Definisi Iman secara Bahasa
Iman secara bahasa berarti at-tashdiiq (pembenaran), sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya/membenarkan kepada kami” [QS. Yuusuf : 17].
Dikarenakan ia merupakan lafadh syar’iy, maka tidak cukup hanya diartikan dari segi bahasa saja, akan tetapi harus dikembalikan pada pengertian nash-nash syar’iy. Maka, kita dapati Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan beberapa penjelasan penting tentang perbedaan antara tashdiiq dan iman. Beliau rahimahullah berkata :
أنه ليس مرادفاً للفظ التصديق في المعنى، فإن كل مخبر عن مشاهدة أو غيب يقال له في اللغة: صدقت، كما يقال: كذبت. فمن قال: السماء فوقنا، قيل له: صدق، كما يقال: كذب، وأما لفظ الإيمان فلا يستعمل إلا في الخبر عن غائب، لم يوجد في الكلام أن من أخبر عن مشاهدة، كقوله: طلعت الشمس، وغربت، أنه يقال: آمناه. كما يقال: صدقناه؛ ........... فإن الإيمان مشتق من الأمن. فإنما يستعمل في خبر يؤتمن عليه المخبر؛ كالأمر الغائب الذي يؤتمن عليه المخبر؛ ولهذا لم يوجد قط في القرآن وغيره لفظ [آمن له]، إلا في هذا النوع؛
“Bahwasannya iman itu tidak bersinonim dengan at-tashdiiq dalam makna. Karena setiap orang menyampaikan khabar penglihatan langsung ataupun tidak langsung (ghaib), dapat dikatakan kepadanya secara bahasa : ‘shadaqta’ (engkau benar), sebagaimana dapat juga dikatakan : ‘kadzabta (engkau dusta). Barangsiapa yang mengatakan : ‘langit itu di atas kami’, maka dapat dikatakan kepadanya : ‘shadaqa’ (ia benar), sebagaimana juga dapat dikatakan : ‘kadzaba’ (ia dusta/tidak benar). Adapun lafadh iman tidaklah digunakan kecuali dalam penerimaan khabar dari yang ghaib (tidak terlihat secara tidak langsung). Tidak didapatkan dalam pembicaraan ada orang yang menyampaikan khabar dengan penglihatannya langsung : ‘matahari telah terbit dan tenggelam’; kemudian dikatakan : ‘aamannaahu’ sebagaimana dapat dikatakan : shadaqnaahu’….. Sesungguhnya kata iman berasal dari kata al-amnu. Kata tersebut dipergunakan dalam khabar yang dipercayai oleh orang yang meyampaikan khabar, seperti permasalahan ghaib. Oleh karenanya, tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan yang lainnya lafadh aamana lahu (aku mempercayainya), kecuali dalam pengertian ini” [Al-Iimaan oleh Ibnu Taimiyyah, hal. 276-277. Lihat juga Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/126 dan halaman selanjutnya].
Beliau rahimahullah juga berkata :
أن لفظ الإيمان في اللغة لم يقابل بالتكذيب كلفظ التصديق، فإنه من المعلوم في اللغة أن كل مخبر يقال له: صدقت أو كذبت، ويقال: صدقناه أو كذبناه، ولا يقال لكل مخبر: آمنا له أو كذبناه، ولا يقال: أنت مؤمن له أو مكذب له، بل المعروف في مقابلة الإيمان لفظ الكفر. يقال: هو مؤمن أو كافر.
“Bahwasannya lafadh al-iman secara bahasa tidaklah dipertentangkan dengan lafadh at-takdziib, sebagaimana lafadh at-tashdiiq. Telah diketahui dalam bahasa setiap orang menyampaikan khabar dapat dikatakan kepadanya : shadaqta (engkau benar) ataupun kadzabta (engkau dusta). Oleh karenannya, dapat pula dikatakan : shadaqnaahu (kami mempercayainya) atau kadzabnaahu (kami mendustakannya). Namun tidak dikatakan kepada setiap orang yang menyampaikan khabar : aamannaa lahu (kami beriman kepadanya) atau kadzabnaahu (kami mendustakannya). Tidak pula dikatakan : anta mu’minun lahu (engkau mengimaninya) atau anta mukadzdzibun lahu (engkau mendustakannya). Namun yang diketahui sebagai kebalikan al-imaan adalah lafadh al-kufr (kafir), sehingga (yang seharusnya) dikatakan : huwa mu’minun au kufrun (ia orang yang beriman atau kafir)” [idem].
