[Bismillah]
Sejak jaman kenabian dulu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sudah sangat sering mendapatkan perlakuan dan ucapan buruk dari orang-orang kafir. Selama masa dakwah beliau, hinaan, cacian, ejekan, bahkan disakiti secara fisik, ancaman pembunuhan, pengusiran, dilempari kotoran, semuanya, sudah beliau alami.
Apakah ada beliau menyuruh Shahabat:
"Tangkap itu si Fulan yang menyakitiku!"
Yang ada, beliau sama sekali tidak membalas semua perlakuan jahat itu dengan kejahatan atau keburukan. Justru, beliau selalu memaafkan, dan terus berdakwah dengan hikmah dan akhlaqul karimah. Bahkan, saat Malaikat Jibril menawarkan untuk menimpakan gunung pada suatu kaum, beliau menolak, beliau memilih doa hidayah untuk mereka.
Terlalu banyak kisah tentang keagungan akhlaq beliau dalam masalah ini. Dimana, beliau sama sekali tidak ada dendam terhadap siapapun yang menyakitinya. Beliau selalu memaafkan.
Sekarang, ketika ada kaum kafir yang menghina Rasulullah, dalam bentuk karikatur atau selainnya, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita hanya diam saja? Tidak boleh marah? Tidak boleh membela kehormatan beliau?
Boleh. Sangat boleh kita marah. Bahkan kita wajib membela kehormatan beliau. Itu adalah esensi dan manifestasi iman. Yang menjadi masalah adalah, bagaimana cara kita merealisasikan amarah karena kecintaan dan pembelaan terhadap Rasulullah?
Apakah dengan menggerakkan demo besar-besaran di seluruh jagad raya? Apakah dengan sumpah serapah, caci makian di media sosial? Apakah dengan aksi sendiri membunuh sang penghina?
Para Shahabat adalah figur-figur yang sangat besar ghirahnya terhadap agama. Sangat dalam cinta dan pembelaannya terhadap Nabi. Bersamaan dengan itu, mereka tidak serampangan dalam menerapkan cara membela kehormatan Nabi.
Ketika ada orang kafir yang menghina Rasulullah, Shahabat dengan sigap ingin memenggal leher si penghina itu. Tapi mereka izin dulu kepada Rasulullah. Dan, dalam ini, Rasulullah adalah representasi dari "negara" atau "pemimpin". Jadi, bukan main aksi sendiri, sikat sendiri, bunuh sendiri. Inilah yang dimaksud dalam fatwa-fatwa ulama yang menyalahkan aksi pembunuhan terhadap si penghina itu. Karena main hakim sendiri. Bertindak sendiri, tanpa ada legalitas dari negara atau penguasa. Jadi, bukan soal boleh atau tidak boleh membunuh penghina Rasulullah; melainkan tata caranya harus benar.
Mengeksekusi (membunuh) penghina Rasulullah termasuk perkara hadd (huduud). Dan, dalam Islam, apapun bentuk dari hukum hadd harus melalui jalur negara, ditetapkan oleh qadhi (hakim) yang berwenang. Jadi, tidak bisa menerapkan hukum hadd secara person, individu, sak karepe dewe.
Apa hikmahnya? Banyak. Diantaranya, menjaga ketertiban dan keamanan hidup masyarakat (negara). Tak bisa dibayangkan, jika setiap orang, individu, siapapun, boleh melakukan hukum hadd. Ada orang membunuh, langsung saja balas dibunuh. Ada orang berzina, langsung saja dirajam. Ada orang murtad, langsung saja dieksekusi. Ada penghina Nabi, langsung saja dihabisi. Person person. Tanpa melalui negara. Sungguh hancur. Ngeri. Betapa kacaunya negeri. Rasa aman hilang. Banyak pembunuhan dimana-mana dengan alasan menerapkan hukum hadd.
Disamping juga, dengan melalui prosedur negara dalam penerapan hadd, akan memberikan jaminan hukum legal, bahwa terpidana hadd itu benar-benar terbukti secara sah setelah melalui proses pengadilan. Karena hadd ini menyangkut darah dan nyawa. Harus benar-benar valid dan terbukti secara meyakinkan.
Bayangkan jika hadd boleh dilakukan oleh individu. Tanpa perlu sidang. Tidak perlu putusan qadhi. Bisa jadi, orang yang sebenarnya tidak bersalah malah yang terkena imbas hadd yang serampangan. Misalnya, si A dituduh membunuh seorang anak. Ayahnya marah. Tidak terima. Langsung saja balas membunuh si A. Belakangan diketahui, ternyata bukan A pelaku pembunuhnya.
Bagaimana jika negara tidak berhukum Islam dan tidak mendukung hadd? Termasuk dalam kasus penghinaan Nabi ini, bagaimana jika negara tidak mendukung untuk menghukum mati si penghina?
Sabar. Sabar. Sabar. Itulah kewajiban kita. Dan kita tidak dibebani dengan apa yang di luar jangkauan tanggungjawab dan wewenang kita. Kalaupun kita ingin menempuh jalur hukum, maka tempuhah dengan prosedur yang ada. Bertindak secara elegan dan hikmah. Bukan ngawur dan membabi buta. Jika tidak berhasil, sudah cukup. Itulah kemampuan kita. Tanggungjawab kita sudah selesai. Yang jelas, iman kita sudah berbicara dan bertindak sesuai kesanggupan.
Kembali pada masa kenabian.
Mengapa Rasulullah kala itu lebih memilih untuk menahan diri, memaafkan, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tidak main penggal saja terhadap orang-orang yang berbuat jahat pada beliau?
Hikmahnya sangat agung. Semuanya kembali pada dakwah Islam. Untuk kemuliaan Islam dan muslimin.
Bayangkan, seandainya saat itu Rasulullah hanya main perasaan dan arogansi dalam dakwahnya. Dikit dikit bunuh. Dikit dikit penggal. Tentu, sejarah dan dunia akan mencatat bahwa beliau sosok yang bengis, kejam, tangan besi, gemar menumpahkan darah dan menghilangkan nyawa. Jadilah, para musuh semakin antipati, membenci, dan menjauh dari Islam.
Namun, ketinggian akhlaq beliau, selalu memaafkan, bersabar, merangkul, mengayomi, benar-benar sebagai rahmat bagi semesta alam. Hingga, biidznillah, dengan sebab itu, dakwah Islam berkembang begitu pesat. Musuh-musuh yang sebelumnya sangat benci terhadap beliau, berbalik menjadi sangat mencintai beliau dan menjadi garda terdepan pembela Islam.
"Oh.....Jadi kita harus adem ayem saja terhadap penghina Nabi?? Nggak boleh marah? Harus bersabar dan memaafkan?!"
Bukan! Tidak begitu!
Iya. Kita sangat marah. Sangat benci. Sakit sekali hati ini.
Tapi, bagaimana cara merealisasikan rasa marah, benci, dan sakit hati itu? Inilah yang harus dilakukan di atas landasan ilmu dan bimbingan para ulama. Bukan ngawur. Bukan semau-maunya. Tetap proporsional dan sesuai jalur yang syar'i.
Para Ulama pun telah berbicara soal ini. Mari kita terima, kita jalani. Bukannya malah ulamanya yang dihina-hina, digoblok-goblokin, dicaci maki, hanya karena tidak selaras dengan arogansinya dalam bersikap.
Jika ulama saja sudah dimentahin, kepada siapa lagi kita hendak meruju', terutama saat terjadi peristiwa-peristiwa yang krusial?
Wallahul Musta'an.
Barakallahu fiikum.
♻ Ustadz Ammi Ahmad