BAHASAN : SIRAH NABI
KAUM MUSYRIKIN QURAISY MELANCARKAN PEMBOIKOTAN
Upaya teror, ancaman dan siksaan kaum Quraisy yang diarahkan kepada kaum Muslimin tidak mampu membendung perkembangan Islam. Makar mereka yang kotor dan keji ini tidak membuahkan hasil. Ternyata, justru kian banyak yang menerima seruah Islam, sehingga jumlah kaum Muslimin pun semakin bertambah. Seiring dengan perjalanan waktu, semakin lama banyak manusia yang menerima dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cara-cara kaum Quraisy yang pernah mereka lakukan untuk memerangi dan menghambat kaum Muslimin tidak mendapatkan hasil apapun, terutama setelah Hamzah bin Abdul- Muthalib dan ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhuma masuk Islam.
Menyadari keadaan seperti ini, kaum Quraisy tetap memiliki tekad yang kuat untuk menghambat dakwah al-Islam, risalah yang dibawa Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun memutuskan metode baru yang lebih keras lagi, yaitu melakukan embargo yang dampaknya lebih luas dan dirasakan lebih menyeluruh di kalangan kaum Muslimin dan orang-orang yang melindungnya.
Ibnu Ishaq, Musa bin Ishaq, ‘Urwah bin Zubair, Ibnu Sa’ad dan ulama-ulama lain penyusun kitab al-Maghâzi mengisahkan, saat kaum Quraisy melihat para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan daerah aman, ‘Umar dan Hamzah juga telah menyambut seruan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta Islam telah tersebar di seluruh kabilah Arab, maka kaum Quraisy melakukan kesepakatan di antara mereka untuk membunuh Muhammad.
Kesepakatan ini terdengar oleh Abu Thâlib. Sehingga paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pun segera mengumpulkan Bani Hâsyim dan Bani Muthalib agar memasukkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke pemukiman Bani Hâsyim dan Bani Muthalib, serta melindunginya dari orang-orang yang hendak membunuhnya.
Bani Hâsyim dan Bani Muthalib yang sudah masuk Islam maupun yang masih dalam kekufuran, dengan suka cita menyambut ajakan Abu Thâlib ini, kecuali Abu Lahab yang lebih memilih berada di pihak Quraisy. Mereka menerima ajakan ini, tidak lain karena fanatisme golongan atau kesukuan. Sifat yang sangat kuat melekat pada masa jahiliyah.
Begitu melihat Bani Hâsyim dan Bani Muthalib menyatukan sikap dengan seruan Abu Thâlib, maka kaum Quraisy pun bermusyawarah menentukan sikap atas Bani Hâsyim dan Bani Muthalib. Ditulislah kesepakatan di antara mereka untuk melakukan embargo, di antaranya tidak bergaul dengan Bani Hâsyim dan Bani Muthalib dan tidak menikahi mereka (dalam kitab Fathul-Bari, 7/242, no. 1590 disebutkan: mereka tidak melakukan akad jual-beli dengan Bani Hasyim dan Bani Muthalib), sampai Bani Hâsyim dan Bani Muthalib menyerahkan Rasulullah.
Kaum Quraisy menuliskan pernyataan itu dan menempelkannya di Ka’bah. Diriwayatkan, yang menulis penyataan itu ialah Manshûr bin ‘Ikrimah yang didoakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar celaka sehingga sebagian jemarinya lumpuh. Ada juga yang mengatakan bahwa penulisnya ialah Nadhr bin Hârits, ada yang mengatakan Thalhah bin Abu Thalhah, dan ada pula yang mengatakan Bagiid bin ‘Amir bin Hasyim bin Abdud-Daar. Pendapat terakhir inilah yang menjadi pendapat Ibnul-Qayyîm dalam Zâdul-Ma’ad (3/30).
Mengenai permulaan embargo ini, ada yang mengatakan dimulai bulan Muharram tahun ketujuh kenabian. Mereka tinggal disana selama dua tahun, dan ada yang mengatakan tiga tahun, sehingga kaum Muslimin, Bani Hâsyim dan Bani Muthalib sangat kesusahan. Mereka tidak pernah mendapatkan kebutuhan pokok kecuali secara sembunyi-sembunyi, karena kaum Quraisy menghadang semua kafilah dagang yang ke Makkah agar tidak leluasa menjual barang mereka kepada Bani Hâsyim dan Bani Muthalib. Kaum Quraisy juga menyiksa orang-orang yang ketahuan mengirimkan makanan ke kerabatnya di Bani Hâsyim atau Bani Muthalib.
