Itulah pertanyaan saya ketika membaca Buletin Al-Islam Edisi 347/Thn. XIV, terutama tulisan yang ada di halaman 3. Dalam Buletin tersebut, sang redaksi menulis ketika menyimpulkan kasus Iraq (Konferensi Baghdad) : “Sesungguhnya ketiadaan Khilafah bagi kaum Muslim yang menghimpun mereka dalam kebenaran merupakan penyebab mundurnya umat Islam dan rakusnya bangsa dan umat lain terhadap umat Islam ini yang mendorong mereka untuk mengerubuti hidangannya. Jika saja Khalifah ada, tentu Khalifah akan berkumpul, dengan memimpin pasukan dan seluruh armada perang terbuka guna menolong setiap negeri yang terjajah………dst. [selesai nukilan]
Lagi-lagi kata mereka bahwa penyebab utamanya adalah ketiadaan khilafah. Kasus seperti ini bukanlah sekali atau dua kali singgah di mata saya ketika membaca. Ketika ada pelacuran yang merajalela, sebabnya karena ketiadaan khilafah. Ketika banyak korupsi, kolusi, dan nepotisme; karena ketiadaan khilafah. Ketika banyak bermunculan paham sesat, karena ketiadaan khilafah. Dan seterusnya. Bahkan ketika ada khilaf perbedaan hari ‘Ied, lagi-lagi mereka menisbatkan penyebabnya karena ketiadaan Khilafah (padahal dalam Shahih Muslim telah disebutkan perbedaan permulaan Ramadlan dan ‘Ied antara Madinah dan Syam di jaman Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma – dan itu terjadi di jaman kekhilafahan). Khilafah seakan menjadi solusi mujarab yang untuk mengeliminasi segala macam musibah dan ketidaksesuaian. Rasa-rasanya jarang sekali mereka (saudara-saudaraku di Hizbut-Tahrir pada khususnya) menisbatkan sebab-sebab permasalahan dan bencana pada kejahilan umat Islam akan Diennya, lemahnya iman mereka kepada Allah dan hari akhir, dan lainnya yang lebih berdasar syar’i; sebagaimana dijelaskan oleh para ulama kita terdahulu dan sekarang dalam banyak kitabnya. Bukankah kehancuran kekhilafahan Baghdad waktu dulu oleh tentara tartar terjadi pada masa “Khilafah” ? Bukankah berkembangnya paham Mu’tazillah di jaman Imam Ahmad terjadi di jaman Khilafah (dan bahkan mendapatkan sokongan kuat) ? Lantas apa sebab esensial dari itu semua ?
Kita refresh kembali pada nukilan di atas. Apakah benar kemunduran umat Islam ini akibat ketiadaan Khilafah yang mengakibatkan kaum kuffar berkumpul mempermainkan umat Islam sebagaimana berkumpulnya orang-orang mengkerubuti makanannya ? Mungkin yang dimaksud oleh redaksi Buletin Al-Islam adalah hadits Tsauban maula Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
يوشك الأمم أن تداعى عليكم كما تداعى الأكلة إلى قصعتها فقال قائل ومن قلة نحن يومئذ قال بل أنتم يومئذ كثير ولكنكم غثاء كغثاء السيل ولينزعن الله من صدور عدوكم المهابة منكم وليقذفن الله في قلوبكم الوهن فقال قائل يا رسول الله وما الوهن قال حب الدنيا وكراهية الموت
“Hampir saja umat-umat (selain Islam) berkumpul (bersekongkol) menghadapi kalian sebagaimana berkumpulnya orang-orang yang makan menghadapi bejana makanannya”. Lalu seseorang bertanya, ”Apakah kami pada waktu itu sedikit ?”. Beliau menjawab, ”Tidak, bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian seperti buih, yaitu buih banjir. (Pada waktu itu) Allah akan menghilangkan dari diri musuh-musuh kalian rasa takut terhadap kalian dan menimpakan ke dalam hati-hati kalian al-wahn (kelemahan)”. Orang tadi bertanya lagi, ”Wahai rasulullah, apakah al-wahn itu ?”. Beliau menjawab, ”Cinta dunia dan takut mati”. [HR. Abu Dawud nomor 4297, Ahmad 5/278, dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa 1/182; shahih lighairihi].
