Jumat, 24 Januari 2020

Al-Wufûd (Datangnya Delegasi dari Penjuru Arab)

Al-Wufûd (Datangnya Delegasi dari Penjuru Arab)

BAHASAN : SIRAH NABI

AL-WUFUD (DATANGNYA DELEGASI DARI PENJURU ARAB)[1]

Setelah penaklukan kota Makkah terjadilah perubahan yang besar pada kondisi masyarakat Arab, baik di Makkah atau di luarnya, sehingga para kabilah mulai mengirim rombongan delegasi (utusan)  kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan keislaman mereka. Rombongan utusan inilah yang dikenal dengan al-Wufûd.

Al-Wufûd sendiri dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak/plural dari kalimat wafd yang berarti utusan, atau bentuk jamak dari subyeknya yaitu wâfid[2].

Utusan yang dimaksud adalah utusan para kabilah yang berduyun-duyun datang dari penjuru Arab menemui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan motifasi yang berbeda; tidak sedikit diantara mereka yang kemudian masuk Islam.


WAKTU KEDATANGAN

Ibnu Ishâq rahimahullah menyebutkan, ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari Fat-hu Makkah dan Perang Tabuk serta kaum Tsaqîf masuk Islam dan membai’at Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, datanglah utusan Arab dari segenap penjuru[3]. Ibnu Hisyâm rahimahullah mencatat  bahwa pada tahun 9 H berdatangan utusan dari penjuru Arab menemui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itu tahun 9 H ini disebut sebagai ‘Am al-Wufûd (Tahun Kedatangan Utusan)[4]. Namun, satu hal yang patut dicatat bahwa kedatangan mereka tidak hanya pada tahun ini. Tetapi juga pada tahun sebelumnya bahkan sebelum Fat-hu Makkah (8 H)[5].

FADILAH WUFUUD

Kedatangan mereka yang bergelombang dalam waktu yang berbeda; menjadikan keutamaan mereka yang otomatis berbeda antara yang masuk Islam lebih awal sebelum Fat-hu Makkah dan yang setelahnya[6] berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla,

لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ

Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. [Al-Hadid/57:10].

Perbedaan antara keduanya karena utusan yang datang sebelum Fat-hu Makkah dianggap sebagai bagian dari hijrah, sedangkan yang setelahnya tidak dianggap hijrah walaupun keduanya akan mendapatkan balasan yang lebih baik[7].

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Fat-hu Makkah,

لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَاد وَ نِيَّة

“Tidak ada hijrah setelah Fat-hu (Makkah) tetapi jihad dan niat”. [8]

LATAR BELAKANG KEDATANGAN

Riwayat dalam Shahih al-Bukhâri dari Amrû bin Salimah bin Qais al-Jarmy[9] menyebutkan:

وَكَانَتْ الْعَرَبُ تَلَوَّمُ بِإِسْلَامِهِمْ الْفَتْحَ فَيَقُولُونَ اتْرُكُوهُ وَقَوْمَهُ فَإِنَّهُ إِنْ ظَهَرَ عَلَيْهِمْ فَهُوَ نَبِيٌّ صَادِقٌ فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ

“Orang Arab menunggu masuk Islamnya mereka (Quraisy) pada Fat-hu Makkah dan mengatakan : Tinggalkan dia (Muhammad) dan kaumnya (Quraisy), jika Muhammad menang atas Quraisy maka ia Nabi yang benar. Ketika selesai Fat-hu Makkah bangsa Arab bersegera untuk masuk Islam”.

Ibnu Ishâq rahimahullah menyebutkan bahwa masuk Islamnya Quraisy yang sebelumnya memusuhi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi faktor langsung dari kedatangan utusan kabilah tersebut. Quraisy memiliki tempat tersendiri di mata bangsa Arab karena mereka dianggap sebagai pemimpin Arab, penjaga Baitullah, dan keturunan Nabi Ismail Alaihissallam. Fat-hu Makkah menandai tunduknya Quraisy di tangan Islam, sehingga bangsa Arab mengetahui ketidak mampuan mereka memerangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [10].

