BAHASAN : SIRAH NABI
HAMZAH BIN ABDUL-MUTHALIB DAN UMAR BIN KHATHTHAB MENYAMBUT SERUAN ISLAM
Kegerahan kaum musyrikin Quraisy melihat perkembangan dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kian menyulut kemurkaan mereka. Dengan berbagai makarnya, mereka ingin memadamkan cahaya Islam. Siksaan serta ancaman kepada kaum Muslimin serta merta selalu mereka hujamkan. Bahkan masuknya beberapa pembesar Quraisy ke dalam agama Islam, tidak menyurutkan perlakuan buruk mereka terhadap kaum Muslimin
Saat situasi memuncak penuh kebencian terhadap kaum Muslimin, terutama terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata Allah memiliki kehendak, dan Dia Maha Berkehendak. Allah memberikan hidayah kepada Hamzah Radhiyallahu anhu, yaitu paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia merupakan salah satu di antara orang Quraisy yang memiliki temperamen keras.
Ibnu Ishaq[1] dan Ibnu Sa’ad [2] meriwayatkan, budak ‘Abdullah bin Jad’an memberitahukan kepada Hamzah Radhiyallahu anhu, bahwa Abu Jahl telah memperlakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perlakuan yang sangat buruk. Mendengar kabar ini, maka dengan kewibawaan kemantapannya, Hamzah Radhiyallahu anhu segera mendatangi Abu Jahl yang sedang berada di tengah kaumnya. Serta merta Hamzah Radhiyallahu anhu memukul kepala Abu Jahl dengan busurnya hingga terluka.
Hamzah Radhiyallahu anhu berseru kepada Abu Jahl, ”Apakah engkau menghinanya, sedangkan aku berada di atas agamanya?” Inilah awal terbukanya hati Hamzah Radhiyallahu anhu untuk menerima Islam.
Begitu mengetahi Hamzah Radhiyallahu anhu sudah memeluk Islam, saat itulah kaum Quraisy menyadari bahwa Muhammad akan memperoleh kejayaan dan terjaga. Hamzah yang dikenal sebagai pemberani ini akan menjaga Rasulullah. Mereka pun mengurangi gangguan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3]
Lalu, bagaimanakah dengan ‘Umar bin Khaththab?
Saat masih jahiliyyah, ‘Umar bin Khaththab termasuk salah satu yang sangat memusuhi Islam. Dikenal berwatak keras. Sebagian kaum Muslimin pernah merasakan berbagai penderitaan akibat siksaan dan ancaman yang dilakukannya.
Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albâni membawakan riwayat dari Ibnu Ishâq yang mengisahkan peristiwa menjelang keislaman ‘Umar Radhiyallahu anhu.
Ibnu Ishaq berkata:
‘Umar bin Khaththab masuk Islam setelah para sahabat yang hijrah ke Habasyah telah berangkat ke daerah tujuan. Aku diberitahu oleh ‘Abdur-Rahman bin al-Harits bin ‘Abdullah bin ‘Iyasy bin Abu Rabi’ah dari ‘Abdul-‘Aziz bin ‘Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah dari bapaknya dari ibunya, yaitu Ummu ‘Abdillah binti Abu Hatsmah, dia berkata: “Demi Allah, sungguh (ketika) kami akan berangkat ke Habasyah, sedangkan saat itu ‘Amir[4] sedang pergi untuk suatu keperluan, tiba-tiba ‘Umar datang menghampiriku sehingga berdiri di dekatku (saat itu dia masih dalam keadaan musyrik), dan kami pernah menerima siksaan darinya.”
Ummu ‘Abdillah menceritakan: “Umar berkata, ’Apakah kalian akan pergi, wahai Ummu ‘Abdillah?’. Aku menjawab, ”Ya, demi Allah, kami akan keluar menuju salah satu bumi di antara bumi-bumi Allah. Karena kalian sudah menyiksa kami dan memaksa kami, sampai Allah memberikan pemecahan bagi kami.”
