Rabu, 14 Juni 2017
Ringkasan Hukum Bulan Ramadhan [2]
Ringkasan Hukum-Hukum dalam Bulan Ramadlan dari A - Z (Revisi) - 2
Orang-Orang yang Tidak Diwajibkan Berpuasa
1. Musafir
Musafir adalah orang yang melakukan perjalanan jauh sejauh jarak (yang dianggap) safar. Jarak safar menurut madzhab yang paling kuat (rajih) adalah jarak yang dianggap oleh adat atau masyarakat setempat sebagai safar (Majmu’ Fataawaa, 34/40-50, 19/243). Orang yang melakukan safar boleh untuk tidak berpuasa sebagaimana firman Allah ta’ala :
فَمَن كَانَ مِنكُم مّرِيضاً أَوْ عَلَىَ سَفَرٍ فَعِدّةٌ مّنْ أَيّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain” (QS. Al-Baqarah : 184).
أن حمزة بن عمرو الأسلمي قال للنبي صلى الله عليه وسلم أأصوم في السفر وكان كثير الصيام فقال إن شئت فصم وإن شئت فأفطر
Bahwasannya Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Apakah saya berpuasa di waktu safar ?” – Ia adalah seorang yang banyak melakukan puasa - . Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Puasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau” (HR. Al-Bukhari no. 1943 dan Muslim no. 1121).
Hadits di atas (dan beberapa lagi hadits lain) menunjukkan diperbolehkannya tidak berpuasa bagi orang yang melakukan safar. Bagi yang berkehendak berpuasa, maka puasa tersebut dilakukan bila ia memang mampu dan diperkirakan tidak membawa mudlarat terhadap dirinya. Pertimbangan inilah yang terdapat dalam hadits berikut :
ليس من البر الصوم في السفر
“Berpuasa di dalam perjalanan bukanlah sebuah kebaikan” (HR. Al-Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115)
فكانوا يرون أنه من وجد قوة فصام فحسن ومن وجد ضعفا فافطر فحسن
“Dan mereka (para shahabat) berpendapat bahwa barangsiapa mempunyai kemampuan, maka berpuasa lebih baik baginya. Dan barangsiapa yang merasa lemah, maka berbuka lebih baik baginya” (HR. At-Tirmidzi no. 713. At-Tirmidzi berkata : Hadits hasan shahih; dan Al-Albani berkata : Shahih).
Namun demikian, secara umum safar membolehkan berbuka walau orang yang melakukannya tidak merasakan berat, karena hal tersebut merupakan rukhshah (keringanan) yang diberikan oleh Allah kepada kaum muslimin. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما يكره أن تؤتى معصيته
“Sungguh Allah menyukai dilaksanakan rukhshah (keringanan)-Nya, sebagaimana Dia membenci dilaksanakan maksiat kepada-Nya” (HR. Ahmad 2/108 dan Ibnu Hibban no. 2742. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil 3/9 no. 564).
Dan keringanan bagi seorang musafir (salah satunya) adalah berbuka (tidak berpuasa).
2. Orang yang Sakit
Sakit yang menjadikan dibolehkannya seseorang berbuka adalah sakit yang jika ia berpuasa dalam keadaan tersebut akan membahayakan dirinya, menambah sakitnya, atau dikhawatirkan menyebabkan lambatnya kesembuhan.[1] (Lihat Fathul-Baari 8/179, Syarhul-Umdah Kitab Shiyaam karya Ibnu Taimiyyah 1/208-209, Shifat Shaumin-Nabi hal. 59). Lihat dalilnya dalam firman Allah ta’ala dalam QS. Al-Baqarah ayat 185.
3. Wanita yang Haidl atau Nifas
Para ulama’ sepakat bahwa wanita yang sedang haidl atau nifas tidak boleh berpuasa, dan keduanya harus berbuka dan mengqadla’ (mengganti)nya di hari yang lain. Dan bila keduanya berpuasa, maka puasanya tersebut tidak sah. Lihat pada penjelasan sebelumnya.
4. Orang yang Lanjut Usia dan Wanita yang Lemah
Allah ta’ala berfirman :
فَمَن كَانَ مِنكُم مّرِيضاً أَوْ عَلَىَ سَفَرٍ فَعِدّةٌ مّنْ أَيّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin” (QS. Al-Baqarah : 184).
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma mengatakan,
هو الشيخ الكبير الذي لا يستطيع الصيام فيفطر ويطعم عن كل يوم مسكينا نصف صاع من حنطة
”Dia adalah orang tua yang sudah tidak mampu berpuasa. Maka ia berbuka dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari sebanyak setengah sha’ gandum” (HR. Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 3/198 no. 2386 dengan sanad shahih).
Jadi, orang yang tidak mampu berpuasa karena usia tua berkewajiban membayar fidyah untuk orang miskin sebagai ganti hari yang ia tinggalkan sebesar setengah sha’ gandum. Adapun tentang fidyah, insyaAllah akan dijelaskan kemudian.
5. Wanita yang Mengandung dan Menyusui
Di antara keagungan rahmat Allah ta’ala kepada hamba-Nya yang lemah adalah pemberian rukhshah (keringanan) untuk berbuka puasa kepada wanita hamil dan menyusui. Dari Anas bin Malik , seorang laki-laki dari Bani Abdillah bin Ka’b radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
أغارت علينا خيل رسول الله صلى الله عليه وسلم فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فوجدته يتغدى فقال ادن فكل فقلت إني صائم فقال ادن أحدثك عن الصوم أو الصيام إن الله تعالى وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة وعن الحامل أو المرضع الصوم أو الصيام والله لقد قالهما النبي صلى الله عليه وسلم كلتيهما أو إحداهما فيا لهف نفسي أن لا أكون طعمت من طعام النبي صلى الله عليه وسلم
Datang kuda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada kami. Lalu aku mendatangi beliau, dan ternyata aku mendapatkan beliau sedang makan. Kemudian beliau bersabda, ”Mendekatlah dan makanlah”. Aku menjawab, ”Aku sedang puasa”. Beliau bersabda, ”Mendekatlah, akan aku ceritakan kepadamu tentang puasa. Sesungguhnya Allah ta’ala memberikan keringanan dari setengah shalat bagi seorang musafir, dan memberikan keringanan dari beban puasa bagi wanita hamil dan menyusui”. Demi Allah, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam benar-benar telah mengucapkan keduanya atau salah satunya, dan aku benar-benar berselera untuk makan makanan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” (HR. At-Tirmidzi no. 715, An-Nasa’i 4/180, Abu Dawud no. 2408, dan Ibnu Majah no. 1667; ini adalah lafadh At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah 2/64-65 no. 1361 dan Misykatul-Mashaabih 1/344).
Bagi wanita hamil dan/atau menyusui, menurut pendapat yang paling kuat (rajih), bagi mereka hanyalah dibebani membayar fidyah saja tanpa ada kewajiban mengqadla. Hal ini diperkuat oleh atsar para shahabat, diantaranya adalah perkataan Ibnu ‘Abbas kepada seorang budak wanita yang hamil atau menyusui :
أنت بمنزلة الذي لا يطيق ، عليك أن تطعمي مكان كل يوم مسكينا ولا قضاء عليك
“Engkau, kedudukanmu seperti yang tidak mampu. Kewajibanmu memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya dan tidak ada kewajiban qadla atasmu” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dengan sanad yang dikatakan Syaikh Al-Albani shahih sesuai dengan syarat Muslim – Irwaaul-Ghalil 4/19. Juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 4/219 no. 7567 – tapi tanpa kata-kata : tidak ada kewajiban qadla atasmu).
Juga perkataan Sa’id bin Jubair bahwa Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum mengatakan kepada budaknya yang hamil atau menyusui :
أنت من الذين لا يطيقون الصيام عليك الجزاء وليس عليك القضاء
“Engkau termasuk tidak mampu, kewajibanmu memberi makan, bukan qadla” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 3/196 dan ia berkata : sanadnya shahih).
Juga perkataan Ibnu ‘Umar atas pertanyaan seorang wanita hamil :
أفطري وأطعمي عن كل يوم مسكينا ولا تقضي
“Berbukalah dan berilah makan satu orang miskin sebagai ganti setiap harinya dan jangan kamu mengqadla” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 3/198 no. 2388. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanadnya bagus – Irwaaul-Ghalil 4/20).
Namun jika mereka (wanita yang hamil atau menyusui) kuat untuk berpuasa dan kemudian melaksanakan puasa tanpa menimbulkan kemudlaratan, maka itu lebih baik baginya sesuai dengan keumuman ayat :
وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah : 185).
Berbuka Puasa
1. Waktu Berbuka
Allah telah menjelaskan kepada kita tentang waktu diperbolehkannya berbuka puasa yaitu dengan tenggelamnya matahari, sebagaimana firman-Nya :
ثُمّ أَتِمّواْ الصّيَامَ إِلَى الّليْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam” (QS. Al-Baqarah : 187).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menafsirkan ayat tersebut dengan datangnya malam, berlalunya siang, dan tenggelamnya matahari. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda sambil mengisyaratkan tangannya:
إذا أقبل الليل من ها هنا وأدبر النهار من ها هنا وغربت الشمس فقد أفطر الصائم
“Apabila malam telah tiba dari arah sini dan siang telah berlalu dari arah sini serta matahari pun terbenam, maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka” (HR. Al-Bukhari no. 1954 dan Muslim no. 1100; ini adalah lafadh Al-Bukhari).
Dan sabdanya yang lain :
إذا رأيتم الليل أقبل من ها هنا فقد أفطر الصائم
“Apabila engkau melihat malam telah tiba dari arah sini, maka sungguh orang yang berpuasa telah berbuka” (HR. Al-Bukhari no. 1941).
