Sabtu, 02 Desember 2017

Anakmu Tergadai, Sampai Di-akikahi

Anakmu Tergadai, Sampai Di-akikahi

Bismillah…

Ketika bayi sudah berumur tujuh hari, disunahkan bagi kedua orangtuanya untuk menyembelihkan kambing. Untuk anak laki-laki dua kambing, dan anak perempuan cukup satu kambing. Ibadah ini dikenal dengan istilah akikah.

Diantara tujuannya adalah, untuk membebaskan anak dari status tergadaikan.

Dijelaskan dalam sebuah hadis shahih, dari sahabat Samurah bin Jundub radliallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى

“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Disembelih pada hari ketujuh, dicukur gundul rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Ahmad 20722, at-Turmudzi 1605, dan dinilai shahih oleh al-Albani).

Artinya, selama anak itu belum diaqiqahi, maka statusnya masih tergadai. Ketika kita membaca hadis di atas, tentu muncul pertanyaan dalam benak ini, apa gerangan makna anak tergadaikan sampai dia diaqiqahi?

Mari kita simak penjelasan para ulama berikut ini.

Pertama, jika anak itu meninggal sebelum baligh, ia tidak bisa memberikan syafa’at untuk kedua orangtuanya, sampai dia diaqiqahi.

Karena diantara bentuk syafaat adalah, syafaat seorang anak yang meninggal di usia balita, kepada kedua orangtuanya supaya mereka dapat masuk surga.

Seorang Tabi’in yang bernama Abu Hassan radhiyallahu ’anhu, menceritakan obrolannya dengan sahabat Abu Hurairah, “Saya pernah mengabarkan kepada Abu Hurairah, bahwa dua anakku meninggal dunia. Berkenankah anda menyampaikan hadis dari Rasulullah shallallahu alaihi wassalam yang dapat menyenangkan hati kami, berkaitan dengan anak kami yang meninggal?”

“Baik,“ jawab Abu Hurairah.

Beliau melanjutkkan,

«صِغَارُهُمْ دَعَامِيصُ الْجَنَّةِ يَتَلَقَّى أَحَدُهُمْ أَبَاهُ – أَوْ قَالَ أَبَوَيْهِ -، فَيَأْخُذُ بِثَوْبِهِ – أَوْ قَالَ بِيَدِهِ -، كَمَا آخُذُ أَنَا بِصَنِفَةِ ثَوْبِكَ هَذَا، فَلَا يَتَنَاهَى – أَوْ قَالَ فَلَا يَنْتَهِي – حَتَّى يُدْخِلَهُ اللهُ وَأَبَاهُ الْجَنَّةَ»

“Anak-anak kecil (yang meninggal) menjadi kanak-kanak surga, ditemuinya kedua ibu bapaknya, lalu dipegangnya pakaian ibu bapaknya – sebagaimana saya memegang tepi pakaian ini – dan tidak berhenti (memegang pakaian) sampai Allah memasukkannya dan kedua ibu bapaknya kedalam surga.” (HR. Muslim no. 2635).

Keutamaan yang luar biasa ini, tidak akan bisa dicapai kedua orangtua, sampai mereka mengakikahi anaknya.

Imam Al-Khottobi menegaskan,

قال أحمد: هذا في الشفاعة يريد أنه إن لم يعق عنه فمات طفلاً لم يُشفع في والديه

Imam Ahmad menerangkan, ”Makna tergadaikan di sini adalah terhalang dari syafaat. Jika tidak diakikahi, kemudian anak meninggal sebelum baligh, maka orangtua terhalang dari syafaat anak.”

(Lihat : Al-Mifshal fi Ahkam Al-Aqiqah, hal. 30).

Syaikh Abdulqadir Syaibatulhamd menjelaskan,

قيل معناه أنه محبوس عن الشفاعة في والديه لو مات طفلا, الا اذا عق عنه..

Ada ulama yang berpendapat, bahwa makna “anak tergadaikan dengan akikahnya” adalah, ia tidak bisa memberikan syafaat kepada kedua orangtuanya, seandainya anak itu meninggal dunia di usia sebelum baligh. Kecuali jika kedua orangtua mengakikahinya, maka dia dapat memberikan syafaat…”(Fikih Al-Islam Hal. 8).

Kedua, anak yang belum diakikahi, terhalang dari mendapatkan keselamatan mara bahaya kehidupan.

Makna ini dijelaskan oleh Mula Ali Al-Qari rahimahullah,

أنه محبوس سلامته عن الآفات بها

Tergadai dengan akikahnya, maksudnya adalah, anak itu terhalang mendapat keselematan dari mara bahaya sampai dia diakikahi.

(Lihat : Al-Mifshal fi Ahkam Al-Aqiqah, hal. 30).

Ketiga, ungkapan tersebut menunjukkan wajibnya akikah. Karena Nabi sampai mengaitkan status tergadai anak dengan akikah.

Pendapat ini dipegang oleh Mazhab Dhzahiri. Namun, kesimpulan ini dinilai oleh para ulama kurang tepat. Karena hukum akikah adalah sunah muakkadah, bukan wajib.

Dalil yang menguatkan bahwa hukum akikah adalah sunah muakkadah adalah hadis berikut,

مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ ، عَنْ الْغُلامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ ، وَعَنْ الْجَارِيَةِ

“Siapa yang dikaruniai seorang anak, dan dia berkeinginan menyembelih untuknya, maka sembelihlah untuk anak lelaki dua kambing yang sepadan dan untuk anak wanita satu kambing.”

(Dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Abi Dawud).

Ada kata-kata “berkeinginan menyembelih…” menunjukkan akikah bukan suatu keharusan, namun suatu yang dianjurkan.
Keempat, bayi terlahir ke dunia dalam keadaan terkekang oleh kekangan setan. Tali kekang ini tidak akan terlepas, sampai ia diakikahi.

Makna inilah yang dinilai kuat oleh Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah. Beliau menyatakan,

وقد جعل الله سبحانه النسيكة عن الولد سببا لفك رهانه من الشيطان الذي يعلق به من حين خروجه إلى الدنيا وطعن في خاصرته فكانت العقيقة فداء وتخليصا له من حبس الشيطان له وسجنه في أسره ومنعه له من سعيه في مصالح آخرته التي إليها معاده

Allah jadikan meng-akikahi anak sebagai sebab terlepasnya dia dari kekangan setan, yang mengikat bayi sejak terlahir ke dunia. Seorang anak terikat oleh tali kekang itu. Maka aqiqah yang menjadi tebusan untuk membebaskan bayi dari jerat setan tersebut. Tali kekang itu menghalanginya untuk melakukan amalan baik dan usahanya untuk meraih nasib yang baik di akhiratnya, yang menjadi tempat kembalinya. (Tuhfah al-Maudud, hlm. 74)

Demikian beberapa tafsiran para ulama, terkait makna hadis “Anak tergadaikan dengan akikahnya..” Pada intinya, dari beberapa penafsiran ulama di atas dapat disimpulkan bahwa, akikah adalah perkara yang seyogyanya tidak dipandang remeh atau sepele, meski syariat tidak mewajibkan.

Wallahu a’lam.

[Http://Cerkiis.blogspot.com, Ditulis oleh : Ahmad Anshori, Lc. (Alumni PP Hamalatulquran Yogyakarta, alumni Universitas Islam Madinah KSA, fakultas Syariah (S1). Kontributor tetap di muslim.or.id dan konsultasisyariah.com). http://hamalatulquran.com/anakmu-tergadai-sampai-di-akikahi.html]