Jumat, 27 Desember 2019

Pekerjaan Rumah Tangga


Pekerjaan Rumah Tangga

Kenapa mayoritas ulama, terutama para ulama madzhab, berpendapat bahwa pekerjaan mengurus rumah tangga seperti mencuci, bersih bersih, masak, momong anak, dan yang semisalnya itu bukan kewajiban istri?


Bagaimana logika fiqhnya dalam memahami pendapat ini? Ini jumhur (mayoritas) ulama lho yang memiliki pendapat seperti ini. Ini tentu bukan hal yang main main.

Argumentasi dari pendapat ini adalah, karena pekerjaan mengurus rumah tangga itu tidak ada di dalam bagian Aqad ijab qobul suatu pernikahan.

Bagaimana itu maksudnya? Kok masih enggak mudeng.

Maksudnya adalah isi Aqod ijab qobul itu hanya berkisar seputar transaksi nikah dan zuwaj. Yang mana secara bahasa dan makna nikah dan zuwaj itu artinya menghalalkan apa yang sebelumnya haram.

Yang mantap mantap itu lho... Masak nggak mudeng?

Atas hal inilah kemudian diberikan mahar dan kewajiban suami untuk memberikan nafkah, perlindungan, membimbing, tempat tinggal, dan pergaulan dengan akhlak yang baik kepada istri.

Sehingga atas dasar transaksi aqod ijab qabul pernikahan ini, kewajiban istri hanya terfokus dalam masalah ranjang dan penunjangnya agar laki-laki senang dalam masalah itu saja. Lain-lain tidak ada.

Sekarang mana isi yang menyebutkan kewajiban istri untuk mengurus pekerjaan rumah tangga di dalam aqod ijab qobul itu? Nggak ada kan?

Maka dari itu, kewajiban mengurus rumah tangga itu jatuhnya kepada kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada istri. Yakni dengan menyediakan khodimah (pembantu) yang digaji untuk mengurus pekerjaan rumah tangga. Itu dianggap sebagai bagian kewajiban nafkah suami kepada istri.

Sehingga jika suami tidak mampu untuk menyediakan khodimah (pembantu), maka sang suamilah yang harus masak, nyuci, bersih bersih rumah, momong anak, dan yang semisalnya. Itu masuk dalam kewajiban suami.

Demikianlah argumentasi pendapat pertama, mengenai siapakah yang wajib dalam mengurus pekerjaan rumah tangga. Yang mana ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.

Lalu gimana kalau sang istri sukarela dan senang hati mengurus pekerjaan rumah tangga? Ya nggak apa-apa. Boleh boleh saja. Tapi itu bukan kewajibannya. Dan sudah selayaknya sang suami berterima kasih dan tau diri karena sudah dibantu oleh sang istri.

Jangan malah kalau ada yang nggak beres dengan pekerjaan rumah tangga nya malah dimarahi. Suami durhaka itu namanya.

Demikianlah penjelasan dari pendapat pertama ini. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama.

***

Sekarang bagaimana pendapat kedua itu, dan apa argumentasinya?

Pendapat kedua adalah pendapat yang menyebutkan bahwa pekerjaan rumah tangga itu adalah kewajiban sang istri. Bukan kewajiban suami.

Apa argumentasinya?

Argumentasinya adalah apa yang terjadi dan dilakukan oleh Fathimah istri Ali bin Abi Tholib, yang merupakan anaknya Rasulullah shalalloohu alaihi wa sallam sendiri.

Fathimah mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan membantu Ali bin Abi Tholib sang suami, sampai dengan beliau kepayahan.

Karena kepayahan, maka Fathimah pun berinisiatif untuk meminta khodimah (pembantu) kepada ayahnya, Rasulullah shalalloohu alaihi wa sallam.

Fathimah pun menyampaikan keinginan tersebut melalui perantara Aisyah istri Rasulullah. Fathimah tidak langsung memintanya kepada Rasulullah shalalloohu alaihi wa sallam, ayahnya.

Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah, maka langsung malam harinya beliau pergi ke rumahnya Ali dan Fathimah untuk menemui mereka.

Waktu itu sudah larut malam, dan Ali serta Fathimah sebenarnya sudah tertidur. Maka ketika mengetahui Rasulullah datang mereka pun terbangun, dan Rasulullah pun menyuruh agar mereka calm down saja Atas kedatangan beliau yang mendadak itu.

Sementara itu Fathimah menyembunyikan mukanya karena malu kepada Rasulullah shalalloohu alaihi wa sallam ayahnya itu, yang khusus malam malam datang ke rumahnya untuk membicarakan masalah permintaan khodimah nya itu.

Maka Rasulullah pun berkata, maukah kalian kuajarkan sesuatu yang lebih baik daripada permintaan khodimah yang kalian minta itu?

Maka Rasulullah shalalloohu alaihi wa sallam mengajarkan Ali dan Fathimah agar berdzikir subhaanallooh 33x, alhamdulillah 33x, dan Alloohu Akbar 34x. Itu lebih baik daripada khodimah yang diminta oleh Fathimah, anak beliau sendiri itu.

Jadi permintaan Fathimah untuk bantuan Khodimah itu tidak dipenuhi oleh Rasulullah, padahal Fathimah itu adalah anak dari Rasulullah sendiri. Yang mana itu berarti beliau adalah syarifah ataupun wanita golongan bangsawan.

Akan tetapi walau begitu, Rasulullah tidak memberikan khodimah dan membiarkan Fathimah tetap mengurus pekerjaan rumah tangga dengan tanpa bantuan khodimah.

