Sabtu, 09 November 2019

Bagaimana Dengan Hadits-Hadits Yang Tidak Terdapat Dalam Shahih Al-Bukhâri Dan Shahih Muslim?


BAGAIMANA DENGAN HADITS-HADITS YANG TIDAK TERDAPAT DALAM SHAHIH AL-BUKHARI DAN SHAHIH MUSLIM

Pertanyaan :
Assalaamulaikum. Saya mau bertanya kepada tim redaksi majalah As-Sunnah tentang perawi al-Bukhâri dan Muslim. Apakah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh selain imam al-Bukhâri dan imam Muslim seperti imam an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ahmad, Abu Daud dan oleh imam-imam yang lainnya tidak didapatkan oleh kedua perawi di atas ataukah hadits-hadits itu banyak cacatnya sehingga imam al-Bukhari dan imam Muslim tidak memasukkannya ke dalam periwayatan mereka? Mohon penjesan dari tim majalah As-Sunnah, majalah yang sangat cintai ini.

Jawaban :
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Semoga Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberkahi Bapak/Ibu sehingga makin mencintai hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam.

Para Ulama ahlussunnah sepakat bahwa kitab Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim (yang dikenal dengan Shahîhain) adalah dua kitab hadits yang paling shahih.

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para Ulama –rahimahumullah– sepakat bahwa kitab yang paling shahih (benar) setelah al-Qur’an adalah ash–Shahîhain yaitu Shahîh al-Bukhari dan Shahîh Muslim, dan umat telah menerima keduanya.”[1]

Perlu diketahui juga bahwa hadits-hadits dalam kitab Shahîhain bukan sembarang hadits shahih, tapi hadits shahih pilihan yang diseleksi dari ribuan hadits shahih. Dalam kitab Shahîhain, al-Bukhâri dan Muslim (Syaikhain) memberlakukan syarat yang sangat ketat, yang tidak mereka syaratkan dalam kitab-kitab mereka yang lain.

Hadits-hadits ini mereka pilih dari ratusan ribu hadits, diiringi isti’anah (memohon pertolongan) kepada Allâh Azza wa Jalla, kemudian konsultasi dengan para pakar sekaliber ‘Ali bin al-Madini rahimahullah dan Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah. Jadi tidak semua hadits shahih dikumpulkan dalam kitab Shahîhain. Masih ada ribuan hadits shahih lain yang tidak dimasukkan dalam dua kitab ini.

Namun tidak berarti bahwa Shahîhain (dua kitab Shahih itu) bersih dari kekurangan sama sekali. Tidak semua hadits ini disepakati keshahihannya. Sebagian kecil haditsnya dipersilisihkan keshahihannya, bahkan oleh sebagian Ulama hadits pada masa imam al-Bukhâri dan imam Muslim masih hidup. Oleh karenanya Ibnu Shalah rahimahullah, yang menukil ijma’ atas penerimaan dua kitab ini, tidak menggeneralisir hukum ini untuk seluruh isi kitab. Beliau rahimahullah mengatakan, “Kecuali beberapa tempat yang dikritisi ad-Daraquthni dan yang lain.” [2]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Diantara hadits shahih ada yang para Ulama hadits sepakat menyikapinya dengan menerima dan percaya, seperti sebagian besar hadits al-Bukhâri dan Muslim, karena semua Ulama hadits memastikan shahihnya sebagian besar hadits dua kitab ini.” [3]

Sejak dulu sudah ada beberapa Ulama yang mengkritisi sebagian hadits dalam Shahîhain, maupun kitab Shahîhain secara khusus, diantaranya imam asy-Syâfi’i, imam Ahmad, ad-Daraquthni, Abul Walid al-Baji, Ibnu ‘Abdil Hadi, Abu Mas’ud ad-Dimasyqi, Abu ‘Ali al-Ghassani, dan Ibnu Tamiyyah. Yang paling terkenal dengan kritiknya adalah imam ad-Daraquthni yang mengkritisi 110 hadits dalam Shahîh al-Bukhâri dan 132 hadits dalam Shahîh Muslim.

Banyak juga Ulama hadits yang berusaha menjawab berbagai kritik tersebut. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Dan telah terjawab semuanya atau sebagian besarnya.” Memang tidak semua terjawab dengan baik. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Diantara kritikan tersebut ada yang jawabannya tidak kuat.”[4]

Intinya, sebagian besar hadits dalam Shahîhain disepakati keshahihannya. Sebagian kecil lagi diperselisihkan, tapi minimal hadits tersebut shahih menurut Syaikhain (imam al-Bukhari dan imam Muslim) dan sebagian Ulama hadits.

Mengkritisi sebagian hadits-hadits ini atau menghukuminya dengan dha’if bukanlah perkara baru dan sah-sah saja dilakukan oleh pakarnya, selama didasarkan pada aturan-aturan dalam disiplin ilmu hadits, bukan dengan hawa nafsu. Hal tersebut termasuk masalah ijtihadiyyah yang kita diperbolehkan berbeda pendapat di dalamnya, meskipun barangkali kritik tersebut akan terjawab tuntas seandainya Syaikhain masih hidup.

Jadi Syaikhain menetapkan syarat bahwa hadits-hadits yang mereka himpun hanya hadits-hadits yang shahih saja. Jadi, hadit-hadits yang ada dalam dua kitab Shahih (Shahîhain) tersebut adalah hadits yang shahih dalam pandangan kedua Ulama besar tersebut. Adapun para penyusun kitab as-Sunan (imam Abu Dawud, imam at-Tirmidzi, imam an-Nasa`i dan imam Ibnu Majah) juga Musnad imam Ahmad, mereka tidak menetapkan syarat itu dalam hadits-hadits yang mereka himpun dalam kitab karya mereka. Namun kelima kitab ini adalah kitab hadits dengan kedudukan tertinggi setelah Shahîhain. Sebagian besar hadits yang dikandungnya juga hadits shahih, dan banyak dari hadits-hadits itu adalah hadits yang sama dengan yang diriwayatkan dalam Shahîhain. Adanya sedikit hadits lemah dalam kitab-kitab ini tidak mengurangi kedudukannya. Yang diperlukan adalah memilah mana yang shahih dan mana yang dha’if sebagaimana dilakukan oleh para Ulama seperti syaikh al-Albani rahimahullah. Beliau rahimahullah telah menyelesaikan pemilahan hadits-hadits Sunan yang empat. Semoga Allâh merahmati beliau dan para Ulama’ yang lain.

Wallahu a’lam

[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Muqaddimah Syarah Shahih Muslim 1/14.
[2] Lihat: Fat-hul Bâri 1/505.
[3] Majmû’ Fatâwâ 18/17.
[4] Fat-hul Bâri, 1/505