Selasa, 05 November 2019

Bagaimana Kita Bersikap Terhadap Para Wali



BAGAIMANA KITA BERSIKAP TERHADAP PARA WALI

Oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin

Para Wali memiliki tingkat kewalian yang berbeda-beda. Secara garis besar, mereka terbagi menjadi dua golongan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Yaitu; Sâbiqûn Muqarrabûn, atau boleh disingkat Muqarrabûn; orang-orang yang selalu mendekatkan diri kepada Allâh Subhanahu wa Ta’aladengan melaksanakan perkara-perkara sunnah, sesudah melaksanakan perkara-perkara wajib. Dan golongan kedua, Ashâbul Yamîn Muqtashidûn; golongan kanan yang mencukupkan diri dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan perkara-perkara haram tanpa banyak melakukan perkara-perkara sunnah.Hal ini di dasarkan pada banyak nash al-Qurˈân maupun Hadîts.[1]

Intinya, wali Allâh adalah semua orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, seperti yang dikatakan oleh Imam Thahâwi (239-321 H) dan lainnya.[2]

Bagaimana seharusnya seorang Muslim bersikap terhadap mereka? Di bawah ini adalah beberapa hal yang harus di lakukan seorang muslim terhadap mereka:

1. Mencintai, membela, mendoakan, tidak membenci dan tidak memusuhi mereka

Karena orang-orang yang beriman adalah wali-wali Allâh, demikian pula Allâh-pun merupakan wali mereka, maka sebagaimana yang dijelaskan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala, orang-orang yang beriman itu akan saling menyayangi, saling mencintai dan saling membela satu sama lain, sebab Mukmin yang satu merupakan wali dan penolong bagi Mukmin lainnya.

Allâh Azza wa Jalla antara lain berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

Dan orang-orang yang beriman, laki dan perempuan sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. [At-Taubah/9:71]

Juga firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَٰئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allâh, dan orang-orang yang memberikan tempak kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi dan saling membela. [Al-Anfâl/8:72]

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ ﴿٥٥﴾ وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ

Sesungguhnya wali (penolong) kamu hanyalah Allâh, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allâh. Dan barangsiapa yang menjadikan Allâh, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai wali (penolong)nya, maka sesungguhnya golongan pengikut (agama) Allâh itulah yang pasti menang. [Al-Mâˈidah/5:55-56]

Imam Ibnu Abî al-‘Izz al-Hanafi rahimahullah dalam Syarh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyah menjelaskan, “Di dalam semua nash ini terdapat keterangan yang pasti bahwa orang-orang Mukmin saling menyayangi dan saling membela satu sama lain. Mereka semua merupakan wali Allâh, dan Allâh juga wali (penolong) mereka. Allâh Subhanahu wa Ta’alamembela para hamba-Nya yang beriman, Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai Allâh Azza wa Jalla . Allâh Subhanahu wa Ta’alaridha terhadap mereka dan merekapun ridha terhadap Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa memusuhi para wali Allâh, sama artinya dengan menantang Allâh Azza wa Jalla .[3]

Maka setiap Muslim wajib mencintai semua wali Allâh Azza wa Jalla dan tidak boleh memusuhinya. Allâh Subhanahu wa Ta’alaberfirman dalam Hadits Qudsi :

مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالحَرْبِ….الحديث. رواه البخاري

Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku nyatakan perang terhadapnya. HR. Bukhâri[4]

Apabila para wali Allâh adalah orang-orang Mukmin yang bertakwa, maka sesuai dengan kadar keimanan serta ketakwaan seseorang kepada Allâh itulah kadar kewalian (kecintaan)nya terhadap Allâh Azza wa Jalla . Semakin sempurna keimanan serta ketakwaan seorang Mukmin, maka semakin sempurna pula kewaliannya dihadapan Allâh.[5]

Semakin besar keimanan, ketakwaan, ketaatan serta keistiqamahan seseorang dalam menjalankan dînullâh, maka semakin besar pula kecintaan serta pembelaan yang harus diberikan kepadanya. Sebaliknya semakin tipis keimanan dan ketakwaan seseorang, maka semakin tipis pula kecintaan yang harus diberikan kepadanya.

