Minggu, 09 April 2017

Sebuah Masukan (4)


5. Pakar Hadits (Takhrij)
Al-Ustadz Adi Hidayat hafidhahullahdalam sebuah rekaman video pengajian yang berjudul Penjelasan Mengenai Doa Makan (Allahummabariklana) berkata (menit 02:38):
“Ada yang berkata begini, saya tanya dulu. Kalau saya baca Allaahumma baarik lanaa fii maa razaqtanaa, shahih atau dla’iif ? (Hadirin : ‘dla’iif). Ooo, dla’iif…. (Tertawa). Dari mana tahunya ? Dari guru… Yuk kita lihat kitab aslinya. Buka dulu Muwaththa’ Imam Malik nomor hadits 2772. Nabi tidak mengatakan. Nabi tidak mengatakan : ‘bacalah bismillah’. Hanya mengatakan : ‘sammilah’. Nama Allah ada berapa ? Banyak. Diantaranya 99. Jadi sepanjang kita menyebut nama Allah, dibuat umum untuk memudahkan. Sepanjang kita menyebut nama Allah dengan bahasa apapun, dengan bismillah, dengan ya Allah, dengan Allahumma, itu sudah benar. Nabi mengajarkan hadits yang panjang di Muwaththa’ Imam Malik kepada ‘Aliy bin Abi Thaalib. Bagaimana redaksinya ?. Kalau engkau mau makan : Qul, bismillaahir-rahmaanir-rahiim, Allahummaa baarik lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa ‘adzaaban-naar. Hadits itu shahih. Bahkan ada yang lebih panjang lagi. Sekarang darimana munculnya pernyataan hadits itu dla’if ?. Ternyata, ada orang keliru baca kitab. Dibaca di kitab Syaikh Al-Albani pembahasan hadits nomor 6390, pembahasan itu sedang membahas hadits hubungan suami istri. Jadi ada hadits dla’if berbunyi begini : Kalau seorang istri berhubungan, seorang suami istri berhubungan, yang sebelum berhubungannya dia membaca Allahummaa baarik lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa ‘adzaaban-naar, (hadirin tertawa), betul. Silakan dibuka. Maka anak yang lahir tidak akan disentuh oleh setan. Itu haditsnya. Dibahas oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani hadits ini kualitasnya dla’if, karena bertentangan dengan doa shahih yang diajarkan oleh Nabi. Orang-orang mengira, yang dla’if ini hadits tentang makanan. Padahal haditsnya berbeda. Jadi hadits tentang makanan terpisah dengan hadits yang tadi. Yang satu dla’if, yang lainnya shahih. Itu yang penting saya luruskan. Itu banyak sekali. Dan banyak orang keliru”

Kemudian perkataan beliau tersebut disambung dalam video lain (masih dalam pengajian yang sama) berjudul Doa Sebelum Makan(mulai menit 02:11):
“Saya membaca dari yang ditanyakan doa makan itu, saya cari di 1.235 kitab hadits. Tidak ada yang lain. Di Tripoli, seorang ketua dewan khathib dibekali satu file 42 giga, semua kitab-kitab klasik dan kontemporer ada di situ. Jadi kalau mau dicari kitab apapun, dibuat 3 kualifikasi : Satu, yang manuskripnya, yang kedua yang bisa disalin, yang ketiga scan dari kitab yang asli. Jadi dibantu supaya tidak cari kitab lagi. Saya cari semua hadits yang terkait dengan doa makan, mengkristal pada hadits-hadits tadi. Yaitu cuma ada di hadits Bukhari nomor hadits 5061, hadits Muslim nomor hadits 5388, Ibnu Majah nomor hadits 3399. Kemudian syarahnya, nah ini, kalau bapak mau cari dimana menemukan ini shahih atau tidaknya. Buka diantaranya Silsilah Al-Ahaadits Adl-Dla’iifah wal-Maudluu’ah karangan Syaikh Nashiruddin Al-Albani, ada di halaman 6390. Nomor pembahasan, bukan halaman. Pembahasan nomor 6390. Di situ disebutkan kalau hadits tentang makanan allahumma baarik lana kualitasnya shahih. Yang dla’if itu, hadits tentang hubungan suami istri yang redaksinya sama. Ada orang yang mungkin membaca, dia hanya baca yang tentang hadits tadi. Diduga ini sama kualitasnya. Padahal dalam ilmu hadits belum tentu. Ada hadits yang redaksinya sama, bisa yang satu palsu, yang satu bisa benar. Bisa begitu. Sekarang jelas ya pak ya. Ini yang bisa saya sampaikan, dan mari kita hargai siapapun yang berpendapat. Pendapat saya demikian, dan bisa dirujuk di kitabnya….” [selesai].
Melaksanakan instruksi Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah, saya pun merujuk ke kitab-kitab hadits yang beliau maksud dengan hasil sebagai berikut:

Hadits ‘Umar bin Abi Salmah diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5376 (dengan penomoran standar dari Muhammad Fuaad ‘Abdul-Baqi, Al-Mathba’ah As-Salafiyyah); Muslim no. 2022 (hal. 838, Cet. Baitul-Afkaar Ad-Dauliyyah; dan hal 971, Cet. Daaruth-Thayyibah); Ibnu Maajah no. 3267 (4/407, tahqiq : Syu’aib Al-Arna’uth dkk.; 5/15-16, tahqiq : Basysyar ‘Awwaad Ma’ruuf; hal. 551, tahqiq : Masyhuur Hasan Salmaan); dan Maalik dalam Al-Muwaththa’ no. 3445 (hal. 1367, tahqiq : Muhammad Mushthafaa Al-A’dhamiy) atau no. 1868 (4/364-365, tahqiq : Saalim bin ‘Ied Al-Hilaaliy). Nabi ﷺ bersabda:

يَا غُلَامُ، سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

“Wahai anak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa-apa yang dekat denganmu”

Penomoran hadits yang beliau sebutkan itu setelah saya cek sebagian besarnya adalah versi Maktabah Syamilah, dan memang waktu itu beliau sedang membuka laptopnya. Tidak masalah.

