Penjelasan hadits doa Rasulullah bagi para pemimpin
Dari 'Aisyah radhiallahu'anha, Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:
اللَّهُمَّ، مَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَشَقَّ عليهم، فَاشْقُقْ عليه، وَمَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَرَفَقَ بهِمْ، فَارْفُقْ بهِ
"Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku, maka susahkanlah dia. Dan siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia sayang pada umatku, maka sayangilah ia" (HR. Muslim, no. 1828).
Hadits ini sering dijadikan alasan untuk mencela ulil amri, atau bahkan memberontak kepada ulil amri. Sama sekali ini pendalilan yang tidak tepat.
PERTAMA:
Para ulama, seperti Syaikh Shalih Al Fauzan, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili, dan para ulama sunnah lainnya, ketika menjelaskan hadits ini, penjelasan mereka tidak lepas dari:
* Hadits ini adalah ancaman bagi para pemimpin yang zalim kepada rakyatnya
* Hadits ini adalah motivasi bagi para pemimpin untuk menyayangi rakyatnya
* Hadits ini menunjukkan al jaza' min jinsil 'amal, balasan sesuai dengan perbuatan
* Hadits ini menunjukkan sayangnya Rasulullah kepada umatnya
Tidak kami ketahui di antara ulama Ahlussunnah yang memahami dari hadits ini, bahwa maknanya boleh mencela ulil amri atau bahkan sampai jadi dalil bolehnya memberontak.
Intinya, hadits ini adalah salah satu dari dalil wa'id (ancaman) bagi para pemimpin (secara umum) yang tidak menjalankan amanah dengan baik. Dan dalil-dalil ancaman bagi pemimpin itu BANYAK SEKALI. Tidak hanya hadits ini.
KEDUA:
Dalam hadits ini Rasulullah mendoakan pemimpin yang zalim secara umum. Yang disebutkan oleh beliau adalah sifatnya, yaitu yang zalim kepada umat. Bukan nama atau individu secara spesifik.
Maka tidak tepat jika dijadikan dalil untuk mencela seorang ulil amri atau pemimpin secara mu'ayyan (spesifik).
Contoh lain, hadits tentang doa keburukan bagi orang yang disebutkan sifatnya:
Diriwayatkan dalam Shahih Ibnu Khuzaimah (3/192) juga pada kitab Musnad Imam Ahmad (2/246, 254) :
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رقي المنبر فقال : آمين آمين آمين فقيل له : يارسول الله ما كنت تصنع هذا ؟ ! فقال : قال لي جبريل : أرغم الله أنف عبد أو بعد دخل رمضان فلم يغفر له فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد أدرك و الديه أو أحدهما لم يدخله الجنة فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت : آمين قال الأعظمي : إسناده جيد
“Dari Abu Hurairah: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam naik mimbar lalu bersabda: ‘Amin, Amin, Amin’. Para sahabat bertanya: “Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?” Kemudian beliau bersabda, “Baru saja Jibril berkata kepadaku: ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan’, maka kukatakan, ‘Amin’, kemudian Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua)’, maka aku berkata: ‘Amin’. Kemudian Jibril berkata lagi. ‘Allah melaknat seorang hamba yang tidak bershalawat ketika disebut namamu’, maka kukatakan, ‘Amin”.” Al A’zhami berkata: “Sanad hadits ini jayyid”.
[Dihasankan oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (8/142), juga oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Al Qaulul Badi‘ (212), juga oleh Al Albani di Shahih At Targhib (1679)].
Di sini Malaikat Jibril mendoakan keburukan bagi:
* orang yang tidak mendapat ampunan di bulan Ramadhan
* anak yang tidak berbakti kepada orang tua
* orang yang tidak menyebut nama ketika mendengar shalawat
Bukan berarti artinya kita oleh mencela secara spesifik orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut. Apalagi dicela di depan umum, semisal:
"Sesungguhnya Fulan telah durhaka kepada orang tuanya".
"Dasar kau Fulan, ahli maksiat di bulan Ramadhan".
"Dasar laknat kau Fulan, disebut nama Nabi koq tidak shalawat".
Tidak bisa demikian.
Demikian juga hadits-hadits Rasulullah tentang laknat beliau kepada beberapa jenis orang:
* Rasulullah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah
* Rasulullah melaknat pelaku maksiat dan pelaku bid’ah
* Rasulullah melaknat orang yang mencela kedua orang tuanya
* Rasulullah melaknat orang yang mengubah batas tanah
* Rasulullah melaknat orang menyerupai lawan jenis
* Rasulullah melaknat orang yang minum khamr
* Rasulullah melaknat orang yang menyambung rambut
* Rasulullah melaknat orang yang mentato
dll.
Padahal "laknat" itu artinya: mendoakan agar jauh dari rahmat Allah.
Namun Rasulullah menyebutkan dalam hadits-hadits tersebut berupa sifat-sifat secara umum. Sehingga bukan berarti kita boleh mencela orang-orang tersebut secara spesifik. Misal, "dasar kau Fulan, tukang tato", "dasar kau Fulan pemabuk", "saudara-saudara.. Fulan itu bencong, menyerupai lawan jenis..."
KETIGA:
Dalil yang mutasyabih (samar maknanya atau pendalilannya) harus dibawa kepada dalil yang muhkam (jelas maknanya atau pendalilannya). Ada banyak sekali dalil yang dengan jelas dan tegas memerintahkan untuk mendengar dan taat pada ulil amri secara mutlak, baik dia shalih atau fajir, selama bukan dalam maksiat. Diantaranya, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ia bersabda:
من أطاعني فقد أطاع الله ومن يعصني فقد عصى الله ومن يطع الأمير فقد أطاعني ومن يعص الأمير فقد عصاني
“Barang siapa yang mentaati aku sungguh ia telah mentaati Allah, dan barang siapa yang durhaka padaku sungguh ia telah mendurhakai Allah, barang siapa yang taat pada pemimpin sungguh ia telah taat padaku, dan barang siapa yang durhaka pada pemimpin sungguh ia telah durhaka padaku.” (HR. Muslim no. 1835).
Dan banyak sekali dalil-dalil lainnya, yang tidak samar lagi bagi para penuntut ilmu.
Ulama juga IJMA wajibnya mendengar dan patuh kepada ulil amri walaupun fasiq dan zalim. An Nawawi mengatakan:
وأما الخروج عليهم وقتالهم فحرام بإجماع المسلمين وإن كانوا فسقة ظالمين وقد تظاهرت الأحاديث بمعنى ما ذكرته وأجمع أهل السنة على أنه لا ينعزل السلطان بالفسق
“Adapun memberontak kepada ulil amri dan memerangi ulil amri, hukumnya haram berdasarkan ijma ulama. Walaupun ulil amri tersebut fasiq dan zalim. Hadits-hadits yang telah saya sebutkan sangat jelas dan ahlussunnah sudah sepakat tentang tidak bolehnya memberontak kepada penguasa yang fasiq.” (Syarah Shahih Muslim, 12/228).
Maka mengapa dalil-dalil dan ijma yang terang benderang ditinggalkan demi membela pendalilan yang samar? Allahul musta'an.
Semoga Allah memberi taufik.
♻ Ustadz Yulian Purnama