang tidak ikut dalam peperangan tersebut menyebutkan berbagai alasan dusta, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menerima alasan-alasan yang mereka ucapkan, membai’at mereka kembali dan memohonkan ampunan buat mereka, sedangkan urusan hati mereka diserahkan kepada Allâh Azza wa Jalla.

Diantara yang tidak ikut dalam perang Tabûk tersebut adalah tiga orang Sahabat Rasûlullâh yang mulia yaitu Ka’b bin Mâlik, Hilal bin Umayyah dan Murarah bin ar-Rabi’ Radhiyallahu anhum. Berbeda dengan orang-orang munafik yang menyampaikan alasan palsu, tiga orang sahabat yang mulia menyampaikan kondisi mereka yang sebenarnya. Mereka mengaku tidak memiliki udzur yang menghalangi mereka untuk mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Tabûk tersebut. Mereka melakukan itu dengan harapan agar Allâh Azza wa Jalla berkenan mengampuni kesalahan yang telah mereka lakukan itu. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak penuturan sahabat yang mulia Ka’b bin Mâlik Radhiyallahu anhu berikut ini[1]:

“Saya tidak pernah tertinggal dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan yang Beliau lakukan kecuali perang Tabûk. Walaupun saya pernah tertinggal dari perang Badr, tapi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela saya dan siapapun yang tertinggal, karena waktu itu kami mengira Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar hanya untuk menghadang kafilah dagang Quraisy, hingga akhirnya Allâh Azza wa Jalla mempertemukan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan musuh-musuhnya.

Saya belum pernah merasa lebih kuat dan lebih mudah daripada keadaan saya ketika tertinggal dari Beliau dalam perang (Tabûk) tersebut. Demi Allâh, saya belum pernah mengumpulkan dua kendaraan sama sekali dalam sebuah peperangan kecuali perang Tabûk.”

Meski demikian keadaan beliau Radhiyallahu anhu disaat kaum Muslimin mempersiapkan diri untuk berangkat ke medan perang, beliau Radhiyallahu anhu pulang dan tidak bergegas melakukan persiapan. Beliau Radhiyallahu anhu terus menunda-nunda persiapan, sehingga akhirnya benar-benar tertinggal oleh pasukan kaum Muslimin yang berangkat bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sepeninggal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukan kaum Muslimin, betapa gusar dan sedih hati beliau Radhiyallahu anhu, karena melihat orang-orang yang masih berada di Madinah adalah orang-orang yang memiliki udzur (alasan yang dibenarkan syari’at-red) untuk tidak ikut berperang atau orang-orang yang dikenal sebagai orang munafik.

Menjelang kedatangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin, keinginan buruk muncul dalam benaknya. Ka’b bin Mâlik Radhiyallahu anhu mengatakan, “Ketika sampai berita bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin bersiap-siap untuk kembali, muncul keinginanku untuk berbohong. Saya berkata dalam hati, ‘Dengan apa kira-kira saya bisa lolos dari murka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam besok?’

Namun tatkala diberitakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mulai bergerak menuju Madinah, keinginan untuk berbohong itu hilang. Beliau Radhiyallahu anhu menguatkan hati untuk berkata jujur dengan segala resikonya.

Setibanya di Madinah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya disambut oleh penduduk Madinah. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju masjid dan shalat dua rakaat. Itulah kebiasaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap kembali dari safar. Setelah itu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk untuk menerima dan mendengarkan udzur orang-orang yang tidak ikut berperang. Ka’b mengatakan, “Saya datang menemui Beliau dan mengucapkan salam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum masam kepada saya seraya bertanya, “Mengapa engkau tertinggal? Bukankah engkau telah menjual dirimu (untuk membela Islam)?”

Saya menjawab, ‘Tentu. Sungguh, demi Allâh! Wahai Rasûlullâh! Seandainya aku duduk dengan orang lain di dunia ini pasti aku akan merasa bisa lolos dari kemarahannya dengan alasan (yang bisa diterima-red), karena Saya diberi kemampuan berdebat. Akan tetapi, demi Allâh! Saya tahu, seandainya saya berbicara kepada Anda hari ini dengan satu kebohongan yang bisa membuat Anda meridhai saya, pastilah Allâh Azza wa Jalla akan membuat Anda marah kepada saya. Sungguh, seandainya saya berbicara kepada Anda dengan jujur, niscaya Anda melihatnya ada pada saya. Saya betul-betul berharap ampunan dari Allâh Azza wa Jalla dalam masalah ini. Demi Allâh! Saya tidak memiliki udzur sama sekali. Saya tidak pernah merasa lebih kuat dan lebih mudah sama sekali dibandingkan ketika saya tertinggal dari Anda.”

Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Karena dia sudah berlaku jujur, maka berdirilah sampai Allâh Azza wa Jalla memberi keputusan tentangmu.”

Hal yang sama sudah dilakukan oleh dua Sahabat Rasûlullâh yang lainnya sebelum Ka’b Radhiyallahu anhu yaitu Murarah bin ar-Rabi’ dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi Radhiyallahu anhuma.

Sejak saat itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai melarang kaum Muslimin berbicara dengan mereka. Kondisi ini tentu membuat mereka sedih dan tertekan. Semakin bertambah hari, semakin berat tekanan yang mereka rasakan. Mereka merasa terasing di Madinah. Kedua sahabat Ka’b merasa sangat tertekan dan hanya duduk di rumah mereka sambil menyesali apa yang telah mereka lakukan. Sedangkan Ka’b Radhiyallahu anhu yang lebih muda dan lebih tabah, selalu keluar dan ikut shalat bersama kaum Muslimin, berkeliling di pasar-pasar meskipun tidak ada seorang pun mengajaknya bicara, bahkan Abu Qataadah Radhiyallahu anhu, sepupu beliau tidak mau berbicara dengan beliau Radhiyallahu anhu.

Dalam keadaan seperti itu, utusan Raja Ghassan datang mencari dan menemui Ka’b Radhiyallahu anhu di pasar untuk menyerahkan sepucuk surat yang ternyata isinya, “Amma ba’du,… Sampai berita kepadaku bahwa temanmu (Muhammad ) mengucilkanmu. Allâh tidak akan menjadikanmu tetap di tempat yang hina dan tersia-sia. Datanglah kepada kami, niscaya kami memuliakanmu.”

Akan tetapi, beliau Radhiyallahu anhu adalah orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya serta mencintai Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Dalam keadaan terkucil, terasing, dan tidak diajak bicara, bahkan oleh kerabat yang sangat dicintai, seandainya beliau orang yang lemah iman, tentu akan dengan mudah menyambut tawaran itu.

Setelah membacanya Ka’b Radhiyallahu anhu berkata, “Ini juga ujian,” lalu menyalakan api dan membakarnya.

Demikianlah seharusnya yang dilakukan oleh orang yang ingin menyelamatkan diri dari fitnah : “Menghancurkan sesuatu yang menjadi sebab timbulnya fitnah bagi dirinya”.

Ka’b Radhiyallahu anhu juga mengatakan, “Empat puluh hari berlalu, ketika utusan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemui saya dan berkata, ‘Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan engkau agar menjauhi istrimu.’

Saya bertanya, ‘Apakah saya harus menceraikannya atau apa yang saya lakukan?’ Katanya, ‘Tidak. Engkau hanya diperintah agar menjauhinya dan jangan mendekatinya.’”

Seperti itu juga yang disampaikan kepada dua Sahabat yang lainnya.

Kemudian saya katakan kepada istri saya, “Kembalilah kepada keluargamu. Tinggallah di sana sampai Allâh memutuskan perkara ini.”

Akhirnya, beliau Radhiyallahu anhu melewati hari-harinya dalam kondisi demikian selama sepuluh hari, sampai genap lima puluh hari sejak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang semua sahabat berbicara dengan tiga orang sahabat yang tidak ikut dalam perang Tabûk.

Satu bulan lebih, wahyu tidak juga turun. Itulah salah satu rahasia hikmah Allâh Azza wa Jalla dalam setiap urusan besar, sehingga kaum Muslimin benar-benar merasa rindu kepada wahyu itu.

Pada hari kelima puluh, kerinduan hati para sahabat terhadap wahyu terobati. Luapan kegembiraan terlihat jelas dari ucapan dan perbuatan mereka. Ka’b Radhiyallahu anhu menceritakan peristiwa mengharukan itu. Beliau Radhiyallahu anhu mengatakan, “Seusai shalat Shubuh di hari terakhir (kelima puluh), ketika saya sedang berada di atas rumah, persis seperti diterangkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala, “Jiwa terasa sesak, dan bumi pun terasa sempit, padahal dia begitu luasnya,” saya mendengar suara teriakan di atas bukit cadas, dia berteriak sekeras-kerasnya, “Wahai Ka’b bin Mâlik, bergembiralah!”