Al-Mubarakfury  rahimahullah menyebutkan sebab lain[11], yaitu karena bangsa Arab menunggu hasil peperangan antara Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Quraisy. Arab yakin jika kebatilan tidak akan bisa menguasai Masjidil Haram baik dengan kekuatan (senjata) maupun penaklukan. Mereka mengetahui hal tersebut dari nasib Abrahah dan pasukan bergajahnya. Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimuliakan dengan masuk, membuka Masjidil Haram dan menundukkan kafir Quraisy, tiada tersisa lagi keraguan bahwa Muhammad adalah utusan Allah yang haq. Karena itu kabilah-kabilah Arab berbondong-bondong mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beriman kepadanya.

MOTIF KEDATANGAN DELEGASI

Motif dan tujuan utusan ini berbeda-berbeda. Al-Mubarakfury rahimahullah menyebutkan motif kedatangan para delegasi tersebut adalah:

1) Mengambil para tawanan sebagaimana yang dilakukan kaum Hawazun, dan Bani Tamim.

2) Meminta jaminan keamanan bagi dirinya sendiri, atau bagi dirinya dan kaumnya sekaligus.

3) Membanggakan diri, menonjolkan diri, dan mendebat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4) Meminta penarikan tentara Islam agar tidak menyerang kaumnya.

5) Mengikrarkan ketaatan pada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyatakan kesanggupan untuk membayar jizyah.

6) Menyampaikan keinginan mereka untuk masuk Islam.

7) Utusan yang sudah Muslim, beriman, dan tunduk pada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun ia datang sebagai utusan kaumnya untuk mengetahui Islam lebih dalam lagi dan memahami hukum-hukum Islam.  [12]

JUMLAH DELEGASI

Jumlah delegasi yang datang ke Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari 70 utusan sebagaimana disebutkan secara menyeluruh oleh Ibnu Sa’ad rahimahullah dalam Thabaqât, sebagian ulama lebih melebar pembicaraan tersebut dengan menyebut hingga mencapai sekitar 100 utusan, terlepas terbukti atau tidaknya riwayat tersebut[13]. Ibnu Katsir rahimahullah menambahkan beberapa utusan yang belum disebutkan oleh para ulama dalam masalah ini[14], karena itu Ibnu Hajar rahimahullah sebagaimana dinukil al-Umary[15] mengatakan bahwa Thabaqât karya Ibnu Sa’ad adalah referensi paling luas dalam masalah ini, namun Ibnu Hajar juga mengingatkan adanya utusan yang belum disebutkan Ibnu Sa’ad.

Hal lain yang perlu dicatat adalah kabilah-kabilah yang datang ke Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam disamping jumlahnya banyak, mereka berasal dari penjuru Arab; dari selatan Yordania di Utara hingga daerah pantai di Yaman dan Oman di Selatan, dari Laut Merah di Barat hingga Teluk Arab di Timur[16].

DAMPAK BAGI ISLAM DAN KAUM MUSLIM

Berbondong-bondongnya utusan dari penjuru Arab ini menjadi bukti nyata akan janji Allâh Azza wa Jalla bagi kemenangan Islam.

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ﴿١﴾ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا ﴿٢﴾ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat [An-Nasr/110:1-3].

Menurut Syaikh as-Sa’di rahimahullah, bahwa surat an-Nashr ini mengandung beberapa hal:

1) Kabar gembira dengan Fat-hu Makkah,

2) Perintah untuk bersyukur dengan datangnya kabar gembira,

3) Isyarat akan janji pertolongan Allâh Azza wa Jalla atas agama ini dan isyarat dekatnya ajal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam

4) Pengingat akan konsekuensi isyarat terakhir dengan mempersiapkan amalan terbaik sebelum ajal menjemput[17].

Banyaknya utusan yang datang menunjukkan tersebarnya Islam di penjuru Arab dan semakin kokohnya kekuatan Islam yang meliputi penjuru Arab. Tentu saja kekuatan ini menjadi modal berharga bagi tersebar dan kejayaan Islam. Utusan ini menjadi sarana yang efektif untuk menampakkan Islam kepada orang-orang Arab di pedalaman[18].