Imam Nawawi rahimahullah berkata :
قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْل وَأَدْبَرَ النَّهَار وَغَابَتْ الشَّمْس فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِم ) مَعْنَاهُ : اِنْقَضَى صَوْمه وَتَمَّ , وَلَا يُوصَف الْآن بِأَنَّهُ صَائِم , فَإِنَّ بِغُرُوبِ الشَّمْس خَرَجَ النَّهَار وَدَخَلَ اللَّيْل , وَاللَّيْل لَيْسَ مَحِلًّا لِلصَّوْمِ
“Makna sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Apabila malam telah tiba dan siang telah berlalu, serta matahari pun terbenam, maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka” ; adalah puasanya telah selesai sempurna, dan (pada waktu matahari sudah tenggelam dengan sempurna) dia bukan orang yang berpuasa. Maka dengan terbenamnya matahari, habislah waktu siang dan malam pun tiba; dan malam hari bukanlah waktu untuk berpuasa” (Syarah Shahih Muslim hal. 794).
Timbul pertanyaan : Bagaimana jika matahari telah tenggelam, namun adzan belum berkumandang (muadzin telat mengumandangkan adzan) ???
Maka dijawab : Yang menjadi patokan untuk berbuka puasa adalah tenggelamnya matahari. Hal ini sesuai dengan dalil di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta amalan para shahabat sebagaimana telah disebutkan. Maka selayaknya bagi kaum muslimin menyegerakan berbuka puasa setelah melihat matahari benar-benar telah tenggelam. Dan bagi muadzin, hendaknya selalu menjaga amanah untuk mengumandangkan adzan pada awal waktunya.
2. Menyegerakan Berbuka Puasa
a. Menyegerakan berbuka dapat mendatangkan kebaikan
Dari Sahl bin Sa’ad radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر
“Manusia senantiasa berada di dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka” (HR. Al-Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098).
b. Menyegerakan berbuka adalah sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
Dari Sahl bin Sa’ad ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لا تزال أمتى على سنتى ما لم تنتظر بفطرها النجوم
“Umatku senantiasa berada di atas sunnahku, selagi mereka tidak menunggu munculnya bintang ketika berbuka puasa” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 2061 dan Ibnu Hibban no. 3510 dengan sanad shahih. Lihat Ta’liq ‘alaa Shahih Ibni Khuzaimah).
c. Menyegerakan berbuka puasa agar tidak termasuk golongan orang-orang yang sesat
Apabila manusia menjalani manhaj dan memelihara sunnah Rasul mereka, maka Islam akan tetap jaya dan berdiri kokoh serta tidak akan disusahkan oleh umat-umat yang menentang mereka. Ummat Islam tidak mau mengekor kaum kafir dari golongan Yahudi dan Nasharani, yang mereka ini dicap oleh Allah dan Rasulnya sebagai kaum yang sesat. Dengan menyegerakan berbuka, berarti kita telah turut mengokohkan agama Islam dan menyelisihi sebagian dari adat dan kebiasaan mereka yang tercela, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لا يزال الدين ظاهرا ما عجل الناس الفطر لأن اليهود والنصارى يؤخرون
“Agama senantiasa kokoh selama manusia menyegerakan berbuka; karena Yahudi dan Nashrani mengakhirkannya (menundanya)” (HR. Abu Dawud no. 2353; dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/58).
d. Berbuka sebelum shalat maghrib
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa sebelum melaksanakan shalat maghrib sebagaimana dikhabarkan dalam hadits berikut:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفطر على رطبات قبل أن يصلي فإن لم تكن رطبات فعلى تمرات فإن لم تكن حسا حسوات من ماء
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan ruthab sebelum melaksanakan shalat (Maghrib), maka jika tidak ada ruthab (beliau berbuka) dengan tamr. Jika tidak ada (tamr) maka beliau berbuka dengan meneguk air” (HR. Abu Dawud no. 2356 dan lainnya dengan sanad hasan; lihat Shahih Sunan Abi Dawud 2/59 no. 2356 dan Irwaaul-Ghalil 4/45 no. 922).
Maka tidak ragu lagi, bahwa menyegerakan berbuka mempunyai keutamaan yang sangat besar. Dari Abu Darda’ radliyallahu ‘anhu : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ثلاث من أخلاق النبوة : تعجيل الإفطار و تأخير السحور و وضع اليمين على الشمال في الصلاة
“Tiga (perkara) termasuk akhlaq kenabian (yaitu) : menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat” (HR. Thabarani dalam Al-Kabiir sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz-Zawaaid 2/105, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihu Al-Jami’ish-Shaghiir 1/583 no. 3038).
3. Apa yang Dimakan Saat Berbuka ?
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk mengawali berbuka puasa dengan ruthab. Ruthab adalah kurma yang masih setengah matang, agak sedikit lebih keras (dibandingkan tamr), dan berwarna hijau kecoklatan. Apabila tidak ada ruthab, maka dianjurkan memakan tamr (= kurma yang biasa dijual di pasaran). Bila tidak ada, maka beliau menganjurkan berbuka dengan air. Hal ini merupakan bentuk kasih sayang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada ummatnya (lihat QS. At-Taubah : 128). Untuk haditsnya, lihat kembali pembahasan di atas.
Makan makanan manis di saat perut kosong itu lebih bermanfaat bagi tubuh, terutama tubuh yang sehat, sehingga kekuatannya dapat pulih kembali. Adapun berbuka dengan meminum air, dapat membasahi tubuh seperti halnya fungsi makanan, karena tubuh mengalami kekeringan cairan saat berpuasa sehingga apabila dibasahi dengan air akan sangat bermanfaat.
Dan ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa kurma memiliki berkah dan keistimewaan. Begitu juga dengan air sebagai zat vital dalam metabolisme tubuh. Wallaahu a’lam.
4. Apa yang Dibaca Ketika Berbuka ?
Adapun doa khusus yang terkait dengan berbuka puasa, menurut penelitian para ahli hadits, hanya satu yang dapat diterima dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka beliau mengatakan :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ اْلعُرُوقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
[Dzahabazh-zhoma-u wab-talatil-‘uruuqu wa tsabatal-ajru insya Allooh]
“Rasa haus telah pergi dan urat-urat telah terbasahi serta telah ditetapkan pahala insya Allah”
(HR. Abu Dawud no. 2357, Al-Hakim no. 1536, Ad-Daruquthni 3/156 no. 2279, dan yang lainnya; dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil 4/39 no. 920).[2]
Doa ini dibaca setelah selesai menyantap makanan berbuka (- perhatikan arti doa tersebut -). Adapun doa yang sering dibaca oleh sebagian kaum muslimin seperti : Allaahumma laka shumtu….dst. dan yang lain-lain; maka doa tersebut berasal dari hadits-hadits berstatus dl’aif. Sudah selayaknya kita hanya memilih doa yang tsabit (tetap) berasal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
5. Makan Secara Berjama’ah
Disunnahkan berbuka secara berjama’ah dengan keluarga, rekan, atau kaum muslimin lainnya. Allah menurunkan keberkahan dengan banyaknya tangan di atas makanan.
عن وحشي بن حرب عن أبيه عن جده رضي الله عنه أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قالوا يا رسول الله إنا نأكل ولا نشبع قال فلعلكم تفترقون قالوا نعم قال فاجتمعوا على طعامكم واذكروا اسم الله يبارك لكم فيه
Dari Wahsyi bin Harb, dari ayahnya, dari kakeknya radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Sesungguhnya para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan tapi tidak merasa kenyang”. Beliau menjawab : “Barangkali kalian makan secara berpencar (sendiri-sendiri)”. Mereka menjawab : “Benar”. Maka beliau bersabda : “Berkumpullah kalian atas makanan kalian dan sebutlah nama Allah, niscaya makanan itu diberkahi untuk kalian” (HR. Abu Dawud no. 3764; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 664. Lihat pula Riyadlush-Shaalihiin no. 747).
6. Memberi Makanan Orang yang Berbuka Puasa
Allah ta’ala telah menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang telah menyisihkan sebagian harta/rizkinya secara ikhlash untuk memberi makan kepada orang yang berbuka puasa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
من فطر صائما كان له مثل أجرهم من غير أن ينقص من أجورهم شيئا
“Barangsiapa yang memberi makanan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti yang diperoleh orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun juga” (HR. Ahmad 4/114, 4/116; At-Tirmidzi 807; Ibnu Majah no. 1746; dan Ibnu Hibban no. 3429; ini adalah lafadh Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 2/85 no. 1428).
Dan apabila ada seorang muslim yang berpuasa dan ia mendapat undangan untuk makan/berbuka dari saudaranya, maka hendaklah ia memenuhi undangan tersebut. Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إذا دعا أحدكم أخاه فليجب عرسا كان أو نحوه
“Bila salah seorang dari kalian mengundang saudaranya, maka hendaklah ia memenuhi undangan tersebut, apakah (undangan tersebut adalah) undangan nikah atau semisalnyai” (HR. Muslim no. 1429).
Hal ini tentunya dikecualikan apabila dalam undangan tersebut mengandung unsur kemaksiatan atau terdapat unsur kemaksiatan (seperti nyanyi-nyanyian/musik, ikhtilath, dan lain-lain).
Bagi yang diundang dan/atau yang diberikan makanan berbuka dari saudaranya, maka hendaklah ia mendoakan saudaranya tersebut dengan kebaikan. Beberapa doa yang diajarkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam diantaranya:
اللّهُـمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِي
[Alloohumma ath’im man ath’amanii wa asqi man saaqoonii]
“Ya Allah, berikanlah makanan kepada orang yang memberiku makan, dan berikanlah minuman kepada orang yang memberiku minuman”
(HR. Muslim no. 2055 dari Al-Miqdad).
