Kamis, 26 Desember 2019
Sebutir Gula yang Lebih Manis dari Ucapan Terima Kasih ...
Oleh : Syaikhah Sukainah binti Muhammad Nashir ad-Din al-Albaniyah –hafizhahallah–
Ucapan jazakallahu khairan …
Dialah Amal Shalih yang Kelak Diucapkan oleh Amal Shalih …
Dia, di sisi orang yang mengucapkannya merupakan ibadah. (Tiada lain) lantaran dia adalah doa. Sementara (kata Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda), “Doa adalah ibadah.” –Shahih Sunan Abu Dawud (1329).
Adapun di sisi orang yang menerimanya, sungguh dia merupakan kalimat yang baik, kalimat yang mengguratkan lengkung senyum dan membahagiakan kalbu … sebutir gula yang lebih manis dari kalimat, “Syukran (terima kasih),” dan lebih berfaidah daripada ucapan, “Maaf, kami telah merepotkanmu.”
Sebuah sandaran yang kukuh bagi seseorang untuk mengutarakan kepada sahabatnya tentang ketidakmampuannya membalas kebaikan yang diterimanya (melebihi ucapan), “Aku tak mampu membalas kebaikanmu.”
Dia merupakan amal shalih karena dia merupakan Sunnah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, baik berupa sunnah qauliyah (ucapan), sunnah fi’liyah (perbuatan), maupun sunnah taqririyah (persetujuan) …
Dia merupakan Sunnah al-Qauliyah berdasarkan sabda beliau –shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam– (berikut):
Dari Usamah bin Zaid, dia berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam– bersabda:
Siapa yang menerima suatu kebaikan (dari seseorang), hendaklah dia mengucapkan kepada si pelaku kebaikan, “Jazakallahu khairan,” maka dia telah benar-benar menyampaikan rasa terima kasihnya. (HR. at-Tirmidzi; disahihkan oleh ayahku –rahimahumallah– di kitab Shahih at-Targhib wa at-Tarhib 969).
Dijelaskan di kitab al-Faidh al-Qadir (6/172):, “Faqad ablagha fi tsana-i (maka dia telah benar-benar menyampaikan rasa terima kasihnya,” maksudnya sebagai pengakuan (atau untuk memberitahukan) tentang kekurangan dirinya dan ketidaksanggupannya dalam membalas kebaikan sehingga dia menyerahkan urusan pembalasannya kepada Allah agar Allah memberikan balasan yang sempurna kepada si pelaku kebaikan.
Al-‘Allamah al-‘Utsaimin –rahimahullah– berkata di kitab Syarh Riyadh ash-Shalihin, “Yang demikian itu, karena jika Allah ta’ala memberikan balasan yang baik, maka hal itu merupakan kebahagiaan baginya di dunia dan akhirat.”
Dia merupakan Sunnah al-Fi’liyah karena telah kukuh dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam– bahwasanya beliau pun mengucapkannya sebagaimana terdapat riwayatnya di kitab Shahih Ibn Hibban dan selainnya. (Adapun berikut ini merupakan penukilan) dari kitab Shahihah ayahku –rahimahullah– dengan nomor hadits (3096), berupa riwayat dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
Usaid bin al-Hudhair an-Naqib al-Asyhali mendatangi Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia berbicara tentang satu keluarga dari kalangan Bani Zhafar yang pada umumnya adalah perempuan. Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun memberi mereka bagian dari apa yang memang beliau bagi-bagikan kepada orang-orang. Lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, “Kau membiarkan kami, wahai Usaid. Sampai-sampai tiada lagi yang tersisa pada kami. Jika kau mendengar ada makanan yang datang kepada kami, datangilah aku dan ingatkan aku akan keluarga itu atau ingatkanlah aku akan hal itu.” Tak lama kemudian -dengan kehendak Allah, didatangkanlah makanan dari Khaibar kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berupa gandum dan tamr (kurma), lalu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun membagi-bagikannya kepada orang-orang. Kemudian beliau membagikannya kepada kaum al-Anshar, maka makanan itu pun semakin melimpah saja. Kemudian beliau membagikannya kepada keluarga (Bani Zhafar) itu, maka semakin melimpah pulalah makanan itu. Maka Usaid bin al-Hudhair berkata kepada beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebagai tanda terima kasih, “Jazakallahu ay Rasulallahu ath-yab al-jaza’ –atau- khairan.” (‘Ashim, perawi hadits, ragu-ragu antara ath-yab al-jaza’ ataukah khairan). Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun menbalas, “Wa antum ma’syar al-Anshar! Fa jazakumullah khairan –atau- ath-yab al-jaza’. Sesungguhnya kalian, sejauh yang kuketahui, adalah orang-orang yang senantiasa menjaga kehormatan lagi penyabar. Akan kalian lihat sepeninggalku nanti sikap mementingkan diri sendiri dalam hal pembagian dan perintah. Maka senantiasalah kalian bersikap sabar hingga (tibanya waktu pertemuan) denganku di telaga!”