Definisi Iman Secara Istilah Syar’iy
1. Al-Imaam Ismaa’iil bin Muhammad At-Taimiy rahimahullah berkata :
الإيمان في الشرع عبارة عن جميع الطاعات الباطنة والظاهرة
“Iman dalam pengertian syar’iy adalah satu perkataan yang mencakup makna semua ketaatan lahir dan batin” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 1/403].
An-Nawawiy menukil perkataannya :
الإيمان في لسان الشرع هو التصديق بالقلب والعمل بالأركان
“Iman dalam istilah syar’iy adalah pembenaran dengan hati dan perbuatan dengan anggota tubuh” [Syarh Shahih Muslim, 1/146].
2. Imaam Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
أجمع أهل الفقه والحديث على أن الإيمان قول وعمل، ولا عمل إلا بنية
“Para ahli fiqh dan hadits telah sepakat bahwasannya iman itu perkataan dan perbuatan. Dan tidaklah ada perbuatan kecuali dengan niat” [At-Tamhiid, 9/238].
3. Al-Imaam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
حقيقة الإيمان مركبة من قول وعمل. والقول قسمان : قول القلب، وهو الاعتقاد، وقول اللسان، وهو التكلّم بكلمة الإسلام. والعمل قسمان : عمل القلب، وهو نيته وإخلاصه، وعمل الجوارح. فإذا زالت هذه الأربعة، زال الإيمان بكماله، وإذا زال تصديق القلب، لم تنفع بقية الأجزاء
“Hakekat iman terdiri dari perkataan dan perbuatan. Perkataan ada dua : perkataan hati, yaitu i’tiqaad; dan perkataan lisan, yaitu perkataan tentang kalimat Islam (mengikrarkan syahadat – Abul-Jauzaa’). Perbuatan juga ada dua : perbuatan hati, yaitu niat dan keikhlasannya; dan perbuatan anggota badan. Apabila hilang keempat hal tersebut, akan hilang iman dengan kesempurnaannya. Dan apabila hilang pembenaran (tashdiiq) dalam hati, tidak akan bermanfaat tiga hal yang lainnya” [Ash-Shalaah wa Hukmu Taarikihaa, hal. 35].
Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan. Yang mereka maksudkan dengan perkataan adalah perkataan lisan dengan adanya pengikraran, dan perkataan hati dengan i’tiqaad. Adapun yang mereka maksudkan dengan perbuatan adalah perbuatan hati yaitu niat dan ikhlash, serta perbuatan anggota tubuh dengan melakukan berbagai kewajiban dan meninggalkan berbagai keharaman.
Jumhur Ahlus-Sunnah menyepakati hal ini dimana mereka mendasarinya dengan banyak dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Imaam Abu ‘Ubaid Al-Qaasim bin Sallaam dalam kitab Al-Iimaan berkata :
أن أهل العلم والعناية بالدين افترقوا في هذا الأمر فرقتين: فقالت إحداهما: الإيمان بالإخلاص لله بالقلوب وشهادة الألسنة وعمل الجوارح: وقالت الفرقة الأخرى بل الإيمان بالقلوب والألسنة، فأما الأعمال فإنما هي تقوى وبر، وليس من الإيمان.
وإذا نظرنا في اختلاف الطائفتين، فوجدنا الكتاب والسنة يصدقان الطائفة التي جعلت الإيمان بالنية والقول والعمل جميعا وينفيان ما قالت الأخرى.
“Bahwasannya para ulama dan orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap agama dalam permasalahan ini terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok di antara mereka berkata : Iman itu adalah ikhlash kepada Allah dengan hati, syahadat yang diucapkan oleh lisan, dan perbuatan dengan anggota badan. Kelompok kedua berkata : Iman itu adalah dengan hati dan lisan saja. Adapun perbuatan hanyalah ketaqwaan dan kebaikan, bukan termasuk bagian dari iman.
Dan jika kita memperhatikan perbedaan antara dua kelompok tersebut, kita akan mendapati Al-Qur’an dan As-Sunnah membenarkan kelompok (pertama) yang menjadikan iman dengan adanya niat, perkataan, dan perbuatan; yang bersamaan dengan itu menafikkan (kebenaran) apa yang dikatakan kelompok kedua” [Al-Iimaan, hal. 53].
Di antara dalil dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memasukkan perbuatan dalam katagori iman adalah firman-Nya ta’ala :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (2) الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka” [QS. Al-Anfaal : 2-3].
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (15)
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” [QS. Al-Hujuraat : 15].
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَى أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ
“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya” [QS. An-Nuur : 62].
Allah ta’ala menjelaskan bahwa yang tertera dalam ayat-ayat di atas termasuk hal-hal yang menjadikan seseorang disebut mukmin dan mukminah. Demikianlah Allah ta’ala telah menjadikan perbuatan termasuk bagian dari iman.
