Jumat, 19 Mei 2017

Hadits Keutamaan Membaca Surat Yasin pada Malam Hari

Hadits Keutamaan Membaca Surat Yasin pada Malam Hari

Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke Blog salah seorang teman dan menemukan pembahasan tentang derajat hadits keutamaan membaca surat Yasin di malam hari [1]

Langsung saja,… hadits yang dimaksud adalah :

أخبرنا محمد بن إسحاق بن إبراهيم مولى ثقيف حدثنا الوليد بن شجاع بن الوليد السكوني حدثنا أبي حدثنا زياد بن خيثمة حدثنا محمد بن جحادة عن الحسن عن جندب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من قرأ يس في ليلة ابتغاء وجه الله غفر له

Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaaq bin Ibraahiim maula Tsaqiif : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Syujaa’ bin Al-Waliid As-Sakuuniy : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Khaitsamah : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Juhaadah, dari Al-Hasan, dari Jundab ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang membaca surat Yaasiin di malam hari dengan mengharap wajah Allah, maka ia akan diampuni”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 2574 dan Al-Mawaarid no. 665.

Para perawi hadits ini semuanya adalah tsiqah, hanya saja Al-Hasan – yaitu Al-Bashriy – membawakannya dengan ‘an’anah, sedangkan ia adalah seorang mudallis.

Untuk menambah faedah, berikut yang disampaikan teman saya – hafidhahullah – dalam Blognya :

Dalam beberapa literatur yang saya baca dapat disimpulkan bahwa Al-Hasan Al-Bashri memang mendengar hadits dari Jundab. Al-Hafizh dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib mengatakan begini, ”Dia meriwayatkan dari Ubay bin Ka’b, Sa’d bin Ubadah, Umar bin Al-Khathtab padahal dia tidak pernah bertemu dengan mereka. Dia juga meriwayatkan dari Tsauban, ’Ammar bin Yasir, Abu Hurairah, Utsman bin Abu Al-Ash, Ma’qil bin Sinan padahal dia tidak mendengar langsung dari mereka. Dan (dia juga meriwayatkan) dari Utsman, Ali, Abu Musa, Abu Bakrah, Imran bin Hushain, JUNDAB AL-BAJALI, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Amr bin Al-Ash, Mu’awiyah, Ma’qil bin Yasar, Anas, Jabir dan banyak sahabat Nabi SAW yang lain serta para tabi’in.” 

Dari sini kita bisa paham bahwa mulai dari nama Utsman sampai kepada Jabir maka pendengaran Al-Hasan akan hadits mereka tak perlu diragukan. Wallahu a’lam. 

Bukti paling konkrit bahwa Al-Hasan Al-Bashri memang mendengar langsung dari Jundab adalah sebagaimana riwayat Al-Bukhari dalam Shahihnya hadits nomor 3463, kitab Ahadits Al-Anbiya`, bab: Maa Dzukira ’an Bani Israail. Hadits yang sama juga terdapat dalam Shahih Muslim, no. 113. Hadits ini menceritakan seorang yang mati bunuh diri dan Allah mengharamkan surga untuknya.

Al-Hasan Al-Bashri memang dikenal sebagai mudallis. Namun, dia masuk dalma kategori mudallis yang tidak parah. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Thabaqatul Mudallisin (atau nama lainnya Ta’rif Ahli At-Taqdis bi Maratib Al-Maushufin bi At-tadlis) memasukkannya dalam peringkat kedua dari golongan para mudallis (Lihat kitab tersebut pada biografi nomor 40). Artinya, bila memang benar dia pernah mendengar dari syekhnya maka tadlisnya bisa diterima, apalagi ‘an’anah-nya masuk dalam syarat Al-Bukhari dan Muslim.

Tidak dipungkiri bahwasannya Jundab radliyallaahu ‘anhumemang syaikh (guru) dari Hasan Al-Bashriy rahimahullahdimana ia pernah bertemu dengannya dan mendengarkan hadits/riwayat darinya. Namun harus diingat bahwa di sini Al-Hasan telah melakukan tadlis isnad. Pertemuan dan periwayatan dengan as-sama’ secara umum tidaklah langsung menshahihkan semua riwayat Al-Hasan (begitu juga perawimudallis lainnya) yang dibawakan dengan ‘an’anah dari Jundab. Riwayat Al-Hasan dari Jundab radliyallaahu ‘anhu dikatakan shahih jika ada penjelasan tentang penyimakan hadits yang ia riwayatkan.