اللّهُـمَّ بارِكْ لَهُمْ فِيمَا رَزَقْـتَهُمْ، وَاغْفِـرْ لَهُـمْ وَارْحَمْهُمْ
[Alloohumma baariklahum fiiimaa rozaqtahum wagh-firlahum war-hamhum]
“Ya Allah, berikanlah barakah apa yang Engkau rizkikan kepada mereka, ampunilah dan belas-kasihanilah mereka”
(HR. Muslim no. 2042 dari Abdullah bin Busr).
Hukum Seputar Fidyah
Fidyah merupakan shadaqah yang dibayarkan oleh seorang yang sudah tidak mampu lagi berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui (menurut pendapat yang paling kuat dari para ulama’), yang dibayarkan kepada orang miskin (lihat QS. Al-Baqarah : 184). Lihat pembahasan sebelumnya tentang Orang-Orang yang Tidak Diwajibkan Puasa.
Lalu berapa takaran jumlah fidyah yang harus dibayarkan ??? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Beberapa hal yang terkait dengan pertanyaan tersebut dapat dijelaskan pada beberapa poin berikut :
1. Para ulama berbeda pendapat mengenai jenis dan jumlah takaran fidyah tersebut. (lihat Tafsir Ath-Thabari 2/83).[3] Yang rajih adalah apa yang difatwakan oleh Ibnu ’Abbas radliyallaahu ‘anhuma (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya), yaitu takaran jumlah fidyah tersebut adalah setengah sha’ atau kurang lebih 1,5 kg (satu setengah kilogram) per jiwa. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Asy-Syaikh Abdulaziz bin Baaz dan Lajnah Fatwa Saudi Arabia (Fataawaa Ramadlan 2/554-555 dan 604). Sehingga apabila seseorang tidak sanggup berpuasa selama 30 hari, maka yang dibayarkan adalah 1,5 kg x 30 = 45 kg.
2. Diperbolehkan memberi makanan yang siap santap (makanan matang) dengan ukuran yang dapat mengenyangkan si miskin (Fataawaa Ramadlan 2/652). Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu ketika beliau lemah untuk berpuasa karena tua (selama satu bulan : 30 hari); beliau membuat satu mangkok besar tsarid (bubur dari roti yang diremas dan dicampur kuah), lalu beliau mengundang 30 orang miskin sehingga mengenyangkan mereka. (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 3/199 no. 2390 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul-Ghaliil 4/21).
3. Tidak diperbolehkan membayar fidyah dengan uang, tetapi harus dengan makanan sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah (Hadits Shahih).
4. Diperbolehkan membayar fidyah sekaligus atau terpisah-pisah waktunya (Lajnah Fatwa Saudi Arabia, Fataawaa Ramadlan 2/652).
5. Bolehkan memberi fidyah kepada orang yang miskin yang kafir??? Maka pertanyaan ini dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah (seorang fuqahaa, ahli tafsir, dan ahli ushul) : “Jika di daerahnya ada orang Islam yang berhak, maka diberikan kepadanya. Tapi jika tidak ada, maka disalurkan ke negeri-negeri Islam yang membutuhkannya” (Fataawaa Ramadlan 2/655).
Qadla Puasa Ramadlan
1. Bagi orang-orang yang diberikan rukhshah untuk tidak berpuasa di bulan Ramadlan (karena safar, sakit, haidl, dan nifas), maka ia diwajibkan mengganti puasanya (qadla) tersebut di hari lain sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan (lihat kembali pembahasan Orang-Orang yang Tidak Diwajibkan Berpuasa).
Qadla’ puasa Ramadlan tidak harus dilakukan seketika. Kewajiban mengqadla’ ini bersifat fleksibel dan penuh keluasan. Aisyah radliyallaahu ‘anhaa menceritakan tentang qadla’ puasanya :
كان يكون علي الصوم من رمضان فما أستطيع أن أقضيه إلا في شعبان الشغل من رسول الله صلى الله عليه وسلم
Aku mempunyai hutang puasa Ramadlan, lalu aku tidak bisa mengqadla’-nya kecuali di bulan Sya’ban karena ada kesibukan dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (HR. Muslim no. 1146).
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata dalam Fathul-Baari (4/212) :
وفي الحديث دلالة على جواز تأخير قضاء رمضان مطلقا سواء كان لعذر أو لغير عذر
“Hadits ini merupakan petunjuk dibolehkannya menunda qadla’ Ramadlan secara mutlak, baik karena alasan atau karena tidak ada alasan”.
Namun, menyegerakan qadla’ puasa adalah lebih utama daripada menundanya, karena hal ini tercakup dalam keumuman dalil yang menunjukkan anjuran untuk segera mengerjakan amal kebaikan dan tidak menunda-nunda, seperti firman Allah ta’ala :
وَسَارِعُوَاْ إِلَىَ مَغْفِرَةٍ مّن رّبّكُمْ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu” (QS. Ali Imran : 133).
2. Tidak wajib mengqadla’ puasa secara berurutan.
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma telah menjelaskan :
لا بأس أن يفرق
“Tidak apa-apa (mengqadla’ puasa) secara terpisah” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dan disambungkan sanadnya oleh Abdurrazzaq, Ad-Daruquthni, dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar Shahih Bukhari 1/569).
Adapun hadits yang berbunyi :
من كان عليه صوم من رمضان فليسرده ولا يقطعه
“Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Ramadlan, hendaklah ia mengerjakannya secara berurutan dan tidak putus-putus” --- maka hadits ini adalah dla’if.[4]
3. Para ulama’ sepakat bahwa orang yang meninggal dunia, sedangkan dia memiliki tanggungan kewajiban puasa, maka walinya atau yang lainnya tidak wajib mengqadla’-nya.
Demikian juga orang yang tidak mampu berpuasa, tidak boleh ada seseorang yang menggantikan puasanya selama orang tersebut masih hidup. Akan tetapi yang harus ia lakukan adalah memberi makan satu orang miskin setiap hari sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu.
Adapun permasalahan kebolehan seorang mempuasakan orang lain yang telah meninggal (orang tua atau saudaranya) yang mempunyai tanggungan puasa yang belum terbayar, maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Yang rajih adalah bahwa puasa yang dimaksud adalah puasa nadzar. Bukan termasuk puasa wajib yang lain (misal : qadla puasa Ramadlan).[5]
4. Barangsiapa yang meninggal dunia, sedangkan ia mempunyai hutang puasa nadzar, maka jika ada beberapa orang yang berpuasa untuknya sesuai dengan jumlah hari yang ia nadzarkan, maka hukumnya boleh.
Al-Hasan berkata:
إن صام عنه ثلاثون رجلا يوما واحدا جاز
”Jika ada tiga puluh orang berpuasa untuknya, setiap orang satu hari, maka hukumnya adalah boleh” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan disambungkan sanadnya oleh Ad-Daruquthni dalam kitab Adz-Dzabhi dengan sanad shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar Shahih Bukhari 1/570).
Lailatul-Qadar
Keutamaan Lailatul-Qadar sangat besar, karena pada malam itulah diturunkannya Al-Qur’an Al-Kariim yang membimbing manusia yang berpegang kepadanya kepada jalan kemuliaan dan kehormatan, mengangkatnya ke puncak ketinggian dan keabadian.
1. Keutamaan Lailatul-Qadar
Tanda kebesaran dan keagungan Lailatul-Qadar adalah bahwa malam itu merupakan malam yang penuh berkah yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah ta’ala telah berfirman :
إِنّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مّبَارَكَةٍ إِنّا كُنّا مُنذِرِينَ
“Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan” (QS. Ad-Dukhaan : 3).
وَمَآ أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ * لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Dan tahukah kamu apakah lailatul-qadar itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan” (QS. Al-Qadr : 2-3).
Maksud dari ayat tersebut adalah bahwa amalan di Lailatul-Qadar (yang penuh barakah) itu menyamai pahala amal seribu bulan yang tidak ada Lailatul-Qadarnya. Seribu bulan setara dengan 83 tahun lebih. Oleh karena itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk berusaha mencari malam tersebut dengan sabdanya :
من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barangsiapa yang mendirikan ibadah (pada malam) Lailatul-Qadar karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu” (HR. Al-Bukhari no. 1901 dan Muslim no. 760).
Allah mensifati malam itu dengan malam keselamatan/kesejahteraan, sebagaimana firman-Nya :
سَلاَمٌ هِيَ حَتّىَ مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al-Qadr : 5).
Ini menunjukkan kemuliaan, kebaikan, dan keberkahannya. Orang yang terhalangi dari kebaikan malam itu berarti terhalangi dari kebaikan yang sangat banyak. Inilah keutamaan-keutamaan yang besar pada malam yang penuh barakah ini.
Pada malam ini kita diperintahkan untuk banyak-banyak berdoa dengan doa :
اللّهُـمَّ إِنَّكَ عَفُوّ ٌ تُحِبُّ اْلعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ
[Alloohumma innaka ‘afuwun tuhibbul-‘afwa fa’fu’annii]
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, menyukai maaf, maka berilah maaf kepadaku”
(HR. At-Tirmidzi no. 3513; Ibnu Majah no. 3850; Ahmad 6/171, 6/182, 6/183, 6/208; Al-Hakim no. 1942, An-Nasa’i dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 878. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 3/259 no. 3119 dan Misykatul-Mashaabih 1/353) [6].