Manusia berbeda-beda tingkat kewaliannya sesuai dengan perbedaan tingkat keimanan dan ketakwaannya. Demikian pula tingkat permusuhannya terhadap Allâh Subhanahu wa Ta’alapun berbeda-beda sesuai dengan tingkat kekufuran dan kemunafikannya.[6]

Satu hal yang perlu dipahami, salah satu pokok di antara keyakinan Ahlu Sunnah wal Jama’ah adalah, bahwa di dalam diri satu pribadi Muslim bisa terdapat unsur keimanan dan unsur kekafiran sekaligus. Atau unsur ketaatan dan unsur kefasikan sekaligus. Hal ini berdasarkan dalil al-Qurˈân, Sunnah serta kesepakatan para Salafus Shalih. Sehingga curahan kecintaan, kasih sayang dan pembelaan kepada seorang Muslim yang demikian kondisinya, harus sesuai dengan unsur keimanan yang ada pada dirinya. Pada saat yang sama, kebencian dan permusuhan, harus diberikan sesuai dengan unsur kekafiran atau kefasikan yang ada pada dirinya.[7]

Jadi kecintaan serta pembelaan kepada Muslim yang banyak melakukan kemaksiatan dan kefasikan, tidak bisa diberikan secara totalitas, tapi hanya sesuai dengan kadar keimanan dan ketaatannya dalam menjalankan dînullâh. Sebaliknya, harus ada unsur sikap berlepas diri, sikap benci dan sikap memusuhi sesuai dengan kadar kefasikan serta kemaksiatannya.

Ini berbeda dengan sikap kepada para wali Allâh Azza wa Jalla yang tinggi kedudukannya, seperti para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , disusul kemudian oleh tâbi’în, tâbi’it tâbi’în dan para Ulama yang sangat sedikit kemaksiatannya dibanding lautan ketaatannya yang sangat banyak. Tentu kecintaan dan pembelaan kepada mereka harus sangat besar sesuai dengan tingkatan-tingkatan keutamaan mereka.

2. Tidak boleh kultus terhadap para wali dan tidak boleh berlebihan menyikapinya

Pada hakikatnya, para wali Allâh yang paling terkemuka adalah para nabi. Di atasnya lagi adalah para rasul-Nya, di atasnya lagi adalah Ulul Azmi, yaitu Nabi Nûh, Nabi Ibrahîm, Nabi Musa, Nabi ‘Îsâ dan Nabi Muhammad Shalawâtullâh wa Salâmuhu ‘Alaihim Ajma’în. Dan yang tertinggi di antara mereka adalah Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, penutup para nabi dan rasul.

Sesudah para nabi dan rasul, wali-wali Allâh terkemuka berikutnya adalah semua Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yang tertinggi dan termulia di antara mereka adalah para khalifah yang empat. Di antara empat khalifah itu yang paling mulia adalah Abu Bakar Radhiyallahu anhu, di susul Umar Radhiyallahu anhu, disusul Utsman Radhiyallahu anhu dan kemudian ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Berikutnya adalah para tâbi’în, tâbi’it tâbi’în dan seterusnya.

Sementara itu, para Sahabat Radhiyallahu anhum sendiri tidak pernah mengkultuskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun mereka sangat mencintai Nabi, sangat menghormati dan sangat mentaatinya. Mereka tahu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang hamba biasa yang tidak boleh dikultuskan hingga seolah-olah sejajar kedudukannya dengan Tuhan. Tetapi merekapun tahu, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang Rasul yang segala titah, sunnah dan ajarannya harus ditaati secara mutlak.