Kemudian penyebutan hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib dengan lafadhBismillah, allaahumma baarik lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa ‘adzaaban-naar dalam Al-Muwaththaa’ tidak saya temukan. Yang ada adalah dari ‘Urwah bin Az-Zubair sebagai berikut:

عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ كَانَ لَا يُؤْتَى أَبَدًا بِطَعَامٍ وَلَا شَرَابٍ حَتَّى الدَّوَاءُ فَيَطْعَمَهُ أَوْ يَشْرَبَهُ، إِلَّا قَالَ: " الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا وَأَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَنَعَّمَنَا اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ أَلْفَتْنَا نِعْمَتُكَ بِكُلِّ شَرٍّ فَأَصْبَحْنَا مِنْهَا، وَأَمْسَيْنَا بِكُلِّ خَيْرٍ فَنَسْأَلُكَ تَمَامَهَا وَشُكْرَهَا، لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ إِلَهَ الصَّالِحِينَ وَرَبَّ الْعَالَمِينَ، الْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ "

Dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya (‘Urwah bin Az-Zubair) : Bahwasannya tidak pernah dihidangkan kepadanya makanan, minuman, maupun obat yang ia memakannya atau meminumnya, kecuali ia mengucapkan doa : ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami hidayah, memberikan kita makanan, memberi kita minuman, dan memberi kita kenikmatan. Allah Maha Besar. Ya Allah, palingkanlah nikmat-Mu ini dari segala keburukan, dan jadikanlah kami di pagi dan sore hari senantiasa dalam kebaikan. Kami memohon kesempurnaan nikmat-Mu dan (hidayah) untuk mensyukurinya. Tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari-Mu. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Rabb orang-orang yang shaalih, dan Rabb semesta alam. Segala puji bagi Allah dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah. Dan segala sesuatu atas kehendak Allah, dan tidak ada daya upaya melainkan atas izin Allah. Ya Allah, berikanlah barakah terhadap rizki yang Engkau anugerahkan kepada kami, dan jauhkanlah kami dari api neraka” [No. 3447 (Al-A’dhamiy) atau no. 1869 (Al-Hilaaliy)].

Riwayat ini shahih, akan tetapi maqthuu’ (dari perkataan taabi’iy), sehingga tidak boleh disandarkan kepada Nabi ﷺ. Dalam konteks pembahasan Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah, penshahihan yang beliau maksud adalah yang versi marfuu’.

Adapun hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib, maka bukan diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’, akan tetapi diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Al-Musnad (1/153):

حَدَّثَنِي الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ النَّرْسِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْجُرَيْرِيُّ، عَنْ أَبِي الْوَرْدِ، عَنِ ابْنِ أَعْبُدَ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: يَا ابْنَ أَعْبُدَ، هَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ الطَّعَامِ؟ قَالَ: قُلْتُ: وَمَا حَقُّهُ يَا ابْنَ أَبِي طَالِبٍ؟ قَالَ: تَقُولُ: بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا....

Telah menceritakan kepadaku ‘Abbaas bin Al-Waliid An-Narsiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waahid bin Ziyaad : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid Al-Jurairiy, dari Abul-Ward, dari Ibnu A’bud, ia berkata : Telah berkata kepadaku ‘Aliy bin Abi Thaalibradliyallaahu ‘anhu : “Wahai Ibnu A’bud, apakah engkau mengetahui apa hak makanan itu ?”. Ibnu A’bud berkata : “Apa haknya wahai Ibnu Abi Thaalib ?”. ‘Aliy menjawab : “Engkau mengucapkan : Dengan nama Allah. Ya Allah, berikanlah barakah terhadap rizki yang Engkau anugerahkan kepada kami …..

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah 8/309 no. 24878 & 10/342 no. 30058 dan Ath-Thabaraaniy dalam Ad-Du’aa’ no. 235.

Al-Arna’uth dkk. saat mentakhrij hadits ini dalam Musnad Al-Imaam Ahmad berkata : “Sanadnya lemah dikarenakan jahalah dari Ibnu A’bud – namanya ‘Aliy – dan Abul-Ward, ia adalah Ibnu Tsumaamah bin Huzn Al-Qusyairiy. Meriwayatkan darinya dua orang perawi. Ibnu Sa’d berkata : ‘Ia seorang yang ma’ruuf, sedikit haditsnya’. Adapun Ibnul-Madiiniy berkata : ‘Tidak ma’ruuf. Aku tidak mengenal haditsnya kecuali hadits ini (hadits ‘Aliy)” [2/436].

Dari sini, mencampurkan antara riwayat ‘Aliy dalam Musnad Al-Imaam Ahmad dengan riwayat Hisyaam bin ‘Urwah dalam Al-Muwaththa’ adalah kekeliruan. Riwayat ‘Aliy, konteksnya adalah ‘Aliyradliyallaahu ‘anhu mengajarkan kepada Ibnu A’bud (mauquuf), bukan Nabi ﷺ mengajarkan kepada ‘Aliy (marfuu’).

Ada hadits marfuu’, diriwayatkan oleh shahabat ‘Abdullah bin ‘Amruradliyallaahu ‘anhumaa:

حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْحَاقَ التُّسْتَرِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ أَبِي زُرْعَةَ الدِّمَشْقِيُّ، قَالا: ثنا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى بْنِ سُمَيْعٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي الزُّعَيْزِعَةِ، حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي الطَّعَامِ إِذَا قُرِّبَ إِلَيْهِ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، بِسْمِ اللَّهِ "

Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Ishaaq At-Tustariy dan Muhammad bin Abi Zur’ah Ad-Dimasyqiy, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Ammaar : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa bin Sumai’ : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abiz-Zu’aizi’ah : Telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ : Bahwasannya apabila disuguhkan kepada beliau makanan, beliau membaca : “Ya Allah, berikanlah barakah terhadap rizki yang Engkau anugerahkan kepada kami, dan jauhkanlah kami dari api neraka. Bismillaah (dengan menyebut nama Allah)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalamAd-Du’aa’ hal. 1213 no. 888 dab Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah hal. 216-217 no. 457].

Sanad hadits ini sangat lemah, karena Muhammad bin Abiz-Zu’aizi’ah, munkarul-hadiits.

Lalu,….. benarkan orang yang mendla’ifkan hadits doa sebelum makan karena salah baca kitab ? khususnya membaca kitab Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah ?.

Saya ajak Pembaca sekalian untuk berwisata sejenak memperhatikan perkataan muhadditsiin tentang hadits tersebut.

Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahullah – pakar ‘ilal haditsmutaqaddimiin – mengomentari hadits ‘Abdullah bin ‘Amru tersebut dengan perkataannya:

هَذَا حَدِيثٌ لَيْسَ بِشَيْءٍ، وَابْنُ أَبِي الزُّعَيْزِعَةِ لا يَشْتَغِلُ بِهِ مُنْكِرُ الْحَدِيثِ

“Hadits ini tidak ada apa-apanya. Ibnu Abiz-Zu’aizi’ah, tidak boleh menyibukkan diri dengannya. Ia seorang yang munkarul-hadiits” [Al-‘Ilal 4/401 no. 1516].

