قال: حسبت أنه قال: كان أخاها من الرضاعة، أو غلاما لم يحتلم.
Dari Jaabir : Bahwasannya Ummu Salamah meminta ijin kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk berbekam (hijaamah). Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Thayyibah untuk membekamnya.
Perawi berkata : Aku (Jaabir) menyangka bahwa beliau bersabda :“Ia (Abu Thayyibah) adalah saudara sepersusuannya atau anak yang belum ihtilam (belum baligh)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2206, Abu Dawud no. 4105, Ibnu Maajah no. 3480, Ahmad 3/350, Ibnu Hibbaan no. 5602, Al-Baihaqiy 7/96, dan Abu Ya’laa no. 2267].
Abu ‘Abbas Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :
واستئذان أم سلمة النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ في الحجامة دليل : على أن المرأة لا ينبغي لها أن تفعل في نفسها شيئًا من التداوي ، أو ما يشبهه إلا بإذن زوجها ؛ لإمكان أن يكون ذلك الشيء مانعًا له من حقه ، أو منقصًا لغرضه منها ، وإذا كانت لا تشرع في شيء فى من التطوَّعات التي تتقرَّب بها إلى الله تعالى إلا بإذنٍ منه ؛ كان أحرى وأولى ألا تتعرَّض لغير القرب إلا بإذنه ؛ اللهم إلا أن تدعو لذلك ضرورة من خوف موت ، أو مرض شديد ، فهذا لا تحتاج فيه إلى إذن ؛ لأنَّه قد التحق بقسم الواجبات المتعينة. وأيضًا : فإنَّ الحجامة وما يتنزل منزلتها مما يحتاج فيها إلى محاولة الغير ، ولا بدَّ فيها من استئذان الزوج لنظره فيمن يصلح ، وفيما يحلُّ من ذلك . ألا ترى : أن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ أمر أبا طيبة أن يحجمها لما علم أن بينهما من السبب المبيح ، كما قال الرَّاوي : حسبت : أنه كان أخاها من الرَّضاعة ، أو غلامًا لم يحتلم . ولا شكَّ في أن مراعاة هذا هي الواجبة متى وجد ذلك ، فإنَّ لم يوجد من يكون كذلك ، ودعت الضرورة إلى معالجة الكبير الأجنبي جاز دفعًا لأعظم الضررين ، وترجيحًا لأخف الممنوعين .
وفيه من الفقه ما يدلّ على أن ذا المحرم يجوز أن يطَّلع من ذات محرمه على بعض ما يحرم على الأجنبي ، وكذلك الصبي ، فإن الحجامة غالبًا إنما تكون من بدن المرأة فيما لا يجوز للأجنبي الاطلاع عليه ، كالقفا ، والرَّأس ، والساقين.
“Permintaan ijin dari Ummu Salamah kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah dalil bahwa tidak selayaknya (seorang wanita) melakukan pengobatan pada dirinya atau yang menyerupainya kecuali dengan ijin suaminya, karena mungkin dengan sebab itu akan menghalangi hak suami atau mengurangi keinginan suaminya darinya. Apabila ia tidak disyari’atkan melakukan ibadah-ibadah tathawwu’ (sunnah) untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala kecuali dengan ijin suaminya[1], maka lebih dikedepankan lagi untuk meminta ijin pada sesuatu hal yang ia lakukan yang tidak bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Kecuali jika dalam keadaan darurat khawatir akan meninggal karena sakit yang dideritanya. Maka dalam hal ini tidak diperlukan ijin, karena ia masuk pada sesuatu yang diwajibkan. Selain itu, sesungguhnya bekam (hijaamah) dan yang semakna dengannya (dari macam pengobatan) yang memerlukan bantuan orang lain, diwajibkan padanya ijin suami agar ia (suami) bisa mengecek orang dan penanganannya yang sesuai lagi tepat. Tidakkah engkau melihat bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Thayyibah untuk membekam Ummu Salamah ketika beliau mengetahui adanya sebab yang membolehkannya (yaitu karena saudara sepersusuan atau belum baligh) sebagaimana perkataan perawi : ‘Aku mengira beliau bersabda : ‘Ia (Abu Thayyibah) adalah saudara sepersusuannya atau anak yang belum ihtilam (belum baligh)’. Tidak diragukan lagi bahwa memperhatikan hal tersebut diwajibkan saat menemui kasus seperti itu. Apabila tidak menemui hal seperti itu, lalu terjadi keadaan darurat untuk meminta bantuan kepada orang lain yang sudah tua, maka diperbolehkan untuk mencegah bahaya yang lebih besar dan menguatkan larangan yang paling ringan.
Dalam hadits di atas juga terkandung fiqh bahwa seorang wanita diperbolehkan menampakkan sebagian anggota tubuh kepada mahramnya dimana hal itu diharamkan diperlihatkan kepada orang lain (ajnabiy). Begitu juga (diperbolehkan) kepada anak kecil. Sesungguhnya bekam secara umum dilakukan di badan wanita yang tidak diperbolehkan ditampakkan kepada orang lain, seperti tengkuk, kepala, dan dua betis” [Al-Mufhim, 5/596].
عن ربيع بنت معوذ بن عفراء قالت: "كنا نغزو مع رسول الله صلى الله عليه وسلم نسقي القوم ونخدمهم ونرد القتلى والجرحى إلى المدينة".
Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afraa’, ia berkata : “Kami pernah berperang bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk memberi minum orang-orang, melayani mereka, serta membawa pulang korban (yang meninggal) dan terluka ke Madinah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2882 & 2883 & 5679].
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
ويؤخذ حكم مداواة الرجل المرأة منه بالقياس. وإنما لم يجزم بالحكم لاحتمال أن يكون ذلك قبل الحجاب، أو كانت المرأة تصنع ذلك بمن يكون زوجا لها أو محرما. وأما حكم المسألة فتجور مداواة الأجانب عند الضرورة وتقدر بقدرها فيما يتعلق بالنظر والجس باليد وغير ذلك،
“Dan diambil sebuah hukum kebolehan bagi laki-laki yang hendak mengobati wanita melalui qiyas. Hanya saja, hukum itu tidak berlaku karena kemungkinan kebolehannya sebelum turun kewajiban hijab, atau wanita tersebut melakukannya dengan dibantu suami atau mahramnya. Adapun hukum meminta pengobatan kepada orang lain untuk melakukan pengobatan dengan alasan darurat, maka itu sebatas kebutuhan seperti dalam masalah memandang, sentuhan tangan, dan yang lainnya” [Fathul-Baariy, 10/136].Semoga uraian singkat ini dapat dipetik manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[Cerkiis.blogspot.com, Sumber: Ustadz Abul Jauzaa]
Footnote :
[1] Misalnya saja puasa tathawwu’ (sunnah), sebagaimana sabda Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لا تصوم المرأة وبعلها شاهد إلا بإذنه
“Tidak diperbolehkan seorang wanita untuk berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya ada di rumah kecuali dengan ijinnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2066 & 5192 & 5195 dan Muslim 1026].