Rabu, 14 Juni 2017

Ringkasan Hukum Bulan Ramadhan [3]

Ringkasan Hukum-Hukum dalam Bulan Ramadlan dari A - Z (Revisi) - 3

Ringkasan Hukum-Hukum dalam Bulan Ramadlan dari A - Z (Revisi) - 3

Zakat Fithri[1]

1.    Hukum Zakat Fithri

Zakat fithri hukumnya wajib.  Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان على كل نفس من المسلمين

Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fithri di bulan Ramadlan terhadap setiap orang dari kalangan muslimin (HR. Muslim no. 984).

2.    Siapa yang Wajib Membayar Zakat Fithri ??

Zakat fithri diwajibkan kepada semua golongan dari kaum muslimin baik anak kecil dan orang tua, laki-laki dan wanita, merdeka dan budak.  Hal berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :

فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر صاعا من تمر أو صاعا من شعير على العبد والحر والذكر والأنثى والصغير والكبير من المسلمين

Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri di bulan Ramadlan kepada manusia; satu sha’ tamr (kurma) atau satu sha’ gandum atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan wanita dari kalangan umat muslimin (HR. Al-Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984; ini adalah lafadh Al-Bukhari).

Seorang muslim wajib mengeluarkan zakat fithri untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, baik anak kecil, besar, laki-laki, wanita, orang merdeka, maupun budak.  Berdasarkan hadits dari Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma :

أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بصدقة الفطر عن الصغير والكبير والحر والعبد ممن تمونون

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan menunaikan zakat fithri untuk anak kecil, orang tua, orang merdeka, dan budak yang masuk dalam tanggungannya” (HR. Ad-Daruquthni no. 2078 dan Al-Baihaqi no. 7474 dengan sanad hasan).

Tidak wajib zakat fithri atas janin yang masih ada di dalam perut ibunya.

3.    Jenis-Jenis yang Dibayarkan Sebagai Zakat Fithri

Jenis-jenis yang dapat dibayarkan sebagai zakat fithri adalah semua jenis makanan pokok, gandum, kurma, keju, dan kismis (anggur kering).  Hal berdasarkan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudry radliyallaahu ‘anhu :

كنا نخرج زكاة الفطر صاعا من طعام أو صاعا من شعير أو صاعا من تمر أو صاعا من أقط أو صاعا من زبيب

“Dulu kami mengeluarkan zakat fithri (sebanyak) satu sha’ makanan, atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ tamr (kurma), atau satu sha’ keju, atau satu sha’ anggur kering (kismis)”  (HR. Bukhari no. 1506 dan Muslim no. 985).

4.    Ukuran Zakat Fithri

Seorang muslim mengeluarkan zakat fithri sebanyak satu sha’ dari berbagai jenis makanan yang telah disebutkan.  Satu sha’ kira-kira hampir setara dengan 3 kg beras.[2]

5.    Yang Berhak Menerima Zakat Fithri

Adapun golongan yang berhak menerima zakat fithri hanyalah dari golongan orang-orang miskin saja, sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :

فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر طهرة للصائم من اللغو والرفث وطعمة للمساكين

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata kotor, serta menjadi makanan bagi orang-orang miskin”  (HR. Abu Dawud no. 1609, Ibnu Majah no. 1827, dan Al-Hakim no. 1488. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/447 dan Irwaaul-Ghaliil 3/332 no. 843).

Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fataawaa (25/71-78) dan muridnya Ibnul-Qayyim dalam kitabnya Zaadul-Ma’aad (2/44).[3]

Adapun mengqiyaskan pemberian zakat fithri ini dengan zakat maal (yaitu untuk delapan golongan), maka pengqiyasan ini adalah pengqiyasan yang salah.  Zakat fithri berbeda sifatnya dengan zakat maal, sehingga tidak boleh adanya pengqiyasan (terhadap 2 hal yang berbeda).

6.    Waktu Penyerahan Zakat Fithri

Zakat fithri dikeluarkan sebelum orang-orang berangkat menunaikan shalat ‘Ied, dan tidak boleh menundanya hingga shalat didirikan.  Hal ini didasarkan pada hadits Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :

.... من أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة ومن أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات

“….Barangsiapa yang menyerahkannya sebelum shalat (‘Ied), berarti ia adalah zakat yang diterima.  Dan barangsiapa yang menyerahkan setelah shalat (‘Ied), maka ia hanyalah sedekah biasa” (idem)
Diperbolehkan membentuk panitia pengumpulan zakat fithri serta diperbolehkan juga membayarkannya bagi kaum muslimin sehari atau dua hari sebelum pelaksanaan shalat ‘Ied.

وأن عبد الله بن عمر كان يؤدي قبل ذلك بيوم ويومين

Bahwasannya Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma membayarkan zakat fithri sehari atau dua hari sebelum shalat ‘Ied (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 2421).

Menentukan Jatuhnya Tanggal 1 (Satu) Syawal

Penjelasan dalam bab ini serupa dengan pembahasan Bab Cara Penentuan Bulan Ramadlan. Ada satu penjelasan penting dalam bab ini untuk penekanan pentingnya menjaga persatuan umat (di atas sunnah).

Syaikh Al-Albani berkata : “Inilah yang sesuai dengan syari’at yang mudah ini (yaitu : berpuasa dan berhari raya ‘Iedul-Fithri bersama masyarakat/orang banyak – tidak menyendiri) yang diantara tujuan-tujuannya adalah menyatukan umat dan menyamakan barisan-barisan mereka, serta menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang dapat mencerai-beraikan persatuan mereka dari pemikiran-pemikiran individualistis, sehingga syari’at tidaklah memihak kepada pemikiran seseorang – walaupun benar dari sudut pandang dirinya – dalam peribadatan yang bersifat jama’i seperti puasa, hari raya, dan shalat berjama’ah. Tidaklah Anda pernah melihat bahwa para shahabat radliyallaahu ‘anhum, mereka sebagiannya shalat di belakang lainnya dalam keadaan di antara mereka ada yang menilai bahwa menyentuh wanita, kemaluan, atau keluarnya darah termasuk pembatal-pembatal wudlu. Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna di waktu safar, dan sebagian lagi ada yang mengqasharnya ? Kendatipun demikian, perselisihan mereka dengan yang lainnya tidaklah menjadi penghalang bagi mereka untuk berkumpul (bersatu) di dalam masalah shalat di belakang imam yang tunggal, sehingga mereka tidak berpecah karenanya. Hal itu karena pengetahuan mereka bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek dari sekedar perbedaan sebagian pendapat. Bahkan sampai pada tingkatan dimana sebagian mereka tidak menghiraukan suatu pendapat yang menyelisihi pendapat imam besar di lingkup yang lebih besar seperti ketika di Mina, hingga mendorongnya untuk meninggalkan pendapat pribadi secara mutlak dalam lingkup tersebut, demi menjauhi akibat buruk yang akan ditimbulkan karena beramal dari hasil pemikirannya (yang menyelisihi imam)”. Maka diriwayatkan oleh Abu Dawud 1/307 (sebuah contoh yang sangat baik dalam masalah ini) :

أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا , فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله  عليه وسلم ركعتين , و مع أبي بكر ركعتين , و مع عمر ركعتين , و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها , ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين , ثم إن ابن مسعود صلى أربعا ! فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت أربعا  ! قال : الخلاف شر .

