Jumat, 27 Mei 2016

Perang Uhud [1]

Perang Uhud [1]

BAHASAN : SIRAH NABI

PERANG UHUD[1]

Pengalaman pahit yang dirasakan oleh kaum Quraisy dalam perang Badar telah menyisakan luka mendalam nan menyakitkan. Betapa tidak, walaupun jumlah mereka jauh lebih besar dan perlengkapan perang mereka lebih memadai, namun ternyata mereka harus menanggung kerugian materi yang tidak sedikit. Dan yang lebih menyakitkan mereka adalah hilangnya para tokoh mereka. Rasa sakit ini, ditambah lagi dengan tekad untuk mengembalikan pamor Bangsa Arab yang telah terkoyak dalam Perang Badar, mendorong mereka melakukan aksi balas dendam terhadap kaum Muslimin. Sehingga terjadilah beberapa peperangan setelah Perang Badar. Perang Uhud termasuk di antara peperangan dahsyat yang terjadi akibat api dendam ini. Disebut perang Uhud karena perang ini berkecamuk di dekat bukit Uhud. Sebuah bukit dengan ketinggian 128 meter kala itu, sedangkan sekarang ketinggiannya hanya 121 meter. Bukit ini berada di sebelah utara Madinah dengan jarak 5,5 km dari Masjid Nabawi.[2]

WAKTU KEJADIAN

Para Ahli Sirah sepakakat bahwa perang ini terjadi pada bulan Syawwâl tahun ketiga hijrah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Namun mereka berselisih tentang harinya. Pendapat yang yang paling Masyhûr menyebutkan bahwa perang ini terjadi pada hari Sabtu, pertengahan bulan Syawwal.[3]

PENYEBAB PERANG

Di samping perang ini dipicu oleh api dendam sebagaimana disebutkan diawal, ada juga penyebab lain yang tidak kalah pentingnya yaitu misi menyelamatkan jalur bisnis mereka ke Syam dari kaum Muslimin yang dianggap sering mengganggu. Mereka juga berharap bisa memusnahkan kekuatan kaum Muslimin sebelum menjadi sebuah kekuatan yang dikhawatirkan akan mengancam keberadaan Quraisy. Inilah beberapa motivasi yang melatarbelakangi penyerangan yang dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin di Madinah.

JUMLAH PASUKAN

Kaum Quraisy sejak dini telah mempersiapkan pasukan mereka. Barang dagangan dan keuntungan yang dihasilkan oleh Abu Sufyân beserta rombongan yang selamat dari sergapan kaum Muslimin dikhususkan untuk bekal pasukan mereka dalam perang Uhud. Untuk menyukseskan misi mereka dalam perang Uhud ini, kaum Quraisy berhasil mengumpulkan 3 ribu pasukan yang terdiri dari kaum Quraisy dan suku-suku yang loyal kepada Quraisy seperti Bani Kinânah dan penduduk Tuhâmah. Mereka memiliki 200 pasukan kuda dan 700 pasukan bertameng. Mereka mengangkat Khâlid bin al-Walîd sebagai komandan sayap kanan, sementara sayap kiri di bawah komando Ikrimah bin Abu Jahl. Mereka juga mengajak beberapa orang wanita untuk membangkitkan semangat pasukan Quraisy dan menjaga mereka supaya tidak melarikan diri. Sebab jika ada yang melarikan diri, dia akan dicela oleh para wanita ini. Tentang jumlah wanita ini, para Ahli Sirah berbeda pendapat. Ibnu Ishâq rahimahullah menyebutkan bahwa jumlah mereka 8 orang, al-Wâqidi rahimahullah menyebutkan 14 orang[4] sedangkan Ibnu Sa’d rahimahullah menyebutkan 15 wanita.[5]