2. Waktu Terjadinya Lailatul-Qadar
Lailatul-Qadar terjadi pada malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan. Ada beberapa hadits shahih yang menyebutkan tentang hal ini, seperti malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 Ramadlan[7]. Imam Asy-Syafi’i berkata, ”Ini menurut saya, wallaahu a’lam, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab sesuai dengan pertanyaannya. Dan pendapat yang paling kuat bahwa itu terjadi pada malam-malam yang ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari Aisyah radliyallaahu ‘anhaa bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan dan beliau mengatakan :
تحروا ليلة القدر في الوتر من العشر الأواخر من رمضان
“Carilah Lailatul-Qadar pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan” (HR. Al-Bukhari no. 2017 dan Muslim no. 1169; ini lafadh Al-Bukhari)[8] . Silakan membuka Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang menyebutkan beberapa hadits dimaksud.
3. Tanda-Tanda Lailatul-Qadar
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhabarkan kepada kita tentang beberapa tanda yang mengisyaratkan terjadinya Lailatul-Qadar. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ubay radliyallaahu ‘anhu ketika ia menjawab tanda-tanda Lailatul-Qadr yang diberitakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أن تطلع الشمس في صبيحة يومها بيضاء لا شعاع لها
“Matahari terbit di pagi harinya tampak putih tanpa cahaya yang menyinari (redup, tidak panas)” (HR. Muslim no. 762).
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
في ليلة القدر ليلة سمحة طلقة لا حارة ولا باردة تصبح شمسها صبيحتها صفيقة حمراء
“Lailatul-Qadar merupakan malam penuh kelembutan, cerah, tidak panas, dan tidak dingin. Matahari di pagi harinya menjadi nampak lemah lagi nampak kemerah-merahan” (HR. Ath-Thayalisi no. 2680, Ibnu Khuzaimah no. 2192, dan yang lainnya; ini adalah lafadh Ath-Thayalisi. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani pada Shahihul-Jaami’sh-Shaghiir no. 5475).
4. Beribadah di Lailatul-Qadar
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila telah memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan, beliau semakin giat dan khusyuk dalam beribadah. Beliau kencangkan ikat pinggangnya dan beri’tikaf di dalam masjid. Tidaklah beliau keluar dari masjid kecuali untuk menunaikan hajatnya saja.
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata :
كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر شد مئزره وأحيا ليله وأيقظ أهله
“Apabila memasuki sepuluh (malam terakhir di bulan Ramadlan), Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengencangkan ikatan kainnya,[9] menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya (istri-istrinya)” (HR. Al-Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174).
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يجتهد في العشر الأواخر مالا يجتهد في غيره
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh di sepuluh malam terakhir (pada bulan Ramadlan) yang tidak beliau lakukan di saat-saat lain” (HR. Muslim no. 1175).
Maka selayaknyalah kita sebagai ummat beliau untuk meneladani beliau dalam menghidupkan bulan Ramadlan, khususnya sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan dengan ibadah-ibadah, seperti : I’tikaf, membaca Al-Qur’an dan berusaha menghafalnya, mempelajari hadits dan kandungan-kandungannya, dan lain-lain. Tidak selayaknya kita habiskan waktu malam dan siang kita hanya dengan tidur dan makan.
I’tikaf
1. Pengertian I’tikaf
Secara syari’at makna i’tikaf adalah bertempat tinggal di masjid[10] dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah ta’ala [11] yang dilakukan dengan sifat-sifat tertentu [12].
2. Disyari’atkannya I’tikaf
Disunnahkan i’tikaf di bulan Ramadlan dan bulan lainnya sepanjang tahun. I’tikaf yang paling utama adalah pada bulan Ramadlan, berdasarkan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :
كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في كل رمضان عشرة أيام فلما كان العام الذي قبض فيه اعتكف عشرين يوما
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasanya beri’tikaf selama sepuluh hari setiap bulan Ramadlan. Maka ketika di tahun wafatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari” (HR. Al-Bukhari no. 2044).
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى توفاه الله
Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan hingga Allah mewafatkan beliau” (HR. Al-Bukhari no. 2026 dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa).
3. Waktu Pelaksanaan I’tikaf
Disunnahkan memulai i’tikaf setelah shalat fajar (shubuh), sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa tentang i’tikaf Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إذا أراد أن يعتكف صلى الفجر ثم دخل معتكفه
Apabila beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak i’tikaf, maka beliau shalat fajar kemudian masuk ke tempat i’tikaf-nya” (HR. Muslim no. 1173).
4. Syarat-Syarat I’tikaf
a. Islam.
b. Berakal/Tamyiz.
c. Niat.
d. Tidak disyari’atkan melakukan i’tikaf selain di masjid, berdasarkan firman Allah ta’ala :
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Janganlah kamu campuri istri-istri kalian, sedangkan kamu dalam keadaan i’tikaf di dalam masjid” (QS. Al-Baqarah : 187).
5. Disunnahkan bagi yang ber-i’tikaf untuk berpuasa.
Adapun hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa :
ولا اعتكاف إلا بصوم
“Tidak ada ada I’tikaf melainkan dengan berpuasa” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2473; hasan shahih. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud 2/87) --- maka maknanya di sini adalah puasa tersebut hanya dihukumi sunnah saja, bukan wajib. Sebab, telah shahih adanya pemalingan makna wajib kepada sunnah berdasarkan riwayat :
عن بن عمر رضى الله تعالى عنهما أن عمر سأل النبي صلى الله عليه وسلم قال كنت نذرت في الجاهلية أن اعتكف ليلة في المسجد الحرام قال فأوف بنذرك
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ta’ala ‘anhuma : Bahwasannya ‘Umar pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Aku pernah bernadzar di masa Jahiliyyah untuk ber-I’tikaf semalam suntuk di Masjidil-Haram. Maka beliau menjawab : “Penuhilah nadzarmu” (HR. Al-Bukhari no. 2032 dan Muslim no. 1656).[13]
6. Larangan I’tikaf
a. Berjima’/Bersetubuh dengan Istri
Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan janganlah kalian bercampur (berjima’) dengan istri-istri kalian sedangkan kalian dalam keadaan i’tikaf di dalam masjid” (QS. Al-Baqarah : 187).
Ibnul-Mundzir berkata :
وأجمعوا على أن المعتكف ممنوع من المباشرة. وأجمعوا على أن من جامع امرأته وهو معتكف عامدًا لذلك في فرجها أنه مفسدٌ لاعتكافه
”Para ulama telah bersepakat bahwasannya seseorang yang beri’tikaf terlarang untuk bercumbu. Dan para ulama pun telah bersepakat bahwa siapa saja yang menjima’i istrinya dengan sengaja di kemaluannya dalam keadaan orang tersebut sedang ber-i’tikaf, maka i’tikafnya tersebut batal” (Kitaabul-Ijma’ oleh Ibnul-Mundzir no. 133 dan 134, tahqiq dan ta’liq : Abu ’Abdil-A’la Khalid bin Muhammad bin ’Utsman; Daarul-Atsar, Kairo, Cet. 1).
b. Keluar dari Masjid
Di antara petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah bila beliau melakukan i’tikaf, maka beliau menyendiri di tempat i’tikafnya dan tidak masuk ke rumahnya (keluar dari masjid) kecuali karena hajat manusia yang sifatnya mendesak, seperti mandi apabila junub karena mimpi, buang hajat, dan lainnya.
عن عائشة قالت كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا اعتكف يدني إلي رأسه فأرجله وكان لا يدخل البيت إلا لحاجة الإنسان
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila beliau beri’tikaf, beliau mencondongkan kepalanya dan aku menyisir rambutnya.[14] Tidaklah beliau masuk rumah kecuali karena hajat manusia” (HR. Muslim no. 297).
Ibnu Hazm berkata :
واتفقوا على أن من خرج من معتكفه في المسجد لغير حاجة ولا ضرورة ولا بر أمر به أو ندب اليه فان اعتكافه قد بطل
“Para ulama telah bersepakat bahwa sesungguhnya seseorang yang keluar dari tempat i’tikafnya di masjid tanpa ada satu keperluan, tanpa dlarurat, atau tidak karena kebaikan yang diperintahkan atau disunnahkan; maka i’tikafnya batal” (Maratibul-Ijma’ halaman 40).
7. Hal-Hal yang Diperbolehkan dalam I’tikaf
a. Keluar dari tempat I’tikaf untuk satu keperluan yang mendesak.
b. Memperindah rambut dan menyisirnya.
c. Berwudlu dan semisalnya di masjid. Telah diriwayatkan dari seorang shahabat, bahwa dia berkata :
حفظت لك ان رسول الله صلى الله عليه وسلم توضأ في المسجد
“Aku menghafal buatmu, bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berwudlu di masjid” (HR. Ahmad 5/364 dengan sanad shahih).
d. Membuat tenda kecil atau yang serupa dengannya di belakang masjid untuk i’tikaf. ‘Aisyah telah membuat khuba’[15] buat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam i'tikaf [16] dan hal itu dengan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam[17]. Dan sungguh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah satu kali beri’tikaf di dalam Qubbah Tarkiyyah[18] sedang di atas suddah[19]-nya ada tikaf [20].
Shalat Tarawih
Banyak diantara kaum muslimin yang masih belum paham tentang peristilahan : Shalat Lail, Shalat Tahajjud, dan Shalat Tarawih. Shalat Lail adalah shalat sunnah yang dilakukan pada waktu malam hari setelah shalat ‘isya’ sampai dengan sebelum fajar shadiq muncul. Adapun Shalat Tahajjud adalah Shalat Lail yang didahului dengan tidur malam. Dan shalat Tarawih adalah Shalat Lail yang dilakukan pada bulan Ramadlan.