Tentang firman Allah ta’ala :
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu” [QS. Al-Baqarah : 143].
maka Al-Imaam Al-Bukhaariy rahimahullah berkata dalam Shahih-nya :
وإنما عنى به الصلاة التي استقبلوا بها بيت المقدس
“Hanyalah yang dimaksud dengannya adalah shalat yang mereka lakukan menghadap Baitul-Maqdis” [Shahih Al-Bukhaariy, Kitaabul-Iimaan, Baab Ash-Shalaah minal-Iimaan, 1/95. Lihat pula Al-Iimaan oleh Ibnu Mandah 2/327].
Adapun dalil-dalil dari hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa perbuatan termasuk bagian dari iman, diantaranya sebagai berikut :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الإيمان بضع وسبعون شعبة، أفضلها قول لا إله إلا الله، وأدناها إماطة الذى عن الطريق، والحياء شعبة من الإيمان
“Iman itu lebih dari tujuhpuluh cabang. Yang paling utama/tinggi adalah perkataan Laa ilaha illallaah (tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Malu termasuk bagian dari iman” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Kitaabul-Iimaan, Baab Umuuril-Iimaan, 1/51 no. 9; dan Muslim dalam Kitaabul-Iimaan, Baab ‘Adadi Syu’abil-Iimaan, 1/63 no. 35].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda saat mengutus ‘Abdul-Qais :
....آمركم بأربع وأنهاكم عن أربع : الإيمان - ثم فسّره لهم - شهادة أن لا إله إلا الله، وأن محمدا رسول الله، وإقامة الصلاة وإيتاء الزكاة، وأن تؤدوا خمس ما غنمتم....
“Aku memerintahkan kalian dengan empat hal dan melarang kalian dari empat hal : iman itu – kemudian beliau menjelaskannya kepada mereka – syahadat bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak di sembah melainkan Allah dan Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, mengeluarkan seperlima dan harta ghanimah kalian…” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Kitaabul-Maghaaziy, Baab Wafd ‘Abdil-Qais, 8/84 no. 4368; dan Muslim dalam Kitaabul-Iimaan, Baab Al-Amri bil-Iimaan billaahi ta’ala, 1/48 no. 18].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
حسن العهد من الإيمان
“Baiknya perjanjian termasuk iman” [Al-Iimaan oleh Abu ‘Ubaid, hal. 63; dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy].
Dan dalil-dalil yang lain menjadikan perbuatan termasuk bagian dari iman. Oleh karena itu, iman menuntut adanya perkataan dan perbuatan. Iman tidak cukup hanya dengan keberadaan satu di antara keduanya tanpa yang lain. Karena kata iman hanyalah ada pada orang yang membenarkan seluruh syari’at yang Allah turunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dengan niat, iqraar (pengakuan), dan perbuatan. Orang yang membenarkan (dalam hati) namun tidak mengikrarkan melalui lisannya dan tidak mengamalkan ketaatan melalui anggota badannya yang ia diperintahkan dengannya, maka tidak berhak dinamakan beriman. Begitu juga, barangsiapa yang mengikrarkan dengan lisannya dan mengerjakan dengan anggota badannya, namun ia tidak membenarkan hal itu dalam hatinya; maka tidak berhak pula dinamakan beriman. Al-Imaam Sahl bin ‘Abdillah At-Tustuuriy rahimahullah ketika ditanya tentang iman, ia berkata :
قول وعمل ونية وسنة، لأن الإيمان إذا كان قولا بلا عمل، فهو كفر. وإذا كان قولا وعملا بلا نية، فهو نفاق. وإذا كان قولا وعملا ونية بلا سنة، فهو بدعة
“(Iman itu adalah) perkataan, perbuatan, niat, dan sunnah. Karena seandainya iman hanyalah perkataan tanpa perbuatan, maka adalah kekufuran. Seandainya ia hanyalah perkataan dan perbuatan namun tanpa niat, maka ia adalah kemunafikan. Dan seandainya ia hanyalah perkataan, perbuatan, dan niat, namun tanpa sunnah, maka ia adalah kebid’ahan” [majmuu’ Al-Fataawaa, 7/171].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[Cerkiis.blogspot.com, abul-jauzaa’ – ngaglik, sleman, diy – dari buku Al-Jahl bi-Masaailil-I’tiqaad wa Hukmuhu oleh ‘Abdurrazzaaq bin Thaahir bin Ahmad Ma’aasy, hal. 41-47, thesis, isyraaf : Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir Al-Barraak, Daarul-Wathan, Cet. 1/1417].