Adapun definisi tadlis isnad adalah :

أن يَرْوِيَ الراوي عمن قد سمع منه ما لم يسمع منه من غير أن يذكر سمعه منه.... ومعنى هذا التعريف أن تدليس الإسناد أن يروي الراوي عن شيخ قد سَمِعَ منه بعض الأحاديث، لكن هذا الحديث الذي دلسه لم يسمعه منه ، وإنما سمعه من شيخ آخر عنه ، فيٌسْقِطٌ ذلك الشيخَ ويرويه عنه بلفظ محتمل للسماع وغيره ، كـ " قال " أو " عن " ليوهم غيره أنه سمعه منه ، لكن لا يصرح بأنه سمع منه هذا الحديث فلا يقول : " سمعت " أو " حدثني " حتى لا يصير كذاباً بذلك ، ثم قد يكون الذي أسقطه واحداً أو أكثر

“Jika si perawi meriwayatkan hadits yang tidak pernah ia dengar dari orang yang pernah ia dengar haditsnya; tanpa menyebutkan bahwa perawi tersebut mendengar hadits itu darinya….. Penjelasan definisi tadlis isnad ini adalah bahwa seorang perawi meriwayatkan beberapa hadits yang ia dengar dari seorang syaikh (guru), namun hadits yang ia tadlis­-kan tidak pernah ia dengar dari gurunya itu. Hadits itu ia dengar melalui (perantara) syaikh yang lain, dari syaikh-nya yang pertama tadi. Orang tersebut (si mudallis) menggugurkan syaikhyang menjadi perantara, dan kemudian ia (si mudallis) meriwayatkan darinya (syaikh yang pertama) dengan lafadh yang mengandung kemungkinan mendengar (samaa’) atau yang semisalnya; seperti lafadh قَالَ (telah berkata) atau عَنْ (dari) – agar orang lain menyangka bahwa ia telah mendengar darisyaikh tersebut. Padahal tidak benar orang itu telah mendengar hadits ini. Ia tidak mengatakan سَمِعْتُ (aku telah mendengar) atauحَدَّةَنِيْ (telah menceritakan kepadaku), sehingga ia tidak bisa disebut sebagai pendusta atas perbuatan itu. Orang yang ia gugurkan tadi bisa satu orang atau lebih” [lihat Taisiru Mushthalahil-Hadiits oleh Dr. Mahmud Ath-Thahhaan hal. 62 danTa’riifu Ahlit-Taqdiis bi-Maraatibil-Maushuufiina bit-Tadliis oleh Ibnu Hajar hal. 10, tahqiq : Dr. ‘Abdul-Ghaffaar Sulaiman & Muhammad bin Ahmad ‘Abdil-‘Aziiz].

Definisi di atas adalah definisi yang diberikan oleh Al-Bazzaar, Ibnu ‘Abdil-Barr, Ibnul-Qaththaan, Ibnu Hajar, As-Sakhawiy, dan yang lainnya [lihat Al-Jawaahirus-Sulaimaaniyyah oleh Abul-Hasan Al-Ma’ribiy, hal. 259]. Dan definisi inilah yang lebih tepat.

Adapun penyikapan atas ‘an’anah Al-Hasan Al-Bashriy, maka sikap pertengahan dalam hal ini adalah : ‘An’anah Al-Hasan Al-Bashriy diterima apabila ia meriwayatkan dari selain shahabat (yaitu tabi’in). Adapun ‘an’anah-nya dari shahabat, maka tidak diterima hingga ia menyatakan secara jelas (tashriih) atas penyimakan riwayatnya. Inilah yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy rahimahullah (lihat Ash-Shahiihah, 2/511) yang kemudian disepakati oleh Asy-Syaikh Abul-Hasan Mushthafa As-Sulaimaniy hafidhahullah. Apalagi melihat kenyataan bahwa Al-Hasan banyak meng-irsal-kan hadits. Walaupun keduanya mempunyai tafshil yang berbeda, namun intinya adalah sama.

Adapun berdalil diterimanya ‘an’anah Al-Hasan dari Jundab dengan dasar apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, maka ini kurang tepat. Tidak lain dikarenakan riwayat Al-Hasan dari Jundab dalam Shahihain telah disebutkan secara jelas dijelaskan penyimakannya.

حدثنا محمد قال حدثنا حجاج حدثنا جرير عن الحسن حدثنا جُنْدب بن عبد الله....

Telah menceritakan kepada kami Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hajjaaj : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Al-Hasan : Telah menceritakan kepada kami Jundab bin ‘Abdillah……… [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3463].

وحدثنا محمد بن أبي بكر المقدمي. حدثنا وهب بن جرير. حدثنا أبي. قال: سمعت الحسن يقول: حدثنا جندب بن عبدالله البجلي في هذا المسجد

Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi Bakr Al-Muqaddamiy : Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Jariir : Telah menceritakan kepada kami ayahku, ia berkata : Aku mendengar Al-Hasan berkata : Telah menceritakan kepada kami Jundab bin ‘Abdillah Al-Bajaliy tentang hadits masjid…. [Diriwayatkan oleh Muslim no. 113].

Kesimpulannya : Hadits di atas adalah dla’if karena ‘an’anah Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah. Pendla’ifan ‘an’anah dalam hadits ini dinyatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Al-Arna’uth, dan Asy-Syaikh Husain Salim Asad rahimahumullah.

Wallaahu a’lam.

[Cerkiis.blogspot.com, Penulis: Ustadz Abul Jauzaa']