Keadaan ini berlanjut, sampai kemudian ada sekelompok orang yang tidak setuju dan merasa sangat terganggu dengan embargo ini. Mereka berniat merusak kertas yang bertuliskan penyataan embargo dan ditempelkan di Ka’bah tersebut. Orang-orang yang tidak setuju ini ialah Hisyam bin ‘Amr bin Hârits, Zuhair bin Abu Umayyah, Muth’im bin ‘Adi, dan Zam’ah bin Aswad, serta Abul-Bahtari bin Hisyâm bin Harits. Mereka memiliki hubungan kekeluargaan dengan Bani Hâsyim dan Bani Muthalib. Dan ketika hendak merobek kertas bertuliskan pernyataan embargo itu, mereka mendapatkan kertas itu telah rusak dimakan rayap.
Menurut Ibnu Hisyam, kertas itu semuanya rusak dimakan rayap kecuali yang tertulis nama Allah. Akan tetapi, Ibnu Ishâq, Musa bin ‘Uqbah dan ‘Urwah menceritakan sebaliknya, bahwa menurutnya, rayap sama sekali tidak menyisakan nama Allah. Yang tersisa hanyalah ungkapan kezhaliman dan pemutusan tali persaudaraan.
Meski pendapat ini saling berbeda, namun pesan yang ingin disampaikan satu. Bahwasanya nama Allah tidak bisa menyatu dengan ungkapan kezhaliman dan pemutusan tali persaudaraan.
Akibat dari embargo ini, Bani Hâsyim dan Bani Muthalib mengalami kesusahan dan menanggung derita teramat berat. Mereka tidak mendapatkan makanan dan kebutuhan pokok lainnya dengan mudah. Meski demikian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berhenti berdakwah. Ketika kertas pernyataan embargo itu telah rusak, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya keluar dan bergaul dengan manusia.
Perincian peristiwa embargo ini tidak didapatkan dalam hadits-hadits shahih, tetapi hanya didapatkan dari isyarat-isyarat yang bersifat global. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ketika hendak berangkat dalam perang Hunain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْزِلُنَا غَدًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِخَيْفِ بَنِي كِنَانَةَ حَيْثُ تَقَاسَمُوا عَلَى الْكُفْرِ
Insya Allah, rumah kita besok berada di dataran Bani Kinanah, tempat dimana dulu kaum Quraisy telah saling bersumpah atas kekufuran.
Dalam riwayat lain, Imam al-Bukhari membawakan riwayat, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Mekkah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana kemudian Imam al-Bukhari membawakan hadits di atas.
Dalam riwayat lainnya:
مِنَ الْغَدِ يَوْمَ النَّحْرِ وَهُوَ بِمِنًى نَحْنُ نَازِلُونَ غَدًا بِخَيْفِ بَنِي كِنَانَةَ حَيْثُ تَقَاسَمُوا عَلَى الْكُفْرِ يَعْنِي ذَلِكَ الْمُحَصَّبَ وَذَلِكَ أَنَّ قُرَيْشًا وَكِنَانَةَ تَحَالَفَتْ عَلَى بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَوْ بَنِي الْمُطَّلِبِ أَنْ لَا يُنَاكِحُوهُمْ وَلَا يُبَايِعُوهُمْ حَتَّى يُسْلِمُوا إِلَيْهِمْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Sejak besok, yaitu hari Qurban – ketika itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di Mina- kita akan tinggal di dataran Bani Kinanah, tempat mereka telah saling berjanji atas kekufuran –yang dimaksudkan ialah daerah Muhasshab, karena kaum Quraisy dan Kinanah pernah saling berjanji untuk tidak menikahi dan melakukan akal jual beli dengan Bani Hâsyim dan Muthalib sampai mereka bersedia menyerahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat Fathul-Bari, 7/242.
Demikian beberapa riwayat yang mengisyaratkan tentang keberadaan embargo.
