Keberadaan seorang pembantu di tengah rumah tangga pasangan suami istri bukan lah sesuatu hal aneh, langka, atau menakjubkan. Banyak di antara mereka dihadirkan karena kebutuhan, walau tidak dipungkiri sebagiannya karena budaya maupun kedudukan (baca : gengsi).
Lantas, bagaimana jika kita diminta oleh istri tercinta agar menghadirkan seorang (atau lebih) pembantu yang dapat membantunya menyelesaikan sebagian urusan rumah tangganya ?
Lantas, bagaimana jika kita diminta oleh istri tercinta agar menghadirkan seorang (atau lebih) pembantu yang dapat membantunya menyelesaikan sebagian urusan rumah tangganya ?
Para ulama telah menjelaskan bahwa pembantu (khaadim) termasuk bagian dari nafkah yang disyari’atkan bagi suami untuk memenuhinya. Bahkan telah dinukil ijma’ akan kewajiban pemenuhan ini bagi para suami yang mempunyai kelapangan (mampu).[1] Mereka (ulama) berdalil dengan firman Allah ta’ala :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut” [QS. An-Nisaa’ : 19].
Termasuk cakupan mempergauli istri secara patut (baik) adalah menyediakan untuknya (istri) pembantu selama ia membutuhkan. Hendaknya para suami tidak mengesampingkan tuntunan ini sebagai salah satu kewajiban nafkah yang harus ia tunaikan.
Namun, kenyataan seringkali tidak sesuai harapan. Bagi seorang suami multazim, ia akan mencarikan pembantu yang layak bagi istrinya sehingga tidak menimbulkan fitnah di tengah keluarganya. Tentu ia tidak ingin disebut sebagai seorang dayyuuts[2] di mata syari’at yang senantiasa ia junjung tinggi. Sangat sulit rasanya di jaman sekarang untuk mencari pembantu yang patuh, menjaga amanah, taat beribadah, dan menutup auratnya secara sempurna. Yang jamak, para pembantu era millennium malah jadi biang gosip yang menyebarkan segala hal yang didengar dan dilihat di rumah majikannya. Berpakaian lebih terbuka daripada pakaian yang dipakai istri dan anak-anaknya. Dan yang lainnya. Ditambah lagi, sempitnya rumah seringkali mewajibkan suami berinteraksi lebih dari semestinya dengan si pembantu baik dalam hal pandangan atau pembicaraan.
Inilah kendala-kendala yang ada jika seorang suami ingin memenuhi nafkah pembantu bagi istrinya di jaman sekarang. Seorang istri yang baik akan memahami ini. Bukan suatu aib bagi dirinya jika ia (istri) menggugurkan tuntutan nafkah pembantu dari suaminya. Tanpa pembantu ia dapat lebih berkhidmat melayani dan mengurus suami tercinta.
Mari kita tengok contoh dari wanita mulia, Asmaa’ binti Abi Bakr Ash-Shiddiiq radliyallaahu ‘anhumaa :
حدثنا محمود: حدثنا أبو أسامة: حدثنا هشام قال: أخبرني أبي، عن أسماء بنت أبي بكر رضي الله عنهما قالت:
تزوجني الزبير، وما له في الأرض من مال ولا مملوك، ولا شي غير ناضح وغير فرسه، فكنت أعلف فرسه وأستقي الماء، وأخرز غربه وأعجن، ولم أكن أحسن أخبز، وكان يخبز جارات لي من الأنصار، وكن نسوة صدق، وكنت أنقل النوى من أرض الزبير التي أقطعه رسول الله صلى الله عليه وسلم على رأسي، وهي مني على ثلثي فرسخ، فجئت يوما والنوى على رأسي، فلقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم ومعه نفر من الأنصار، فدعاني ثم قال: (إخ إخ). ليحملني خلفه، قاستحييت أن أسير مع الرجال، وذكرت الزبير وغيرته وكان أغير الناس، فعرف رسول الله صلى الله عليه وسلم أني قد استحييت فمضى، فجئت الزبير فقلت: لقيني رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلى رأسي النوى، ومعه نفر من أصحابه، فأناخ لأركب، فاستحييت منه وعرفت غيرتك، فقال: والله لحملك النوى كان أشد علي من ركوبك معه، قالت: حتى أرسل إلي أبو بكر بعد ذلك خادم يكفيني سياسة الفرس، فكأنما أعتقني.