Ada banyak pelajaran yang terkandung dalam hadits ini. Akan tetapi di sini hanya akan disebutkan beberapa saja yang terkait dengan pembicaraan :
a. Umat Islam di masa kemunduran dan kehinaan itu berjumlah banyak, namun berselimut kebodohan tentang agamanya. Indikasi tentang kebodohan tersebut tergambar dalam perkataan beliau shallallaahu ’alaihi wasallam : [ولكنكم غثاء كغثاء السيل] ”Akan tetapi kalian itu seperti buih, yaitu buih banjir”. Mafhum dari ciri-ciri buih banjir adalah :
Lagi-lagi kata mereka bahwa penyebab utamanya adalah ketiadaan khilafah. Kasus seperti ini bukanlah sekali atau dua kali singgah di mata saya ketika membaca. Ketika ada pelacuran yang merajalela, sebabnya karena ketiadaan khilafah. Ketika banyak korupsi, kolusi, dan nepotisme; karena ketiadaan khilafah. Ketika banyak bermunculan paham sesat, karena ketiadaan khilafah. Dan seterusnya. Bahkan ketika ada khilaf perbedaan hari ‘Ied, lagi-lagi mereka menisbatkan penyebabnya karena ketiadaan Khilafah (padahal dalam Shahih Muslim telah disebutkan perbedaan permulaan Ramadlan dan ‘Ied antara Madinah dan Syam di jaman Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma – dan itu terjadi di jaman kekhilafahan). Khilafah seakan menjadi solusi mujarab yang untuk mengeliminasi segala macam musibah dan ketidaksesuaian. Rasa-rasanya jarang sekali mereka (saudara-saudaraku di Hizbut-Tahrir pada khususnya) menisbatkan sebab-sebab permasalahan dan bencana pada kejahilan umat Islam akan Diennya, lemahnya iman mereka kepada Allah dan hari akhir, dan lainnya yang lebih berdasar syar’i; sebagaimana dijelaskan oleh para ulama kita terdahulu dan sekarang dalam banyak kitabnya. Bukankah kehancuran kekhilafahan Baghdad waktu dulu oleh tentara tartar terjadi pada masa “Khilafah” ? Bukankah berkembangnya paham Mu’tazillah di jaman Imam Ahmad terjadi di jaman Khilafah (dan bahkan mendapatkan sokongan kuat) ? Lantas apa sebab esensial dari itu semua ?
Kita refresh kembali pada nukilan di atas. Apakah benar kemunduran umat Islam ini akibat ketiadaan Khilafah yang mengakibatkan kaum kuffar berkumpul mempermainkan umat Islam sebagaimana berkumpulnya orang-orang mengkerubuti makanannya ? Mungkin yang dimaksud oleh redaksi Buletin Al-Islam adalah hadits Tsauban maula Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
يوشك الأمم أن تداعى عليكم كما تداعى الأكلة إلى قصعتها فقال قائل ومن قلة نحن يومئذ قال بل أنتم يومئذ كثير ولكنكم غثاء كغثاء السيل ولينزعن الله من صدور عدوكم المهابة منكم وليقذفن الله في قلوبكم الوهن فقال قائل يا رسول الله وما الوهن قال حب الدنيا وكراهية الموت
“Hampir saja umat-umat (selain Islam) berkumpul (bersekongkol) menghadapi kalian sebagaimana berkumpulnya orang-orang yang makan menghadapi bejana makanannya”. Lalu seseorang bertanya, ”Apakah kami pada waktu itu sedikit ?”. Beliau menjawab, ”Tidak, bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian seperti buih, yaitu buih banjir. (Pada waktu itu) Allah akan menghilangkan dari diri musuh-musuh kalian rasa takut terhadap kalian dan menimpakan ke dalam hati-hati kalian al-wahn (kelemahan)”. Orang tadi bertanya lagi, ”Wahai rasulullah, apakah al-wahn itu ?”. Beliau menjawab, ”Cinta dunia dan takut mati”. [HR. Abu Dawud nomor 4297, Ahmad 5/278, dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa 1/182; shahih lighairihi].