Terkait dengan kedudukan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hamba biasa dan sebagai Rasul, maka Allâh Azza wa Jalla antara lain berfirman:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Katakanlah (hai Muhammad) : Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diberikan wahyu kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Sesembahan kamu adalah Sesembahan yang Esa”. Maka barangsiapa yang mengharap berjumpa dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah ia mempersekutukan dengan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-nya. [Al-Kahfi/18:110]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam antara lain juga bersabda:

لاَ تُطْرُونِي، كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ، وَرَسُولُهُ.رواه البخاري

Janganlah kamu sekalian melampaui batas dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani melampaui batas dalam memuji (‘Îsâ) bin Maryam. Aku hanyalah hamba Allâh. Maka katakanlah (tentang aku) : Hamba Allâh dan Rasûl-Nya. [HR. Al-Bukhâri][8]

Hadits yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba Allâh dan Rasûl-Nya sangat banyak, baik dalam Shahîh Bukhâri, Muslim, maupun lainnya. Dan semua sabda serta pernyataan beliau itu merupakan wujud pelaksanaan nyata dari perintah Allâh di dalam al-Qurˈân kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Karena itulah semua Sahabat g tidak pernah mengkultuskan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari kedudukannya sebagai manusia biasa, mereka tidak pernah ngalap berkah di kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di saat yang sama, seluruh Sahabat g sangat menghormati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sangat mentaati segala titah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebab mereka tahu bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rasul Allâh yang segala titahnya harus ditaati secara mutlak, dan semua ajarannya harus diikuti. Seluruh Ulama sepakat akan hal ini.

Apabila demikianlah kedudukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagai seorang Rasul dan sebagai manusia yang kedudukannya tidak akan menyamai Tuhan, maka apatah lagi para wali yang kedudukannya di bawah para nabi dan rasul. Para wali yang bukan para nabi, bukan para rasul, juga bukan para Sahabat Nabi. Maka tidak boleh seorangpun berlebihan di dalam menyikapi mereka, tetapi juga tidak boleh semena-mena. Yang sedang-sedang saja sesuai dengan petunjuk nash, baik al-Qurˈân maupun Sunnah. Mereka wajib dicintai dan dibela sesuai dengan keimanan dan ketaqwaannya, namun tidak dikultuskan, baik yang masih hidup apalagi yang telah meninggal dunia.

Apabila seorang Mukmin yang bertakwa meninggal dunia, maka kewajiban Muslim adalah mendoakannya. Karena kewajiban seorang Muslim adalah mendoakan Muslim lainnya yang telah meninggal dunia, baik doa umum, tanpa menyebutkan nama, maupun doa khusus dengan menyebutkan nama bagi orang-orang dekat yang dikenalnya, termasuk kedua orang tuanya. Mendoakan supaya yang telah meninggal dunia senantiasa mendapat kasih sayang dan ampunan Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

Ketika seseorang melakukan ziarah kubur, itu dilakukannya karena syari’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbolehkannya, di antara kepentingannya adalah untuk mengingat akhirat.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا. رواه مسلم وغيره

Aku (pernah) melarang kalian ziarah kubur, maka (sekarang silahkan) ziarahilah kuburan. (HR. Muslim dan lainnya)[9]

Dalam riwayat lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي، فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ. رواه مسلم

Aku memohon izin kepada Rabbku untuk memohonkan ampun bagi ibundaku, tetapi tidak diizinkan bagiku. Dan aku memohon izin kepada-Nya untuk menziarahi kuburannya, maka aku diizinkannya. Mak (silahkanlah) ziarahlah kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan akan akhirat. [HR. Muslim][10]

Jadi, ziarah kubur itu bukan untuk ngalap berkah di sana, atau meminta-minta kepada orang yang telah meninggal dunia, tapi adalah untuk keperluan yang telah dijelaskan di atas, dan

untuk mendoakan kesalamatan bagi muslim yang telah meninggal dunia itu dengan mengucapkan:

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَإِنَّا، إِنْ شَاءَ اللهُ لَلَاحِقُونَ، أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ. رواه مسلم وغيره

Assalamu’alaikum wahai para penghuni kubur yang Mukmin dan muslim. Sesungguhnya kami, insyâˈAllâh akan menyusul, aku memohon keselamatan kepada Allâh untuk kami dan untuk kalian. [HR. Muslim dan lainnya][11]