Telah menceritakan kepada kami Mahmuud : Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ayahku, dari Asmaa’ binti Abi Bakr radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Aku dinikahi oleh Az-Zubair yang tidak memiliki harta dan budak kecuali cucuran keringat dan seekor kuda. Aku bertugas memberi makan dan minum kudanya, mengambil air, memperbaiki embernya, dan membuat adonan roti, namun aku tidak pandai membuat adonan roti. Untungnya aku mempunyai tetangga-tetangga yang baik yang membantuku, yaitu wanita-wanita Anshar. Aku juga bertugas mengangkut biji kurma di atas kepalaku dari kebun Az-Zubair yang telah diberikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berjarak 2/3 farsakh. Pada suatu hari, aku bertemu dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam beserta sejumlah orang Anshaar. Beliau memanggilku seraya berkata : ‘Ikh, ikh” (menderumkan ontanya) – dengan maksud membawaku di belakangnya. Namun aku malu berjalan bersama orang laki-laki dan aku ingat akan kecemburuan Az-Zubair, karena ia seorang laki-laki pencemburu. Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa aku malu, beliau pun terus berlalu. Aku kemudian menemui Az-Zubair dan aku katakan kepadanya : “Tadi ketika aku sedang mengangkut kurma di atas kepalaku, aku bertemu dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, kemudian beliau menderumkan ontanya agar aku naik bersama beliau, namun aku merasa malu dan ingat kecemburuanmu”. Az-Zubair berkata : “Demi Allah, beban pekerjaanmu mengangkut biji kurma di atas kepalamu lebih berat bagiku daripada engkau naik onta bersama beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Setelah itu, Abu Bakr memberiku seorang pembantu yang menggantikanku mengurus kuda, seakan-akan ia telah membebaskanku” [Shahih Al-Bukhaariy no. 5224].
Kemuliaan nasab tidak menghalanginya untuk membantu dan melayani suaminya. Ketiadaan pengingkaran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat bertemu dengan dirinya membawa kurma menunjukkan bantuan istri terhadap sebagian tugas-tugas suaminya adalah disyari’atkan.
Jika demikian keadaannya, apa yang menyebabkan wanita-wanita jaman sekarang – yang kedudukannya tidak lebih tinggi dari Asmaa’ – merasa gengsi mengerjakan tugas-tugas rumahnya ? Tidakkah Asmaa’ dapat dijadikan contoh ?
Semuanya ini di bawah asumsi jika suaminya adalah seorang yang mampu. Lantas bagaimana jika ia seorang yang tidak mampu ? (Tentu kelapangan hati istri dan kesabarannya lebih dituntut lagi dibanding keadaan yang pertama).
Di sisi lain, contoh Asmaa’ radliyallaahu ‘anhaa tidak pantas dijadikan alasan bagi suami yang mampu untuk malas mengusahakan pembantu ‘yang ideal’ bagi istrinya – karena pada asalnya itu wajib baginya[3] - .
أخبرنا أبو عبد الله محمد بن علي الصنعاني بمكة حرسها الله تعالى ثنا إسحاق بن إبراهيم الدبري أنبأ عبد الرزاق أنبأ معمر عن إسحاق بن وهب عن جابر الخيواني قال كنت عند عبد الله بن عمرو .....فقال : .... فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول كفى بالمرء إثما أن يضيع من يعول
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Aliy Ash-Shan’aaniy di Makkah – semoga Allah ta’ala senantiasa menjaganya - : Telah menceritakan kepadaku Ishaaq bin Ibraahiim Ad-Dabriy : Telah memberitakan ‘Abdurrazzaaq : Telah memberitakan Ma’mar, dari Ishaaq bin Wahb, dari Jaabir Al-Haiwaaniy[4], ia berkata : Aku pernah bersama ‘Abdullah bin ‘Amr…. lalu ia berkata : ….Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Cukuplah seseorang berdosa apabila ia mengabaikan orang-orang yang harus dinafkahinya (ditanggungnya)” [Mustadrak Al-Hakim bersama At-Tatabbu’ 4/670 no. 8591. Al-Haakim berkata : “Shahih atas persyaratan Asy-Syakhain, namun keduanya tidak meriwayatkannya”. Perkataannya ini keliru, sebab Wahb bin Jaabir bukan merupakan perawi keduanya. Namun statusnya adalah tsiqaat[5]].