Berkaitan dengan embargo kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendoakan supaya kaum Quraisy tertimpa keburukan, sehingga mereka betul-betul ditimpa musibah kelaparan yang sangat. Lalu Abu Sufyan mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memintanya agar mau mendoakan kebaikan bagi mereka, seraya menyebut-nyebut kekerabatan mereka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat:
فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِينٍ ﴿١٠﴾ يَغْشَى النَّاسَ ۖ هَٰذَا عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿١١﴾ رَبَّنَا اكْشِفْ عَنَّا الْعَذَابَ إِنَّا مُؤْمِنُونَ ﴿١٢﴾ أَنَّىٰ لَهُمُ الذِّكْرَىٰ وَقَدْ جَاءَهُمْ رَسُولٌ مُبِينٌ ﴿١٣﴾ ثُمَّ تَوَلَّوْا عَنْهُ وَقَالُوا مُعَلَّمٌ مَجْنُونٌ ﴿١٤﴾ إِنَّا كَاشِفُو الْعَذَابِ قَلِيلًا ۚ إِنَّكُمْ عَائِدُونَ
Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata. Yang meliputi manusia. Inilah adzab yang pedih, (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, lenyapkanlah dari kami adzab itu. Sesungguhnya kami akan beriman”. Bagaimanakah mereka dapat menerima peringatan, padahal telah datang kepada mereka seorang rasul yang memberi penjelasan, kemudian mereka berpaling daripadanya dan berkata: “Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang lain), lagi pula seorang yang gila”. Sesungguhnya (kalau) Kami akan melenyapkan siksaan itu agak sedikit sesungguhnya kamu akan kembali (ingkar). [ad-Dukhân/44:10-15].
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa agar penderitaan mereka dihilangkan, dan Allah mengabulkan doa Rasul-Nya. Allah menghilangkan penderitaan kaum Quraisy, namun mereka tetap kembali kepada kekufuran.
Demikian sekilas makar kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin. Mereka ingin memadamkan cahaya dakwah al-Islam yang hak. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala makar yang lebih baik dari mereka. Dia-lah sebaik-baik pemilik makar. Lantas, pelajaran apa yang bisa dipetik dari kisah ini?
1. Sesungguhnya musuh-musuh Allah juga melakukan intimidasi terhadap para da’i melalui jalur ekonomi. Tujuan mereka, agar para da’i diam dan menahan diri untuk tidak berdakwah. Penyerangan melalui jalur ekonomi ini merupakan metode yang telah disepakati oleh kaum musyrik dan munafiq. Seandainya kaum Muslimin terdahulu menjadi pegawai pada sebuah negara yang berseberangan dengan yang didakwahkan kaum Muslimin, maka negara itu tentu akan membebaskan kaum Muslimin dari tugas-tugas penting, bahkan menonaktifkan. Cara ini sebagai salah satu cara menghambat dan mengintimidasi aktifitas dakwah. Akan tetapi, karena para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki kedudukan sebagai pejabat atau pembesar, maka metode yang paling memungkinkan saat itu ialah melakukan embargo. Oleh karena itu, hendaklah para da’i memperhatikan hal ini dengan seksama.
2. Penderitaan yang menimpa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menjadi penghibur bagi kaum Muslimin yang sedang ditimpa musibah.
Sumber:
– As-Siratun-Nabawiyyah fi Dhau’il Mashâdiril-Ashliyyah, Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad.
– As-Siratun-Nabawiyyatush-Shahîhah, Dhiya’ Akram.
[Http://cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]
Ibnu Ishaq, Musa bin Ishaq, ‘Urwah bin Zubair, Ibnu Sa’ad dan ulama-ulama lain penyusun kitab al-Maghâzi mengisahkan, saat kaum Quraisy melihat para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan daerah aman, ‘Umar dan Hamzah juga telah menyambut seruan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta Islam telah tersebar di seluruh kabilah Arab, maka kaum Quraisy melakukan kesepakatan di antara mereka untuk membunuh Muhammad.
Kesepakatan ini terdengar oleh Abu Thâlib. Sehingga paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pun segera mengumpulkan Bani Hâsyim dan Bani Muthalib agar memasukkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke pemukiman Bani Hâsyim dan Bani Muthalib, serta melindunginya dari orang-orang yang hendak membunuhnya.
Bani Hâsyim dan Bani Muthalib yang sudah masuk Islam maupun yang masih dalam kekufuran, dengan suka cita menyambut ajakan Abu Thâlib ini, kecuali Abu Lahab yang lebih memilih berada di pihak Quraisy. Mereka menerima ajakan ini, tidak lain karena fanatisme golongan atau kesukuan. Sifat yang sangat kuat melekat pada masa jahiliyah.
Begitu melihat Bani Hâsyim dan Bani Muthalib menyatukan sikap dengan seruan Abu Thâlib, maka kaum Quraisy pun bermusyawarah menentukan sikap atas Bani Hâsyim dan Bani Muthalib. Ditulislah kesepakatan di antara mereka untuk melakukan embargo, di antaranya tidak bergaul dengan Bani Hâsyim dan Bani Muthalib dan tidak menikahi mereka (dalam kitab Fathul-Bari, 7/242, no. 1590 disebutkan: mereka tidak melakukan akad jual-beli dengan Bani Hasyim dan Bani Muthalib), sampai Bani Hâsyim dan Bani Muthalib menyerahkan Rasulullah.