MIMPI RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

Sebelum peperangan ini berkecamuk, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperlihatkan peristiwa yang akan terjadi dalam perang ini melalui mimpi. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan mimpi ini kepada para Sahabatnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَأَيْتُ فِي رُؤْيَايَ أَنِّي هَزَزْتُ سَيْفًا فَانْقَطَعَ صَدْرُهُ فَإِذَا هُوَ مَا أُصِيبَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ أُحُدٍ ثُمَّ هَزَزْتُهُ بِأُخْرَى فَعَادَ أَحْسَنَ مَا كَانَ فَإِذَا هُوَ مَا جَاءَ اللَّهُ بِهِ مِنَ الْفَتْحِ وَاجْتِمَاعِ الْمُؤْمِنِينَ وَرَأَيْتُ فِيهَا بَقَرًا وَاللَّهُ خَيْرٌ فَإِذَا هُمُ الْمُؤْمِنُونَ يَوْمَ أُحُدٍ وَإِذَا الْخَيْرُ مَا جَاءَ اللَّهُ بِهِ مِنْ الْخَيْرِ وَثَوَابِ الصِّدْقِ الَّذِي آتَانَا اللَّهُ بَعْدَ يَوْمِ بَدْرٍ

Saya bermimpi mengayunkan pedang lalu pedang itu patah. Itu (isyarat-pent) musibah yang menimpa kaum Muslimin dalam Perang Uhud. Kemudian saya ayunkan lagi pedang itu lalu pedang itu baik lagi, lebih baik dari sebelumnya. Itu (isyarat-pent) kemenangan yang Allah Azza wa Jalla anugerahkan dan persatuan kaum Muslimin. Dalam mimpi itu saya juga melihat seekor sapi – Dan apa yang Allah lakukan itu adalah yang terbaik- Itu (isyarat) terhadap kaum Muslimin (yang menjadi korban) dalam perang Uhud. Kebaikan adalah kebaikan yang Allah Azza wa Jalla anugerahkan dan balasan kejujuran yang Allah Azza wa Jalla karuniakan setelah perang Badar[6]

Dalam riwayat lain :

وَرَأَيْتُ أَنِّي فِي دِرْعٍ حَصِينَةٍ فَأَوَّلْتُهَا الْمَدِينَةَ

Dan saya melihat diriku berada dalam baju besi yang kuat. Baju besi yang kuat ini saya takwilkan Madinah[7]

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menakwilkan mimpi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dengan kekalahan dan kematian yang akan terjadi dalam Perang Uhud.

Saat mengetahui kedatangan Quraisy untuk menyerbu kaum Muslimin di Madinah, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak para Sahabat bermusyawarah untuk mengambil tindakan terbaik. Apakah mereka tetap tinggal di Madinah menunggu dan menyambut musuh di kota Madinah ataukah mereka akan menyongsong musuh di luar Madinah ? Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam cenderung mengajak para Sahabat bertahan di Madinah dan melakukan perang kota, namun sekelompok kaum Anshâr Radhiyallahu anhum mengatakan, “Wahai Nabiyullâh ! Sesungguhnya kami benci berperang di jalan kota Madinah. Pada jaman jahiliyah kami telah berusaha menghindari peperangan (dalam kota), maka setelah Islam kita lebih berhak untuk menghindarinya. Cegatlah mereka (di luar Madinah)” ! Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiap untuk berangkat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan baju besi dan segala peralatan perang. Setelah menyadari keadaan, para Sahabat saling menyalahkan. Akhirnya, mereka mengatakan: “Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan sesuatu, namun kalian mengajukan yang lain. Wahai Hamzah Radhiyallahu anhu, temuilah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan katakanlah, ‘Kami mengikuti pendapatmu.’ Hamzah Radhiyallahu anhu pun datang menemui Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, ‘Wahai Rasulullâh, sesungguhnya para pengikutmu saling menyalahkan dan akhirnya mengatakan, ‘Kami mengikuti pendapatmu.’ Mendengar ucapan paman beliau ini, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya jika seorang nabi sudah mengenakan peralatan perangnya, maka dia tidak akan menanggalkannya hingga terjadi peperangan’[8].

Keputusan musyawarah tersebut adalah menghadang musuh di luar kota Madinah. Ibnu Ishâq rahimahullah dan yang lainnya menyebutkan bahwa `Abdullâh ibnu Salûl setuju dengan pendapat Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap bertahan di Madinah. Sementara at-Thabariy membawakan riwayat yang berlawanan dengan riwayat Ibnu Ishâq rahimahullah, namun dalam sanad yang kedua ini ada orang yang tertuduh dan sering melakukan kesalahan. Oleh karena itu, al-Bâkiriy dalam tesisnya lebih menguatkan riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Ishâq rahimahullah.