Bukan pula sebagai alasan untuk malas membantu istrinya dengan ongkang-ongkang kaki menjadi mandor pengawas pekerjaan yang dilakukan istri.
Simaklah kesaksian ‘Aaisyah binti Abi Bakr radliyallaahu ‘anhumaa tentang diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
حدثنا إسحاق بن أبي إسرائيل حدثنا حجاج عن ليث بن سعد عن معاوية بن صالح عن يحيى بن سعيد عن عمرة قالت قيل لعائشة ماذا كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعمل في بيته قالت كان بشرا من البشر يفلي ثوبه ويحلب شاته ويخدم نفسه
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Abi Israaiil : Telah menceritakan kepada kami Hajjaaj, dari Laits bin Sa’d, dari Mu’aawiyyah bin Shaalih, dari Yahyaa bin Sa’iid, dari ‘Ammarah, ia berkata : Dikatakan kepada ‘Aaisyah : “Apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya ?”. Ia (‘Aaisyah) menjawab : “Beliau adalah seorang manusia biasa yang menambal pakaiannya, memerah air susu kambingnya, dan melayani dirinya sendiri” [Musnad Abi Ya’laa no. 4873; sanadnya shahih – lihat takhrij Husain Saalim Asad (8/286) dan Irsyadul-Haqq Al-Atsariy (4/426)].
حدثنا آدم قال: حدثنا شعبة قال: حدثنا الحكم، عن إبراهيم، عن الأسود قال: سألت عائشة: ما كان النبي صلى الله عليه وسلم يصنع في بيته؟ قالت: كان يكون في مهنة أهله، تعني خدمة أهله، فإذا حضرت الصلاة خرج إلى الصلاة.
Telah menceritakan kepada kami Adam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam, dari Ibraahiim, dari Al-Aswad, ia berkata : Aku bertanya kepada ‘Aaisyah : “Apakah yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya ?”. Ia (‘Aaisyah) menjawab : “Bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam selalu membantu urusan rumah tangganya. Dan apabila datang waktu shalat, beliau bergegas menunaikanya” [Shahih Al-Bukhaariy no. 676].
Inilah suami teladan bagi para suami yang menasabkan dirinya pada Islam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam senang membantu keluarganya dalam urusan-urusan rumah, meskipun beban dakwah yang beliau pikul sedemikian banyak dan beratnya. Rasanya, tidak ada kesibukan dan beban bagi seseorang yang menginginkan kebaikan dunia dan akhirat melebihi beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lantas, apakah ada alasan bagi seorang suami multazim untuk meninggalkan teladan ini dengan alasan gengsi, sibuk, atau capek ? Jika mau berhitung, energi yang dipakai istri untuk mengurus rumah dan anak-anak tidaklah lebih sedikit dibandingkan kita, sementara badan mereka lebih ringkih dan kecil dibandingkan badan kita yang kuat dan kekar. Wahai suami,…. mari kita bantu istri kita………
Kembali ke awal : Lantas, bagaimana halnya jika istri memang benar-benar membutuhkan dan kita (suami) mempunyai kadar uang untuk membayar seorang (atau lebih) pembantu, namun tidak ada yang ideal sesuai keinginan ? Mungkin, beberapa hal yang bisa disiasati diantaranya :
1. Memperkerjakan pembantu full day, tapi tidak menginap di rumah. Ia masuk pagi saat kita sudah berangkat bekerja, dan pulang sore hari sesaat sebelum kita pulang bekerja. Biasanya, pembantu seperti ini dicarikan dari orang-orang yang tidak terlalu jauh dari rumah. Konsekuensinya, ada biaya transport tambahan yang harus ditanggung.
2. Tiap hari libur (saat kita berada di rumah), pembantu diistirahatkan. Saat inilah kita (suami) ‘mengabdi’ dan membantu istri di rumah.
3. Mencari pembantu yang masih ada hubungan keluarga dengan kita, dan/atau sudah berusia (tidak muda), walau sebenarnya ini tidak sepenuhnya ‘aman’ bagi para suami.[6]
4. Meminimalisasi interaksi dengan pembantu, kecuali dalam hal-hal yang memang dibutuhkan – walau tidak perlu untuk memasang muka ‘angker’ atau berkerut dahi.