Sehingga dari hal ini sebagian ulama yang lain, yang minoritas, berpendapat bahwa pekerjaan mengurus rumah tangga itu adalah kewajiban istri.

***

Lalu dari dua pendapat itu, mana yang kiranya lebih kuat?

Di sini sebenarnya kita bisa faham sendiri mana pendapat yang lebih kuat. Akan tetapi point hikmahnya itu sebenarnya bukan itu yang hendak saya sampaikan.

Yang saya sampaikan adalah jangan sampai satu fihak nyuruh nyuruh sambil bilang, ini kewajiban istri! Sementara fihak yang lain ogah ogahan sambil bilang, ini itu kewajiban suami!

Yang benar adalah agar satu sama lain saling membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dengan tanpa perlu adu fiqh.

Kenapa? Karena Rasulullah shalalloohu alaihi wa sallam itu sebenarnya tidak pernah menjelaskan pekerjaan rumah tangga itu kewajiban siapa dengan tegas.

Benar bahwa Rasulullah tidak mau untuk memberikan khodimah kepada Fathimah, tapi Rasulullah shalalloohu alaihi wa sallam sendiri sebenarnya juga memiliki khodimah untuk membantu pekerjaan rumah tangga beliau dengan istri istri beliau.

Walaupun memiliki khodimah, istri istri Rasulullah juga biasa membuatkan makanan bagi Rasulullah. Dan ketika salah satu istri Rasulullah (Aisyah) ditanya apa yang biasa Rasulullah kerjakan ketika di rumah?

Maka jawabnya Rasulullah biasa membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bahkan Rasulullah pun sampai menjahit sendiri lho dan nggak ingin merepotkan istri atau khodimah nya.

Jadi memang Rasulullah tidak pernah memberikan penjelasan yang tegas, pekerjaan rumah tangga itu kewajiban siapa. AAdapun perbedaan pendapat itu hanyalah masalah argumentasi fiqh yang ada di belakangan hari yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah dan para sahabatnya juga.

Asma' binti Abu Bakar juga biasa membantu pekerjaan Zubair bin Awwam suaminya, dengan tanpa pernah mempermasalahkan secara fiqh ini kewajibannya siapa. Perbincangan fiqh masalah ini memang belum pernah ada pada zaman Rasulullah dan para sahabat.

Di sisi lain, seorang laki-laki kalau sudah merasakan sendiri betapa beratnya ngurus anak, tentu tidak akan menganggap remeh pekerjaan rumah tangga dan mau untuk membantu sebisanya. Sudah nggak ada kepikiran masalah fiqh ini fiqh itu, ini kewajiban siapa.

Dia akan lebih belajar untuk menghargai dan menyayangi istrinya. Dia juga akan belajar tidak egois, ketika istrinya kecapekan malamnya setelah seharian mengurus pekerjaan rumah tangga sementara suaminya keluar bekerja. Untuk kemudian semena-mena nyuruh nyuruh ketika pulang, dan minta jatah padahal istrinya sudah kecapekan dan kepikirannya pengennya istirahat saja.

Benar itu adalah hak suami minta jatah, tapi ya mbok tau diri dan lihat situasi lah. Istrinya lagi capek atau nggak? Kan juga pagi hari atau setelah istri istirahat secukupnya juga bisa.

Demikian juga sebaliknya. Istri juga harus bisa menghargai suami dan tidak emosional serta sembarangan minta atau nuntut ini itu.

Demikianlah seharusnya. Rumah tangga itu harus saling mengerti dan saling menghargai. Saling membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tanpa perlu mempermasalahkan ini itu kewajibannya siapa.

Contohlah kehidupan rumah tangga Rasulullah itu. Ada hal-hal yang "beyond fiqh" yang diajarkan di kehidupan rumah tangga Rasulullah shalalloohu alaihi wa sallam itu.

***

Jadi gimana setelah menyimak penjelasan tadi? Sudah pantas untuk nambah nggak?

Hahaha, inti pointnya itu bukan itu.

Yang penting itu adalah kita harus sangat bersyukur memiliki istri yang mau bahu membahu membantu kita mengurus rumah tangga dan anak anak. Apalagi jika dialah yang membantu perjuangan kita sejak dari nol hingga sampai sekarang ini.

Kita harus sangat bersyukur, tidak boleh ongkang ongkang kaki saja, dan mau untuk membantu pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak.

Itu point pokoknya.

Hmm berarti para wanita Arab disana, yang mana kebanyakan di sana berpegang kepada pendapat pertama. Itu orangnya males males ya?

Hush! Sara itu. Nggak boleh. Kalau sultan mampu untuk bayar 10 khodimah, maka ya itu terserah dia. Sultan dilawan...

Yang penting bersyukurlah memiliki istri orang Indonesia. Sudah maharnya murah, nggak seperti di Arab sono. Mau untuk berpayah payah membantu kita mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan ngurus anak. Dan umumnya manutan lagi sama suami.

Makanya jangan sampai disia siakan dan disakiti. Sayangi, fahami kerepotannya mengurus rumah dan anak. Serta ringan tanganlah dalam membantu pekerjaan rumah dan momong anak.

Jangan egois dan sok sokan mentang mentang. Dapat istri macam seperti itu tuh susah lho. Harus banyak banyak bersyukur

[Cerkiis.blogspot.com, Penulis: Kautsar Amru, SABTU, 24 Rabi'uts Tsani 1441 H / 21 Desember 2019 M]