● Faidah dari hadits ini :
Bahwa yang merupakan Sunnah adalah membalas balik ucapan itu dengan mengatakan, “Wa anta fa jazakallahu khairan.”
Dia merupakan Sunnah at-Taqririyah berdasarkan persetujuan beliau –‘alaihi ash-shalah wa as-salam– terhadap Usaid bin al-Hudhair –radhiyallahu ‘anhu– tatkala Usaid mengucapkan kalimat tersebut kepada beliau.
Adapun keadaan para Salaf yang melaksanakan Sunnah ini, maka banyak sekali atsar yang menjelaskannya, di antaranya sebagai berikut:
Dari Ibn ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma– dia berkata:
Aku menyaksikan hari ketika ayahku ditikam (yakni ditikam oleh Abu Lu’lu-ah al-Majusi –pent). Orang-orang pada memuji ayahku seraya mengucapkan, “Jazakallahu khairan.” –atsar ini diriwayatkan oleh Imam Muslim di kitab Shahih-nya (1823)
Dan betapa manisnya kalimat tersebut kala diucapkan oleh seorang ibu kepada putranya …
Imam al-Bukhari –rahimahullah– meriwayatkan di kitab al-Adab al-Mufrad dengan sanad dari Abu Murrah maula Ummu Hani’ ibnati Abu Thalib, bahwasanya dia berkendara bersama Abu Hurairah ke kampung halaman Abu Hurairah di al-‘Aqiq. Setibanya di sana, Abu Hurairah berseru seraya meninggikan suaranya, “’Alaiki as-salam wa rahmatullah wa barakatuh, wahai ibu.” Ibunya menjawab, “Wa ‘alaika as-salam wa rahmatullah wa barakatuh.” Abu Hurairah berkata, “Semoga Allah menyayangimu, wahai ibu. Kau telah merawatku dari semenjak aku kecil.” Ibunya menjawab, “Wahai anakku, wa anta fa jazakallahu khairan. Semoga Allah meridaimu sebagaimana kau telah berbuat baik kepadaku pada masa dewasamu.”
Ayahku (Syaikh al-Albani) –rahimahullah– berkata, “Sanadnya hasan.” –Shahih al-Adab al-Mufrad (11)
● Faidah :
Apakah kau heran dengan seorang ibu yang disayangi lalu menambahkan kasih sayang? Maka lihatlah akan kebaktian anaknya dalam memuliakannya, lalu kebaktian itu terbalas penuh dengan, “Jazakallahu khairan.”
Semoga Allah menjaga ibuku, semoga Allah memberikan balasan kepada ibuku dengan kebaikan …
Ucapan yang merupakan amal shalih itu akan diucapkan pula oleh amal shalih, dan itu akan terjadi di dalam kubur, tabungan amal, berdasarkan hadits panjang yang diriwayatkan oleh al-Bara’ bin ‘Azib –radhiyallahu ‘anhu. Salah satu riwayatnya telah disebutkan oleh ayahku –rahimahullah– di kitab Ahkam al-Jana-iz (158-159). Berikut ini riwayat yang dinukil dari kitab Musnad al-Imam Ahmad (4/297), bahwa setelah seorang hamba yang Mu’min diuji di dalam kuburnya dan diberi keteguhan dalam menjawabnya, dia pun didatangi oleh seseorang yang bagus rupanya, wangi aromanya, dan indah pakaiannya seraya mengatakan kepadanya, “Bergembiralah dengan kemuliaan dari Allah dan nikmat yang kekal.” Hamba yang mukmin itu berkata, “Kamu juga, semoga Allah menggembirakanmu dengan kebaikan. Siapakah kau ini?” Orang yang datang itu menjawab, “Aku adalah amal shalih-mu. Dirimu itu, demi Allah, senantiasa bersegera menuju ketaatan kepada Allah dan menahan diri dari bermaksiat kepada Allah, fa jazakallahu khairan.” Kemudian dibukakanlah baginya pintu surga dan pintu neraka, lalu dikatakan kepadanya, “Inilah tempat untukmu seandainya kamu berbuat maksiat kepada Allah, Allah menggantikan tempat itu dengan tempat ini (surga).” Tatkala hamba Mu’min itu melihat apa yang terdapat di surga, dia pun berkata, “Wahai Rabb-ku, segerakanlah hari kiamat agar aku dapat kembali berkumpul dengan keluarga dan hartaku.” Maka dikatakan kepadanya, “Tenanglah ….”
[Cerkiis.blogspot.com, Alih bahasa oleh: Hendra Wibawa]