5. Memilih rumah yang agak luas – jika memungkinkan – sehingga batas-batas interaksi antara suami dan pembantu lebih terjaga.
6. Dan yang lainnya, dengan mengedepankan pertimbangan maslahat dan mafsadat.
Semoga sedikit sharing ini ada manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[Cerkiis.blogspot.com, ditulis oleh abu al-jauzaa’, seorang suami yang masih banyak kekurangannya – perumahan ciomas permai – 1431].
Footnote :
[1] Lihat Badaai’ush-Shanai’ 4/24, Fathul-Qadiir 3/327-329, Ad-Durrul-Mukhtaar 2/901, Bidaayatul-Mujtahid 2/54, Asy-Syarhush-Shaghiir 2/734,Mughnil-Muhtaaj 3/432 – dan selanjutnya, Al-Muhadzdzab 2/162, Al-Mughniy 7/569 – dan selanjutnya, Ghaayatul-Muntahaa 3/234, danKasysyaaful-Qanaa’ 5/537 – dan selanjutnya [dinukil melalui perantaraan Al-Fiqhul-Islaamiy wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhailiy, 7/805; Daarul-Fikr, Cet. 2/1405].
Adapun taqyid kemampuan sebagai syarat pemenuhan kewajiban ini didasarkan firman Allah ta’ala :
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” [QS. Ath-Thalaq : 7].
[2] Dayyuts adalah seorang suami yang membiarkan kemunkaran ada di dalam rumah tangganya.
حدثنا عبد الله ثنا أبي ثنا يعقوب ثنا أبي عن الوليد بن كثير عن قطن بن وهب بن عويمر بن الأجدع عمن حدثه عن سالم بن عبد الله بن عمر انه سمعه يقول حدثني عبد الله بن عمر ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ثلاثة قد حرم الله عليهم الجنة مدمن الخمر والعاق والديوث الذي يقر في أهله الخبث
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Ya’quub : Telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Al-Waliid bin Katsiir, dari Qathn bin Wahb, dari ‘Uwaimir bin Ajda’, dari seseorang yang menceritakan kepadanya dari Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar bahwasannya orang tersebut telah mendengarnya (Saalim) berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ada tiga golongan yang diharamkan bagi mereka surga oleh Allah : Orang yang meminum khamr, orang yang durhaka (kepada kedua orang tuanya), dan ad-dayyuuts (yaitu suami) membiarkan kejelekan/kemunkaran dalam keluarganya”[Musnad Ahmad, 2/69. Berkata Syu’aib Al-Arna’uth (9/272) : “Hadits shahih (lighairihi), namun sanad hadits ini lemah karena jahalah dari syaikh yang meriwayatkan dari Saalim”].
[3] Kecuali istri ridla menggugurkan hak nafkah pembantu dari suaminya, sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
[4] Telah terjadi tashhiif dalam sanad ini. Yang benar : “Dari Ishaaq, dari Wahb bin Jaabir, dari ‘Abdullah bin ‘Umar – At-Tatabbu’ 4/670.
[5] Yahyaa bin Ma’iin berkata : Tsiqah”. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Kuffah, tabi’iy, tsiqah”. An-Nasaa’iy berkata : “Majhuul”. Ibnu Hibaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat [selengkapnya lihat Tahdziibul-Kamaal, 31/119-121 no. 6752]. Al-Haafidh berkata : “Maqbuul”[Taqriibut-Tahdziib, dimana status penilaian ini disepakati oleh Dr. Basyaar ‘Awwaad Ma’ruuf dan Syu’aib Al-Arna’uth dalam Tahriir Taqriibit-Tahdziib, 4/69 no. 7471]. Adz-Dzahabiy berkata : “Kokoh/kuat” [Al-Kaasyif, 2/356 no. 6104]. Yang teranggap di sini adalah tautsiq atas diri Wahb, karena ia telah diberikan oleh Ibnu Ma’iin yang dianggap sebagai imam kredibel dalam ilmu ini, yang kemudian diikuti oleh Al-‘Ijliy dan Ibnu Hibbaan sehingga terangkat status majhuul-nya.Wallaahu a’lam.
[6] Kata pepatah :
لكل ساقطة لاقطة
“Setiap barang yang jatuh tercecer pun, niscaya akan ada yang memungutnya”.