Para Ulama Ahli Sirah menyebutkan bahwa yang memotivasi para Sahabat untuk menyongsong musuh di luar Madinah yaitu keinginan untuk menunjukkan keberaniaan mereka di hadapan musuh, juga keinginan untuk turut andil dalam jihad, karena mereka tidak mendapat berkesempatan untuk ikut dalam Perang Badar. Sementara, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih memilih untuk tetap tinggal dan bertahan di Madinah, karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memanfaatkan bangunan-bangunan Madinah serta menfaatkan orang-orang yang tinggal di Madinah.

PELAJARAN DARI KISAH

Kaum Muslimin yang sedang berada di daerah, jika diserbu oleh musuh, maka mereka tidak wajib menyongsong kedatangan musuh. Mereka boleh tetap memilih bertahan di rumah-rumah mereka dan memerangi musuh di sana. Ini jika strategi ini diharapkan lebih mudah untuk mengalahkan musuh. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Perang Uhud.

[Http://cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]

Footnote

[1]. Diterjemahkan dengan bahasa bebas dari kitab As-Sîratun Nabawiyah fî Dhau’il Mashâdîril Ashliyyah

[2]. Lihat As-Sîratun Nabawiyah as-Shahîhah, hlm. 378

[3]. Dari riwayat Khalîfah bin Khayyâth rahimahullah dalam tarikhnya, hlm. 97 dengan sanad mursal dan mengandung unsur jahâlah (ada perawi yang tidak diketahui identitasnya-pent); juga diriwayatkan oleh at-Thabariy dalam tafsir beliau rahimahullah, 7/399 dengan sanad salah satu perawinya ada yang bernama Husain bin `Abdillâh. Orang ini dhaîf. Meski dhaîf (lemah) riwayat at-Thabariy merupakan riwayat yang paling sah dalam masalah ini. Lihat Sîratun Nabawiyah ash-Shahîhah, karya DR al-Umari

[4]. Lihat Ibnu Hisyâm, 3/87 dari riwayat Ibnu Ishâq rahimahullah dengan tanpa sanad dan lihat juga Tarikh at-Thabariy 3/504 dari riwayat al-Wâqidiy rahimahullah

[5]. At-Thabaqât, 2/37

[6]. HR al-Bukhâri, Al-Fath, 14/123-124, no. 3622 dan Muslim, 4/1779-1780, no. 2272

[7]. HR Ahmad, Al-Fathurrabbâniy, 21/50. Sanad hadits ini dinilai shahîh oleh Sa’âti

[8]. Tafsir at-Thabariy, 7/372-373/Syâkir dengan sanad hasan namun mursal sampai ke Qatâdah rahimahullah. Sanad ini tersambung dalam kitab Al-Musnad 3/351, Ar-Rabbâniy 21/51-52 dan Al-Majma’ 6/701 . Namun dalam sanad ini terdapat periwayatan dengan menggunakan kalimat ‘an (dari) oleh Abu Zubeir padahal dia sering melakukan tadlis. Riwayat ini diperkuat oleh riwayat al–Baihaqi dalam kitab Ad-Dalâil 3/204 dengan sanad hasan dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu dan riwayat penguat lainnya dari Mûsa bin ‘Uqbah secara mursal dari az-Zuhriy 3/207; dan diriwayatkan oleh `Abdurrazâq rahimahullah dalam Mushannafnya 5/364-365 secara mursal dari ‘Urwah dan al-Hâkim 2/128-129, 296, 297 dan beliau rahimahullah menilai hadits ini shahîh dan ini disetujui oleh ad-Dzahabiy. Hadits ini dengan seluruh jalur priwayatannya shahîh, coba lihat ta’lîq Syaikh al-Albâni terhadap kitab Fiqhussîrah karya al-Ghazâli, hlm. 269; juga Tesis karya Husein al-Bâkiri : Marwiyâtu Uhud, hlm. 62; al-Umariy, Al-Mujtama’-al-Jihâd, hlm. 67