1. Disyari’atkannya Shalat Tarawih dengan Berjama’ah
Shalat tarawih disyari’atkan dengan berjama’ah berdasarkan hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج من جوف الليل فصلى في المسجد فصلى رجال بصلاته فأصبح الناس يتحدثون بذلك فاجتمع أكثر منهم فخرج رسول الله صلى الله عليه وسلم في الليلة الثانية فصلوا بصلاته فأصبح الناس يذكرون ذلك فكثر أهل المسجد من الليلة الثالثة فخرج فصلوا بصلاته فلما كانت الليلة الرابعة عجز المسجد عن أهله فلم يخرج إليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم فطفق رجال منهم يقولون الصلاة فلم يخرج إليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى خرج لصلاة الفجر فلما قضى الفجر أقبل على الناس ثم تشهد فقال أما بعد فإنه لم يخف علي شأنكم الليلة ولكني خشيت أن تفرض عليكم صلاة الليل فتعجزوا عنها
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar pada waktu tengah malam, lalu beliau shalat di masjid. Lalu shalatlah beberapa orang bersama beliau. Di pagi hari, orang-orang memperbincangkannya. Maka berkumpullah kebanyakan dari mereka. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat di malam kedua, mereka pun shalat bersama beliau. Di pagi hari berikutnya, orang-orang memperbincangkannya kembali. Di malam ketiga, jumlah jama’ah yang ada di masjid bertambah banyak. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar dan melaksanakan shalatnya. Pada malam keempat, masjid tidak mampu lagi menampung jama’ahnya, dan beliau tidak keluar melaksanakan shalat malam sebagaimana sebelumnya kecuali beliau hanya melaksanakan shalat shubuh. Ketika telah selesai melaksanakan shalat Shubuh, beliau menghadap kepada jama’ah kaum muslimin, kemudian membaca syahadat, dan bersabda : “Amma ba’du, sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melakukannya” (HR. Al-Bukhari no. 924 dan Muslim no. 761).
Setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat dan syari’at telah mantap, maka hilanglah kekhawatiran. Disyari’atkannya shalat tarawih berjama’ah tetap ada meski telah hilang illat (sebab)-nya. Kemudian Khalifah Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anhu menghidupkan shalat tarawih secara berjama’ah kembali, sebagaimana hadits Abdurrahman bin ‘Abdil-Qari (HR. Al-Bukhari no. 2010 dan Abdurrazzaq no. 7723).
Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda ketika menekankan untuk berjama’ah ketika shalat tarawih :
إنه من قام مع الامام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة
“Sesungguhnya barangsiapa shalat tarawih bersama imam (berjama’ah) sampai selesai, maka ditulis baginya sama dengan shalat semalam suntuk” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 5/226 no. 7777, Abu Dawud no. 1375, At-Tirmidzi no. 806, An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 1364, dan lainnya; ini adalah lafadh Ibnu Abi Syaibah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/379-380).
2. Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
a. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah raka’at tarawih.
Namun selama pendapat-pendapat tersebut dilandasi dengan dalil yang shahih, maka tetap dapat dipakai dan diterima. Dan bahkan itu menunjukkan keluasan syari’at Islam.
b. Jumlah raka’at yang disebutkan melalui hadits-hadits shahih adalah 13 raka’at, 11 raka’at dan 9 raka’at.
Diriwayatkan secara shahih dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa bahwasannya beliau tidak pernah melakukan shalat lail/tahajjud/tarawih melebihi 11 raka’at, yaitu dengan perkataannya :
ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة......
“Tidaklah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melebihkan (jumlah raka’at) pada bulan Ramadlan dan tidak pula pada selain bulan Ramadlan dari 11 raka’at” (HR. Al-Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 736).
Adapun riwayat yang menyebutkan 13 raka’at (Muslim no. 737; Ahmad 1/324; Abu Dawud no. 1338; dan At-Tirmidzi no. 442) tidak bertentangan dengan hadits ‘Aisyah di atas. Sebab, 13 raka’at tersebut dihitung termasuk 2 raka’at ringan dari shalat rawatib ba’diyyah ‘isya’. Untuk pembahasan selengkapnya, silakan merujuk pada kitab Qiyaamu Ramadlan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah.
c. Adapun pendapat yang menyebutkan jumlah raka’at shalat tarawih adalah 23 raka’at adalah pendapat yang lemah (dla’if) berdasarkan penelitian dari para pakar ahli hadits.
Diantara hadits yang dijadikan hujjah diantaranya adalah :
- Dari Yazid bin Ruman beliau berkata :
كان الناس يقومون في زمان عمر بن الخطاب في رمضان بثلاث وعشرين ركعة
“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadlan pada masa ‘Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu 23 raka’at” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa’’ no. 272).
Sanad hadits ini terputus (munqathi’) antara Ibnu Ruman dan ’Umar. Imam Al-Baihaqi berkata dalam Al-Kubraa : “Yazid bin Ruman tidak menemui masa Umar” (Nashbur-Rayah 2/154). Kesimpulannya : hadits ini lemah (dla’if).
- Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma berkata :
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي في رمضان عشرين ركعة
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadlan 20 raka’at dan witir” (HR. Thabarani dalam Mu’jamul-Ausath no. 802 dan dalam Al-Mu’jamul-Kabiir 3/148/2 no. 11934).
Imam Ath-Thabarani rahimahullah berkata : “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja” (Al-Mu’jamul-Ausath 1/244). Dalam kitab Nashbur-Rayah (2/153) dijelaskan : “Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah menyelisihi hadits yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau bertanya pada ‘Aisyah : Bagaimana shalat Rasulullah di bulan Ramadlan? (yaitu dalil pada poin b di atas). Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini palsu (maudlu’). (lihat Adl-Dla’iifah 2/35 no. 560 dan Irwaaul-Ghalil 2/191 no. 445).
- Dari Dawud bin Qais dan yang lainnya, dari Muhammad bin Yusuf, dari As-Sa’ib bin Yazid ia berkata :
أن عمر جمع الناس في رمضان على أبي بن كعب وعلى تميم الداري على إحدى وعشرين ركعة يقرؤون بالمئين وينصرفون عند فروع الفجر
“Umar radliyallaahu ‘anhu mengumpulkan orang-orang di bulan Ramadlan (untuk melaksanakan shalat tarawih) yang diimami oleh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Daari dengan 21 raka’at. Mereka membaca (surat-surat) Al-Mi’iin (= surat yang berjumlah lebih dari 100 ayat) dan pulang di ambang fajar” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 7730).
Dhahir sanad ini adalah shahih. Namun terdapat ‘illat, yaitu penyelisihan rawi yang meriwayatkan dari Muhammad bin Yusuf dimana riwayat yang lebih shahih dan lebih kuat (yaitu riwayat Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf, dari As-Saaib bin Yazid) menyebutkan :
أمر عمر بن الخطاب أبي بن كعب وتميما الداري أن يقوما للناس بإحدى عشرة ركعة
“Umar bin Al-Khaththab memerintahkan Ubay bin Ka’b dan Tamiim Ad-Daari untuk mengimami manusia (melaksanakan shalat tarawih) dengan 11 raka’at” (HR. Malik 1/478 no. 271).
Walhasil, hadits ini pun berderajat syadz lagi munkar.[21]
d. Apabila kaum muslimin tetap bersikeras melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at (walaupun pendapat ini adalah lemah), maka mereka tetap harus mengerjakannya secara thuma’ninah.
Karena tidak jarang mereka yang melakukan 23 raka’at, shalat tarawih dilakukan dengan sangat cepat dan tidak thuma’ninah. Dan bahkan ada diantara mereka yang membaca Al-Fatihah dengan satu nafas. Padahal Allah telah memerintahkan dalam membaca Al-Qur’an :
وَرَتّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلاً
“dan bacalah Al-Qur’an itu secara perlahan-lahan/tartil” (QS. Al-Muzammil : 4).
Diantara mereka juga ada yang melakukan rukuk dan sujud seperti patukan ayam (karena cepatnya – tidak thuma’ninah), padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
لا تجزئ صلاة الرجل حتى يقيم ظهره في الركوع والسجود
“Tidak sah shalat seseorang hingga ia menegakkan (meluruskan) punggungnya ketika ruku’ dan sujud” (HR. Abu Dawud no. 855, An-Nasa’i no. 1027, At-Tirmidzi no. 265, dan Ibnu Majah no. 870; ini adalah lafadh Abu Dawud. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/241).
رأى رجلاً لا يتم ركوعه، وينقر في سجوده وهو يصلي، فقال: لو مات هذا على حاله هذه؛ مات على غير ملة محمد؛ [ينقر صلاته كما ينقر الغراب الدم]، مثل الذي لا يتم ركوعه وينقر في سجوده؛ مثل الجائع الذي يأكل التمرة والتمرتين لا يغنيان عنه شيئاً
Beliau melihat seorang laki-laki yang tidak menyempurnakan ruku’-nya dan mematuk di dalam sujudnya ketika shalat. Kemudian beliau bersabda, ”Sekiranya orang ini mati dalam keadaan seperti ini, niscaya ia mati bukan pada millah (agama) Muhammad [karena ia mematuk dalam shalatnya sebagaimana burung gagak mematuk darah]. Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan ruku’nya dan mematuk di dalam sujudnya seperti orang yang lapar makan satu buah kurma dan dua buah kurma yang tidak memberikan manfaat apa-apa baginya” (HR. Abu Ya’la dalam Musnad 340/1, 349/1; dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir 1/192/1 dengan sanad hasan. Lihat Ashlu Shifati Shalatin-Nabiyy oleh Syaikh Al-Albani halaman 642).
Maka selayaknyalah kaum muslimin tetap melaksanakan dengan khusyu’, thuma’ninah, dan sesuai dengan contoh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
e. Bentuk-Bentuk Shalat Tarawih dan Witir dalam Riwayat yang Shahih
- Tiga belas raka’at, dua raka’at-dua raka’at yang diawali dengan dua raka’at ringan.
