Selasa, 17 Mei 2016

Perang Badar Kubra

Perang Badar Kubra

BAHASAN : SIRAH NABI

PERANG BADAR KUBRA


Kezaliman kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin sudah tak terperikan. Termasuk ketika kaum Muslimin berhijrah dari Mekah menuju Madinah. Seluruh harta kaum Muslimin yang masih di sana, mereka rampas. Inilah di antara sebab yang mendorong kaum Muslimin melakukan pencegatan kafilah dagang kaum Quraisy yang melintas di Madinah. Pencegatan-pencegatan yang dilakukan kaum Muslimin atas perintah Rasulullah ini tidak membuat kafir Quraisy jera. Karena, belum pernah terjadi kontak fisik yang sengit di antara mereka. Menyadari bahaya yang terus mengintai, kafir Quraisy memperketat dan memperkuat sisi keamanan untuk mengawal bisnis mereka.

Sekilas Sejarah Perang Badar

Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar ada kafilah dagang Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb dengan 40 pengawal bergerak dari Syam membawa harta orang-orang Quraisy, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera mengajak kaum Muslimin untuk mencegatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Ini ada kelompok dagang Quraisy yang membawa harta-harta kaum Quraisy. Cegatlah mereka ! Semoga Allah Azza wa Jalla memberikannya kepada kalian.”[1]

Dalam sebuah riwayat, Abu Ayyûb al-Anshâri Radhiyallahu anhu mengatakan: “Saat kami berada di Madinah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku diberitahu[2] tentang kedatangan kelompok dagang (pimpinan) Abu Sufyân, setujukah kalian kalau kita keluar mencegat kelompok dagang ini ? Semoga Allah Azza wa Jalla memberikannya kepada kita. “Kami menjawab : ’Ya’. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan kami pun ikut keluar bersama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam [3].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memobilisasi seluruh shahabat yang ada di Madinah, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyangka akan berhadapan dengan pasukan kafir Quraisy di medan tempur. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menyuruh mereka yang memiliki tunggangan untuk ikut serta[4] dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela para shahabat yang tidak ambil bagian dalam perang Badar [5]. Jumlah para shahabat yang mengiringi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat itu adalah 319 [6] dengan rincian 230-an kaum Anshâr, sisanya kaum Muhâjirîn. Mereka hanya membawa dua ekor kuda dan 70 unta yang kami tunggangi secara bergantian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta rombongan berangkat. Saat di Rauha`, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh Abu Lubâbah Radhiyallahu anhu untuk kembali ke Madinah dan mengganti posisi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin dan sebelumnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat `Abdullâh bin Ummi Maktûm untuk menggantikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai imam.

Sementara itu, di pihak lain, Abu Sufyân pemimpin kafilah dagang ini terus dalam ekstra waspada dan bersiap-siap mengantisipasi berbagai kemungkinan. Oleh karena itu, ketika berita tentang rencana pencegatan kaum Muslimin ini sampai ke telinganya, dia segera mengirim utusan yang bernama Dhamdham ke Mekah untuk meminta bantuan. Setibanya di Mekah utusan ini berteriak-teriak meminta bantuan sembari memberitahukan harta benda kaum Quraisy yang terancam dirampas oleh kaum Muslimin. Mendengar teriakan ini, sontak seluruh kaum Quraisy keluar dengan membawa senjata, siap berhadapan dengan kaum Muslimin demi menyelamatkan kafilah dagang mereka dan memusnahkan kaum Muslimin yang mereka nilai sebagai ancaman bagi jalur bisnis mereka. Tidak ada seorang pun pembesar Quraisy yang absen dari pertempuran ini kecuali Abu Lahab. Dia menyuruh al-Ash bin Hisyâm menggantikannya. Tidak ada satu keluargapun yang tidak ikut kecuali bani Adiy. Jumlah mereka saat akan berangkat mencapai seribu orang.

Kendati sudah mengirim utusan ke Mekah, Abu Sufyân tidak berpangku tangan menunggu kedatangan bala bantuan. Dia terus berusaha mencari berita tentang keberadaan kaum Muslimin. Setelah mendapatkan kepastian posisi kaum Muslimin, dia mengambil jalan lain agar terhindar dari sergapan kaum Muslimin dan ternyata, dia berhasil. Kemudian dia mengirim utusan lagi ke pasukan kaum Quraisy yang masih berada di Juhfah guna memberitahukan keselamatannya dan meminta agar mereka mengurungkan niat menyerang kaum Muslimin. Abu Jahl yang memimpin pasukan kafir Quraisy tidak memperdulikan seruan Abu Sufyân. Abu Jahl mengatakan : “Demi Allah Azza wa Jalla, kita tidak akan kembali ke Mekah sebelum sampai ke Badr. Kita akan tinggal di sana selama tiga hari untuk memotong hewan, memberi makan dan minum khamer sambil menikmati nyanyian para biduwanita. Orang-orang Arab akan mendengar ekspedisi dan perkumpulan kita ini sehingga mereka akan tetap segan kepada kita selama-lamanya. Ayo, majulah !”[7]