Ibnu ‘Adiy rahimahullah setelah membawakan hadits Ibnu Abiz-Zu’aizi’ah ini mengomentari :

وَابْنُ أَبِي الزعَيْزِعَةَ عَامَّةُ مَا يَرْوِيهِ عَنْ مَنْ رَوَاهُ مَا لا يُتَابَعُ عَلَيْهِ

“Dan Ibnu Abiz-Zu’aizi’ah, mayoritas hadits yang ia riwayatkan dari orang yang meriwayatkan hadits tersebut, tidak ada mutaba’ah-nya” [Al-Kaamil fidl-Dlu’afaa’ 7/428].

Artinya, hadits ‘Abdullah bin ‘Amru tentang doa makan termasuk hadits ghariib yang diriwayatkan oleh Ibnu Abiz-Zu’aizi’ah.

Ibnu ‘Allaan berkata dengan menukil perkataan Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahumallah : “Hadits ini ghariib. Diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dan dalam sanadnya terdapat Ibnu Abiz-Zu’aizi’ah. Al-Bukhaariy berkata : ‘Munkarul-hadiits jiddan’. Ibnu ‘Adiy menyebutkan hadits ini termasuk yang ia ingkari. Ia (Ibnu ‘Adiy) berkata : ‘Hadits-haditsnya (Ibnu Abiz-Zu’aizi’ah) tidak adamutaba’ah-nya’. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Adl-Dlu’afaa’dan ia melemahkannya” [Al-Futuuhaat Ar-Rabbaaniyyah, 5/178].

Apakah mereka mendla’ifkan karena salah baca kitab ?. Mereka lahir sebelum Asy-Syaikh Al-Albaaniy dan tidak tahu-menahu tentang kitab beliau berjudul Silsilah Adl-Dla’iifah. Begitu juga dengan ulama kontemporer, Dr. Muhammad bin Sa’iid Al-Bukhaariyhafidhahullah ketika mentakhrij hadits itu (no. 888) dalam kitab Ad-Du’aa tulisan Ath-Thabaraaniy rahimahullah berkata: “Sanadnyadla’iif, padanya terdapat rawi yang bernama Muhammad bin Abiz-Zu’aizi’ah. Seorang yang dla’iif” [Ad-Du’aa, hal. 1213].

Begitu juga dengan Syu’aib Al-Arna’uth rahimahullah saat mengomentari riwayat ‘Aliy bin Abi Thaalib sebagaimana telah lewat perkataannya. Sangat susah disimpulkan pendla’ifannya karena salah baca kitab, karena beliau melihat perawi yang ada di dalam sanad.

Ustadz Adi Hidayat Lc., MA. merujuk pada kitab Silsilah Adl-Dla’iifahno. 6390. Untuk penomoran tersebut, tepatnya ada di juz 13 halaman 875-878. Ternyata, hadits pada nomor tersebut tidak sedang membicarakan hadits doa makan ataupun hadits bersetubuh. Beliau rahimahullah sedang menyinggung hadits Ath-Thaaifah Al-Manshuurah:

لا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ عَلَى مَنْ نَاوَأَهُمْ، وَهُمْ كَالإِنَاءِ بَيْنَ الأَكَلَةِ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ......

“Umatku senantiasa berada di atas kebenaran lagi dimenangkan terhadap orang yang memusuhi mereka. Mereka itu seperti bejana yang berada di antara makanan, hingga datang urusan/keputusan Allah sedangkan mereka dalam keadaan seperti itu…. dst.”

Saya sendiri masih mencari hadits yang dimaksud Ustadz Adi Hidayat Lc., MA. dalam kitab Silsilah Adl-Dla’iifah tentang doa berhubungan antara suami-istri dengan lafadh Allaahummaa baarik lanaa fiimaa razaqtanaa wa qinaa ‘adzaaban-naar. Saya baru mendengar hadits ini dari beliau (Ustadz Adi Hidayat, Lc., MA.)hafidhahullah. Dikarenakan saya tidak mempunyai daya hapal yang luar biasa seperti beliau, saya mencarinya dengan menggunakan Maktabah Syaamilah di Kutub Al-Albaaniy, namun sayang : saya gagal menemukannya. Mungkin program Maktabah Syamilah saya yang kurang update.

Ada riwayat mirip dari Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah:

عَنْ جَعْفَرِ بْنِ سُلَيْمَانَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ يُقَالُ: إِذَا أَتَى الرَّجُلُ أَهْلَهُ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ، بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا، ولا تَجْعَلْ لِلشَّيْطَانِ نَصِيبًا فِيمَا رَزَقْتَنَا، قَالَ: فَكَانَ يُرْجَى إِنْ حَمَلَتْ أَوْ تَلَقَّتْ، أَنْ يَكُونَ ولَدًا صَالِحًا "

Dari Ja’far bin Sulaimaan, dari Hisyaam, dari Al-Hasan (Al-Bashriy), ia berkata : “Dikatakan, apabila seorang laki-laki mendatangi istrinya, hendaklah ia mengucapkan : Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, berikanlah barakah terhadap rizki yang Engkau anugerahkan kepada kami. Jangan jadikan bagi setan bagian dari yang Engkau rizkikan kepada kami”. Al-Hasan melanjutkan : “Diharapkan (dengan doa ini) apabila istrinya hamil atau lahir, maka akan menjadi anak yang shaalih” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 10467].

Tapi riwayat ini tidak pernah disinggung oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Silsilah Adl-Dla’iifah sependek pengetahuan saya. Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah ketika membahas doa berhubungan suami istri, yang banyak disebutkan adalah:

لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ، قَالَ: بِاسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَقُضِيَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرُّهُ

“Apabila salah seorang diantara kalian mendatangi istrinya dengan membaca : ‘Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, jauhkan kami dari setan dan jauhkanlah setan dari rizki (anak) yang akan Engkau anugerahkan kepada kami’. Apabila keduanya diberi karunia anak, maka setan tidak akan bisa memudlaratkannya” [Muttafaqun ‘alaih].

Ini shahih, dan tidak ada hubungannya dengan salah baca.