Ummu ‘Abdillah melanjutkan kisahnya: “Kemudian Amir datang dengan membawa kebutuhan kami,” lalu aku berkata kepadanya: ”Seandainya engkau melihat ‘Umar dan kelembutannya, maka kesedihannya ialah karena kepergian kita”.
‘Amir bertanya, ”Apakah engkau berharap agar dia memeluk Islam?”
Aku menjawab, ”Ya.”
(Tetapi) ‘Amir justru berkata: “Umar tidak akan memeluk Islam sehingga himarnya masuk Islam”.[5]
‘Amir mengeluarkan ungkapan seperti ini, karena ia melihat dan merasakan kekerasan, serta kekasaran ‘Umar terhadap Islam dan para penganutnya.
Dalam riwayat yang dibawakan oleh Syaikh Al Albani dalam kitab sirah beliau membawakan perkataan Ummu Abdillah : “Kemudian (dia) mendo’akan ‘semoga Allah menemani perjalanan kalian’, dan aku melihat kelemahlembutan ‘Umar yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Kemudian Umar pergi. Dan menurutku, yang membuatnya sedih ialah kepergian kami”.[6]
Setelah membawakan riwayat ini, Syaikh al-Albani t berkata: “Riwayat ini membantah anggapan orang yang mengatakan bahwa Umar masuk Islam pada urutan ke empat puluh, karena kaum Muslimin yang hijrah ke Habasyah lebih dari delapan puluh orang”.[7]
Dalam riwayat ini terdapat bukti bahwa fithrah yang salim (selamat) yang terdapat dalam diri ‘Umar tertutup tabir jahiliyyah, hingga tiba waktunya tabir jahiliyyah itu tersingkap, dan ia pun masuk Islam. Kekerasan ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu ini berubah, dari kekerasan dalam kebathilan berubah menjadi ketegasan dalam al haq.
Keterkaitan dengan pernyataan keislamannya, Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma menceritakan:
“Saat ‘Umar masuk Islam, ia pun berseru: ‘Siapakan orang Quraisy yang paling cepat untuk menyebarluaskan berita?’.”
Maka dijawab: “Jamil bin Ma’mar al-Jumahi,” maka ‘Umar bin Khaththab pun mendatangi Jamil.
Selanjutnya ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma menceritakan: “Aku mengikuti langkahnya dan memperhatikan apa yang dikerjakannya. Saat itu aku masih kanak-kanak dan sudah memahami semua yang aku lihat. Ketika sampai di rumah Jamil, ia berseru: ‘Wahai, Jamil! Tahukah engkau bahwa aku telah masuk Islam. Aku telah masuk ke dalam agama yang dibawa Muhammad?!’.”
‘Abdullah berkata: “Demi Allah, ‘Umar tidak sempat mengulangi perkataannya itu. Orang itu sudah berdiri menarik selendangnya dan diikuti oleh Umar. Saya juga mengikutinya. Ketika sudah berdiri di depan masjid, ia pun berteriak sekeras-kerasnya. Sementara itu, orang-orang kafir Quraisy sedang melakukan pertemuan di sekitar Ka’bah, Jamil berseru: ‘Wahai, orang-orang Quraisy! Ketahuilah, sesungguhnya Ibnul-Khatthab telah murtad’.”
Adapun ‘Umar yang berada di belakangnya segera menyahut: “Dia bohong. Namun (yang benar) aku telah masuk Islam. Aku bersaksi laa ilaaha illallah dan Muhammad itu utusan Allah”.
Begitu mendengar ucapan ini, maka orang-orang Quraisy pun bangkit menyerangnya. Dan Umar Radhiyallahu anhu terus melakukan perlawanan sampai matahari tegak di atas mereka. ‘Umar Radhiyallahu anhu sudah merasa letih dan lelah. Tetapi mereka terus melakukan penyerangan kepadanya. Saat kondisi kritis seperti ini, ada orang tua dari kaum Quraisy berkata: “Mengapa dengan kalian?”