Hasil nyata dari utusan-utusan tersebut terlepas dari perbedaan motif kedatangannya adalah masuk Islamnya para utusan tersebut, dan keislaman kaumnya seketika itu atau tidak lama setelahnya kecuali beberapa kaum saja (yang menolak Islam) semisal Bani Hanifah dan Musailamah al-Kazzab[19].

Berbondong-bondongnya utusan yang datang ke Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi tantangan bagi Islam untuk menunjukkan keindahan Islam dan keunggulannya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan kaum Muslimin menunjukkan contoh yang baik dalam menerima kedatangan mereka, sebagaimana dijelaskan Syeikh al-Mubarakfury rahimahullah bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima mereka dengan akhlaq yang terpuji, wajah yang cerah, mengajak mereka menerima Islam, dan mengajarkan mereka Islam dan syariatnya[20].

Syeikh Al-Mubarakfury rahimahullah setelah menyebutkan riwayat Amrû bin Salimah bin Qais al-Jarmy dalam Shahih al-Bukhâri di atas menjelaskan sejauh mana pengaruh Fat-hu Makkah meningkatkan kondisi (kekuatan Islam), semakin agungnya Islam, menentukan sikap Arab terhadap dakwah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan masuk Islamnya mereka[21].

Kedatangan kabilah Arab menunjukkan pada tahun 9 H, pengaruh Islam semakin kuat hingga berhasil menyatukan Jazirah Arab  secara politis dalam satu kekuatan untuk pertama kalinya, walaupun sebelumnya sudah dikenal munculnya beberapa negara dan kekuatan politik sebelum Islam seperti Ma’in, Saba’, Himyar, Kindah, Ghassan, dan Mundzir. Namun kekuatan tersebut tidak mampu menyatukan Arab dalam bendera mereka. Bahkan peradaban di atas punah dan hancur karena kehidupan badui sebelum Islam[22].  Hal lain yang  menjadikan hal itu lebih agung karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menyatukan Arab dalam satu kekuatan yaitu Islam hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun saja.

Wabillahit Taufiq

[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XX/1438H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079, artikel: almanhaj]

Footnote

[1] Disusun oleh Abu Firas Luthfi bin Muhammad Yasin.

[2] Majma’ Lughawy al-Masry, al-Mu’jam al-Wajiz, (Kairo: Tanpa Tahun), hlm. 676.

[3] Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah, (Kairo: Dar al-Hadis, 1424 H), 2/433.

[4] Ibid.

[5] Ibnu Katsir, al-Bidayah wa Nihayah, Isyraf Musthafa al-Adawy, (Kairo: Dar Ibnu Rajab, Cet. 1,  1425 H), 5/108.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Shahih al-Bukhâri, Kitab al-Jihad wa Siyar 2783.

[9] Shahih al-Bukhâri, Kitab Maghazy 4302.

[10] Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah, 2/433.

[11] Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Raudhah al-Anwar fi Sirah an-Nabiyyi al-Mukhtar, (Kairo: Dar al-Mustaqbal, Cet. 1, 1434 H), hlm. 169-170.

[12] Ibid, hlm. 170.

[13] Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Raudhah al-Anwar, hlm. 170.

[14] Ibnu Katsir, al-Bidayah wa Nihayah, 5/108.

[15] Akram Dhiya’ al-Umary. Sirah Nabawiyah Sahihah, 541.

[16] Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Raudhah al-Anwar, hlm. 170; bandingkan dengan Syauqi Abu Khalil, Atlas Sirah Nabawiyyah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1423 H), hlm. 220.

[17] Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Taisir Karim ar-Rahmân fi Tafsir Kalam al-Mannân, (Dammam: Dar Ibnu al-Jauzy, Cet. 5, 1432 H), hlm. 1106.

[18] Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Raudhah al-Anwar, hlm. 171.

[19] Ibid.

[20] Ibid, hlm. 170.

[21] Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Rakhîq al-Makhtûm, (Riyadh: Darussalam, Tanpa Tahun), hlm. 380.

[22] Akram Dhiya’ al-Umary, as-Sirah an-Nabawiyah as-Sahîhah, (Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, Cet. 6, 1415 H), hlm. 544.