Seandainya Ustadz Adi Hidayat Lc., MA. hendak menshahihkan doa makan yang marfuu’ : ‘Allaahumma baarik lanaa dst.’, bagi saya no problem, karena selain ustadz Adi banyak. Bahkan banyak di antara kita sejak dari TK diajari oleh bapak ibu guru kita dengan doa itu. Jadi seandainya Ustadz Adi ingin memakai hadits tersebut dan mengajarkannya kepada jama’ah beliau, maka itu hak beliau. Tidak masalah, meski kami tahu itu lemah (yang marfuu’).

Namun ketika beliau hafidhahullah mengklaim telah melakukan penelitian 1.235 kitab hadits dan kemudian menyalahkan (bahasa beliau : ‘meluruskan’) orang yang mendla’ifkannya semata-mata karena salah baca kitab, nampaknya ini yang perlu dikoreksi. Salahnya agak fatal bagi seorang pakar hadits seperti beliauhafidhahullah.

6. Pakar Hadits (Syarah)
Ustadz Adi Hidayat Lc., MA. hafidhahullah dalam video berjudulBenarkah Makan dengan 3 Jari Itu Sunnah? berkata :
“Makan yang sunnah pakai apa ? Pakai tangan. Berapa jari ? Hayoo, kalau Anda makan nasi pakai lima jari Anda nggak sunnah itu. Makan sayur pakai apa ? Haa… Anda harusnya pakai jari itu, tiga jari. Kalau pakai sendok gitu nggak sunnah. Nah,… sekarang, baik itu nggak ada perantara mas… Nggak ada perantara antara benda dengan tanganya itu. Ya, yang dimaksud hadits itu, kalau kita baca dengan ilmu ma’aniy-nya, dilihat asbabul-wurud-nya, ternyata Nabi saat mencontohkan itu sedang memegang kurma begini (sambil mencontohkan kepada hadirin). Makanlah kalian seperti ini, kata Nabi. Yang dipegang kurma. Yang dipegang kurma. Kata para ulama hadits, ini kalimat yang jelas menunjukkan contoh yang sangat dalam kepada kita. Nabi pada jaman itu selain kurma sudah ada makanan lain. Gandum ada, roti ada, dan sebagainya. Tapi ketika memegang kurma, beliau pegang dengan tiga jarinya. Kalau megang kurma dengan lima jari tandanya apa ? (Hadirin menjawab “ ‘Maruk’). Haa… itu. Rakus itu. Rakus. Maka hadits ini dipahami para ulama hadits, ini menunjukkan kemudian makanan dimakan dengan tiga jarinya. Bukan. Maksudnya Nabi ingin mengajarkan : Makanlah kalian sesuai dengan kadar makanannya.(Hadirin : ooo). Nggak pakai oooo. Kadar makanannya. Jadi kalau misalnya Anda makan kurma atau kue yang semisal kurma, Anda ingin ambil, jangan rakus dalam mengambilnya. Makan kacang ambil begini simpan. Gitu kan. Tangan kanan makan, tangan kiri pegang. Nggak harus seperti itu. Kacang mungkin cukup dengan dua jari, dua jari, gitu kan. Jadi sesuai dengan kadar makanannya. Makan kue ambil. Anda mau makan nasi dengan tiga jari, kapan habisnya ?. (Hadirin : tertawa). Jadi, ambil makanan sesuai dengan kadarnya. Itu poinnya. Jelas sampai sini ya” [selesai].

Dalam video semisal berjudul Benarkah Sunnah Makan Itu dengan 3 Jari?; Ustadz Adi Hidayat Lc., MA. hafidhahullah berkata semisal:
“Makan yang sunnah berapa jari ?. Makan yang sunnah pakai tangan atau sendok ?. Pakai tangan. Berapa jari ?. Tiga jari. Masya Allah. Jadi kalau pakai lima jari itu nggak sunnah ya ?. Dua jari nggak sunnah ya ?. Awas hati-hati. Anda lihat lagi haditsnya. Ini pentingnya belajar ilmu tentang ilmu hadits turunan dengan ilmu bahasanya. Nabi mengatakan : ‘Makan seperti ini (sambil mempraktekkan dengan jarinya). Hakadza. Kul hakadza, kata Nabi. Kul hakadza. Itu yang dipegang oleh beliau kurma pak, bu. Kurma. Nabi pegang seperti ini. Sedang makan kurma. Karena melihat shahabat tu makan pada seneng, kata Nabi pegangnya seperti ini. Baik, fokus ya. Pelan-pelan. Jaman Nabi pun sudah ada roti sobek, sudah ada yang lainnya, sudah ada syurbah, minum-minuman seperti sirup dan lain sebagainya. Thayyib. Itu yang dipegang oleh beliau kurma. Saya mau tanya, kalau makan kurma dengan lima jari apa artinya ?. Bahasa Jepangnya rowog, ya. Jadi Nabi ingin mencontohkan, kata ulama hadits, ini bukan menunjukkan saat makan harus makan dengan tiga jari saja. Bukan. Sunnah dalam hadits ini maksudnya makanlah sesuai dengan kadar makanannya. Anda kalau makan kurma, yang semacam dengan kurma, kue, ambil tiga jari begini. Gitu kan. Anda mau makan nasi pakai tangan tiga jari, kapan selesainya ?. Sesuai dengan kadar makanan. Kalau gunakan nasi, ya empat. Lima jari, silakan gunakan. Anda mau makan sayur asem pakai jari, gimana caranya ?. Jadi Anda hadirkan pada sendok, sendok itu Anda makan, itu sunnahnya. Jadi di situ nilai yang disampaikan bukan praktek harus menggunakan, misalnya salah satu organ tertentu. Na itu yang dipelajari di buku mushthalah hadits terkait dengan kaidah-kaidah ilmu bahasa asbabul-wurud. Jelas sampai di sini ? Thayyib” [selesai].

Ulama siapa yang beliau maksud yang mengatakan sunnah makan tiga jari bukan letterlijk makan tiga jari, namun makan sesuai kadarnya ?. Soalnya beliau sering sekali menyebutkan kata ulama tanpa spesifik menyebutkan ulama siapa. Wajar kita menjadi bertanya-tanya.

Dari Ka’b bin Maalik radliyallaahu ‘anhu:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ وَيَلْعَقُ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يَمْسَحَهَا

“Rasulullah ﷺ makan dengan tiga jari, dan menjilat tangannya sebelum mengusapnya dengan sapu tangan" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2032, Abu Daawud no. 3848, Ahmad 6/386, dan yang lainnya].

Dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ إِذَا أَكَلَ طَعَامًا لَعِقَ أَصَابِعَهُ الثَّلَاثَ، قَالَ: وَقَالَ: إِذَا سَقَطَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ، فَلْيُمِطْ عَنْهَا الْأَذَى وَلْيَأْكُلْهَا وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ، وَأَمَرَنَا أَنْ نَسْلُتَ الْقَصْعَةَ، قَالَ: فَإِنَّكُمْ لَا تَدْرُونَ فِي أَيِّ طَعَامِكُمُ الْبَرَكَةُ

Bahwasannya Rasulullah ﷺ apabila menyantap makanan, beliau menjilat tiga jarinya. Dan beliau ﷺ bersabda : “Apabila suapan salah seorang dari kalian jatuh, maka bersihkanlah kotorannya, lalu makanlah. Jangan membiarkannya untuk dimakan oleh setan”. Beliauﷺ memerintahkan kami untuk menjilat nampan dan bersabda : “Sesungguhnya kalian tidak mengetahui di bagian manakah dari makanan kalian yang terdapat barakah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2034, At-Tirmidziy no. 1803, Abu Daawud no. 3845, dan yang lainnya].

Dalam riwayat lain:

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا أَكَلَ طَعَامًا لَعِقَ أَصَابِعَهُ الثَّلاثَ

“Nabi ﷺ apabila menyantap makanan, menjilati tiga jarinya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy dalam Asy-Syamaail hal. 95 no. 138 dan Ibnu Hibbaan 12/56-57 no. 5252; shahih].

Di sini disebutkan dengan ‘makanan’ (ath-tha’aam), sehingga tidak dikhususkan kepada kurma.

Itu pula yang dipraktekkan para shahabat radliyallaahu ‘anhum.

حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ حُصَيْنٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّهُ كَانَ يَلْعَقُ أَصَابِعَهُ الثَّلاثَ إِذَا أَكَلَ "، وَقَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: إِنَّهُ لا يَدْرِي فِي أَيِّ طَعَامِهِ الْبَرَكَةُ "

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari Hushain, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia biasa menjilat tiga jarinya apabila selesai makan, dan kemudian berkata : Telah bersabda Rasulullah ﷺ : “Sesungguhnya seseorang tidak tahu di bagian manakah dari makanannya yang terdapat barakah”[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 8/295-296 no. 24825; sanadnya shahih].

حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا حُصَيْنٌ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: مَا رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ مُتَوَضِّئًا مِنْ طَعَامٍ قَطُّ، كَانَ يَلْعَقُ أَصَابِعَهُ الثَّلَاثَ ثُمَّ يَمْسَحُ يَدَهُ بِالتُّرَابِ ثُمَّ يَقُومُ إِلَى الصَّلَاةِ

Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Hushain, dari Mujaahid, ia berkata : “Aku tidak pernah sekalipun melihat Ibnu ‘Umar berwudlu karena (makan) makanan. Dan ia menjilat tiga jarinya, kemudian mengusap tangannya dengan tanah, lalu berdiri untuk melaksanakan shalat” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/48 no. 540 & 8/294 no. 24820; sanadnya shahih].

حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ، قَالَ: " قُلْتُ لِعُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ: كُنْت تَشْهَدُ طَعَامَ ابْنِ عَبَّاسٍ ؟ "، قَالَ: " نَعَمْ "، قُلْتُ: " فَأَيَّ شَيْءٍ كُنْتُ تَرَاهُ يَصْنَعُ؟ "، قَالَ: " كُنْتُ أَرَاهُ يَلْعَقُ أَصَابِعَهُ الثَّلاثَ "

Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Ubaidullah bin Abi Yaziid : “Apakah engkau menyaksikan makanan Ibnu ‘Abbaas ?”. Ia menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Lantas, apa yang engkau lihat dari yang ia lakukan ?”. Ia menjawab : “Aku melihatnya menjilat tiga jarinya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 8/295 no. 24822; sanadnya shahih].

Juga para taabi’iin.

حَدَّثَنَا مَعْنُ بْنُ عِيسَى، عَنْ خَالِدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، قَالَ: رَأَيْتُ الْقَاسِمَ وَسَالِمًا يَأْكُلانِ بِثَلاثِ أَصَابِعَ

Telah menceritakan kepada kami Ma’n bin ‘Iisaa, dari Khaalid bin Abi Bakr, ia berkata : Aku melihat Al-Qaasim dan Saalim makan dengan tiga jari” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 8/298 no. 24835; shahih[1]].

Makan dengan tiga jari adalah sunnah, begitulah penjelasan para ulama kita.

Dari Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah, ia berkata:

اثنا عشرة خصلة فِي الطعام ينبغي للمسلمين أَن يتعلموها: أربعة من فريضة، وأربعة سنة، وأربعة أدب. فأما الفريضة: فالتسمية، والمعرفة، والرضا، والشكر. وَأَمَّا السنة: فالجلوس عَلَى رجله اليسرى، والأكل مِمَّا يليه، والأكل بثلاث أَصَابِع، ولعق الأَصَابِع إِذَا فرغ. وَأَمَّا الأدب: فغسل اليدين، وتصغير اللقمة، والمضغ الشديد، وقلة النظر فِي وجوه أَصْحَابه

“Ada 12 hal ketika menyantap makanan yang hendaknya dilakukan oleh kaum muslimin. Empat hal merupakan kewajiban, empat hal merupakan sunnah, dan empat hal merupakan adab. Adapun kewajibannya : mengucapkan tasmiyyah (menyebut nama Allah/basmalah), ma’rifah, ridla, dan syukur (atas rizki yang diberikan Allah). Sunnahnya : duduk di atas kaki kiri, makan apa yang dekat dengannya, makan dengan tiga jari, dan menjilat jari-jarinya apabila telah selesai. Adabnya : mencuci kedua tangan, mengecilkan suapan, mengunyah dengan baik, dan menyedikitkan pandangan pada wajah rekan-rekannya” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib Al-Baghdaadiy dalam Ath-Tathfiil hal. 142 no. 170].