عن زيد بن خالد الجهني أنه قال لأرمقن صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم الليلة فصلى ركعتين خفيفتين ثم صلى ركعتين طويلتين طويلتين طويلتين ثم صلى ركعتين وهما دون اللتين قبلهما ثم صلى ركعتين وهما دون اللتين قبلهما ثم صلى ركعتين وهما دون اللتين قبلهما ثم صلى ركعتين وهما دون اللتين قبلهما ثم أوتر فذلك ثلاث عشرة ركعة
Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani ia berkata : “Aku akan mempraktekkan shalat malam Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shalat dua raka’at ringan, lalu shalat dua raka’at yang sangat lama, demikian pula dua raka’at berikutnya dan sesudahnya. Lalu shalat dua raka’at tetapi lebih pendek dari sebelumnya, lalu shalat dua raka’at yang lebih pendek dari sebelumnya, kemudian shalat witir (tiga raka’at). Maka jumlahnya tiga belas raka’at” (HR. Muslim no. 1284).
- Tiga belas raka’at, delapan raka’at dilakukan dua-dua, lalu witir lima raka’at dengan duduk tasyahud di raka’at terakhir.
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يرقد فإذا استيقظ تسوك ثم توضأ ثم صلى ثمان ركعات يجلس في كل ركعتين فيسلم ثم يوتر بخمس ركعات لا يجلس الا في الخامسة ولا يسلم الا في الخامسة
“Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa tidur malam, apabila bangun beliau bersiwak lalu berwudlu kemudian melakukan shalat delapan raka’at, salam setiap dua raka’at. Setelah itu beliau berwitir lima raka’at dengan duduk tasyahud dan salam pada raka’at yang kelima” (HR. Muslim no. 737 dan Ahmad 6/123).
- Sebelas raka’at, salam setiap dua raka’at, dan witir satu raka’at.
عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي فيما بين أن يفرغ من صلاة العشاء وهي التي يدعو الناس العتمة إلى الفجر إحدى عشرة ركعة يسلم بين كل ركعتين ويوتر بواحدة فإذا سكت المؤذن من صلاة الفجر وتبين له الفجر وجاءه المؤذن قام فركع ركعتين خفيفتين ثم اضطجع على شقه الأيمن حتى يأتيه المؤذن للإقامة
Dari ‘Aisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ia berkata : “Biasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat setelah isya’ – yang oleh orang-orang dinamakan dengan shalat ‘atamah – sampai menjelang fajar sebanyak sebelas raka’at, salam pada setiap dua raka’at dan witir satu raka’at. Apabila mu’adzin telah mengumandangkan adzan fajar, dan fajar telah nampak jelas dan muadzinpun telah hadir, maka beliau shalat dua raka’at ringan (yaitu shalat sunnah fajar) kemudian berbaring di sisi badan yang kanan sehingga muadzin datang mengumandangkan iqamat” (HR. Muslim no. 736).
- Sebelas raka’at, empat raka’at-empat raka’at lalu witir tiga raka’at.
عن أبي سلمة بن عبد الرحمن أنه سأل عائشة كيف كانت صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان قالت ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا
Dari Abu Salamah bin Abdirrahman bertanya kepada ‘Aisyah : “Bagaimana shalat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadlan ?”. Aisyah menjawab : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah shalat di bulan Ramadlan maupun di bulan selainnya lebih dari sebelas raka’at. Beliau shalat empat raka’at, kamu jangan menanyakan bagus dan panjangnya. Setelah itu shalat empat raka’at dan kamu jangan menanyakan bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat (witir) tiga raka’at[22]” (HR. Al-Bukhari no. 2013 dan Muslim no. 738; ini adalah lafadh Al-Bukhari).
- Sebelas raka’at, delapan raka’at dengan tasyahud, tetapi tidak salam, kemudian bangkit satu raka’at dan salam (berarti sembilan raka’at). Kemudian shalat dua raka’at dan salam.
قلت يا أم المؤمنين أنبئيني عن وتر رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت كنا نعد له سواكه وطهوره فيبعثه الله ما شاء أن يبعثه من الليل فيتسوك ويتوضأ ويصلي تسع ركعات لا يجلس فيها إلا في الثامنة فيذكر الله ويحمده ويدعوه ثم ينهض ولا يسلم ثم يقوم فيصلي التاسعة ثم يقعد فيذكر الله ويحمده ويدعوه ثم يسلم تسليما يسمعنا ثم يصلي ركعتين بعدما يسلم وهو قاعد فتلك إحدى عشرة ركعة يا بني
Dari Sa’d bin Hisyam bin ‘Amir, ia berkata : “Wahai Ummul-Mukminin, kabarkan kepadaku tentang shalat witir Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. ‘Aisyah menjawab : “Kamilah yang mempersiapkan siwak dan air wudlu beliau. Bila Allah membangunkan beliau pada waktu yang dikehendaki di malam hari, beliau bersiwak dan berwudlu lantas shalat sembilan raka’at tidak duduk (tasyahud) kecuali pada raka’at kedelapan. Beliau berdzikir, memuji Allah, dan berdoa, kemudian beliau bangkit dan tidak salam meneruskan raka’at kesembilan. Kemudian beliau duduk, berdzikir, memuji Allah, dan berdoa, kemudian salam dengan satu salam yang terdengar oleh kami. Setelah itu beliau shalat dua raka’at sambil duduk. Jadi jumlahnya sebelas raka’at wahai anakku. Ketika beliau telah tua dan gemuk, beliau berwitir tujuh raka’at, kemudian dua raka’at setelahnya dilakukan seperti biasa, maka jumlahnya sembilan wahai anakku” (HR. Muslim no. 746).
- Sembilan raka’at, diantaranya enam raka’at, duduk tasyahud pada raka’at keenam namun tidak salam, kemudian bangkit satu raka’at dan salam (berarti tujuh raka’at). Kemudian shalat dua raka’at dengan duduk. Dasarnya adalah hadits yang telah disebut sebelumnya (HR. Muslim no. 746).
3. Disunnahkan Membaca Qunut dalam Shalat Witir[23]
a. Doa qunut yang dibaca dalam shalat witir adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Hasan bin ‘Ali :
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku beberapa kata yang selalu kuucapkan pada waktu witir :
اللّهُـمَّ اهْـدِنـِيْ فِـيْمَنْ هَـدَيْـت، وَعَـافِنـِيْ فِـيْمَنْ عَافَـيْت، وَتَوَلَّـنِيْ فِـيْمَنْ تَوَلَّـيْت ، وَبَارِكْ لـِيْ فِـيْمَا أَعْطَـيْت، وَقِـنِيْ شَرَّ مَا قَضَـيْت، فَإِنَّـكَ تَقْـضِيْ وَلا يُقْـضَى عَلَـيْك ، إِنَّـهُ لا يَـذِلُّ مَنْ والَـيْت، [ وَلا يَعِـزُّ مَن عَـادَيْت ]، تَبَـارَكْـتَ رَبَّـنَا وَتَعَـالَـيْت
[Alloohummah-dinii fiiman hadait, wa’aafinii fiiman ‘aafait, watawallanii fiiman tawallait, wabaariklii fiimaa a’thoit, waqinii syarro maa qodloit. Fa-innaka taqdlii walaa yuqdloo ‘alaik, innahu laa yadzillu man waalait, walaa ya’izzu man ‘aadait, tabaarokta robbanaa wata’aalait]
“Ya Allah, berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku perlindungan (dari penyakit dan apa yang tidak disukai) sebagaimana orang yang telah Engkau lindungi, sayangilah aku sebagaimana orang yang telah Engkau sayangi. Berikanlah berkah terhadap apa-apa yang telah Engkau berikan kepadaku, jauhkanlah aku dari kejelekan apa yang telah Engkau telah taqdirkan. Sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan hukum, dan tidak ada orang yang memberikan hukuman kepada-Mu. Sesungguhnya orang yang Engkau bela tidak akan terhina, dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau, wahai Rabb kami yang Maha Tinggi”
(HR. Abu Dawud no. 1425, At-Tirmidzi no. 464, Ibnu Majah no. 1178, An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 1446, dan Ahmad no. 1/200, dan Al-Baihaqi no. 4637; shahih. Lihat Irwaaul-Ghalil 2/172).
Bisa ditambahkan shalawat di akhir doa qunut (lihat Irwaaul-Ghalil 2/175 no. 430).
b. Doa qunut bisa dilakukan sebelum atau setelah rukuk.
Keduanya telah ada contohnya dalam Sunnah.
عن أبي بن كعب أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قنت يعني في الوتر قبل الركوع
Dari Ubay bin Ka’b radliyallaahu ‘anhu : “Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut dalam shalat witir sebelum rukuk” (HR. Abu Dawud no. 1427; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/268 dan Irwaaul-Ghalil 2/167).
عن أبي عبد الرحمن السلمي أن عليا رضى الله تعالى عنه كان يقنت في الوتر بعد الركوع
Dari Abu ‘Abdirrahman As-Sulamy : Bahwasannya ‘Ali radliyallaahu ‘anhu melakukan qunut pada shalat witir setelah rukuk (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa no. 4638).
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia menceritakan qunut nazilah yang dibaca Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
عن أنس بن مالك قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم شهرا بعد الركوع في صلاة الصبح يدعو على رعل وذكوان
Dari Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berqunut selama satu bulan (yaitu qunut nazilah) setelah rukuk dalam shalat shubuh mendoakan kecelakaan atas Bani Ri’l, Dzakwan…..” (HR. Muslim no. 677).
c. Mengangkat Tangan dan Mengucapkan Amien (Bagi Makmum)
Dasarnya adalah keumuman hadits Salman Al-Farisi radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إن ربكم تبارك وتعالى حيي كريم يستحي من عبده إذا رفع يديه إليه أن يردهما صفرا
“Sesungguhnya Rabbmu Tabaraka wa Ta’ala adalah Yang Maha Pemalu dan Maha Pemurah. Dia merasa malu terhadap hamba-Nya apabila ia mengangkat kedua tangannya berdoa kepada-Nya, lalu kembali dengan tangan hampa” (HR. Abu Dawud no. 1488, At-Tirmidzi no. 3556, dan Ibnu Majah no. 3865; ini adalah lafadh Abu Dawud. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/409).