Ada banyak pelajaran yang terkandung dalam hadits ini. Akan tetapi di sini hanya akan disebutkan beberapa saja yang terkait dengan pembicaraan :
a. Umat Islam di masa kemunduran dan kehinaan itu berjumlah banyak, namun berselimut kebodohan tentang agamanya. Indikasi tentang kebodohan tersebut tergambar dalam perkataan beliau shallallaahu ’alaihi wasallam : [ولكنكم غثاء كغثاء السيل] ”Akan tetapi kalian itu seperti buih, yaitu buih banjir”. Mafhum dari ciri-ciri buih banjir adalah :
- rapuh, cepat hilang lagi tidak berharga;
- bergerak sesuai dengan arus yang membawanya;
- tercampur kotoran tanah dan sampah.
Ciri-ciri buih banjir inilah yang tergambar dari umat Islam saat ini. Umat Islam yang rapuh, tidak punya pendirian, tidak kenal agamanya, teracuni oleh pemikiran-pemikiran sampah (syirik, bid’ah, dan yang lainnya), dan banyak yang hanya bermodalkan semangat saja ketika menjalankan aktifitas diniyyahnya.
Unsur utama kekuatan Islam bukanlah terletak pada persenjataan, tentara, teknologi, atau komponen materi keduniaan lain. Akan tetapi terletak pada kekuatan aqidah dan manhaj. Jumlah yang banyak tidak punya banyak arti jika kosong dari isi (sebagaimana banyak kita jumpai fenomena Islam KTP). Oleh karena itu, Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menafikkan kemanfaatan kuantitas dengan sabdanya : [بل أنتم يومئذ كثير] ”Tidak, bahkan pada saat itu kalian banyak”.
Hal yang sama adalah sebagaimana Allah memberi pelajaran berharga pada kaum muslimin dalam Perang Hunain :
وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئاً
”Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu ketika kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun” [QS. At-Taubah : 25].
Kebodohan inilah pangkal dari segala musibah. Dengan kebodohan, umat Islam berpecah-belah, berbuat syirik, bid’ah, dan maksiat.
b. Kaum kuffar tidak lagi takut kepada umat Islam karena kewibawaan yang dimilikinya telah hilang. Kewibawaan itu bukanlah sekedar bahwa umat Islam berkumpul dalam naungan ”Khilafah”. Akan tetapi, kewibawaan umat Islam itu ada karena iman dan aqidah yang kuat yang menyelimuti ruh dan jasad. Allah memenangkan suatu kaum karena iman, dan mengalahkan suatu kaum pula karena iman. Allah berfirman :
سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الّذِينَ كَفَرُواْ الرّعْبَ بِمَآ أَشْرَكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزّلْ بِهِ سُلْطَاناً
”Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu” [QS. Ali Imran : 151].
Rasa takut yang Allah timpakan kepada hati orang-orang kafir yang menyebabkan mereka menjadi kaum ”terkalahkan” adalah karena kesyirikan dan kemaksiatan yang mereka lakukan. Pendek kata, kaum muslimin dimenangkan karena kemaksiatan yang dilakukan oleh musuhnya (kaum kuffar). Lantas bagaimana jadinya jika kaum muslimin sendiri bergelimang kemaksiatan dan berkubang kesyirikan ? Faktor apa lagi yang dapat menjadikan Allah memberikan kewibawaan dan kemenangan bagi kaum muslimin terhadap kaum kuffar ? (padahal persenjataan, tentara, dan teknologi kita kalah). Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah memperingatkan hal ini dalam nasihatnya kepada kaum Muhajirin :
يا معشر المهاجرين خمس إذا ابتليتم بهن وأعوذ بالله أن تدركوهن لم تظهر الفاحشة في قوم قط حتى يعلنوا بها إلا فشا فيهم الطاعون والأوجاع التي لم تكن مضت في أسلافهم الذين مضوا ولم ينقصوا المكيال والميزان إلا أخذوا بالسنين وشدة المئونة وجور السلطان عليهم ولم يمنعوا زكاة أموالهم إلا منعوا القطر من السماء ولولا البهائم لم يمطروا ولم ينقضوا عهد الله وعهد رسوله إلا سلط الله عليهم عدوا من غيرهم فأخذوا بعض ما في أيديهم وما لم تحكم أئمتهم بكتاب الله ويتخيروا مما أنزل الله إلا جعل الله بأسهم بينهم
“Wahai para Muhajirin, ada lima perkara (sebab kehancuran). Jika kalian ditimpa lima perkara tersebut dan aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak menjumpainya :
Jika muncul perbuatan keji pada suatu kaum dan mereka melakukan secara terang-terangan, maka akan menyebar di tengah-tengah mereka wabah penyakit tha’un dan kelaparan yang belum pernah terjadi pada nenek moyang sebelum mereka.
