Rabu, 21 Oktober 2020


[Bismillah]

"ELPIJI IJO VS POLIGAMI"

Jika kita berbicara tentang sesuatu, hendaknya secara komprehensif, analitik substantif dan utuh, tidak sepotong-sepotong; agar pembicaraan kita bisa dipertanggungjawabkan.

Ada yang membuat meme:
"Kalau masak masih pakai elpiji ijo, jangan pernah berpikir untuk poligami."

Segera yang lain menyahut:
"Saya kalau masak di rumah masih pake elpiji ijo, emang nggak boleh saya poligami?"

Yang lain lagi berargumen agak fiqih:
"Elpiji ijo bukanlah syarat sah untuk seseorang boleh atau tidak boleh poligami."

--------------------------------------------------

Iya, benar, bahwa elpiji ijo bukanlah syarat sah dalam perpoligamian. (Begitu pula dengan beras literan). Tapi, diakui atau tidak, penggunaan elpiji ijo (karena faktor ketidak mampuan) secara 'urf merupakan indikator ekonomi yang belum cukup mapan dalam pandangan umum (obyektif), bukan pandangan pribadi (subyektif).

Ekonomi yang belum cukup mapan ini tentunya harus menjadi pertimbangan matang untuk berpoligami bagi orang yang memang paham betul tentang fiqih poligami.

"Memangnya, kalau saya pakai elpiji ijo, beras literan, saya masih miskin, saya tidak boleh berpoligami? Apakah Islam melarang orang miskin berpoligami?"

Secara tekstual, memang, Islam tidak mengaitkan secara langsung poligami dengan dengan "kaya" atau "miskin". Islam hanya menuntut pelaku poligami untuk bisa bersikap adil secara materi dan non-materi, mampu menjamin kebutuhan dan kesejahteraan seluruh anggota keluarganya, serta mampu bertanggungjawab atas persoalan apapun yang menimpa rumahtangganya.

Oke. Mau pake elpiji ijo, beli beras literan, mau kerja jadi tukang becak, sopir truk, kuli bangunan, pedagang asongan, hukum asalnya Anda boleh saja kok berpoligami. Tidak ada yang melarang.

Tapi, hendaknya jujur pada diri sendiri. Dengan penghasilan Anda sebagai tukang becak, sopir truk, kuli, dan semacam itu, cukupkah materi dan finansial Anda untuk menjamin kebutuhan lebih dari 1 keluarga? 

Jadi, jangan hanya bonek. Opo jare mengko. Rejeki Allah sing ngatur. Kemudian nekat menikah lagi, berpoligami, membangun keluarga baru, di atas pondasi ekonomi yang belum cukup kokoh. Akhirnya, pontang-panting sana sini. Berbagai tuntutan kebutuhan keluarga membuatnya bingung, kalut, hidup dalam tekanan. Mana waktunya bayar kontrakan rumah, anak sakit, bayar sekolah, beras habis, bayar listrik, bayar air, bayar ini, bayar itu. 

Kami pribadi, tidak pernah mencela teman, ikhwah, atau siapapun yang berpoligami padahal secara zhahir ekonominya belum cukup memadai. Itu hak dia. Yang penting, bertanggungjawab. Dengan sebenar-benarnya tanggungjawab. Bukan sekedar lipservice.

Jangan sampai begitu pede poligami dengan ekonomi pas-pasan, finansial Senin Kemis; dengan alasan "menyelamatkan janda lah" , "bukti kejantanan lah" , "jumlah wanita lebih banyak lah" , dll. 

Jangan sampai pula, karena sudah mentok terbentur kebutuhan ekonomi yang banyak dari keluarga-keluarganya, akhirnya memaksa istri-istri untuk ikut berusaha mencari pemasukan. Istrinya disuruh bekerja. 

Taruhlah, istri dengan kerelaannya sendiri mau bekerja mencari penghasilan, tapi tetap, namanya tanggungjawab, itu di pundak suami, bukan di pundak istri. Uang pendapatan istri juga murni miliknya sendiri. Suami tidak ada hak apapun.

Jangan sampai juga, menikah lagi, berpoligami dengan alasan bukti kejantanan dan keperkasaan lelaki. Tapi pada saat yang sama menjadi lemah dan pengecut karena tidak mampu menafkahi keluarga dari hasil keringatnya sendiri. Tidak sanggup menjamin kesejahteraan istri-istri dan anak-anaknya.

"Lha mau gimana lagi..... Saya mampunya segini."

Ya kalau memang mampunya segitu, dari awal hendaknya dipertimbangkan 1000x sebelum memastikan mau menambah istri. Jangan pengennya buat gaya gayaan, sok sokan. Memangnya, kalau sudah poligami terus dapat gelar apa? Jantan? Tangguh? Lelaki sejati?

Kalau memang mampunya satu ya satu saja. Istri yang satu beserta keluarga yang terlahir darinya, itu saja dijaga dengan baik, dijamin kebutuhannya, dipelihara kesejahteraannya, dijadikan ladang pahala dalam berumahtangga. Istri bahagia, anak-anak sejahtera, kebutuhan tercukupi, pendidikan anak bisa maksimal, tidak terlantar, tidak meminta-minta, ini jauh lebih menunjukkan dedikasi, tanggungjawab, serta sisi "ke-lelaki sejati-an" seorang suami. Terbuka lebar pintu-pintu pahala. Terbentang jalan menuju surga. Biidznillah.

Kami bukan anti poligami. Bahkan, sebagai seorang muslim, kami sangat mendukung poligami. Kami meyakini, poligami adalah perkara yang mulia. Saking mulianya, sampai Islam mengaturnya dengan sedemekian ketat dan cermat.

Kami hanya berusaha mendudukkan segala persoalan pada tempatnya. Kami tidak suka jika syariat poligami dijadikan dalil legitimasi untuk melampiaskan hasrat biologis tanpa ditopang oleh rasa tanggungjawab yang sepenuhnya. Itu bukan poligami yang dimaukan oleh agama.

Setiap orang (yang jujur), bisa kok mengukur kapasitas dan kemampuan dirinya sendiri. Layak atau tidak berpoligami. Siapapun itu. Bukan soal elpiji ijo atau biru, bukan pula beras literan atau kwintalan. Tapi, kembali pada kejujuran hati dan kemampuan diri.

Yang merasa ekonominya mampu, dengan sebenar-benarnya mampu, paham fiqihnya, siap lahir batin, silahkan menambah istri. Berpoligami. Yang merasa belum memenuhi syarat, ya jangan memaksa. Ora usah ngoyo. Monogami keluargamu itu sudah menjadi hamparan oase pahala yang besar bagimu untuk meraih jannah-Nya. 

Barakallahu fiikum. 

(Status ini tidak menyindir siapapun. Bersifat umum untuk kita semua).

♻ Ustadz Ammi Ahmad