An-Nawawiy rahimahullah berkata:

وَاسْتِحْبَاب الْأَكْل بِثَلَاثِ أَصَابِع ، وَلَا يَضُمّ إِلَيْهَا الرَّابِعَة وَالْخَامِسَة إِلَّا لِعُذْرٍ بِأَنْ يَكُون مَرَقًا وَغَيْره مِمَّا لَا يُمْكِن بِثَلَاثٍ وَغَيْر ذَلِكَ مِنْ الْأَعْذَار

“(Diantara sunnah-sunnah dalam makan pada hadits ini adalah) disunnahkan bagi seseorang untuk makan dengan tiga jari, dan tidak menggunakan jari yang keempat atau kelima kecuali ada‘udzur, semisal sayur berkuah dan yang lainnya yang tidak mungkin menggunakan tiga jari, dan alasan lainnya” [Syarh Shahiih Muslim, 13/203-204].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وَيُؤْخَذ مِنْ حَدِيث كَعْب بْن مَالِك أَنَّ السُّنَّة الْأَكْل بِثَلَاثِ أَصَابِع وَإِنْ كَانَ الْأَكْل بِأَكْثَر مِنْهَا جَائِزًا

“Dan diambil dari hadits Ka’b bin Maalik bahwasannya sunnah ketika makan adalah dengan tiga jari, meskipun jika makan lebih dari tiga jari diperbolehkan” [Fathul-Baariy, 9/578].

Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullah berkata:

وَالْأَكْلُ بِأَكْثَرَ مِنْهَا مِنْ الشَّرَهِ وَسُوءِ الْأَدَبِ ، وَلِأَنَّهُ غَيْرُ مُضْطَرٍّ لِذَلِكَ لِجَمْعِهِ اللُّقْمَةَ وَإِمْسَاكِهَا مِنْ جِهَاتِهَا الثَّلَاثِ ، وَإِنْ اُضْطُرَّ إلَى الْأَكْلِ بِأَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَصَابِعَ ، لِخِفَّةِ الطَّعَامِ وَعَدَمِ تَلْفِيقِهِ بِالثَّلَاثِ يَدْعَمُهُ بِالرَّابِعَةِ أَوْ الْخَامِسَةِ

“Makan lebih dari tiga jari termasuk keburukan dan jeleknya adab. Hal itu dikarenakan tidak ada kebutuhan yang mengharuskan menggunakan lebih dari tiga jari untuk mengumpulkan suapan makanan dan memegangnya. Namun jika ada kebutuhan untuk makan lebih dari tiga jari, karena ringan/lembutnya makanan dan tidak dapat diambil dengan tiga jari, maka ia boleh menggunakan jari yang keempat atau kelima” [idem].

Penulis kitab Syarh Al-Bahjatul-Wardiyyah ketika menyebutkan adab-adan makan antara lain:

"...وَأَنْ يَأْكُلَ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ ، وَأَنْ يَتَحَدَّثَ إذَا كَانَ مَعَهُ غَيْرُهُ بِمَا لَا إثْمَ فِيهِ..."

“…. Makan dengan tiga jari, berbicara/berbincang-bincang apabila ada orang lain bersamanya dengan pembicaraan yang tidak mengandung dosa…..” [Syarh Al-Bahjatul-Wardiyyah, 15/223].

Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullahmenjelaskan:

أنه ينبغي للإنسان أن يأكل بثلاثة أصابع الواسطى والسبابة والإبهام لأن ذلك أدل على عدم الشره وأدل على التواضع ولكن هذا في الطعام الذي يكفي فيه ثلاثة أصابع أما الطعام الذي لا يكفى فيه ثلاثة أصابع مثل الأرز فلا بأس بأن تأكل بأكثر لكن الشيء الذي تكفى فيه الأصابع الثلاثة يقتصر عليها فإن هذا سنة النبي ﷺ

“Dan hendaknya bagi seseorang untuk makan dengan tiga jarinya, yaitu jari tengah, telunjuk, dan ibu jari. Hal itu dikarenakan hal itu menunjukkan ia tidak rakus dan menunjukkan ketawadluan. Akan tetapi ini berlaku pada makanan cukup dimakan dengan tiga jari saja. Adapun makanan yang dimakan tidak cukup dengan tiga jari seperti nasi, maka tidak mengapa dimakan dengan lebih dari tiga jari. Akan tetapi makanan yang cukup menggunakan tiga jari, hendaklah ia mencukupi diri dengannya karena ini adalah sunnah Nabi ﷺ ” [Syarh Riyaadlush-Shaalihin, 4/229].

Para ulama tentu sangat paham bahasa Arab, paham konteksnya, dan penjelasan mereka lebih didahulukan dibandingkan inovasi penjelasan orang belakangan – jika ada - .

Meskipun ada beberapa persamaan bahasa/kalimat dalam penjelasan para ulama di atas dengan penjelasan Ustadz Adi Hidayat, namun esensinya menjadi sangat berbeda.

Para ulama menjelaskan dari hadits-hadits di atas (juga berdasarkan atsar-atsar salaf) bahwa makan dengan tiga jari adalah sunnah. Ini pokok/substansi mereka. Adapun jika makan lebih dari tiga jari, terutama makanan yang lembut atau tidak cukup dimakan dengan tiga jari, maka boleh. Mereka tidak menakwilkannya bahwa sunnah yang dimaksud adalah ‘makanlah secukupnya atau sesuai kadarnya’ sebagaimana Ustadz Adi Hidayat.

Mungkin saja Ustadz Adi Hidayat, Lc., MA. sebenarnya ingin menjelaskan hadits Ka’b dan Anas radliyallaahu ‘anhumaa dengan penjelasan para ulama tersebut di atas, namun keseleo lidah jadi beda esensinya.

Masukan kami untuk ke depan, alangkah baiknya jika penjelasan-penjelasan hadits diikuti dengan nukilan-nukilan otentik para ulama sehingga jama’ah yang mendengar tidak salah paham serta semangat dalam ittiba’ dan ta’dhiim-nya terhadap sunnah.

Satu lagi…….
Ketika Ustadz Adi Hidayat Lc. MA. hafidhahullah membahas tentang wudlu dalam video berjudul Jenis-Jenis Syetan & Tugass nya, beliau menguraikan panjang lebar tentang tentang definisi/artiwudlu (01:27:17):
“Apa artinya wudlu ?. Apa artinya wudlu ? Lo, pertanyaan ketiga masih ngarang juga. Nggak usah ngarang. Apa artinya wudlu ? Wallaahu a’lam. Thayyib. Wudlu itu, asal bahasanya bukan bersuci ya. Kalau bersuci thaharah. Itu pengertian fikih ya. Wudlu artinya bersuci itu pengertian fikih. Secara bahasa, wudlu itu berasal dari kata dlau’ (ضَوْء). Yang berarti, cahaya yang terang, sinar yang terang, atau aura kebaikan yang tampak. Aura kebaikan yang tampak. Jadi ada orang-orang yang seakan-akan wajahnya ada cahaya. Yang dari jauh Anda sudah lihatnya enak.. ada cahaya kebaikan. Teduh melihatnya, tenang perasaan Anda gitu kan. Seperti terangnya cahaya matahari yang diharapkan itu. Dlaun, jamaknya disebut dliyaa’. Dalam surat ke-10 ayat ke-5 : huwalladzii ja’alasy-syamsa dliyaa’an wal-qamara nuuran. Oke. Nah, sekarang saya berikan rumus, dan ini akhir dari kajian kita. Saya tutup sampai di sini. …… (lalu Ustadz Adi menulis penjelasan di papan tulis dengan tulisan sebagai berikut:


(01:29:29):
“….. maka turun kalimatnya kemudian menjadi begini : wudlu. Dari kata dlau’ yang berarti cahaya yang terang, aura kebaikan yang tampak. Ditambah wawu, maka kalimatnya berubah secara bahasa berarti sinar yang sangat terang, atau aura kebaikan yang semakin tampak. Makanya kata Nabi ﷺ dalam hadits riwayat Muslim yastad’uuna ummati yaumal-qiyaamati ghurran muhajjaliin. Umatku nanti akan dipanggil di akhirat nanti dengan cahaya yang terang sekali tampak di tubuhnya. Min atsaril-wudluu’. Dari bekas wudlunya. Jadi saat di akhirat nanti, insya Allah, kita kalau wudlunya bagus, seperti tadi itu nanti saat dipanggil itu akan kelihatan umat Nabi itu. Kelihatan. Begitu datang, cahayanya banyak. Ada aura kebaikan. Kata Nabi, dari bekas wudlunya. Tapi Anda mesti tahu ya, awas, mesti ingat ini, yang dimaksud bekas wudlunya bukan airnya, bukan airnya ingat, tapi yang dimaksud ini aura kebaikan yang tampak ini. Makanya kalimatnya menggunakan atsar. Atsar itu jejak perilaku, bukan jejak benda. Jejak perilaku. Jadi kalau antum berjalan begini (sambil mempraktekkan), ada tapak di situ. Itu disebut dengan atsar namanya. Makanya ada atsar shahabat. Jejak kehidupan shahabat, sehingga seperti kita melacak jejak langkahnya. Atsar. Ya. Makanya kata Nabi, orang yang benar wudlunya, bisa tampak pada perilakunya. Aura kebaikannya. Kira-kira, maaf, semakin bercahaya nggak wajahnya? Semakin bercahaya nggak tangannya. Jadi, ada kebaikan yang ia lakukan dari situ. Itu yang menjadikan dirinya mendapat cahaya kebaikan di akhirat nanti. Makanya ibadahnya disebut dengan wudlu’. Ingin memberikan kesan bahwa orang wudlu itu pasti sifat dan sikapnya baik. Jadi kalau selama ini ada orang berwudlu, sifat dan sikapnya tidak baik, ada yang salah dalam wudlu’nya. Oke. Kalau semua orang sudah begini wudlunya, mana ada setan yang bisa ganggu. Susah gitu. Ya. Begitu dia mau ganggu, ini taubat kepada Allah. Dia rasakan Allah mengawasi. Ya, karena itulah kemudian besar kemungkinan dia bisa menepiskan setan, menghilangkan was-was dalam dirinya, dan lebih dekat kepada Allah subhaanahu wa ta’ala. Jelas sampai di sini ?. Thayyib. Paham insya Allah ?
…….
Bismillah, apakah boleh bicara ketika sedang berwudlu ?. Saya, kalau kembali kepada hadits tadi, kita menghindari itu. Kalau berbicara, hukumnya, Anda bicara, nggak membatalkan wudlu. Tapi Anda kehilangan kesempatan pahala diampuni dosa-dosa yang telah berlalu. Karena bahasa haditsnya, jangan bicara, selama ia tidak bicara selama wudlu sampai dia shalat. Bahasa haditsnya. Tapi kalau Anda bicarapun, tidak membatalkan wudlu. Cuman sayang, kehilangan kesempatan diampuni dosa-dosanya. Ya. Jelas ya ?. (01:33:01). [selesai]

Jika kita buka penjelasan para ulama, wudlu’ berasal dari kata al-wadlaa’ah (الوَضَاءَة) yang bermakna kebaikan (الحسن), kebersihan (النظافة), dan kegembiraan (البهجة), sebagaimana jika dikatakan :

رجل وضيء

maknanya : bagus penampilannya (حسن الهيئة) [Taajul-‘Aruus 1/276-277, Lisaanul-‘Arab 1/194, dan Mukhtaarush-Shihhaah hal. 303 – melalui perantaraan Ahkaamuth-Thahaarah oleh Dibyaan bin Muhammad Ad-Dibyaan, 9/19][2].

Adapun permasalahan berbicara ketika wudlu’, apakah dalil yang beliau maksud menunjukkan pada kesimpulan yang ada pada jawaban beliau tersebut ? Apakah ada ulama yang memahami demikian ?.

Sebelumnya, mari kita cermati penjelasan beliau hafidhahullah pada menit sebelumnya ketika menjelaskan hadits ‘Utsmaan bin ‘Affaanradliyallaahu ‘anhu (01:26:05):
“Teruskan haditsnya…. Di ujung haditsnya, ee saya berikan rumusnya sebentar ya. Ini rumus hadits di Al-Bukhaariy nomor hadits 159. Perhatikan. Haditsnya belum selesai. Ketika ‘Utsman selesai membasuh kakinya, beliau mengatakan, lihat kalimatnya, ya. Man tawadla’a bi-wudluuin bi mitsli wudluui hadza, siapa yang berwudlu seperti wudlu saya ini, maka kata Rasulullah, tsumma shalla rak’ataini, kemudian ia shalat dua raka’at, shalat sunnah wudlu. Jadi dia wudlu dulu dengan sempurna, kemudian dia shalat dua raka’at, walam yuhdits fiihimaa, dan dia tidak berbicara sepatah katapun, diantara wudlu dan shalat itu. Ya antum wudlu, selesai wudlu, sempurnakan, kemudian seperti tadi, Anda shalat dua raka’at, dan tidak bicara. Lihat, ghafarahullaahu maa taqaddama min dzanbihi. Paling minimal, pertama yang diberikan, semua dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni oleh Allah subhaanahu wa ta’ala. Haditsnya shahih. Semua dosanya. Yang kecil sampai dengan yang besar. Ya…”. [selesai].

Hadits ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu dimaksud adalah:

مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berwudlu seperti wudluku ini, kemudian ia shalat dua raka’at dan tidak berkata-kata dalam dirinya antara dua raka’at tersebut, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.