Bahwasannya ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu shalat di Mina empat raka’at, maka berkatalah Abdullah bin Mas’ud dalam rangka mengingkari perbuatannya : “Aku shalat (ketika safar) bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dua raka’at, bersama Abu Bakar dua raka’at, dan bersama ‘Umar dua raka’at, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, kemudian beliau melakukannya dengan sempurna (empat raka’at – tidak diqashar), kemudian kalian berselisih, dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at (sebagaimana dilakukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) Akan tetapi kemudian Ibnu Mas’ud shalat empat raka’at. Maka ditanyakan kepadanya : Engkau telah mencela perbuatan ‘Utsman, namun engkau sendiri shalat empat raka’at ?”. Maka beliau menjawab : “Perselisihan itu jelek”

[selesai - Lihat selengkapnya dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 224].

Dalam atsar Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu tersebut tergambar sebuah pemahaman yang agung dalam menjaga persatuan umat [4]. Tidak dipungkiri di sini bahwa apa yang menjadi pendapat Ibnu Mas’ud itulah yang benar, yaitu mengqashar shalat ketika mabit di Mina sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam – dan itulah yang berlaku hingga kini.

Larangan untuk Berpuasa di Dua Hari Raya

Dari Abu ‘Ubaid budak Ibnu Azhar. Ia mengatakan :

شهدت العيد مع عمر بن الخطاب رضى الله تعالى عنه فقال هذان يومان نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صيامهما يوم فطركم من صيامكم واليوم الآخر تأكلون فيه من نسككم

“Aku ikut shalat ‘Ied bersama ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu lalu ia berkata : ‘Dua hari ini telah dilarang untuk melakukan puasa padanya : Hari kalian berbuka dari berpuasa (‘Iedul-Fithri) dan hari dimana kalian memakan kurban kalian (‘Iedul-Adlha)” (HR. Al-Bukhari no. 1990 dan Muslim no. 1137; ini adalah lafadh Muslim).

Imam An-Nawawi berkata :

وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاء عَلَى تَحْرِيم صَوْم هَذَيْنِ الْيَوْمَيْنِ بِكُلِّ حَال ، سَوَاء صَامَهُمَا عَنْ نَذْرٍ أَوْ تَطَوُّعٍ أَوْ كَفَّارَةٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ

“Ulama telah berijma’ tentang haramnya melakukan bentuk puasa apapun di kedua hari ini, apakah ia puasa nadzar, puasa sunnah, puasa kaffarat, maupun puasa lainnya” (Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi hal. 809).

Shalat ‘Ied di Mushalla (Tanah Lapang)

Adalah sunnah yang pasti dari Rasulullah shallallaahu ‘laihi ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya untuk melaksanakan shalat ‘Ied di mushalla (tanah lapang). Dari Abdillah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata :

كان النبي صلى الله عليه وسلم يغدو إلى المصلى والعنزة بين يديه تحمل وتنصب بالمصلي بين يديه فيصلي إليها

”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berpagi-pagi (menuju) ke tanah lapang pada hari ‘Ied, sedangkan ‘anazah (semacam tombak – Pent.) dibawa di depannya. Ketika beliau sampai di sana, (‘anazah tadi) ditancapkan di depan beliau dan beliau menghadapnya (yaitu dijadikannya sebagai sutrah/pembatas shalat). Hal ini karena tanah lapang itu terbuka, tidak ada yang membatasinya” (HR. Al-Bukhari no. 973).

Dari Abi Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu ia berkata :

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يخرج يوم الفطر والأضحى إلى المصلى فأول شيء يبدأ به الصلاة ثم ينصرف فيقوم مقابل الناس والناس جلوس على صفوفهم فيعظهم ويوصيهم ويأمرهم فإن كان يريد أن يقطع بعثا قطعه أو يأمر بشيء أمر به ثم ينصرف قال أبو سعيد فلم يزل الناس على ذلك.....

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar menuju tanah lapang pada hari ‘Iedul-Fthri dan ‘Iedul-Adlhaa. Hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, dimana mereka dalam keadaan duduk di shaff-shaff mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling”. Abu Sa’id berkata : “Maka manusia terus-menerus melakukan yang demikian (sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam)…..”  (HR. Al-Bukhari no. 913, Muslim no. 889, An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 1798 dan yang lainnya; ini adalah lafadh Al-Bukhari).

Tidak diragukan lagi bahwasannya Masjid Nabawi mempunyai keutamaan yang lebih dari tempat lain.[5] Walaupun demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya tetap melaksanakannya di tanah lapang. Hal ini menunjukkan bahwa disyari’atkannya pelaksanaan shalat ‘Ied adalah di tanah lapang. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata :

واستدل به على استحباب الخروج إلى الصحراء لصلاة العيد وأن ذلك أفضل من صلاتها في المسجد لمواظبة النبي صلى الله عليه وسلم على ذلك مع فضل مسجده

“Dari hadits ini diambillah dalil atas sunnahnya keluar ke tanah lapang untuk shalat ‘Ied. Sesungguhnya yang demikian itu lebih utama daripada shalat ‘Ied di masjid karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam terus-menerus melakukan demikian. Padahal shalat di masjid beliau memiliki banyak keutamaan” (lihat Fathul-Bari 2/450).

Namun jika ada sesuatu yang tidak memungkinkan mengerjakannya di tanah lapang (karena hujan, atau tidak tersedianya tanah lapang/tanah kosong sebagaimana lazim di sebagian perkotaan padat), maka shalat di masjid adalah tidak mengapa. Wallaahu a’lam.

Shalat ‘Ied

1.    Makan Sebelum Shalat ‘Iedul-Fithri dan Tidak Makan Sebelum Shalat ‘Iedul-Adlha

عن بن بريدة عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان لا يخرج يوم الفطر حتى يأكل وكان لا يأكل يوم النحر حتى يرجع

Dari (Abdullah) bin Buraidah dari ayahnya : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidaklah keluar (menuju tanah lapang untuk melaksanakan shalat) pada hari raya ‘Iedul-Fithri sebelum makan. Dan tidaklah beliau makan pada hari raya ‘Iedul-Adlhaa sebelum beliau kembali (dari melaksanakan shalat) (HR. At-Tirmidzi no. 542, Ibnu Majah no. 1756, Ad-Darimi no. 1641, dan Ahmad 5/352; ini adalah lafadh Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 2/86).

2.    Mandi di Pagi Hari Sebelum Melaksanakan Shalat ‘Ied

Dari Nafi’ ia berkata :

أن عبد الله بن عمر كان يغتسل يوم الفطر قبل أن يغدو إلى المصلى

“Abdullah bin ‘Umar biasa mandi pada hari raya ‘Iedul-Fithri sebelum pergi ke tanah lapang (untuk melaksanakan shalat)” (Diriwayatkan oleh Malik no. 468, Asy-Syafi’i dalam Musnad Asy-Syafi’i bersama Syifaaul-‘Iyyi dalam Kitaabul-‘Iedain 1/316, dan Abdurrazzaq no. 5754 dengan sanad shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim Al-Hilaly dalam tahqiq dan takhrij beliau atas kitab Al-Muwaththa’).

3.    Berpakaian yang Bagus

أن عبد الله بن عمر قال أخذ عمر جبة من إستبرق تباع في السوق فأخذها فأتى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله ابتع هذه تجمل بها للعيد والوفود فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم إنما هذه لباس من لا خلاق له فلبث عمر ما شاء الله أن يلبث ثم أرسل إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم بجبة ديباج فأقبل بها عمر فأتى بها رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إنك قلت إنما هذه لباس من لا خلاق له وأرسلت إلي بهذه الجبة فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم تبيعها أو تصيب بها حاجتك

Bahwasannya Abdullah bin ‘Umar berkata : ‘Umar (bin Khaththab) mengambil sebuah baju dari sutera tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan berkata : “Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan dengannya di hari raya dan saat menerima utusan”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Umar : “Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapatkan kebahagiaan (di akhirat)”. Maka tinggallah ‘Umar sepanjang waktu yang Allah inginkan. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan kepadanya jubah dari sutera. ‘Umar menerimanya lalu mendatangi beliau. Ia berkata : “Ya Rasulullah, dulu engkau pernah berkata bahwa pakaian ini merupakan pakaian orang yang tidak mendapatkan kebahagiaan (di akhirat), dan engkau kemudian mengirimkan kepadaku jubah ini”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : “Juallah ia atau penuhilah kebutuhanmu dengannya” (HR. Al-Bukhari no. 948, Muslim no. 2068, Abu Dawud no. 1076, dan yang lainnya; ini adalah lafadh Al-Bukhari).