Jika mengurangi takaran dan timbangan, maka akan ditimpakan kepada mereka paceklik dan, kesusahan hidup, dan kesewenang-wenangan (kedhaliman) para penguasa atas mereka.
Jika mereka menahan zakat harta mereka maka akan ditahan hujan untuk mereka, seandainya bukan karena hewan ternak, niscaya tidak akan turun hujan atas mereka.
Jika mereka melanggar perjanjian yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, melainkan Allah akan menguasakan musuh-musuh dari luar kalangan mereka atas mereka, lalu merampas sebagian yang ada di tangan mereka.
Selama pemimpin-pemimpin mereka tidak berhukum kepada Kitabullah dan memilih yang terbaik dari yang diturunkan Allah, maka akan Allah jadikan musibah di antara mereka sendiri” [HR. Ibnu Majah nomor 4019 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah nomor 106 dari hadits Ibnu ‘Umarradliyallaahu ‘anhu].
Jikalau yang kita lakukan sekarang adalah pembinaan aqidah dan iman yang benar (bukan sekedar slogan-slogan kosong tentang Khilafah belaka), tentu kita berharap dengan itu Allah akan mengangkat kehinaan ini dari kaum muslimin. Diperlukan waktu yang panjang. Bukan hari ini berbuat, esok ada hasilnya. Itulah usaha yang kita lakukan agar masyarakat Islam kembali kepada agama mereka secara kaffah. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
إذا تبايعتم بالعينة وأخذتم أذناب البقر ورضيتم بالزرع وتركتم الجهاد سلط الله عليكم ذلا لا ينزعه حتى ترجعوا إلى دينكم
”Apabila kamu berjual beli dengan ’inah (jual beli sistem riba), memegang ekor-ekor sapi, ridla (terlalu sibuk) dengan pertanian, dan meninggalkan jihad; niscaya Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Dia tidak akan menghilangkannya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian” [HR. Abu Dawud nomor 3462 dengan sanad hasan. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah nomor 11].
c. Allah juga telah menyebutkan faktor kemunduran dan kehinaan adalah karena belenggu hawa nafsu duniawi. Hal ini tergambar dari perkataan beliau shallallaahu ’alaihi wasallam ketika menyebut hal tersebut dengan penyakit al-wahn [حب الدنيا وكراهية الموت] ”Cinta dunia dan takut mati”.
Cinta dunia dan takut mati merupakan penyakit kronis yang sedang berjangkit pada umat Islam. Penyakit ini merupakan efek yang ditimbulkan dari lemahnya iman. Gaya hidup materialistik yang notabene berasal dari kaum Yahudi dan Nashrani telah begitu teradopsi. Sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, umat Islam membebek mereka sampai masuk ke lubang biawak. Hingga pada suatu saat, (mungkin) tidak bisa lagi dibedakan mana muslim dan mana kafir dari dhahirnya.
Allah telah memberikan perumpamaan tentang kehidupan dunia kepada manusia :
وَاضْرِبْ لَهُم مّثَلَ الْحَيَاةِ الدّنْيَا كَمَآءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الأرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيماً تَذْرُوهُ الرّياحُ وَكَانَ اللّهُ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ مّقْتَدِراً * الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَلاً
”Dan berikanlah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi pengharapan” [QS. Al-Kahfi : 45-46].