Mereka menjawab, ”Umar telah murtad.”
Orang tua itu pun berseru: “Apa? (Dia) adalah orang yang telah menentukan pilihan untuk dirinya. Apa keinginan kalian? Apakah kalian mengira Bani ‘Adiy akan membiarkan kalian berbuat seperti ini? Tinggalkan orang ini!”
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata: “Demi Allah! Sungguh, seakan-akan mereka itu ibarat baju yang dilepaskan dari badan Umar Radhiyallahu anhu. Lalu setelah hijrah ke Madinah, aku bertanya kepada bapakku: ‘Wahai, bapakku. Siapa gerangan seseorang yang mengusir kaum Quraisy darimu saat engkau masuk Islam dan mereka sedang menyerangmu?’ Umar menjawab, ’Wahai, anakku! Orang itu adalah al-‘Ash bin Wa’il as-Sahmiy’.” [8]
Dengan kekerasan dan permusuhannya terhadap kaum Muslimin, mengapa kemudian ia berbalik menjadi penganutnya? Bahkan kemudian hari menjadi pembelanya?
Inilah di antara doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikabulkan Allah Azza wa Jalla. Salah satu yang menjadi penyebab ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu masuk Islam, ialah karena doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ بِأَحَبِّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ بِأَبِي جَهْلٍ أَوْ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
Ya, Allah. Muliakanlah Islam dengan salah satu di antara dua lelaki yang paling Engkau sukai, (yaitu) dengan Abu Jahl atau dengan Umar bin Khaththab.[9]
Sementara itu, terdapat sebuah kisah yang masyhur di tengah kaum Muslimin berkaitan dengan faktor-faktor yang telah menggugah ‘Umar bin Khaththab masuk Islam. Kisah itu berawal saat ia sedang dalam perjalanan menuju Muhammad untuk menyiksanya. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seseorang yang mengetahui maksud ‘Umar. Orang ini heran terhadap ‘Umar yang tidak mengetahui keislaman saudara perempuannya dan suaminya. Mendengar kabar ini, ‘Umar pun marah dan kemudian merubah tujuannya. Dia pun bergegas menuju rumah saudarinya. Kemudian terjadilah dialog. ‘Umar bin Khaththab meminta apa yang sedang dibaca oleh adiknya. Adiknya pun memberikannya setelah meminta ‘Umar untuk mandi. Dia pun mandi, kemudian bacaan itu pun diberikan, dan ia pun membacanya.
Kisah ini tidak dibawakan dengan sanad shahih yang bisa diterima oleh para ulama ahli hadits, meskipun sebagian dari kisah ini ada yang memiliki sanad hasan. Kisah ini didha’ifkan oleh Washiyullah, Hammam, Abu Abu Shu’ailik dan lain-lain.
Doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu terpancar pada hari kemudian. Keislaman ‘Umar menjadi salah satu penyebab kejayaan Islam pada masa awal perjalanan dakwah Islam.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau Radhiyallahu anhu berkata:
مَازِلْنَا أَعِزَّةً مُنْذُ أَسْلَمَ عُمَرُ
Sejak ‘Umar bin Khaththab masuk Islam, kami senantiasa memiliki ‘izzah (rasa bangga).
Begitu pula dengan para sahabat, ada yang semakin mantap dan kuat memeluk Islam setelah ‘Umar masuk dalam barisan Islam, sebagaimana riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang perkataan sa’id bin Zaid suami dari saudari Umar yaitu Fathimah.
Apa Yang Bisa Dipetik Dari Kisah Ini?
