Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَجَسَّسُوا، وَلَا تَحَسَّسُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَكُونُوا إِخْوَانًا، وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“Jauhilah oleh kalian prasangka, karena prasangka itu sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian saling memata-matai, saling mencari-cari kesalahan, dan saling membenci. Jadilah kalian orang-orang yang bersaudara. Janganlah seorang laki-laki melamar wanita yang telah dilamar saudaranya, hingga saudaranya itu menikahinya atau meninggalkannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5144].
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ، وَلَا يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَرَ
“Seorang mukmin adalah saudara mukmin lainnya. Tidak dihalalkan bagi seorang mukmin membeli barang yang telah dibeli oleh saudaranya. Dan ia pun tidak boleh melamar wanita yang telah dilamar saudaranya hingga saudaranya itu meninggalkan lamarannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1414].
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa berkata :
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ، أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual barang yang telah ia jual orang lain. Seorang laki-laki tidak boleh melamar wanita yang telah dilamar saudaranya, hingga saudaranya itu meninggalkannya atau mengizinkannya (untuk melamarnya)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5142].
Lantas, batasan apakah yang digunakan oleh seorang laki-laki muslim untuk menahan diri tidak melamar seorang wanita yang telah dilamar oleh orang lain ?. Ada dua, yaitu :
1. Telah mengetahui keridlaan/penerimaan si wanita atas lamaran yang pertama.
At-Tirmidziy rahimahullah berkata :
قَالَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ: إِنَّمَا مَعْنَى كَرَاهِيَةِ أَنْ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ: إِذَا خَطَبَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ فَرَضِيَتْ بِهِ فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَتِهِ.
وقَالَ الشَّافِعِيُّ: مَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ: هَذَا عِنْدَنَا إِذَا خَطَبَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ فَرَضِيَتْ بِهِ وَرَكَنَتْ إِلَيْهِ، فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَتِهِ، فَأَمَّا قَبْلَ أَنْ يَعْلَمَ رِضَاهَا أَوْ رُكُونَهَا إِلَيْهِ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَخْطُبَهَا، وَالْحُجَّةُ فِي ذَلِكَ حَدِيثُ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ، حَيْثُ جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ لَهُ، أَنَّ أَبَا جَهْمِ بْنَ حُذَيْفَةَ، وَمُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ خَطَبَاهَا، فَقَالَ: أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ لَا يَرْفَعُ عَصَاهُ عَنِ النِّسَاءِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ، وَلَكِنْ انْكِحِي أُسَامَةَ.
فَمَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَنَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ فَاطِمَةَ لَمْ تُخْبِرْهُ بِرِضَاهَا بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَلَوْ أَخْبَرَتْهُ لَمْ يُشِرْ عَلَيْهَا بِغَيْرِ الَّذِي ذَكَرَتْ
“Maalik berkata : ‘Makna hadits ini adalah dimakruhkannya seorang laki-laki melamar wanita yang telah dilamar saudaranya, yaitu apabila ada seorang laki-laki melamar seorang wanita, dan wanita itu meridlai lamarannya (menerimanya). Dalam keadaan ini, tidak boleh bagi seorang pun untuk melamar wanita yang dilamar oleh laki-laki tersebut’.
Asy-Syaafi’iy berkata : ‘Makna hadits ini adalah : seorang laki-laki tidak boleh melamar wanita yang telah dilamar saudaranya, yaitu apabila ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita, lalu wanita itu meridlainya (menerimanya) dan cenderung (suka) kepadanya. Dalam keadaan ini, tidak boleh bagi seorang pun untuk melamar wanita yang telah dilamar oleh laki-laki tersebut. Adapun jika seseorang belum mengetahui keridlaan atau kecenderungan wanita tersebut terhadap lamaran laki-laki yang pertama, maka tidak mengapa ia melamarnya’. Dalilnya adalah hadits Faathimah bintu Qais ketika ia datang menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan bahwa Abu Jahm bin Hudzaifah dan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan melamarnya. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Abu Jahm, maka ia seorang laki-laki yang tidak pernah mengangkat tongkat dari wanita[1]. Adapun Mu’aawiyyah, maka ia seorang laki-laki miskin. Akan tetapi menikahlah dengan Usaamah’.
Makna hadits ini menurut kami – wallaahu a’lam – bahwasannya Faathimah belum mengkhabarkan kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang keridlaannya akan lamaran salah seorang di antara keduanya (Abu Jahm dan Mu’aawiyyah). Seandainya ia (Faathimah) telah mengkhabarkan kepada beliau (tentang keridlaannya), tentu beliau tidak akan mengisyaratkan pertimbangan kepada laki-laki selain yang ia sebutkan” [Jaami’ At-Tirmidziy, 2/427-428].