Dan Allah pun telah mencela orang-orang yang tertipu kehidupan dunia :
إَنّ الّذِينَ لاَ يَرْجُونَ لِقَآءَنَا وَرَضُواْ بِالْحَياةِ الدّنْيَا وَاطْمَأَنّواْ بِهَا وَالّذِينَ هُمْ عَنْ آيَاتِنَا غَافِلُونَ * أُوْلَـَئِكَ مَأْوَاهُمُ النّارُ بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
”Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat Kami; mereka itu tempatnya di neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan” [QS. Yunus : 7-8].
Cinta dunia menyebabkan takut mati. Takut terputusnya kenikmatan-kenikmatan yang telah ia peroleh sebelumnya. Apabila seseorang takut mati, maka hilanglah keinginan untuk berjihad di jalan Allah............
Jika boleh kita simpulkan dari poin 1-3 di atas tentang kemunduran umat Islam, maka penyebabnya adalah kebodohan dan hawa nafsu yang menjadikan mereka jauh dari pemahaman dan pengamalan Islam yang benar. Itulah sebab esensial kemunduran dan kehinaan umat Islam dewasa ini.
Dan dengan kalimat ringkas harus dikatakan : Satu-satunya jalan keluar dari seluruh kehinaan dan kemerosotan itu adalah mengajak seluruh komponen umat Islam kembali pada ajaran Islam dengan sebenar-benarnya di ash-siraathil-mustaqqim (jalan yang lurus). Jalan lurus nan satu lagi tidak berbilang adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud radliyallaahu ’anhu :
خط لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما خطا ثم قال هذا سبيل الله ثم خط خطوطا عن يمينه وعن شماله ثم قال هذه سبل على كل سبيل منها شيطان يدعو إليه ثم تلا { وأن هذا صراطي مستقيما فاتبعوه ولا تتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله }
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menggambar untuk kami sebuah garis, seraya bersabda : ”Ini adalah jalan Allah”. Lalu beliau kembali menggambar garis-garis lain di sebelah kanan dan kiri (dari garis yang pertama) seraya bersabda : ”Ini adalah jalan-jalan (yang banyak) dimana pada setiap jalan tersebut terdapat syaithan yang menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca firman Allah ta’ala : ”Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” (QS. Al-An’am : 153)” [HR. Ahmad no. 4142, Al-Hakim no. 3241, An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 11174, dan Ad-Darimi no. 202; hasan].
Jalan satu nan lurus itulah jalan para as-salafush-shalihsebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Waqid Al-Laitsiradliyallaahu ’anhu ketika menjelaskan jalan keluar dari fitnah, bencana, dan balaa’ :
أَنَّهَا سَتَكُونُ فِتْنَةٌ " فَلَمْ يَسْمَعْهُ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، فَقَالَ مُعَاذُ بن جَبَلٍ : أَلا تَسْمَعُونَ مَا يَقُولُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالُوا : مَا قَالَ ؟ قَالَ : " إِنَّهَا سَتَكُونُ فِتْنَةٌ " ، فَقَالُوا : فَكَيْفَ لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ وَكَيْفَ نَصْنَعُ ؟ قَالَ : " تَرْجِعُونَ إِلَى أَمْرِكُمُ الأَوَّلِ
”Sesungguhnya akan terjadi fitnah”. Akan tetapi pada waktu itu banyak shahabat yang tidak mendengarnya. Maka Mu’adz bin Jabal berkata : ”Tidakkah kalian mendengar apa yang sedang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ?”. Mereka berkata : ”Apa yang beliau sabdakan ?”. Mu’adz menjawab : ”Sesungguhnya akan terjadi firnah”. Para shahabat bertanya : ”Lantas, bagaimana yang harus kami perbuat wahai Rasulullah ?”. Maka beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ”Kembalilah kepada urusan kalian yang pertama !” [HR. Thabarani dalam Al-Kabiirno. 3232; shahih lighairihi].
Wallaahu a’lam bish-shawwab.
[Cerkiis.blogspot.com, Sumber : Penulis Ustadz Abul Jauzaa’]