Al-‘Allamah As-Sindi berkata :

أن التجمل يوم العيد كان عادة متقررة بينهم ولم ينكرها النبي صلى الله تعالى عليه وسلم فعلم بقاؤها

“Dari hadits ini diketahui bahwa berdandan (membaguskan penampilan) pada hari raya merupakan kebiasaan yang ditetapkan di antara mereka (para shahabat), dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkarinya, maka diketahui tetapnya kebiasaan itu” (Hasyiyah As-Sindi ‘alan-Nasa’i 3/181 no. 1560).

4.    Semua Kaum Muslimin Keluar Menuju Tanah Lapang (untuk Melaksanakan Shalat) Tanpa Terkecuali

Bahkan, bagi para wanita yang haidl yang mereka tidak melaksanakan puasa dan shalat pun tetap diperintahkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk datang di tanah lapang menyaksikan pelaksanaan shalat.

عن أم عطية قالت كنا نؤمر أن نخرج يوم العيد حتى نخرج البكر من خدرها حتى نخرج الحيض فيكن خلف الناس فيكبرن بتكبيرهم ويدعون بدعائهم يرجون بركة ذلك اليوم وطهرته

Dari Ummu ‘Athiyyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Kami diperintahkan untuk keluar pada hari ’Ied, hingga kami pun mengeluarkan wanita-wanita gadis dari tempat pingitannya dan para wanita haidl untuk ditempatkan di belakang orang-orang. Maka mereka pun bertakbir mengikuti takbir kaum laki-laki dan berdoa mengikuti doa kaum laki-laki. Mereka mengharapkan barakah dan kesucian pada hari itu” (HR. Al-Bukhari no. 971 dan Muslim no. 890; ini adalah lafadh Al-Bukhari).

Pada riwayat lain disebutkan :

وأمر الحيض أن يعتزلن مصلى المسلمين

”....dan beliau shallallaahu ’alaihi wasallam memerintahkan para wanita haidl menjauhi tempat shalat kaum muslimin” (HR. Muslim no. 890).[6]

5.    Berjalan Kaki Menuju Tanah Lapang

عن علي بن أبي طالب قال من السنة أن تخرج إلى العيد ماشيا

Dari ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Termasuk sunnah yaitu engkau keluar (menuju tanah lapang) di hari ‘Ied dengan berjalan kaki” (HR. At-Tirmidzi no. 530 dan Ibnu Majah no. 1296. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/164).

Imam At-Tirmidzi berkata ketika mengomentari hadits di atas : “Kebanyakan dari ahli ‘ilmu (ulama) mengamalkan hadits ini dimana mereka menyukai seseorang yang keluar menuju shalat ‘Ied (di tanah lapang) dengan berjalan kaki. Mereka (ahli ilmu) juga men-sunnah-kan memakan sesuatu sebelum mereka keluar untuk shalat ‘Iedul-Fithri. Janganlah seseorang menaiki kendaraan kecuali jika ia mempunyai udzur”.

6.    Menempuh Jalan yang Berbeda Ketika Berangkat dan Pulang dari Tanah Lapang

عن جابر قال كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا كان يوم عيد خالف الطريق

Dari Jabir radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari ‘Ied, beliau mengambil jalan yang berbeda (ketika berangkatdan pulang dari tanah lapang)” (HR. Al-Bukhari no. 986).

7.    Takbir ‘Ied

a.    Waktu Disunnahkannya Mengumandangkan Takbir Hari Raya ‘Iedul-Fithri

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يخرج يوم الفطر فيكبر حتى يأتي المصلى وحتى يقضي الصلاة فإذا قضى الصلاة قطع التكبير

Bahwasannya bila beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar (dari rumah beliau) pada hari ‘Iedul-Fithri, maka beliau bertakbir hingga tiba di tanah lapang dan hingga ditunaikannya shalat. Apabila beliau telah menunaikan shalat beliau menghentikan takbir (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 4/192-193 no. 5667 dan Al-Muhamili dalam Kitab Shalatul-‘Iedaian dengan sanad mursal shahih. Namun memiliki pendukung yang menguatkannya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 171).

b.    Lafadh Takbir Hari Raya

Tidak ada lafadh takbir hari raya shahih yang marfu’ dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Hanya saja ada beberapa riwayat shahih dari para shahabat, antara lain :

ü  Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu :

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ ، لا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ ، وَللهِ اْلحَمْدُ

[Alloohu akbar, alloohu akbar. Laa ilaaha illalloohu walloohu akbar, alloohu akbar wa lillaahil-hamd]

“Allah Maha Besar Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Dan untuk Allah lah segala puji”

(Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 5697; shahih).

ü  Dari Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْراً ، اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْراً ، اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ

[Alloohu akbar kabiiro, Alloohu akbar kabiiro, Alloohu akbar wa ajallu, Alloohu akbar wa lillaahil-hamd]

“Allah Maha Besar Kabiir, Allah Maha Besar Kabiir, Allah Maha Besar dan Maha Mulia, Allah Maha Besar dan untuk Allah lah segala puji.” 

(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 5701 dengan sanad shahih).

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ ، اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ ، اللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا

[Alloohu akbar alloohu akbar alloohu akbar, alloohu akbar wa lillaahil-hamd, alloohu akbar wa ajallu, alloohu akbar ‘alaa maa hadaanaa]

“Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Allah Maha Besar untuk Allah lah segala puji. Allah Maha Besar dan Maha Mulia. Allah Maha Besar atas petunjuk yang diberikan-Nya kepada kita”

(Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi no. 6074 dengan sanad shahih).

ü  Dari Salman Al-Khair radliyallaahu ‘anhu :

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْراً

[Alloohu akbar alloohu akbar allohu akbar kabiira]

“Allah Maha Besar Allah Maha Besar Kabiir” 

(Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa no.6076)[7].

Takbir ini hendaknya terus diucapkan oleh semua kaum muslimin sampai datangnya imam untuk ditegakkannya shalat ‘Iedul-Fithri.

8.    Waktu Ditegakkanya Shalat ‘Ied

Ibnul-Qayyim berkata : “Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan shalat ‘Iedul-Fithri dan menyegerakan shalat ‘Iedul-Adlhaa. Dan adalah Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma – dengan kuatnya upayanya untuk mengikuti Sunnah Nabi – tidak keluar hingga matahai terbit” (Zaadul-Ma’ad 1/442).

Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata : “Waktu shalat ‘Iedul-Fithri dan ‘Iedul-Adlha adalah dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak sampai tergelincir. Yang paling utama, shalat ‘Iedul-Adlhaa dilakukan di awal waktu agar manusia dapat menyembelih hewan-hewan kurban mereka. Sedangkan shalat ‘Iedul-Fithri agak diakhirkan waktunya agar manusia dapat mengeluarkan zakat fithri mereka[8] ” (Minhajul-Muslim halaman 278).