Mendengar itu, saya pun sujud. Saya tahu, telah datang kelapangan dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan bahwa Allâh Azza wa Jalla menerima taubat kami. Kaum Muslimin berduyun-duyun memberi ucapan selamat kepada saya dan dua Sahabat itu. Ada yang datang dengan berkuda, ada pula dari bani Aslam berjalan cepat ke arah saya, mendaki gunung. Namun suara lebih cepat daripada kuda. Setelah pemilik suara itu datang, saya melepas baju saya dan memberikannya kepada orang itu sebagai hadiah atas berita gembira tersebut, padahal, demi Allâh! Saya tidak punya baju lain selain itu pada hari itu. Akhirnya, saya meminjam sehelai baju dan mengenakannya lalu berangkat menemui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang pun berduyun-duyun mengucapkan selamat kepada saya, kata mereka, “Selamat, karena taubatmu diterima oleh Allâh.” Hal itu berlangsung sampai saya masuk ke dalam masjid. Ternyata Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dikelilingi oleh para sahabat lain.

Tiba-tiba Thalhah bin ‘Ubaidullah Radhiyallahu anhu berlari-lari kecil menyambut dan menyalami saya sembari mengucapkan selamat. Demi Allâh, tidak ada satu pun Muhajirin yang berdiri selain dia. Saya tidak bisa melupakan hal ini dari Thalhah Radhiyallahu anhu.”

Demikianlah keadaan mereka, yaitu orang-orang yang mencintai untuk saudaranya apa yang dicintainya untuk dirinya. Mereka tidak iri atau dengki atas kelebihan yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada saudara mereka, berupa turunnya wahyu yang agung menerangkan taubat mereka diterima. Bahkan, mereka mengucapkan selamat sampai Ka’b Radhiyallahu anhu masuk ke masjid.

Ka’b Radhiyallahu anhu mengatakan, “Setelah saya mengucapkan salam kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau berkata dengan wajah berseri-seri:

أَبْشِرْ بِخَيْرِ يَوْمٍ مَرَّ عَلَيْكَ مُنْذُ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ

Bergembiralah dengan sebaik-baik hari yang telah engkau lewati sejak engkau dilahirkan ibumu’.”

Saya bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Apakah ini dari engkau atau dari sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala ?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dari sisi Allâh.” Dan kalau Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam gembira, wajahnya bersinar laksana kepingan bulan purnama.

Setelah duduk di hadapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya berkata, ‘Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya sebagai bukti taubat, saya menyerahkan seluruh harta saya untuk sedekah kepada Allâh dan Rasul-Nya.”

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tahanlah sebagian hartamu! Itu lebih baik.”

Saya berkata, “Sesungguhnya saya menahan bagian yang saya peroleh dari Khaibar.”

Kemudian saya berkata lagi, “Wahai Rasûlullâh! Sungguh Allâh Azza wa Jalla telah menyelamatkan saya dengan wasilah kejujuran, maka sebagai bentuk taubat saya juga, saya tidak akan berbicara kecuali yang benar selama saya masih hidup.”

Ka’b Radhiyallahu anhu juga mengatakan, “Demi Allâh! Saya tidak melihat ada seorang Muslim pun yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala beri ujian dalam hal kejujuran – sejak saya menyebutkan hal itu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam – yang lebih baik daripada yang diberikan kepada saya.

Belum pernah pula saya sengaja berdusta sejak mengatakan hal itu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari ini. Sungguh, saya berharap Allâh Azza wa Jalla memelihara saya dalam sisa-sisa umur saya.”

Allâh Azza wa Jalla telah menurunkan wahyu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ ﴿١١٧﴾ وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ﴿١١٨﴾ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“Sesungguhnya Allâh telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allâh menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allâh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allâh, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allâh menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allâh-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. [At-Taubah/9:117—119]

Ka’b Radhiyallahu anhu juga mengatakan, “Demi Allâh! Allâh Azza wa Jalla tidak pernah memberi nikmat kepadaku yang lebih besar bagi diri saya – sesudah memberi saya hidayah kepada Islam – dibandingkan dengan nikmat kejujuran kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak akan berdusta kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akibatnya saya binasa sebagaimana binasanya mereka yang telah berdusta kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”

Demikianlah kisah kejujuran tiga orang Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan buah manis yang mereka petik dari prilaku terpuji tersebut.

Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk orang-orang yang bisa mengambil pelajaran dari kisah di atas dan Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk orang-orang yang senantiasa berkata jujur.

FAEDAH DARI KISAH DIATAS

~  Seorang Muslim boleh menceritakan dosanya sesudah taubat agar membangkitkan semangat orang lain untuk bertaubat, apalagi bila dosa itu tersebar dan diketahui orang banyak. Adapun dosa yang sifatnya rahasia atau yang terang-terangan tapi belum bertaubat, tidak boleh diceritakan agar tidak mendorong orang lain berbuat seperti itu, dan diapun menjadi golongan orang-orang yang mujâharah (terang-terangan berbuat dosa)

~  Seorang Mukmin merasa sedih ketika menelantarkan sebuah kewajiban.

~  Seseorang boleh menceritakan kelalaian dan kekurangannya dalam menjalankan ketaatan kepada Allâh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama itu bukan untuk tujuan pamer kesalahan (mujâharah), sebagaimana riwayat tentang Ka’b Radhiyallahu anhu yang menceritakan ketidakikutan beliau dalam perang Tabûk.

~  Seseorang boleh memuji dirinya dengan kebaikan yang dimilikinya apabila hal itu tidak dilakukan untuk kesombongan dan berbangga-bangga

~  Seorang imam atau yang ditaati tidak boleh membiarkan begitu saja orang yang melanggar dalam sebagian perintahnya. Dia harus mengingatkannya agar kembali dalam ketaatan dan bertaubat, sebagaimana dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bertanya tentang Ka’b Radhiyallahu anhu yang tidak ikut dalam perang Tabûk.

~  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima ucapan orang-orang munafik yang menampakkan keislamannya dan menyerahkan apa yang mereka sembunyikan dalam hati-hati mereka kepada Allâh Azza wa Jalla. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghukumi mereka berdasarkan apa yang tampak dari mereka dan tidak menjatuhkan sanksi berdasarkan apa yang mereka sembunyikan, sebagaimana dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang datang menyampaikan udzur yang menghalangi mereka dari perang Tabûk.

~  Ka’b bin Mâlik Radhiyallahu anhu sujud ketika mendengar suara orang yang memberi kabar gembira kepadanya. Ini menunjukkan kebiasaan para sahabat. Sujud itu adalah sujud syukur ketika mendapat kenikmatan yang baru atau terhindar dari bencana. Abu Bakar Radhiyallahu anhu juga bersujud ketika mendengar berita bahwa Musailamah al-Kadzdzâb telah terbunuh. Juga Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu bersujud ketika mendapatkan Dza Tsadyain terbunuh diantara para khawarij. Mereka semua ini mencontoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersujud beberapa kali untuk kejadian yang menggembirakan. Abu Bakroh Radhiyallahu anhu menyatakan:

أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ إِذَا أَتَاهُ أَمْرٌ يَسُرُّهُ خَرَّ لِلَّهِ سَاجِدًا

Sesunggunya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu bila datang kepada beliau perkara yang menggembrikan maka beliau sujud kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala. [HR. Abu Daud on. 2774. Hadits ini dinilai sebagai hadits shahih oleh al-Albani].

Diantara contohnya adalah sujud Beliau ketika mendengar berita bahwa Hamadaan telah memeluk Islam melalui tangan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu.

~  Dianjurkan bersedekah ketika bertaubat sesuai dengan kemampuan, sebagaimana diceritakan dalam sikap Ka’b bin Mâlik Radhiyallahu anhu di atas saat berbicara dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Radhiyallahu anhu ingin menyedekahkan seluruh hartanya, namun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya sedekah sepertiga hartanya saja, lalu Beliau menahan bagian yang diperolehnya di Khaibar.

~  Dalam sikap Ka’b bin Mâlik Radhiyallahu anhu saat menerima surat Raja Ghassan, lalu membakarnya juga respon beliau Radhiyallahu anhu terhadap permintaan Raja Ghassan terdapat pesan mendalam bagi setiap insan yang beriman kepada Rabbnya. Keimanan beliau Radhiyallahu anhu tidak goyah, bahkan menganggap kedatangan surat itu sebagai musibah atau ujian. Dan sungguh ujian itu akan menyingkap keimanan orang-orang yang benar-benar beriman dan ikhlash dalam keimanannya.

[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079, artikel: almanhaj]

Footnote

[1] Kisah ini dibawakan dalam hadits yang panjang yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri, Imam Muslim dan yang lain-lain