Kaum Quraisy menuliskan pernyataan itu dan menempelkannya di Ka’bah. Diriwayatkan, yang menulis penyataan itu ialah Manshûr bin ‘Ikrimah yang didoakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar celaka sehingga sebagian jemarinya lumpuh. Ada juga yang mengatakan bahwa penulisnya ialah Nadhr bin Hârits, ada yang mengatakan Thalhah bin Abu Thalhah, dan ada pula yang mengatakan Bagiid bin ‘Amir bin Hasyim bin Abdud-Daar. Pendapat terakhir inilah yang menjadi pendapat Ibnul-Qayyîm dalam Zâdul-Ma’ad (3/30).
Mengenai permulaan embargo ini, ada yang mengatakan dimulai bulan Muharram tahun ketujuh kenabian. Mereka tinggal disana selama dua tahun, dan ada yang mengatakan tiga tahun, sehingga kaum Muslimin, Bani Hâsyim dan Bani Muthalib sangat kesusahan. Mereka tidak pernah mendapatkan kebutuhan pokok kecuali secara sembunyi-sembunyi, karena kaum Quraisy menghadang semua kafilah dagang yang ke Makkah agar tidak leluasa menjual barang mereka kepada Bani Hâsyim dan Bani Muthalib. Kaum Quraisy juga menyiksa orang-orang yang ketahuan mengirimkan makanan ke kerabatnya di Bani Hâsyim atau Bani Muthalib.
Keadaan ini berlanjut, sampai kemudian ada sekelompok orang yang tidak setuju dan merasa sangat terganggu dengan embargo ini. Mereka berniat merusak kertas yang bertuliskan penyataan embargo dan ditempelkan di Ka’bah tersebut. Orang-orang yang tidak setuju ini ialah Hisyam bin ‘Amr bin Hârits, Zuhair bin Abu Umayyah, Muth’im bin ‘Adi, dan Zam’ah bin Aswad, serta Abul-Bahtari bin Hisyâm bin Harits. Mereka memiliki hubungan kekeluargaan dengan Bani Hâsyim dan Bani Muthalib. Dan ketika hendak merobek kertas bertuliskan pernyataan embargo itu, mereka mendapatkan kertas itu telah rusak dimakan rayap.
Menurut Ibnu Hisyam, kertas itu semuanya rusak dimakan rayap kecuali yang tertulis nama Allah. Akan tetapi, Ibnu Ishâq, Musa bin ‘Uqbah dan ‘Urwah menceritakan sebaliknya, bahwa menurutnya, rayap sama sekali tidak menyisakan nama Allah. Yang tersisa hanyalah ungkapan kezhaliman dan pemutusan tali persaudaraan.
Meski pendapat ini saling berbeda, namun pesan yang ingin disampaikan satu. Bahwasanya nama Allah tidak bisa menyatu dengan ungkapan kezhaliman dan pemutusan tali persaudaraan.
Akibat dari embargo ini, Bani Hâsyim dan Bani Muthalib mengalami kesusahan dan menanggung derita teramat berat. Mereka tidak mendapatkan makanan dan kebutuhan pokok lainnya dengan mudah. Meski demikian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berhenti berdakwah. Ketika kertas pernyataan embargo itu telah rusak, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya keluar dan bergaul dengan manusia.
Perincian peristiwa embargo ini tidak didapatkan dalam hadits-hadits shahih, tetapi hanya didapatkan dari isyarat-isyarat yang bersifat global. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ketika hendak berangkat dalam perang Hunain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْزِلُنَا غَدًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِخَيْفِ بَنِي كِنَانَةَ حَيْثُ تَقَاسَمُوا عَلَى الْكُفْرِ
Insya Allah, rumah kita besok berada di dataran Bani Kinanah, tempat dimana dulu kaum Quraisy telah saling bersumpah atas kekufuran.
Dalam riwayat lain, Imam al-Bukhari membawakan riwayat, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Mekkah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana kemudian Imam al-Bukhari membawakan hadits di atas.