9.    Tidak Ada Shalat Sunnah Sebelum dan Sesudah Shalat ‘Ied

عن بن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى يوم الفطر ركعتين لم يصل قبلها ولا بعدها

Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam shalat ‘Iedul-Fithri dua raka’at, dan beliau tidak shalat sebelum maupun sesudahnya….” (HR. Al-Bukhari no. 964).

Peniadaan shalat sunnah tersebut hanya ketika berada di tanah lapang. Akan tetapi bila ia telah sampai rumah, maka ia boleh shalat sunnah mutlak sebagaimana hadits :

عن أبي سعيد الخدري قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يصلي قبل العيد شيئا فإذا رجع إلى منزله صلى ركعتين

Dari Abu Sa’id Al-Khudry radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah shalat sebelum ‘Ied, tetapi bila beliau pulang ke rumahnya maka beliau shalat dua raka’at” (HR. Ibnu Majah no. 1293 dan Ahmad 3/28,3/40; ini adalah lafadh Ibnu Majah. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil 3/100).

10. Tidak Ada Adzan dan Iqamat

عن جابر بن سمرة قال صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم العيدين غير مرة ولا مرتين بغير أذان ولا إقامة

Dari Jabir bin Samurah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Aku pernah shalat hari raya bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali tanpa adzan dan iqamat” (HR. Muslim no. 887).

Ibnul-Qayyim berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila sampai ke tanah lapang, beliau memulai shalat tanpa adzan dan iqamat, tidak pula ucapan : Ash-Sholaatu jaami’ah [الصلاة جامعة]. Menurut sunnah, itu semua tidak usah dilakukan” (Zaadul-Ma’ad 1/442).

11. Kaifiyat Shalat ‘Ied

a.    Dilaksanakan dalam Dua Raka’at

Hal ini berdasarkan riwayat ‘Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu :

صلاة الجمعة ركعتان وصلاة الفطر ركعتان وصلاة الأضحى ركعتان وصلاة السفر ركعتان تمام غير قصر على لسان محمد صلى الله عليه وسلم

“Shalat Jum’at itu dua raka’at, shalat ‘Iedul-Fithri itu dua raka’at, shalat ‘Iedul-Adlhaa itu dua raka’at, shalat safar itu dua raka’at; sempurna tanpa dikurangi menurut lisan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam” (HR. An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 1420, dan Ibnu Majah no. 1063-1064. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa’i  1/457).

b.    Takbiratul-Ihram, kemudian takbir tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua

عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يكبر في الفطر والأضحى في الأولى سبع تكبيرات وفي الثانية خمسا

Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada shalat ‘Iedul-Fithri dan ‘Iedul-Adlhaa tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua (HR. Abu Dawud no. 1149, Ibnu Majah no. 1280, dan Baihaqi 3/287; ini adalah lafadh Abu Dawud. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/315 dan Irwaaul-Ghalil no. 639).

Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarhus-Sunnah (4/309) : Inilah pendapat mayoritas ahli ilmu dari kalangan shahabat dan generasi setelahnya, yaitu takbir tujuh kali pada raka’at pertama setelah takbir iftitah (pembukaan) dan lima takbir pada raka’at kedua selain takbir berdiri sebelum membaca. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-Khudri, dan ini juga merupakan pendapat ahli Madinah dan Az-Zuhri, ‘Umar bin Abdilaziz, Mali, Auza’i, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq”.[9]

Pada setiap takbir disunnahkan untuk mengangkat tangan. Hal ini sesuai dengan keumuman hadits :

عن وائل بن حجر الحضرمي قال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يرفع يديه مع التكبير

Dari Wail bin Hujr Al-Hadlrami radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan takbir” (HR. Ahmad 4/316; dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil no. 641).

Tidak ada satu pun riwayat dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang bacaan-bacaan tertentu yang diucapkan di sela-sela takbir tadi. Akan tetapi telah shahih atsar dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu :

بين كل تكبيرتين حمد الله عز وجل وثناء على الله

“Diantara dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah ‘azza wa jalla” (Diriwayatkan oleh Al-Mahammili dalam Shalatul-‘Iedain 2/121 dengan sanad jayyid. Lihat Irwaaul-Ghalil 3/115).

c.    Membaca Al-Fatihah dan Membaca Surat

لا صلاة لمن لم يقرأ [فيها] بفاتحة الكتاب [فصاعداً]

“Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca di dalamnya Fatihatul-Kitab (Al-Fatihah)” (HR. Al-Bukhari no. 723, Muslim no. 394, dan lain-lain. Lihat Ashlu Shifat Shalat Nabi oleh Syaikh Al-Albani halaman 300).

Sunnah membaca surat Al-A’la dan Al-Ghaasyiyah setelah Al-Fatihah.

عن النعمان بن بشير قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ في العيدين وفي الجمعة بسبح اسم ربك الأعلى وهل أتاك حديث الغاشية

Dari An-Nu’man bin Basyir radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca Sabbihisma rabbikal-a’la (Surat Al-A’la) dan Hal ataaka hadiitsul-ghaasyiyah (Surat Al-Ghasyiyah) pada shalat ‘Iedain dan shalat Jum’at” (HR. Muslim no. 878).

Atau membaca Surat Qaaf dan Al-Qamar.

أن عمر بن الخطاب سأل أبا واقد الليثي ما كان يقرأ به رسول الله صلى الله عليه وسلم في الأضحى والفطر فقال كان يقرأ فيهما بق والقرآن المجيد واقتربت الساعة وانشق القمر

Bahwasanya ‘Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu bertanya kepada Abu Waqid Al-Laitsi : “Apa yang biasa dibaca oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam shalat ‘Iedul-Adlhaa dan ‘Iedul-Fithri ?”. Ia menjawab : “Beliau biasa membaca Qaaf, wal-qur’aanil-majiid (Surat Qaaf) dan Iqtarabatis-saa’ati wan-syaqal-qamar (Surat Al-Qamar)” (HR. Muslim no. 891).

d.    Kaifiyat lainnya seperti shalat biasa, tidak ada perbedaan.

12. Tertinggal Shalat ‘Ied

Orang yang tertinggal shalat hari raya secara jama’ah, hendaknya ia shalat dua raka’at. Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya : Bab Apabila Seseorang Ketinggalan Shalat ‘Ied Maka Hendaknya Ia Shalat Dua Raka’at. Kemudian beliau menyebut atsar ‘Atha’ secara mu’allaq : “Apabila ketinggalan shalat ‘Ied, maka ia shalat dua raka’at” (di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Al-Firyabi dengan sanad shahih. Lihat Mukhtashar Shahih Bukhari 1/302 no. 198).

Imam Malik berkata :

في رجل وجد الناس قد انصرفوا من الصلاة يوم العيد إنه لا يرى عليه صلاة في المصلى ولا في بيته وأنه إن صلى في المصلى أو في بيته لم أر بذلك بأسا ويكبر سبعا في الأولى قبل القراءة وخمسا في الثانية قبل القراءة

“Apabila seseorang mendapati orang-orang telah selesai mengerjakan shalat ‘Ied, (sebagian orang berpandangan bahwa) ia tidak perlu mengerjakan shalat di tanah lapang maupun di rumahnya. (Akan tetapi), bila ia shalat (sendirian) di tanah lapang atau di rumahnya, menurutku hal itu tidak mengapa. Hendaklah ia bertakbir tujuh kali di raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua sebelum Al-Fatihah” (Al-Muwaththa’ no. 477).

13. Khutbah ‘Ied

a.    Khutbah Dilaksanakan Setelah Shalat.