2. Mengetahui atau diberitahu oleh saudaranya bahwa ia akan melamar seorang wanita, dan kemudian mengetahui kemungkinan besar si wanita akan menerima lamaran saudaranya tersebut.
Dalilnya :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُحَدِّثُ، " أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ حِينَ تَأَيَّمَتْ حَفْصَةُ، قَالَ عُمَرُ: لَقِيتُ أَبَا بَكْرٍ، فَقُلْتُ: إِنْ شِئْتَ أَنْكَحْتُكَ حَفْصَةَ بِنْتَ عُمَرَ، فَلَبِثْتُ لَيَالِيَ، ثُمَّ خَطَبَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَقِيَنِي أَبُو بَكْرٍ، فَقَالَ: إِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أَرْجِعَ إِلَيْكَ فِيمَا عَرَضْتَ إِلَّا أَنِّي قَدْ عَلِمْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ ذَكَرَهَا فَلَمْ أَكُنْ لِأُفْشِيَ سِرَّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ تَرَكَهَا لَقَبِلْتُهَا "
Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Saalim bin ‘Abdillah, bahwasannya ia pernah mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa menceritakan : Bahwa ketika Hafshah menjanda, ‘Umar bin Al-Khaththaab berkata : “Aku menemui Abu Bakr, dan aku katakan kepadanya : ‘Apabila engkau ingin, aku akan nikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar’. Aku tunggu beberapa malam (jawabannya). Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dating melamarnya (Hafshah). Lalu Abu Bakr menemuiku dan berkata : ‘Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku telah mengetahui bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut (akan melamar)-nya, sementara aku tidak ingin membuka rahasia Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya (tidak jadi menikahinya), niscaya aku menerima tawaranmu untuk menikahinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5145].
Ibnu Baththaal rahimahullah menjelaskan :
وَلَكِنَّهُ قَصَدَ مَعْنًى دَقِيقًا يَدُلّ عَلَى ثُقُوب ذِهْنه وَرُسُوخه فِي الِاسْتِنْبَاط ، وَذَلِكَ أَنَّ أَبَا بَكْر عَلِمَ أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ إِلَى عُمَر أَنَّهُ لَا يَرُدّهُ بَلْ يَرْغَب فِيهِ وَيَشْكُر اللَّه عَلَى مَا أَنْعَمَ عَلَيْهِ بِهِ مِنْ ذَلِكَ ، فَقَامَ عِلْمُ أَبِي بَكْر بِهَذَا الْحَال مَقَام الرُّكُون وَالتَّرَاضِي ، فَكَأَنَّهُ يَقُول : كُلّ مَنْ عَلِمَ أَنَّهُ لَا يُصْرَف إِذَا خَطَبَ لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يَخْطُب عَلَى خِطْبَته
“Akan tetapi hadits itu mempunyai maksud yang sangat dalam yang menunjukkan ketajaman akal Abu Bakr dan kedalamannya dalam beristinbaath (menyimpulkan hukum). Yaitu, Abu Bakr telah mengetahui bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila melamar (Hafshah) kepada ‘Umar, maka ia (‘Umar) tidak akan menolaknya. Bahkan ia akan menyukainya dan bersyukur kepada Allah ta’ala atas nikmat yang telah dilimpahkan kepadanya atas lamaran tersebut. Lalu Abu Bakr mengetahui adanya kecenderungan dan keridlaannya, sehingga seakan-akan ia berkata : ‘Setiap orang yang mengetahui seseorang yang jika ia melamar, lamarannya tidak akan ditolak; maka tidak boleh bagi seorang pun untuk melamar wanita yang dilamar saudaranya tersebut” [Fathul-Baariy, 9/201].
Asy-Syaikh Husain Al-‘Awaaisyah hafidhahullah berkata :
والحاصل : أن تفسير ترْك الخطبة في الحديث السابق أن تُذْكَر المرأة من قِبَل شخص لأخيه، ويعلم رغبته في النكاح منها، ويُرجّح قبول الوليّ، فهذا كلّه يدعو إلى ترْك الخطبة، والله أعلم
“Kesimpulannya : Tafsir ‘meninggalkan lamaran (tarkul-khithbah)’ pada hadits di atas adalah bila seorang wanita disebutkan oleh seseorang kepada laki-laki lain, dan laki-laki itu mengetahui keinginan orang tersebut untuk menikahinya dan besar kemungkinannnya si wali menerima lamarannya; maka semuanya ini menuntut laki-laki yang mengetahui itu untuk meninggalkan lamaran (tidak malamar) wanita tersebut. Wallaahu a’lam”.
Semoga artikel singkat ini ada manfaatnya. Wallaahu a’lam.