Tokoh-tokoh masyarakat Jahiliyyah yang memiliki kekuatan, jika mereka masuk Islam, ada kemungkinan akan berubah menjadi pondasi yang kuat bagi dakwah Islam. Sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mengharapkan tokoh-tokoh seperti Abu Jahl dan ‘Umar bin Khaththab agar masuk Islam. Bahkan beliau telah mensinyalir, bahwasanya sebaik-baik manusia pada masa jahiliyah merupakan manusia terbaik dalam Islam jika mereka memahami.[10]
Oleh karena itu, hendaklah para dai tidak mengabaikan hal semacam ini. Para dai harus memiliki semangat untuk berdakwah kepada tokoh-tokoh yang kuat dan berpengaruh di masyarakat. Karena jika tokoh-tokoh itu masuk Islam, ia akan sangat membantu menghapus keragu-raguan orang yang mendengar dan mengikuti perintah mereka. Bukankah Al-Qur`an telah menceritakan pembicaraan orang-orang kafir yang disesatkan oleh teman dan para tokohnya? Ini merupakan fakta yang terjadi di setiap tempat. Allah berfirman:
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا ﴿٦٦﴾ وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا ﴿٦٧﴾ رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata kami ta’at kepada Allah dan ta’at (pula) kepada Rasul”. Dan mereka berkata: “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah menta’ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. [al-Ahzab/33:66-68].
Meski demikian, hendaklah dakwah itu tidak hanya terbatas kepada tokoh-tokoh atau pribadi-pribadi orang kafir musyrik saja, tetapi juga harus meluruskan anggapan-anggapan yang menyimpang terhadap Islam. (Ustadz Nusadi)
Sumber:
1. As-Siratun-Nabawiyyah fi Dhau’il Mashâdiril-Ashliyyah, Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad.
2. Shahîhus-Siratin-Nabawiyah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni, Maktabah Islamiyah.
[Http://cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]
Footnote
[1]. Lihat Ibnu Hisyam (1/360-361) dengan sanad munqathi’ (terputus). As-Siyaru wal-Maghâzi, hlm. 171-172 dengan sanad terputus. Diriwayatkan juga oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (3/193) melalui jalur Ibnu Ishaq. Sedangkan Imam adz-Dzahabi tidak berkomentar tentangnya. Sanadnya juga terputus. Oleh karena itu, sanad ini lemah.
[2]. Ath-Thabaqâtul-Kubrâ (3/9) melalui jalur al-Waqidi. Orang ini tidak diambil haditsnya oleh para ulama. Orang yang menukil riwayat ini tidak menyebutkan perlakuan buruk Abu Jahl terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tetapi terdapat tambahan bahwa orang yang berbuat jahat terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ‘Adi bin al-Hamra’ dan Ibnul-Ashda’. Riwayat ini disebutkan oleh al-Haitsami dalam al-Majma’ (9/267) dari riwayat Imam ath-Thabrani melalaui dua jalur yang mursal. Dan orang-orang yang meriwayatkan salah satu riwayat ini ialah orang-orang yang meriwayatkan hadits shahih, sedangkan yang lainnya adalah orang-orang yang terpercaya.
[3]. Sanad-sanadnya lemah. Lihat as-Siratun-Nabawiyyah fi Dhau-il Mashâdiril-Ashliyyah, Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad, hlm. 212.
[4]. Dia adalah suami dari Laila Ummu Abdillah, (Red).
[5]. Lihat as-Siratun-Nabawiyyah fi Dhau-il Mashadiril-Ashliyyah, hlm. 213
[6]. Shahîhus-Siratin-Nabawiyah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni, hlm. 189-190.
[7]. Shahîhus-Siratin-Nabawiyah, 189-190.
[8]. Shahîhus-Siratin-Nabawiyah, hlm. 191-192.
[9]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (1/90) dengan sanad hasan. Lihat al-Fathur-Rabbani (20/230). Dishahîhkan juga oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Tirmidzi (3/204).
[10]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Lihat al-Fath (13/161), no. hadits 3374.