عن أبي رافع قال صليت خلف عمر بن الخطاب رضى الله تعالى عنه فقنت بعد الركوع ورفع يديه وجهر بالدعاء
Dari Abu Rafi’ bahwa ia menceritakan : “Aku pernah shalat di belakang ‘Umar bin Khaththab, beliau berqunut setelah rukuk dan mengangkat kedua tangannya sambil menjahrkan (mengeraskan) doa” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dalam Al-Kubra no. 2698; beliau menyatakan : “Ini adalah riwayat dari ‘Umar radliyallaahu ‘anhu sanadnya shahih).
قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم شهرا متتابعا في الظهر والعصر والمغرب والعشاء وصلاة الصبح في دبر كل صلاة إذا قال سمع الله لمن حمده من الركعة الآخرة يدعو على أحياء من بني سليم على رعل وذكوان وعصية ويؤمن من خلفه
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah qunut (nazilah) pada waktu shalat Dhuhur, ‘Asar, Maghrib, ‘Isya’, dan Shubuh di akhir shalat; dan ketika mengucapkan Sami’alloohu liman hamidah pada raka’at terakhir, beliau mendoakan kecelakaan atas Bani Sulaim, yaitu suku Ri’l, Dzakwaan, dan Ushayyah. Sementara orang-orang di belakang beliau mengaminkannya” (HR. Abu Dawud no. 1443 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/397).
d. Doa di Akhir Shalat Witir
Yaitu berdoa sebelum atau sesudah salam pada shalat witir. Telah shahih dari ‘Ali bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan di akhir witirnya :
اللّهُـمَّ إِنِّـيْ أَعُـوْذُ بِرِضَـاكَ مِنْ سَخَطِـك، وَبِمُعَـافَاتِـكَ مِنْ عُقُوْبَـتِك، وَأَعُـوْذُ بِكَ مِنْـكَ، لا أُحْصِـيْ ثَنـَاءً عَلَـيْك، أَنْـتَ كَمَـا أَثْنَـيْتَ عَلَـى نَفْسـِك
[Alloohumma innii a’uudzu biridlooka min sakhothik, wabimu’aafaatika min ‘uquubatik, wa-a’uudzubika minka, laa uhshii tsanaa-an ‘alaik, anta kamaa atsnaita ‘alaa nafsik]
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dengan keridlaan-Mu dari kemarahan-Mu, dengan keselamatan-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari diri-Mu. Tidak dapat kuhitung pujian kepada diri-Mu, sebagaimana yang dapat Engkau lakukan terhadap diri-Mu sendiri”
(HR. Abu Dawud no. 1427, At-Tirmidzi no. 3566, Ibnu Majah no. 1179, dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/393 dan Irwaaul-Ghalil 2/175 no. 430).
سُـبْحانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوس سُـبْحانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوس سُـبْحانَ اْلمَلِكِ القُدُّوس [رَبِّ اْلمَلائِكَةِ وَالرُّوْح]
[Subhaanal-Malikil-Qudduus, Subhaanal-Malikil-Qudduus, Subhaanal-Malikil-Qudduus, Rabbil-Malaaikati war-Ruuh]
“Maha Suci Allah Raja Yang Suci, Maha Suci Allah Raja Yang Suci, Maha Suci Allah Raja Yang Suci” (Nabi mengangkat suara dan memanjangkannya pada saat yang ketiga) Rabbnya para malaikat dan ruh”
(HR. Abu Dawud no. 1430, An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 446-447, Ahmad 3/406, dan Ad-Daruquthni 2/354 no. 1659 Bab Maa Yuqra-u fii Raka’aatil-Witr wal-Qunuut Fiih. Adapun kalimat dalam tanda kurung merupakan tambahannya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/393).
e. Bolehkah Witir Dua Kali dalam Satu Malam ?
Mengerjakan witir dua kali dalam satu malam hukumnya adalah makruh berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لا وتران في ليلة
“Tidak ada witir dalam satu malam” (HR. Abu Dawud no. 1439, At-Tirmidzi no. 470, dan An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 1392, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Abani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/396).
Shalat witir bisa dilakukan sebelum atau sesudah tidur. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
من خاف أن لا يقوم من آخر الليل فليوتر أوله ومن طمع أن يقوم آخره فليوتر آخر الليل فإن صلاة آخر الليل مشهودة وذلك أفضل
“Barangsiapa yang merasa khawatir tidak bisa bangun pada akhir malam, maka hendaklah ia shalat witir pada awalnya (yaitu sebelum tidur). Dan barangsiapa yang mampu bangun di akhir malam, maka hendaklah ia shalat di waktu tersebut. Sesungguhnya shalat di akhir waktu malam disaksikan (oleh para malaikat). Dan itulah yang lebih utama” (HR. Muslim no. 755).
4. Bilamana Kaum Wanita Shalat Berjama’ah di Masjid ?
a. Pada Asalnya, Kaum Wanita Tidak Terlarang Melaksanakan Shalat di Masjid
Hal ini sesuai dengan keumuman ayat :
إِنّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الاَخِرِ وَأَقَامَ الصّلاَةَ وَآتَىَ الزّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاّ اللّهَ فَعَسَىَ أُوْلَـَئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta mereka tetap mendirikan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain Allah, maka merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. At-Taubah : 17-18).
عن بن عمر قال كانت امرأة لعمر تشهد صلاة الصبح والعشاء في الجماعة في المسجد فقيل لها لم تخرجين وقد تعلمين أن عمر يكره ذلك ويغار قالت وما يمنعه أن ينهاني قال يمنعه قول رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تمنعوا إماء الله مساجد الله
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Salah seorang istri ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu biasa menghadiri shalat ‘isya’ dan shubuh berjama’ah di masjid. Ada yang berkata kepadanya : ‘Mengapa Anda keluar, bukankah Anda tahu bahwa ‘Umar tidak menyukai hal ini dan pencemburu ?’. Ia menjawab : ‘Apa yang menghalanginya untuk melarangku adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian melarang kaum wanita pergi ke masjid” (HR. Al-Bukhari no. 900 dan Muslim no. 442; ini adalah lafadh Al-Bukhari).
b. Rumah Lebih Utama (Afdlal) bagi Kaum Wanita daripada Masjid untuk Melaksanakan Shalat
عن بن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تمنعوا نساءكم المساجد وبيوتهن خير لهن
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Janganlah kalian melarang wanita-wanitamu pergi ke masjid; akan tetapi shalat di rumah adalah lebih baik bagi mereka” (HR. Abu Dawud no. 567, Ibnu Khuzaimah no. 1683, Al-Hakim no. 755 dan yang lainnya; shahih lighairihi sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/169 dan Syaikh Musthafa Al-‘Adawi dalam Jami’ li-Ahkaamin-Nisaa’ 1/293).
c. Keluarnya Wanita ke Masjid untuk Shalat Setidaknya Memenuhi Beberapa Syarat Berikut:
ü Tidak Memakai Wangi-Wangian
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لا تمنعوا إماء الله مساجد الله ولكن ليخرجن وهن تفلات
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Janganlah kalian melarang kaum wanita ke masjid, dan hendaklah mereka keluar tanpa memakai wangi-wangian” (HR. Abu Dawud no. 565; Ahmad 2/438,475; Ibnu Khuzaimah no. 1679, dan lain-lain; hasan shahih. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud 1/169).
ü Tidak Menimbulkan Fitnah
عن يحيى وهو بن سعيد عن عمرة بنت عبد الرحمن أنها سمعت عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم تقول لو أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى ما أحدث النساء لمنعهن المسجد كما منعت نساء بني إسرائيل قال فقلت لعمرة أنساء بني إسرائيل منعهن المسجد قالت نعم
Dari Yahya bin Sa’id, dari ‘Amrah binti ‘Abdirrahman, bahwasannya ia telah mendengar ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata :”Sekiranya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat apa yang dilakukan kaum wanita sekarang, tentu beliau akan melarang mereka pergi ke masjid sebagaimana dilarangnya kaum wanita Bani Israil”. Aku berkata kepada ‘Amrah : “Apakah wanita Bani Israil dilarang pergi ke tempat ibadah mereka ?”. Ia menjawab : “Benar” (HR. Bukhari no. 869 dan Muslim no. 445; ini adalah lafadh Muslim).
[Http://Cerkiis.blogspot.com, Sumber Penulis: Ustadz Abul Jauzaa']
Footnote :
[1] Perlu diketahui bahwa orang yang sakit dalam pembahasan ini terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu :
a) Sakit ringan yang tidak bertambah parah apabila dijalani sambil berpuasa dan tidak akan lebih baik jika orang tersebut berbuka; seperti flu ringan, sakit kepala ringan, sakit gigi, dan yang semisalnya. Maka dalam hal ini tidak boleh untuk meninggalkan berpuasa.
b) Sakit yang bertambah para dan kesembuhannya akan terhambat bila menjalani puasa. Hanya saja belum sampai tingkat yang membahayakan (jiwanya). Maka dalam hal ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan makruh jika ia tetap melaksanakan puasa.
c) Sakit yang terlalu berat apabila dijalani sambil berpuasa dan sangat membahayakn hingga dapat berpotensi membawa kematian. Dalam kondisi seperti ini, maka diharamkan untuk berpuasa secara asal, karena Allah ta’ala telah berfirman : {وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ} ”Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri” (QS. An-Nisaa’ : 29).