Perintah Abu Jahl ditaati orang-orang Quraisy kecuali Akhnas bin Syarîq. Mereka pun kemudian melanjutkan perjalanan sampai ke dekat Badr.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bermusyawarah Dengan Para Sahabat
Kabar tentang pasukan Quraisy ini terdengar juga oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Kabar ini direspon oleh para Shahabat dengan respon yang berbeda. Sebagian mereka merasa khawatir karena pertempuran ini tidak disangka-sangka sama sekali dan mereka juga belum melakukan persiapan maksimal. Mereka berusaha menyampaikan berbagai alasan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diterima. Berkenaan dengan peristiwa ini, Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya :

كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ ﴿٥﴾ يُجَادِلُونَكَ فِي الْحَقِّ بَعْدَمَا تَبَيَّنَ كَأَنَّمَا يُسَاقُونَ إِلَى الْمَوْتِ وَهُمْ يَنْظُرُونَ

“Sebagaimana Rabbmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya. Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu)” [al-Anfâl/8:5-6]

Melihat keadaan yang kurang menggembirakan ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajak para shahabat beliau bermusyawarah untuk mengambil keputusan antara melanjutkan perjalanan dan bertempur, atau kembali ke Madinah. Pendapat pertama berasal dari pemimpin kaum Muhâjirîn yang menyatakan kesiapan mereka untuk bertempur dan tidak akan membiarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertempur seorang diri.[8] Kemudian disusul oleh kaum Anshâr yang diwakili oleh Sa’ad bin Mu’azd Radhiyallahu anhu yang juga menyatakan kesetiannya. [9]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa gembira mendengar ucapan para Shahabat ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ”Berangkatlah kalian dan berbahagialah karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menjanjikanku salah satu dari kedua rombongan tersebut. Demi Allah Azza wa Jalla, seakan aku melihat kematian mereka sekarang.” [Ibnu Hisyâm 2/305-306, Ibnu Katsîr berkata: “ hadits ini memiliki syawâhid yang banyak”]

Musyawarah dengan para Shahabat juga dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menentukan posisi yang strategis bagi pasukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hal ini beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil pendapat yang disampaikan oleh Habbâb bin Mundzir Radhiyallahu anhu .

Dalam perjalanan ini, ada kisah menarik yang bisa dijadikan pelajaran bagi kaum Muslimin yang menginginkan kejayaan. Yaitu, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di daerah berbatu al-Wabirah, seseorang musyrik menyusul mereka dan menyatakan kesiapannya bergabung berperang bersama pasukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak serta merta menyambut uluran tangan si musyrik ini, meski beliau menyadari jumlah pasukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedikit. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terlebih dahulu bertanya : “Apakah kamu beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Orang itu menjawab : “Tidak.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ارْجِعْ فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ

Pulanglah kamu karena kami tidak akan meminta tolong kepada orang musyrik [HR. Muslim 3/1449-1450]

Kemudian orang itu berlalu. Ketika kami sampai di asy-Syajarah dia menyusul lagi dan menawarkan diri lagi untuk yang kedua kalinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tanggapan yang sama dengan yang pertama. Kemudian dia berlalu lagi. Ketika kami sampai di al-Baidâ’, orang itu menyusul lagi dan menawarkan diri lagi untuk yang ketiga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengulangi pertanyaan beliau ketika orang ini menawarkan diri untuk pertama kalinya : “Apakah kamu beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Orang itu menjawab : “Ya.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan orang ini bergabung dengan pasukan kaum Muslimin[10].

Pelajaran dari kisah ini

a. Boleh menaklukkan musuh dengan cara membunuh mereka, merampas harta mereka serta memblokir jalan yang mereka lalui.

b. Boleh menggunakan mata-mata untuk mengetahui rencana-rencana musuh, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Basbas Radhiyallahu anhu sebagai mata-mata.

c. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempertegas pentingnya bermusyawarah dengan orang yang ahli.

(Diangkat dari as-Sîratun Nabawiyah Fî Dhau’il Mashâdiril Ashliyah, hlm. 337:345)

[Http://cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]

Footnote

[1]. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishâq dengan sanad yang hasan – Ibnu Hisyâm 2/295

[2]. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberitahukan oleh seorang Shahabat yang diutus oleh Rasulullah n sebagai mata-mata, sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Muslim, no. 1901

[3]. HR. al-Haitsamiy dalam al-Mujma`. Beliau t mengatakan : Imam at-Thabariy meriwayatkan hadits ini dengan sanad hasan.

[9]. HR Muslim, no. 1901

[10]. Sebagai penuturan Ka’ab bin Mâlik Radhiyallahu anhu dalam hadits riwayat Imam Bukhâri, no. 4418

[10]. (10’HR Muslim, Syarhun Nawawi 12/84, sedangkan dalam riwayat Imam Bukhâri disebutkan : tiga ratus ditambah sekian belas.

Diriwayatkan oleh at-Thabari dalam tafsîr beliau

[11]. HR Bukhâri, no. 3952

[12]. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishâq, bagian dari hadits tentang perang Badr. Dalam riwayat Imam Muslim, yang berbicara saat itu sebagai wakil dari kaum anshâr adalah Sa’ad bin Ubâdah.

[13]. HR. Muslim, no. 1817