Beliau hafidhahullah keliru dalam menafsirkan laa yuhadditsu fiihimaa dimana beliau katakan maknanya tidak berbicara antara wudlu dan shalat. Padahal maksudnya adalah tidak berkata-kata dalam dirinya (hati) untuk perkara dunia antara dua raka’at shalat tersebut (di dalam shalat).

An-Nawawiy rahimahullah berkata:

فَالْمُرَاد لَا يُحَدِّث بِشَيْءٍ مِنْ أُمُور الدُّنْيَا وَمَا لَا يَتَعَلَّق بِالصَّلَاةِ

“Maksudnya adalah tidak berkata-kata tentang sesuatu dari perkara dunia dan yang tidak ada kaitannya dengan shalat” [Syarh Shahiih Muslim, 3/108].

Jadi menggunakan hadits ‘Utsmaan bin ‘Affaan sebagai dalil agar tidak berbicara/berkata-kata ketika berwudlu karena dapat kehilangan kesempatan mendapatkan pahala serta diampuni dosa-dosa yang telah berlalu; tidak tepat. Beda konteks.

Adapun berbicara pada waktu wudlu, hukumnya boleh, tidak terlarang. Dalilnya:

عَنْ عَمْرو بْن الْعَاصِ، يَقُولُ: بَعَثَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ: " خُذْ عَلَيْكَ ثِيَابَكَ وَسِلَاحَكَ، ثُمَّ ائْتِنِي ".فَأَتَيْتُهُ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ، فَصَعَّدَ فِيَّ النَّظَرَ ثُمَّ طَأْطَأَهُ، فَقَالَ: " إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَبْعَثَكَ عَلَى جَيْشٍ فَيُسَلِّمَكَ اللَّهُ وَيُغْنِمَكَ، وَأَزْغَبُ لَكَ مِنَ الْمَالِ زَغْبَةً صَالِحَةً ". قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَسْلَمْتُ مِنْ أَجْلِ الْمَالِ، وَلَكِنِّي أَسْلَمْتُ رَغْبَةً فِي الْإِسْلَامِ، وَأَنْ أَكُونَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ: يَا عَمْرُو، نِعِمَّا بِالْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ

Dari ‘Amru bin Al-‘Aash, ia berkata : “Rasulullah ﷺ mengutus seseorang kepadaku, dan kemudian menyampaikan pesan beliau :‘Ambil baju dan senjatamu, kemudian datanglah kepadaku (Rasulullahﷺ)’. Aku pun mendatangi beliau ﷺ yang saat itu sedang berwudlu. Beliau ﷺ mengangkat pandangannya kemudian menunduk dan bersabda : “Sesungguhnya aku ingin mengutusmu untuk satu peperangan. Semoga Allah memberikan keselamatan dan harta ghanimah kepadamu. Dan aku berharap kepadamu dari harta yang baik”. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, tidaklah aku masuk agama Islam semata-mata mengharapkan harta, namun aku masuk Islam karena aku memang menginginkan Islam”. Dan aku pun (setelah itu) bersama Rasulullah ﷺ, lalu beliau bersabda : “Wahai ‘Amru, sebaik-baik harta yang shalih adalah untuk seseorang yang shaalih”[Diriwayatkan oleh Ahmad 4/197; sanadnya shahih].

Namun lebih baik untuk ditinggalkan. Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah ketika ditanya : “Apakah berbicara ketika wudlu makruh?”. Beliau rahimahullah menjawab:

ليس بمكروه؛ الكلام في أثناء الوضوء ليس بمكروه، لكن في الحقيقة أنه يشغل المتوضئ؛ لأن المتوضئ ينبغي له عند غسل وجهه أن يستحضر أنه يمتثل إلى أمر الله، وعند غسل يديه ومسح رأسه وغسل رجليه يستحضر هذه النية، فإذا كلمه أحد وتكلم معه انقطع هذا الاستحضار، وربما يشوش عليه أيضاً، وربما يحدث له الوسواس بسببه، فالأولى أن لا يتكلم حتى ينتهي من الوضوء، لكن لو تكلم فلا شيء عليه

“Tidak makruh. Berbicara ketika wudhu tidaklah makruh. Akan tetapi pada hakekatnya, perbuatan tersebut menyibukkan bagi orang yang berwudlu, karena orang yang berwudlu seharusnya ketika membasuh wajahnya untuk menghadirkan hatinya bahwa ia lakukannya karena mentaati perintah Allah ta’ala. Begitu juga ketika membasuh kedua tangannya, mengusap kepalanya, dan membasuh kedua kakinya. Hendaknya ia menghadirkan niat ini. Seandainya ada seseorang yang berbicara dengannya dan ia berbicara kepadanya, terputuslah keadaan ini (menghadirkan hati) dan kadang ia juga akan terganggu dan merasa was-was dikarenakannya. Maka lebih utama agar tidak berbicara hingga ia selesai wudlu. Akan tetapi seandainya ia berbicara, maka tidak mengapa” [sumber : http://binothaimeen.net/content/12484].[3]

Sebenarnya tidak masalah apabila Ustadz Adi Hidayat mengatakan makruh atau tidak makruh, karena dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Hanya saja, yang disoroti di sini adalah cara pengambilan dalil beliau yang tidak merujuk pada pendapat ulama dalam memahami dalil.

Mungkin ini saja yang dapat saya tulis dari beberapa rangkaian pembahasan tentang materi Ustadz Adi Hidayat. Point penting di sini jika kita melihat benang kritikan yang dialamatkan kepada beliau adalah cara penafsiran dalil yang beliau lakukan cenderung bebas. Agak miskin kita mendengar nukilan para ulama dari materi yang beliau sampaikan – meski kata ‘ulama’ sendiri sering beliau katakan - . Ada baiknya ke depan, materi pembacaan kitab dan penukilan letterlijk perkataan ulama ketika mentafsirkan ayat dan mensyarah hadits lebih diperkaya. Insya Allah, itu sangat bermanfaat bagi jama’ah.

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[Cerkiis.blogspot.com, Sumber: Penulis Ustadz Abul Jauzaa’ – 11071438/08042017].

Footnote :
[1] Dalam sanad riwayat ini ada Khaalid bin Abi Bakr, yang dikatakan Ibnu Hajar : “Padanya ada kelemahan”. Namun dalam riwayat ini ia adalah si pemilik cerita yang menghapal apa yang ia lihat, sehingga riwayat tersebut shahih. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[2] Versi website dapat dibaca di :http://www.alukah.net/web/dbian/0/26271/
[3] Pembahasan masalah ini dapat dibaca di :http://www.alukah.net/sharia/0/30068/.