Dalam hal ziarah kubur ini, juga tidak boleh syaddur rihâl (menyengaja pergi ke tempat yang jauh karena tempat itu dianggap sebagai tempat peribadahan yang memiliki keutamaan lebih). Syaddur rihâl diperbolehkan hanya pada tiga Masjid; Masjidil Harâm di Mekah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjid al-Aqsha di Palestina. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى. رواه البخاري

Janganlah kalian menyengaja melakukan perjalanan jauh (untuk mencari tempat yang dianggap memiliki keutamaan khusus), kecuali ke tiga masjid; Masjidil Harâm, Masjidur Rasûl n dan Masjidil Aqshâ. [HR. Al-Bukhâri][12]

Demikianlah antara lain bagaimana kita bersikap kepada para wali Allâh Azza wa Jalla .

Wallâhu Waliyyu at-Taufîq. Wallâhu a’lam.

Daftar marâji’
●   Shahîh Bukhâri dalam Fathu al-Bâri, Mathba’ah Jâmi’atul Imâm, Riyadh
●   Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Khalîl Maˈmûn Syîhâ, Dâr al-Ma’rifah
●   Al-Furqân Baina Auliyâˈi ar-Rahmân wa Auliyâˈi asy-Syaithân, Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah, tahqîq: Dr Abdur Rahmân bin Abdul Karîm al-Yahyâ, Dâr Thuwaiq lin Nasyr, Riyadh, cet. I 1414 H.
●   Syarhu al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyah, Ibnu Abî al-‘Izz al-Hanafi, tahqîq : Jamâ’ah min al-‘Ulâmâˈ. Takhrîj : Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, al-Maktab al-Islâmi (yang dicetak Wizârah al-Auqâf wa asy-Syuˈûn al-Islâmiyah, Qatar) 1430 H/2009 M.
●   Taqrîb at-Tadmuriyah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah , disusun dan ditakhrij oleh : Sayyid bin ‘Abbâs bin ‘Ali al-Julaimi, Maktabah as-Sunnah, Kairo, cet. I, 1413 H/1992 M.

[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

Footnote

[1] Al-Furqân Baina Auliyâˈi ar-Rahmân wa Auliyâˈi asy-Syaithân, Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah, tahqîq: Dr Abdur Rahmân bin Abdul Karîm al-Yahyâ, Dâr Thuwaiq lin Nasyr, Riyadh, cet. I 1414 H, hal 92 – 100.

[2] Syarhu al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyah, Ibnu Abî al-‘Izz al-Hanafi, tahqîq : Jamâ’ah min al-‘Ulâmâˈ. Takhrîj : Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, al-Maktab al-Islâmi (yang dicetak Wizârah al-Auqâf wa asy-Syuˈûn al-Islâmiyah, Qatar) 1430 H/2009 M., hal. 357.

[3] Syarhu al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyah, op.cit. hal.358

[4] Shahîh Bukhâri dalam Fathu al-Bâri, XI/340 Bâb: 38 (Bâb at-Tawâdhu’) Kitâb ar-Riqâq, no.6502

[5] Al-Furqân Baina Auliyâˈi ar-Rahmân wa Auliyâˈi asy-Syaithân, op.cit. 90

[6] Rujukan yang sama hal. 90

[7] Lihat Taqrîb at-Tadmuriyah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah, disusun dan ditakhrij oleh : Sayyid bin ‘Abbâs bin ‘Ali al-Julaimi, Maktabah as-Sunnah, Kairo, cet. I, 1413 H/1992 M, hal. 128.

[8] Shahîh Bukhâri dalam Fathu al-Bâri, VI/478, Bâb: 48, Kitâb Ahâdîts al-Anbiyâˈ, no. 3445

[9] Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Khalîl Maˈmûn Syîhâ, VII/50, Kitâb al-Janâˈiz, Bab 36, no.2257.

[10] Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawi, op.cit VII/49, no. 2256

[11] Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawi, op.cit VII/48-49, Bab 35, no. 2254

[12] Shahîh Bukhâri dalam Fathu al-Bâri, III/63, no. 1189.