عن بن عباس قال شهدت العيد مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان رضى الله تعالى عنهم فكلهم كانوا يصلون قبل الخطبة

Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Aku menghadiri shalat ‘Iedul-Fithri bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman. Semuanya melaksanakan shalat sebelum khutbah” (HR. Al-Bukhari no. 962 dan Muslim no. 884; ini adalah lafadh Al-Bukhari)

b.    Hukum Menghadiri Khutbah adalah Sunnah, Tidak Wajib.

عن عبد الله بن السائب قال شهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم العيد فلما قضى الصلاة قال إنا نخطب فمن أحب أن يجلس للخطبة فليجلس ومن أحب أن يذهب فليذهب

Dari Abdullah bin Saib radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Aku menghadiri ‘Ied bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ketika telah selesai shalat, maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya kami akan berkhutbah. Barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khutbah, hendaklah ia duduk. Dan barangsiapa yang ingin pergi, maka silakan ia pergi” (HR. Abu Dawud no. 1155, Ibnu Majah no. 1290, dan yang lainnya; ini adalah lafadh Abu Dawud. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/316).

c.    Khutbah Dimulai dengan Pujian dan Tasyahud kepada Allah.

Telah menjadi sunnah yang tsabit (tetap) dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau akan memulai khutbah, maka beliau memulainya dengan pujian kepada Allah ta’ala.

عن جابر قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يخطب الناس يحمد الله ويثني عليه بما هو أهله ثم يقول من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وخير الحديث كتاب الله

Dari Jabir radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada manusia, beliau memuji Allah dan menyanjungnya yang memang Dia pemilik (puji-pujian dan sanjungan). Dan kemudian beliau mengucapkan : “Barangsiapa yang Allah pimpin, tidak ada satupun yang menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada satupun yang akan bisa menunjukinya”. Kemudian beliau mengucapkan : “Amma ba’du, maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan itu adalah adalah Kitabullah” (HR. Muslim no. 867).

عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال كل خطبة ليس فيها تشهد فهي كاليد الجذماء

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Setiap khutbah yang tidak (dimulai) dengan tasyahhud, maka ia (khutbah) itu sepeti tangan yang berpenyakit” (HR. Abu Dawud no. 4861. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 169).

d.    Khutbah ‘Ied Dua Kali Diselingi dengan Duduk (Seperti Shalat Jum’at) ?

Yang rajih dalam hal ini adalah bahwa khutbah ‘Ied itu satu kali dan tidak diselingi dengan duduk. Dasarnya adalah :

شهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم الصلاة يوم العيد فبدأ بالصلاة قبل الخطبة بغير أذان ولا إقامة ثم قام متوكئا على بلال فأمر بتقوى الله وحث على طاعته ووعظ الناس وذكرهم ثم مضى حتى أتى النساء فوعظهن وذكرهن فقال تصدقن فإن أكثركن حطب جهنم فقامت امرأة من سطة النساء سفعاء الخدين فقالت لم يا رسول الله قال لأنكن تكثرن الشكاة وتكفرن العشير قال فجعلن يتصدقن من حليهن يلقين في ثوب بلال من أقرطتهن وخواتمهن

Dari Jabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Aku hadir bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Ied. Beliau memulai shalat sebelum khutbah tanpa adzan dan iqamat. Kemudian beliau berdiri dengan berpegangan kepada Bilal. Lalu beliau memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah, menganjurkan ketaatan kepada-Nya, lalu beliau memberi nasihat dan mengingatkan mereka. Kemudian beliau berjalan hingga mendatangi wanita, menyampaikan nasihat kepada mereka dan mengingatkan mereka, lalu bersabda : “Wahai sekalian wanita, hendaklah kalian mengeluarkan shadaqah, karena kalian adalah kayu bakar Jahannam yang paling banyak”. Seorang wanita dari kerumunan para wanita yang kedua pipinya kehitaman, berdiri dan berkata : “Mengapa wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab : “Karena kalian banyak mengeluh dan mengingkari suami”. Jabir berkata : “Maka mereka dengan segera bershadaqah dengan perhiasan mereka, dengan melemparkan ke kain Bilal, berupa anting-anting dan cincin mereka” (HR. Muslim no. 885).
Dhahir hadits di atas menunjukkan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya berkhutbah sekali dan kemudian pergi ke tempat para wanita. Adapun hadits yang menyebutkan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berkhutbah dua kali (sebagaimana khutbah Jum’at), maka ia adalah hadits dla’if.

عن جابر قال خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم فطر أو أضحى فخطب قائما ثم قعد قعدة ثم قام

Dari Jabir ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari raya ‘Iedul-Fithri atau ‘Iedul-Adlha, maka beliau berkhutbah dengan berdiri, kemudian duduk, dan kemudian berdiri kembali” (HR. Ibnu Majah no. 1289 – dla’if/munkar. Lihat Dla’if Sunan Ibni Majah 1/95).

Adapun apa yang diriwayatkan dalam Shahih Ibnu Khuzaimah no. 1446 (shahih) :

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يخطب الخطبتين وهو قائم وكان يفصل بينهما بجلوس

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah dua kali dengan berdiri dan memisahkan antara dua khutbah itu dengan duduk” ;

maka ini adalah shifat khutbah Jum’at. Hal itu dikarenakan dalam riwayat lain, hadits tersebut dibawakan dengan redaksi :

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يخطب يوم الجمعة قائما ثم يجلس

“Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Jum’at dengan berdiri kemudian duduk…”  (HR. Muslim no. 861).

14. Bila ‘Ied Bertepatan dengan Hari Jum’at

Apabila hari raya ‘Ied jatuh bertepatan dengan hari Jum’at, maka kewajiban melaksanakan shalat Jum’at bagi laki-laki (yang telah melaksanakan shalat ‘Ied di hari itu) menjadi gugur – akan tetapi ia wajib melaksanakan shalat Dhuhur. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

قد اجتمع في يومكم هذا عيدان فمن شاء أجزأه من الجمعة وإنا مجمعون

“Pada hari ini telah berkumpul dua hari raya pada kalian. Maka barangsiapa yang ingin, maka tidak ada kewajiban Jum’at baginya. Karena sesungguhnya kita telah  dikumpulkan” (HR. Abu Dawud no. 1073 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/296).

Bolehnya Mendengarkan Rebana (Duff) yang Dimainkan oleh Anak Kecil di Hari Raya

Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata :

دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم وعندي جاريتان تغنيان بغناء بعاث فاضطجع على الفراش وحول وجهه ودخل أبو بكر فانتهرني وقال مزمارة الشيطان عند النبي صلى الله عليه وسلم فأقبل عليه رسول الله عليه السلام فقال دعهما فلما غفل غمزتهما فخرجتا

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memasuki rumahku sedang aku bersama dua orang anak perempuan kecil yang sedang mendendangkan nyanyian Bu’ats. Lalu beliau berbaring dan mengarahkan wajahnya ke arah lain. Kemudian Abu Bakar masuk dan memukulku seraya berkata : “Ada seruling syaithan di dekat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghadapkan wajahnya kepada Abu Bakar seraya bersabda : “Biarkan saja mereka berdua”. Ketika Abu Bakar lengah, aku mencubit kedua anak perempuan itu dan merekapun pergi keluar. Dan waktu itu adalah hari ’Ied....”  [HR. Bukhari no. 949 dan Muslim no. 892].

