HAK-HAK YANG WAJIB DIPENUHI
Oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Hidup di dunia ini tidak akan lepas dari ikatan dengan pihak lain. Karena itu, bisakah seseorang terbebas dari kewajiban memenuhi hak pihak lain? Jawabannya tentu tidak bisa dan tidak akan pernah bisa, selama dia adalah makhluk berakal.
Bahkan, ternyata banyak sekali hak yang wajib dipenuhi oleh seseorang di dalam kehidupan dunianya ini. Misalnya, hak dan kewajiban suami–isteri, hak dan kewajiban orang tua–anak, hak dan kewajiban antar sesama saudara sekandung, seayah, seibu, sepersusuan, sepupu atau yang lainnya. Hak dan kewajiban antar tetangga, hak dan kewajiban antara pemimpin dengan bawahan, hak dan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan, hak dan kewajiban antara pedagang dengan pembeli, dan lain-lainnya. Di antara hak-hak itu adalah hak Allâh Azza wa Jalla, hak Rasul-Nya dan hak para Sahabat Radhiyallahu anhum.
Maka alangkah indahnya jika fakta ini menjadi hal penting yang harus masuk secara sadar, benar dan proporsional dalam kurikulum pendidikan, formal maupun non formal, termasuk pendidikan anak semenjak usia dini.
Supaya pendidikan tentang hak dan kewajiban ini bisa berjalan dengan benar dan proporsional, tentu harus berpijak pada landasan al-Qurˈân dan Sunnah, termasuk dalam memilih skala prioritas, mana hak dan kewajiban paling besar yang harus didahulukan.
Sudah barang tentu hak terbesar yang wajib didahulukan atas hak-hak lainnya adalah hak Allâh Azza wa Jalla. Mengapa?. Karena Dia adalah Allâh Yang Maha Besar, Pencipta alam semesta, Pemilik dan Pengatur segala-galanya. Dia adalah Raja Diraja, al-Hayyu al-Qayyûm, yang Maha Kekal Hidup-Nya dan Maha Tegak serta menegakkan segenap makhluk-Nya. Langit-langit dan Bumi menjadi tegak dengan kokohnya karena Dia. Dia-lah yang telah menjadikan segala sesuatu dan mentaqdirkannya berdasarkan hikmah-Nya yang luar biasa.
Dia adalah Allâh Azza wa Jalla yang telah menjadikan manusia dari tiada menjadi ada. Allâh Azza wa Jalla yang telah membimbing manusia dengan berbagai nikmat-Nya, semenjak manusia berada di dalam rahim ibunya. Di saat tiada seorang makhlukpun yang mampu memberikan makanan apapun secara langsung kepada bakal calon manusia itu, tiada seorang makhluk pun bisa menumbuhkembangkannya.
Sesaat manusia lahir dari perut ibunya, Allâh Azza wa Jalla pulalah yang memancarkan air susu ibu bagi si bayi dikemudian hari, ketika manusia menjadi dewasa, Allâh Azza wa Jalla memberinya petunjuk : manakah yang harus ditempuh, apakah jalan kebaikan atau jalan keburukan; jalan keimanan atau jalan kekafiran.
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
Dan kami jelaskan kepadanya jalan kebenaran dan jalan kebatilan. [Al-Balad/90:10][1]
Allâh-lah yang menganugerahkan sepasang ibu bapa kepada seorang manusia. Selanjutnya Allâh Azza wa Jalla senantiasa mensuplai segala kebutuhannya, menganugerahkan berbagai nikmat : akal, pemahaman dan lainnya. Semula, ketika manusia terlahir dari perut ibunya, ia tidak mengerti apapun, kemudian Allâh Azza wa Jalla mengajarinya, memberikan perangkat-perangkat hingga manusia menjadi mengerti, memahami dan mengetahui banyak hal serta dapat memanfaatkannya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan Allâh telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan kamu tidak mengetahui apapun, dan Allâh telah menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.[An-Nahl/16:78]
Bayangkan, andaikata Allâh Azza wa Jalla menghentikan seluruh nikmat-Nya ini sekejap saja, niscaya manusia akan binasa. Andaikata Allâh Azza wa Jalla menghalangi rahmat-Nya sesaat saja, niscaya kehidupan manusia akan sirna.[2] Oleh sebab itulah hak Allâh Azza wa Jalla adalah hak terbesar yang wajib ditunaikan oleh manusia. Akan tetapi sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla tidak meminta apapun dari manusia, tidak menginginkan rizki, makanan atau apapun dari manusia. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ
Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat yang baik itu hanyalah teruntukkan bagi orang yang bertaqwa. [Thâhâ/20:132]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menginginkan apapun dari manusia kecuali satu hal saja, yang itupun maslahatnya akan kembali kepada manusia itu sendiri. Yaitu bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala hanya menginginkan agar manusia menyembah Allâh saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ ﴿٥٧﴾ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menginginkan rizki sedikitpun dari mereka dan tidak pula Aku menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allâh Dialah Pemberi rizki Yang mempunyai Kekuatan lagi sangat Kokoh.[Adz-Dzâriyât/51:56-58]
Itulah hak paling pokok yang wajib dipenuhi oleh manusia. Supaya manusia hanya menyembah Allâh saja dan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya. Sangat mudah. Hak yang secara garis besar berbentuk akidah serta keimanan yang indah terhadap al-Khâliq al-Haq, Allâh Jalla Jalâluh, dan buahnya berupa amal shalih. Akidah yang dibangun berdasarkan mahabbah (cinta) dan ta’zhîm (pengagungan) terhadap Allâh yang Maha Agung. Buahnya adalah ikhlas, dan teguh hati untuk menjalankan apa yang mesti dilakukan, misalnya shalat lima waktu, zakat, puasa di bulan Ramadhan dan Haji di Baitullâh.[3]Itu semuanya mudah. Allah menjelaskan, bahwa agama yang ditetapkan-Nya itu mudah,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ
Dan Allâh tidak menjadikan kesulitan apapun untukmu dalam hal agama, yaitu agama bapakmu, Ibrâhîm. [Al-Hajj/22:78]
Mudah dalam hal akidah, karena seseorang hanya mempertanggungjawabkan keyakinan, keimanan dan perbuatannya kepada satu sesembahan saja, tidak kepada sesembahan yang banyak, yang pasti masing-masing mempunyai tuntutan, sehingga menimbulkan kesulitan bagi para penyembahnya.
Demikian pula, shalat sangat mudah dilakukan. Jika seseorang tidak mampu melaksanakannya dengan berdiri, ia boleh melakukannya dengan duduk, bahkan jika tidak mampu pula, ia boleh melakukannya dengan berbaring. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ. رواهالبخاري وغيره
Shalatlah dengan berdiri, jika engkau tidak mampu, maka shalatlah dengan duduk, dan jika engkau tidak mampu juga, maka dengan berbaring. [HR. Al-Bukhâri dll][4]
Zakat juga hanya diwajibkan bagi orang yang memiliki nishâb, dan nishâb ini berumur satu tahun, kecuali zakat panenan yang tidak menunggu satu tahun. Itupun hanya sebagian kecil dari seluruh harta yang dimilikinya dan hanya setiap tahun.
Begitu pula puasa di bulan Ramadhân. Bila seseorang sakit atau melakukan perjalanan, ia boleh tidak berpuasa, tetapi dengan mengganti puasa pada hari yang lain sebanyak hari puasa yang ditinggalkannya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Dan barangsiapa yang sakit atau berada dalam suatu perjalanan, maka ia boleh tidak berpuasa dengan mengganti puasanya itu di hari-hari yang lain sebanyak puasa yang ditinggalkannya. Allâh menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan. [Al-Baqarah/2:185]
Ibadah hajipun diperuntukkan bagi orang yang mampu melaksanakannya.
Demikianlah hak paling besar yang wajib ditunaikan oleh setiap hamba. Hak yang sebenarnya mudah ditunaikan karena tidak rumit. Namun untuk menunaikannya diperlukan kesadaran tinggi di samping taufiq Allâh Azza wa Jalla. Maka alangkah tepatnya jika penanaman tentang pemenuhan hak yang amat besar ini, dilakukan semenjak dini, di saat manusia masih anak-anak, supaya ketika ia tumbuh dewasa, ia telah memahami sepenuhnya, hak apa yang wajib dia penuhi bagi Penciptanya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Itulah kewajiban ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla yang unsur pokoknya adalah iman dan amal shalih.
Wallâhu Waliyyu at-Taufîq.
[Cerkiis.blogspot.com, artikel: almanhaj. Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Footnote
[1] Lihat tafsirnya antara lain, Tafsir as-Sa’di; Taisîr al-Karîm ar-Rahmân. QS.Al-Balad/90:10.
[2] Ungkapan seperti ini antara lain dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam kutaib-nya berjudul : Huqûq Da’at ilahâ al-fithrah wa qarrarathâ asy-Syarî’ah,Hak Yang Pertama, Hak Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
[3] Ibid.
[4] Shahîh al-Bukhâri (Fathu al-Bâri), II/587, no. 1117