Dalam riwayat lainnya:
مِنَ الْغَدِ يَوْمَ النَّحْرِ وَهُوَ بِمِنًى نَحْنُ نَازِلُونَ غَدًا بِخَيْفِ بَنِي كِنَانَةَ حَيْثُ تَقَاسَمُوا عَلَى الْكُفْرِ يَعْنِي ذَلِكَ الْمُحَصَّبَ وَذَلِكَ أَنَّ قُرَيْشًا وَكِنَانَةَ تَحَالَفَتْ عَلَى بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَوْ بَنِي الْمُطَّلِبِ أَنْ لَا يُنَاكِحُوهُمْ وَلَا يُبَايِعُوهُمْ حَتَّى يُسْلِمُوا إِلَيْهِمْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Sejak besok, yaitu hari Qurban – ketika itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di Mina- kita akan tinggal di dataran Bani Kinanah, tempat mereka telah saling berjanji atas kekufuran –yang dimaksudkan ialah daerah Muhasshab, karena kaum Quraisy dan Kinanah pernah saling berjanji untuk tidak menikahi dan melakukan akal jual beli dengan Bani Hâsyim dan Muthalib sampai mereka bersedia menyerahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat Fathul-Bari, 7/242.
Demikian beberapa riwayat yang mengisyaratkan tentang keberadaan embargo.
Berkaitan dengan embargo kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendoakan supaya kaum Quraisy tertimpa keburukan, sehingga mereka betul-betul ditimpa musibah kelaparan yang sangat. Lalu Abu Sufyan mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memintanya agar mau mendoakan kebaikan bagi mereka, seraya menyebut-nyebut kekerabatan mereka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat:
فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِينٍ ﴿١٠﴾ يَغْشَى النَّاسَ ۖ هَٰذَا عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿١١﴾ رَبَّنَا اكْشِفْ عَنَّا الْعَذَابَ إِنَّا مُؤْمِنُونَ ﴿١٢﴾ أَنَّىٰ لَهُمُ الذِّكْرَىٰ وَقَدْ جَاءَهُمْ رَسُولٌ مُبِينٌ ﴿١٣﴾ ثُمَّ تَوَلَّوْا عَنْهُ وَقَالُوا مُعَلَّمٌ مَجْنُونٌ ﴿١٤﴾ إِنَّا كَاشِفُو الْعَذَابِ قَلِيلًا ۚ إِنَّكُمْ عَائِدُونَ
Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata. Yang meliputi manusia. Inilah adzab yang pedih, (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, lenyapkanlah dari kami adzab itu. Sesungguhnya kami akan beriman”. Bagaimanakah mereka dapat menerima peringatan, padahal telah datang kepada mereka seorang rasul yang memberi penjelasan, kemudian mereka berpaling daripadanya dan berkata: “Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang lain), lagi pula seorang yang gila”. Sesungguhnya (kalau) Kami akan melenyapkan siksaan itu agak sedikit sesungguhnya kamu akan kembali (ingkar). [ad-Dukhân/44:10-15].
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa agar penderitaan mereka dihilangkan, dan Allah mengabulkan doa Rasul-Nya. Allah menghilangkan penderitaan kaum Quraisy, namun mereka tetap kembali kepada kekufuran.
Demikian sekilas makar kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin. Mereka ingin memadamkan cahaya dakwah al-Islam yang hak. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala makar yang lebih baik dari mereka. Dia-lah sebaik-baik pemilik makar. Lantas, pelajaran apa yang bisa dipetik dari kisah ini?
1. Sesungguhnya musuh-musuh Allah juga melakukan intimidasi terhadap para da’i melalui jalur ekonomi. Tujuan mereka, agar para da’i diam dan menahan diri untuk tidak berdakwah. Penyerangan melalui jalur ekonomi ini merupakan metode yang telah disepakati oleh kaum musyrik dan munafiq. Seandainya kaum Muslimin terdahulu menjadi pegawai pada sebuah negara yang berseberangan dengan yang didakwahkan kaum Muslimin, maka negara itu tentu akan membebaskan kaum Muslimin dari tugas-tugas penting, bahkan menonaktifkan. Cara ini sebagai salah satu cara menghambat dan mengintimidasi aktifitas dakwah. Akan tetapi, karena para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki kedudukan sebagai pejabat atau pembesar, maka metode yang paling memungkinkan saat itu ialah melakukan embargo. Oleh karena itu, hendaklah para da’i memperhatikan hal ini dengan seksama.
2. Penderitaan yang menimpa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menjadi penghibur bagi kaum Muslimin yang sedang ditimpa musibah.
Sumber:
– As-Siratun-Nabawiyyah fi Dhau’il Mashâdiril-Ashliyyah, Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad.
– As-Siratun-Nabawiyyatush-Shahîhah, Dhiya’ Akram.
[Http://cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]