عن عائشة أن أبا بكر رضى الله تعالى عنه دخل عليها وعندها جاريتان في أيام منى تدففان وتضربان والنبي صلى الله عليه وسلم متغش بثوبه فانتهرهما أبو بكر فكشف النبي صلى الله عليه وسلم عن وجهه فقال دعهما يا أبا بكر فإنها أيام عيد وتلك الأيام أيام منى

Dari ’Aisyah : ”Bahwasannya Abu Bakr radliyallaahu ta’ala ’anhu masuk menemuinya (’Aisyah) dimana di sampingnya terdapat dua orang anak perempuan di hari Mina yang memukul duff. Adapun Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam waktu itu dalam keadaan menutup wajahnya dengan bajunya. Ketika melihat hal tersebut, maka Abu Bakr membentak kedua anak perempuan tadi. Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam kemudian membuka bajunya yang menutup wajahnya dan berkata : ”Biarkan mereka wahai Abu Bakr, sesungguhnya hari ini adalah hari raya Mina” . Pada waktu itu adalah hari-hari Mina” [HR. Bukhari no. 987].

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata :

وفي هذا الحديث الفوائد مشروعية التوسعة على العيال في أيام الاعياد بأنواع ما يحصل لهم بسط النفس وترويح البدن من كلف العبادة وأن الإعراض عن ذلك أولى وفيه أن إظهار السرور في الاعياد من شعار الدين

“Dalam hadits ini ada beberapa faedah, yaitu disyari’atkannya untuk memberikan kelapangan kepada keluarga pada hari-hari raya untuk melakukan berbagai hal yang dapat menyampaikan mereka pada kesenangan jiwa dan istirahatnya tubuh dari beban ibadah. Dan sesungguhnya berpaling dari hal itu lebih utama. Dalam hadits ini juga menunjukkan bahwa menampakkan kegembiraan pada hari-hari raya merupakan syi’ar agama” (Fathul-Bari 2/307)

Ucapan Selamat (Tahniah) Hari Raya

Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fathul-Bari 2/310 mengatakan : “Kami meriwayatkan dari guru-guru kami dalam Al-Mahamiliyyat dengan sanad hasan dari Jubair bin Nufair, beliau berkata :

عن جبير بن نفير قال كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ

“Para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila mereka saling jumpa pada hari raya, sebagian mereka mengucapkan pada lainnya : ‘Taqabbalalloohu minnaa wa minka’ (Semoga Allah menerima amalanku dan amalanmu)”.

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam Al-Mughni 3/294-295 menyebutkan :

أن محمد بن زياد قال‏:‏ كنت مع أبي أمامة الباهلى وغيره من أصحاب النبي - صلى الله عليه وسلم- فكانوا إذا رجعوا من العيد يقول بعضهم لبعض‏:‏ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ وقال أحمد‏:‏ إسناد حديث أبي أمامة إسناد جيد

“Bahwasannya Muhammad bin Ziyad pernah berkata : Aku pernah bersama Abu Umamah Al-Bahily dan selainnya dari kalangan shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; apabila mereka kembali dari ‘Ied, sebagian mereka mengucapkan kepada sebagian yang lain : “Taqabbalalloohu minnaa wa minka” (Semoga Allah menerima amalanku dan amalanmu). Imam Ahmad berkata : Isnad hadits Abu Umamah jayyid (bagus)”.

Adapun ucapan selain yang dicontohkan tersebut, hendaknya kita tinggalkan dan kita gantikan dengan yang dicontohkan. Allah telah berfirman :

أَتَسْتَبْدِلُونَ الّذِي هُوَ أَدْنَىَ بِالّذِي هُوَ خَيْرٌ

“Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang baik” (QS. Al-Baqarah : 61).

Puasa Syawal

1.    Puasa Enam Hari di Bulan Syawal Sebanding dengan Puasa Setahun

Disunnahkan mengiringi puasa Ramadlan dengan puasa enam hari di bulan Syawal dan itu sebanding dengan puasa setahun. Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadlan, lalu ia mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti puasa selama setahun” (HR. Muslim no. 1164, Abu Dawud no. 2433, At-Tirmidzi no. 759, dan lain-lain).

Imam An-Nawawi berkata :

قَالَ الْعُلَمَاء : وَإِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ كَصِيَامِ الدَّهْر ؛ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا ، فَرَمَضَانُ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ ، وَالسِّتَّة بِشَهْرَيْنِ ، وَقَدْ جَاءَ هَذَا فِي حَدِيث مَرْفُوع فِي كِتَاب النَّسَائِيِّ .

“Para ulama mengatakan bahwa itu sebanding dengan puasa setahun karena satu kebaikan balasannya sepuluh kali lipat dan puasa sebulan Ramadlan sama dengan puasa sepuluh bulan. Sedangkan puasa enam hari sama dengan puasa dua bulan. Keterangan ini juga terdapat pada hadits marfu’ dalam kitab An-Nasa’i" (Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi hal. 827).

2.    Tidak Disyaratkan Melakukannya Secara Berurutan

Hal itu sesuai dengan kemutlakan hadits : “lalu ia mengiringinya dengan puasa enam hari”. Kalimat hadits ini tidak menunjukkan keharusan melakukannya secara berurutan. Imam Ahmad berkata : “Nabi mengatakan : ‘Enam hari dari bulan Syawal’ ; maka bila seseorang berpuasa enam hari tersebut, ia tidak peduli apakah dilakukan secara acak atau berurutan” (Masa’il Abdullah bin Ahmad bin Hanbal halaman 93).

3.    Bolehkan Mendahulukan Puasa Enam Hari Bulan Syawal dari Meng-Qadla Puasa Ramadlan ?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjawab : “Di sini ada satu masalah yang perlu dijelaskan. Yaitu bahwa puasa enam hari bulan Syawal tidak boleh didahulukan dari meng-qadla puasa Ramadlan. Jika itu terjadi, maka puasa tersebut menjadi puasa sunnah mutlak dan pelakunya tidak memperoleh pahala seperti yang dijelaskan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam haditsnya :

من صام رمضان ثم أتبعه بست من شوال كان كصيام الدهر

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadlan, lalu ia mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti puasa selama setahun”.

Hal itu karena bunyi hadits tersebut adalah : Barangsiapa yang berpuasa Ramadlan, dan ini sangat jelas. Sebagian pengkaji ilmu mengira bahwa masalah perbedaan tentang sahnya melakukan puasa sunnah sebelum meng-qadla puasa wajib berlaku pula pada masalah ini. Padahal masalah ini tidak berlaku pada kasus yang satu ini, karena haditsnya jelas menyatakan bahwa tidak ada puasa enam hari kecuali setelah meng-qadla puasa Ramadlan” (Asy-Syarhul-Mumti’ 6/448).[10] Wallaahu a’lam.

[Http://Cerkiis.blogspot.com, Sumber Penulis: Ustadz Abul Jauzaa]

DAFTAR PUSTAKA

●   Al-Bassam, ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman. Taudlihul-Ahkaam min Buluughil-Maraam. Maktabah Al-Asady. Cet. V. 1423.

●   Abdul-‘aziz, Usamah. Puasa Sunnah : Hukum dan Keutamaannya (Judul Asli : Shiyaamu Tathawwu’ Fadlaailu wa Ahkaam). Daarul-Haq. Cet. I. 1425/2004 M. Jakarta.

●   Ad-Daarimi, ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman bin Fadhl bin Bahram. Sunan Ad-Daarimi. Tahqiq : Husain Salim Asad. Daarul-Mughni. Cet. I. 1421. Riyadl.

●   Ad-Daruquthni, ‘Ali bin ‘Umar. Sunan Ad-Daruquthni. Ta’liq : Abu Thayyib Muhammad Syamsul-Haq ‘Adhim ‘Abadi. Tahqiq : Syu’aib Al-Arna’uth, Hasan ‘Abdil-Mun’im Asy-Syibliy, ‘Abdul-Lathif Hirzallah, dan Ahmad Barhuum. Muassasah Ar-Risalah. Cet. 1. 1424. Beirut.