[2] Adapun Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i mendla’ifkan hadits ini dalam At-Tattabu’ hal. 583.
[3] Sebagian ulama mengatakan ia wajib mengeluarkan setengah sha’ gandum bagi seorang miskin per hari sesuai dengan jumlah hari yang ia berbuka. Sebagian yang lain mengatakan satu mud gandum. Sebagian lain mengatakan setengah sha’ gandum, kurma, atau kismis (yang merupakan bahan makanan pokok sehari-hari). Sebagian lain mengatakan apa saja dari jenis makanan yang dapat membuatnya kenyang pada hari ia tidak berpuasa (tanpa menentukan takaran tertentu). Sebagian lain mengatakan seukuran makan pagi dan makan malam. (Jami’ul-Bayaan ’an Ta’wiilil-Qur’an 2/83 oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari).
[4] Dikeluarkan oleh As-Siraaj dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Al-Mikhladiy (2/99); Ad-Daruquthni (243), dan Al-Baihaqi (4/259) – dinukil melalui perantaraan Irwaaul-Ghalil (4/95). Silakan lihat takhrij beserta penjelasan akan kelemahannya dalam kitab ini (4/95-97).
[5] Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda :
من مات وعليه صيام، صام عنه وليه
”Barangsiapa yang meninggal dunia dan mempunyai kewajiban puasa, maka ia dipuasakan oleh walinya” (HR. Al-Bukhari no. 1952).
Jenis puasa yang disebutkan pada hadits di atas bersifat mutlak. Namun kemudian hadits tersebut ditaqyid oleh hadits lain bahwasannya yang dimaksud hanyalah puasa nadzar saja.
أن سعد بن عبادة الأنصاري استفتى النبي صلى الله عليه وسلم في نذر كان على أمه فتوفيت قبل أن تقضيه فأفتاه أن يقضيه عنها
Bahwasannya Sa’id bin ‘Ubadah radliyallaahu ‘anhu meminta fatwa kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengenai nadzar ibunya yang telah meninggal sebelum melaksanakan nadzarnya tersebut. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberi fatwa agar Sa’id melaksanakan nadzar tersebut atas nama ibunya (HR. Al-Bukhari no. 6698).
عن بن عباس : أن امرأة ركبت البحر فنذرت إن نجاها الله أن تصوم شهرا فنجاها الله فلم تصم حتى ماتت فجاءت ابنتها أو أختها إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمرها أن تصوم عنها
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma : Bahwasannya ada seorang wanita yang naik kapal lalu ia bernadzar jika Allah menyelamatkan ia (sampai ke daratan) ia akan berpuasa selama sebulan. Allah pun kemudian menyelamatkannya. Wanita tersebut belum berpuasa (memenuhi nadzarnya) hingga ia meninggal dunia. Maka datanglah anak perempuannya atau saudara perempuannya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau memerintahkannya untuk berpuasa untuknya (HR. Abu Dawud no. 3308; shahih).
Dari Umrah bahwa ibunya meninggal dunia dan ia punya tanggungan puasa Ramadlan. Ia berkata kepada ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa : “Apakah aku harus membayar puasanya?”. Aisyah menjawab :
لا بل تصدقي عنها مكان كل يوم نصف صاع على كل مسكين
”Tidak, tetapi keluarkanlah sedekah sebagai ganti dari puasanya itu, yaitu setiap satu hari diganti dengan memberikan setengah sha’ kepada orang miskin” (Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam kitab Musykiilul-Aatsaar 3/142 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/4 dengan sanad shahih – dinukil melalui perantaraan Ahkaamul-Janaaiz karya Syaikh Al-Albani).
Hal ini diperkuat oleh pemahaman Ibnu ‘Umar bahwasannya pada asalnya seseorang itu tidak boleh berpuasa atau shalat atas nama orang lain. Ia berkata :
لا يصوم أحد عن أحد، ولا يصلي أحد عن أحد
“Tidaklah seseorang berpuasa atas nama orang lain dan tidaklah seseorang shalat atas nama orang lain” (HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 738; shahih mauquf).
[6] Adapun tambahan Kariim sesudah kalimat Alloohumma innaka ‘afuwun bukanlah tambahan yang berasal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
[7] Berbagai macam pendapat tentang hal ini saling berbeda dan cukup beragam. Imam Al-‘Iraqi mengarang sebuah risalah tersendiri yang berjudul Syarhush-Shadr bi Dzikri Lailatil-Qadr. Ia mengumpulkan di dalamnya pendapat para ulama dalam masalah ini.
[8] Seperti yang dinukil oleh Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah.
[9] Maksudnya meninggalkan hubungan badan dengan istrinya untuk beribadah serta berusaha keras mencari Lailatul-Qadar.
[10] Lihat Tharhut Tatsrib (4/166) oleh Ibnul-‘Iraqi – dinukil melalui perantaraan I’tikaf Menurut Sunnah Nabi (Judul Asli : Al-Inshaaf fii Ahkaamil-I’tikaaf oleh Syaikh ’Ali Al-Halaby hal. 15; Pustaka Mantiq. Cet. I. 1997. Solo.
[11] Lihat Al-Mufradat (343) oleh Ar-Raghib – idem.
[12] Lihat Syarhu Muslim (8/66) oleh Imam Nawawi – idem.
[13] Pemahamannya adalah bahwa waktu malam dalam hadits ’Umar tentu tidak menunjukkan bahwa waktu itu ia harus berpuasa, sebab makna puasa adalah menahan diri dari apa-apa yang membatalkan puasa mulai terbitnya fajar shadiq sampai tenggelamnya matahari.
[14] Beliau mencondongkan kepalanya dengan posisi badannya masih berada di masjid, untuk disisir ‘Aisyah yang berada di rumahnya. Sebagaimana diketahui bahwasannya rumah beliau dekat dengan masjid. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak keluar dari masjid kecuali ada kebutuhan yang sangat mendesak.
[15] Yaitu rumah kecil dari bulu domba (wol) yang ditegakkan di atas dua atau tiga tiang, sebagaimana yang dkatakan Ibnul-Atsir dalam An-Nihaayah (2/9) - dinukil melalui perantaraan I’tikaf Menurut Sunnah Nabi (Judul Asli : Al-Inshaaf fii Ahkaamil-I’tikaaf oleh Syaikh ’Ali Al-Halaby hal. 48; Pustaka Mantiq. Cet. I. 1997. Solo.
[16] Dikeluarkan oleh Bukhari 4/226 – idem.
[17] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1183 – idem.
[18] Yaitu sejenis qubah kecil – idem.
[19] Naungan yang diletakkan di atas pintu untuk menjaga diri dari hujan dan sungguh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah meletakkannya agar hati orang yang i'tikaf tidak terganggu oleh orang yang lewat di depannya dan dapat memperoleh maksud (tujuan) i'tikaf. Lihat Risaalah Qiyaami Ramadlaan halaman 26 – idem.
[20] Dikeluarkan oleh Muslim no. 1167.
[21] Terdapat pembicaraan yang panjang mengenai hadits dalam bahasan ini. Sebagian ulama ada yang menshahihkannya seperti An-Nawawi, Az-Zaila’i, Al-’Aini, Ibnul-’Iraqi, As-Subki, dan Ibnu Baaz rahimahumullah. Mereka menshahihkan riwayat ini karena dhahir sanad menyatakan demikian. Adapun ’illat yang dikatakan oleh sebagian ulama yang kontra dengan mereka adalah diabaikan karena jalan-jalan tersebut pada hakekatnya bisa dilakukan pen-jamak-an. Pemahaman yang dihasilkan oleh para ulama di kelompok ini adalah bahwasannya ’Umar memerintahkan Ubay bin Ka’b dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia, kadang dengan 21 raka’at, kadang 11 raka’at. Namun hal ini tidak bisa diterima, karena dhahir matan hadits pada hakekatnya adalah satu. Oleh karena itu, jalan tarjih lah yang semestinya ditempuh. Perawi yang meriwayatkan dengan 11 raka’at lebih kuat daripada perawi yang meriwayatkan dengan 21 raka’at. Dan tentu kita mafhum bahwasannya sosok ’Umar bin Khaththab adalah orang yang sangat bersemangat mencontoh sunnah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam. Tidaklah ia memerintahkan sesuatu kecuali sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Dan contoh yang ada pada diri beliau adalah bahwasannya shalat tarawih dilakukan tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at sebagaimana telah disebutkan haditsnya. Wallaahu a’lam.
[22] Kaifiyat pelaksanaan shalat witir tiga raka’at ini bisa dua macam. Pertama, dilakukan tiga raka’at sekaligus dengan duduk tasyahud dan salam di raka’at ketiga, Kedua, dilakukan dua raka’at salam, dan satu raka’at salam; sesuai dengan keumuman kaifiyat shalat malam : صلاة الليل مثنى مثنى “Shalat malam itu dilaksanakan dua raka’at-dua raka’at” (HR. Muslim no. 749).
[23] Kami masukkan bahasan shalat witir bersama shalat tarawih karena kami menguatkan pendapat bahwasannya shalat witir tersebut merupakan keumuman dari shalat malam. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ – sebagaimana dinukil oleh Abu Malik dalam Shahih Fiqhis-Sunnah (1/381) – menukil khilaf ulama dalam pendefinisian ini. Sebagian ulama memasukkan shalat witir dalam keumuman shalat malam, sedangkan ulama lain mengatakan bahwa shalat witir ini merupakan shalat tersendiri yang bukan merupakan bagian dari shalat malam.