●   Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Ashlu Shifat Shalat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam minat-Takbiir ilat-Tasliim. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr wat-Tauzi’. Cet. I. 1427/2006 M. Riyadl.

____________________________.
Dla’if Sunan Ibni Majah. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr wat-Tauzi’. Cet. I. 1417 H/1997 M. Riyadl.

____________________________.
Irwaa’ul-Ghaliil fii Takhriiji Ahaaditsi Manaaris-Sabiil. Al-Maktab Al-Islami. Cet. I. 1399/1979 M.

____________________________.
Jaami’ At-Tirmidzi. Free Program (down load from : www.alalbany.net).

____________________________.
Mukhtashar Shahih Al-Imam Al-Bukhari. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr wat-Tauzi’. 1422/2002 M. Riyadl.

____________________________.
Risaalah Qiyaami-Ramadlaan : Fadlluhu wa Kaifiyyatu Adaaihi wa Masyru’iiyatul-Jamaa’ati Fiih. Al-Maktabah Al-Islamiyyah. Cet. VI. 1413.

____________________________.
Shahih wa Dla’if Al-Jami’ Ash-Shaghir wa Ziyaadatihi. Al-Maktab Al-Islamy. Cet. III. 1408 H/1988 M. Damaskus.

____________________________.
Shahih At-Targhib wat-Tarhib. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr wat-Tauzi’. Cet. 1412 H. Riyadl. (Maktabah Sahab - down load from : www.sahab.org/books).

____________________________.
Shahih Sunan Abi Dawud. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr wat-Tauzi’. Cet. I. 1419 H/1998. Riyadl.

____________________________.
Shahih Sunan An-Nasa’i. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr wat-Tauzi’. Cet. I. 1419 H/1998 M. Riyadl.

____________________________.
Shahih Sunan At-Tirmidzi. Al-Ma’arif lin-Nasyr wat-Tauzi’. Cet. I. 1420 H/2000 M. Riyadl.

____________________________.
Shahih Sunan Ibni Majah. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr wat-Tauzi’. Cet. I. 1417 H/1997 M. Riyadl.

____________________________.
Shifat Shalat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam minat-Takbiir ilat-Tasliim. Maktabah Al-Ma’arif. Cet. 1996. Riyadl.

____________________________.
Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahiihah. Maktabah Al- Ma’arif lin-Nasyr wat-Tauzi’. Riyadl.

____________________________.
Qiyaamur-Ramadlaan. Al-Maktabah Al-Islamiyyah. Cet. 1. 1421. Urdun.

____________________________.
Tamaamul-Minnah fii Ta’liq ‘ala Fiqhis-Sunnah. Daarur-Raayah. Cet. II. Tanpa Tahun.

●   Al-Ashbahani, Abu Nua’im Ahmad bin ‘Abdillah. Hilyatul-Auliyaa’. Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah. Cet. I. 1409.

●   Al-’Asqalaniy, Ahmad bin ’Ali bin Hajar. Fathul-Bari bi-Syarh Shahih Al-Bukhari. Daarul-Ma’rifah. Tanpa Tahun. Beirut.

●   Al-Baihaqi, Abu Bakr Ahmad bin Husain. As-Sunanul-Kubraa. Free Program Mausu’ah Al-Haditsiyah An-Nabawiyyah (down load from : www.islamspirit.com).

●   Al-Baihaqi, Abu Bakr Ahmad bin Husain. Al-Jaami’ li-Syu’abil-Iman. Tahqiq : ‘Abdul-‘Ali bin ‘Abdil-Hamid Al-Haamid. Maktabah Ar-Rusyd. Cet. 1. 1423.

●   Al-Barik, Haya binti Mubarak. Ensiklopedi Wanita (Judul Asli : Mausu’ah Mar’atil-Muslimah). Daarul-Falah. Cet. X. 1423. Jakarta.

●   Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. Shahih Al-Bukhari. Tahqiq : Muhibbuddin Al-Khathib. Al-Maktabah As-Salafiyyah. Cet. I. 1400. Kairo, Mesir.

●   Al-Haitsami, Nuruddin ‘Ali bin Abi Bakr. Mawaaridudh-Dham’aan ilaa Zawaaidi Ibni Hibban. Al-Maktabah Al-Mahmudiyyah. Cet. Tahun 1351.

●   Al-Halaby, Ali bin Hasan Al-Atsary. I’tikaf Menurut Sunnah Nabi (Judul Asli : Al-Inshaaf fii Ahkaamil-I’tikaaf. Pustaka Mantiq. Cet. I. 1997. Solo.

____________________________.
Shalat Hari Raya dan Qurban Menurut Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam (Judul asli : Ahkaamul-‘Iedain fis-Sunnatil-Muthahharah). Pustaka Hauraa’. Cet. III. 1420/1999 M. Yogyakarta.

●   Al-Hilaly, Salim bin ‘Ied. Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (Jilid 2) (Judul Asli :Mausu’ah Al-Manahiyyisy-Syar’iyyah fii Shahiihis-Sunnah An-Nabawiyyah). Pustaka Imam Asy-Syafi’i. Cet. I. 1426/2005. Bogor.

●   Al-Hilaly, Salim bin ‘Ied dan Al-Halaby, Ali bin Hasan Al-Atsary. Mukhtashar Kitab Shifat Shaumin-Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam fii Ramadlan. Maktahab Sahab (down load from : www.sahab.org/books).
____________________________.
Puasa Bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam (Judul Asli : Shifat Shaumin-Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam fii Ramadlan). Daarus-Sunnah Press. Cet. I. 2004. Jakarta.

●   Al-Juda’i, Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad. At-Tabarruk, Anwa’uhu wa Ahkaamuhu. Maktabah Ar-Rusyd, Cet. Tahun 1411. Riyadl.

●   Al-Juraisy, Khalid bin ‘Abdirrahman. Al-Fataawaa Asy-Syar’iyyah fil-Masaailil-’Ashriyyah min Fataawaa ’Ulamaa Al-Baladil-Haraam. Muassasah Al-Juraisy. Cet. 1. 1420. Riyadl.

●   Al-Maqdisi, Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdillah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah. Al-Mughni. Tahqiq : Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil-Muhsin At-Turky dan Dr. ‘Abdul-Fattah Muhammad Al-Halawi. Daarul-‘Aalamil-Kutub. Cet. 3. 1417. Riyadl.

●   Al-Mishri, Abu ‘Umair Majdi bin Muhammad bin ‘Arafat. Syifaaul-’Iyyi bi-Takhriiji wa Tahqiiqi Musnad Al-Imam Asy-Syafi’i bi-Tartiibi Al-’Allamah As-Sindi. Taqdim : Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i. Maktabah Ibnu Taimiyyah. Cet. 1. 1416. Kairo.

●   Al-Mundziri, Zakiyyuddin ‘Abdil-‘Adhim Al-Hafidh. Mukhtashar Shahih Muslim (Tahqiq : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani). Al-Maktab Al-Islamy. Cet. VI. 1408/1987.

●   Al-Qahthani, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf. Hisnul-Muslim min Adzkaaril-Kitaab was-Sunnah. Maktabah Sahab (down load from : www.sahab.org/books).

●   An-Naisaburi, Al-Hakim Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abdillah. Al-Mustadrak ‘alash-Shahihain (Ma’a Tattabu’u Auham Al-Hakim Allatii Sakata ‘alaihaa Adz-Dzahabi). Tahqiq : Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i. Daarul-Haramain. Cet. 1. 1417. .

●   An-Nasa’i, Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali. Sunan Ash-Shughra (Al-Mujtabaa) (dengan penghukuman hadits : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani). Maktabah Al-Ma’aarif lin-Nasyr wat-Tauzi’. Cet. I. Tanpa Tahun. Riyadl.

____________________________.
Sunan Al-Kubraa. Tahqiq dan takhrij : Hasan bin ‘Abdil-Mun’im Asy-Syalbiy. Muassasah Ar-Risalah. Cet. 1. 1421. Beirut..

●   An-Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf. Syarah Shahih Muslim. Maktabah Ash-Shaid. (down load from : www.saaid.net/book).

●   Al-Qusyairi, Muslim bin Al-Hajjaj. Shahih Muslim. Bait Al-Afkar Ad-Dauliyyah. Cet. Tahun 1419 H.

●   As-Sijistani, Sulaiman bin Al-Asy’ats (Abu Dawud). Sunan Abi Dawud ma’a Ma’aalimis-Sunnah lil-Khaththabiy. Daar Ibni Hazm. Cet. I. 1418. Beirut.

●   As-Sindi, Nuuruddin bin Abdil-Hadi. Hasyiyah As-Sindi ‘alan-Nasa’i. Maktabah Sahab  (down load from : www.sahab.org/books).

●   Ash-Shan’any, Abu Bakr ‘Abdurrazzaq bin Hammam. Al-Mushannaf. Tahqiq, takhrij dan ta’liq : Habiburrahman Al-A’dhamy. Al-Majlisul-‘Ilmy. Cet. 1. 1390.

●   Asy-Syafi’i, Muhammad bin Idris. Al-Umm. Free Program (down load from : www.islamway.com).

●   Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Jaami’ul-Bayaan ‘an Ta’wiilil-Qur’an (Tafsir Ath-Thabari). Tahqiq & ta’liq : Mahmud bin Muhammad Syaakir. Takhrij : Ahmad bin Muhammad Syaakir. Maktabah Ibnu Taimiyyah. Tanpa tahun. Kairo.

●   At-Tirmidzi, Abu ‘Isa Muhammad bin Saurah. Al-Jaami’ul-Kabiir (Sunan At-Tirmidzi). Tahqiq, Takhrij, dan Ta’liq : Dr. Basyaar bin ‘Awwaad. Daarul-Gharbil-Islamy. Cet. I. 1996.

●   Ath-Thayalisi, Sulaiman bin Dawud. Musnad Abi Dawud Ath-Thayalisi. Maktabah Sahab. (down load from : www.sahab.org/books).

●   Ibnu Abi Syaibah, Abu Bakr ‘Abdullah bin Muhammad. Al-Mushannaf. Tahqiq dan takhrij : Muhammad ‘Awwamah. Daarul-Qiblah. Cet. I. 1427. Jeddah.

●   Ibnu Anas, Malik. Al-Muwaththa’. Majmu’atul-Furqaan At-Tijaariyyah. Tahqiq dan takhrij : Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilaly. Cet. Tahun 1424.
Ibnu Hanbal, Ahmad. Al-Musnad. Syarah : Syaikh Ahmad Syaakir. Daarul-Hadiits. Cet. I. 1419. Kairo.

____________________________.
Al-Musnad. Tahqiq, ta’liq, dan takhrij oleh Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dan ’Aadil Mursyid. Muassasah Ar-Risalah. Cet. I. 1417. Beirut.

●   Ibnu Hazm. Maraatibul-Ijmaa’. Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah. Beirut (down load from : www.almeshkat.net/books).

●   Ibnu Khuzaimah, Abu Bakar Muhammad bin Ishaq. Shahih Ibni Khuzaimah. Tahqiq dan Ta’liq : Dr. Muhammad Musthafa Al-A’dhamy. Al-Maktab Al-Islamy. Cet. Tahun 1400 H/1980 M. Damaskus.

●   Ibnu Majah, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid. Sunan Ibni Majah (dengan penghukuman hadits : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani). Maktabah Al-Ma’aarif lin-Nasyr wat-Tauzi’. Cet. I. Riyadl.

●   Ibnul-Mundzir. Kitaabul-Ijma’. Tahqiq dan ta’liq : Abu ‘Abdil-A’la Khalid bin Muhammad bin ‘Utsman. Daarul-Atsar. Cet. 1. 1425. Kairo.

●   Jawas, Yazid bin Abdil-Qadir. Doa & Wirid. Pustaka Imam Asy-Syafi’i. Cet. III. 1424/2003 M. Bogor.
Salim, Abu Malik Kamal bin Sayyid. Shahih Fiqhis-Sunnah. Al-Maktabah At-Taufiqiyyah. Cet. Tahun 2003. Kairo.

●   ‘Utsamin, Muhammad bin Shalih dan Aalu Bassam, ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman. Tanbiihul-Afhaam dan Taisirul-‘Allaam; Syarh ‘Umdatil-Ahkaam. Daar Ibn Haitsam (Dicetak Bersama). 1425/2004 M. Mesir.

Footnote :

[1]     Istilah inilah yang lebih tepat, sebab – dalam bahasa Arab – Al-Fithru tidak sama dengan Al-Fithrah.

[2]     Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kontemporer ketika mereka mengkonversikan satu sha’ ke dalam satuan kilogram. Ada yang mengatakan 2,3 kg; 2,5 kg; 2,75 kg; dan 3 kg. Di sini kami mengambil pendapat paling selamat di antara pendapat-pendapat tersebut.

[3]     Dinukil melalui perantaraan leaflet yang diterbitkan oleh Markaz Imam Al-Albani (no. 25, Ramadlan 1427 H)  yang berjudul Zakaatul-Fithri yang terpublikasi dalam situs resmi Majalah Al-Ashalah, ’Urdun,Yordania : http://www.asaala.com/viewTopic.php?topicID=117 .

[4]     Atsar tersebut janganlah dipahami bahwa upaya menjaga persatuan dan kesatuan umat menafikkan nasihat dan penyampaian kebenaran. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud dan para shahabat lain tetap menyampaikan nasihat kepada ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ‘anhum. Hal ini merupakan satu upaya untuk menampakkan al-haq dan tidak menyembunyikankannya. Dan kebenaran itu memang harus disampaikan.

[5]     Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda :

صلاة في مسجدي هذا خير من ألف صلاة فيما سواه إلا المسجد الحرام

”Shalat di masjidku ini (yaitu Masjid Nabawi) lebih baik daripada 1000 kali shalat di masjid lainnya, kecuali Al-Masjidil-Haram” (HR. Al-Bukhari no. 1190 dan Muslim no. 1394; ini adalah lafadh Al-Bukhari).

[6]     Hadits ini menunjukkan bahwa para wanita haidl diperintahkan untuk mendatangi tanah lapang, akan tetapi tempat mereka agar terpisah dari shaff-shaff kaum muslimin yang melaksanakan shalat (sedikit menjauh). Sebagian ulama juga beristidlal dengan hadits ini atas terlarangnya wanita haidl untuk menetap di masjid. Wallaahu a’lam.

[7]     Adapun lafadh takbir hari raya ‘Iedul-Fithri (juga ‘Iedul-Adlhaa) selain dari yang disebut di atas, menurut ulama ahli hadits, bukanlah berasal dari riwayat yang shahih. Allaahu a’lam.

[8]     Waktu paling utama mengeluarkan zakat adalah dipagi hari sebelum pelaksanaan shalat ‘Iedul-Fithri.

[9]     Lihat pula keterangan senada dalam Al-Mughni (3/272-273).

[10]    Dikutip melalui buku Puasa Sunnah : Hukum dan Keutamaannya (Judul Asli : Shiyaamu Tathawwu’ Fadlaailu wa Ahkaam) oleh Usamah bin ’Abdil-’Aziz.