[Cerkiis.blogspot.com, Penulis: Ustadz Abul Jauzaa’ - – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 18061434/28042013 – 01:25 – mengambil faedah dari buku Al-Mausuu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah oleh Husain bin ‘Audah Al-‘Awaaisyah, hal. 29-31, Al-Maktabah Al-Islaamiyyah, Cet. 1/1425 H].
Footnote :
[1] Maksudnya : ia sering memukul istrinya.
TANYA - JAWAB
Tanya :
Ustadz, kalau misalnya anak (si wanita) mungkin menerima dan tidak masalah dengan pihak laki-laki yang sudah melamar lebih dulu.. namun kita juga mengetahui bahwa orang tua si wanita akan sulit menerima lamaran tersebut karena sesuatu hal. artinya masih ada peluang kita merebut hati orang tuanya (keputusan ada di orang tua wanita), apakah dalam kondisi seperti itu kita masih boleh untuk melamar si wanita?
Jawab Ustadz Abu Al-Jauzaa' :
Seandainya kita mengetahui adanya kecenderungan atau bahkan penerimaan baik dari si wanita atau orang tuanya, maka kita tidak diperkenankan untuk melamarkan. Kecuali misalnya orang tua si wanita telah tegas menolak lamaran laki-laki pertama.
====
Tanya :
Nih kasusny lebih pelik lagi. Saya laki2, umur 23, bos saya, seorang perempuan brusia 46, memiliki suami yg sudah jauh lebih tua dan seorang anak.
Beliau merasa masih memiliki gairah sexual, namun tdk bisa dipenuhi oleh suami, Beliau masih terlihat muda, cantik n terawat,. Bgmn sbaikny beliau menghadapi hal tsb, sbenarny suami beliau sudah merelakan apapun yg beliau lakukan asal beliau senang. Saya kenal n dekat dg beliau sejak mulai bekerja dg beliau 5 tahun yg lalu, bagi saya beliau merupakan seorang yg sngt baek, sejak itu saya
kagum dg beliau n sangt senang, bliau nampkny mnymbunykan identitas bahwa beliau sdh bkeluarga n umur beliau, sejak awal saya jg tdk
terpikir usia beliau n kluargany. Sejak itu saya n beliau dekat skali meskipun dalam kwajaran, beliau jg terbuka smua hal dg saya, kita jg kadang bhubungan spt orang pacaran. Beliau bcerita bahwa ingin bhubungan sex laksana suami istri, tp suami tdk bs mncukupi, shngg bbrapa kali mngajak saya, namun saya mnolak, kl hubungan yg lain saya menerima, bgmn mnghdp hal ini, sejak saya menolak hal itu saya jd tidak enak dengan beliau, mengingat beliau sudah memberikan banyak hal pd saya,sngt terbuka pada saya, yg plng saya takut bahwa beliau akan berpikiran negativ pd saya,.??/
Saya juga sebenarny sayang n mcintai beliau, karna beliau msh cantik, baek, kaya,agamany jg lumayan, n ingin brsama. Sejak saya mnolak pmintaan beliau, beliau tlihat menjauhi saya, saya sgt takut, aplg beliau juga dekat dngn bbrapa laki-laki. Dgn ini saya merasa bhwa saya yg butuh beliau. Apakah boleh beliau bhubungn sex atas dasar kebutuhan sex mendesak n terpaksa, pdl puny suami tp tdk bs puaskan?
Jawab Ustadz Abu Al-Jauzaa' :
Ketika Anda menolak permintaan wanita tersebut, maka secara fitrah Anda mengetahui bahwa perbuatan wanita tersebut adalah keliru. Anda mungkin dapat berpikir pintas dari sisi Anda, namun cobalah berpikir dari sisi keluarga wanita itu. Relakah suami dan anak wanita itu dizinahi laki-laki lain ?. Atau, seandainya Anda sakit, kemudian istri Anda serong dengan laki-laki lain, ridlakah Anda dengan perbuatannya itu ?.
Lebih dari itu, Allah ta'ala telah berfirman :
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk" [QS. Al-Israa' : 32].
Melalui ayat ini Allah melarang hambanya untuk berdekat-dekat dengan zina. Seandainya berdekat-dekat saja tidak diperbolehkan, maka zinanya itu sendiri adalah perkara yang jauh lebih besar dosanya. Zina adalah perbuatan keji yang merusak peradaban dan nasab manusia. Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :
لا يحل دم امرئ مسلم يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله إلا بإحدى ثلاث النفس بالنفس والثيب الزاني والمفارق لدينه التارك للجماعة
”Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahwasannya tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bersaksi bahwasannya aku adalah utusan Allah kecuali karena salah satu dari tiga sebab, yaitu jiwa dengan jiwa (qishash), orang yang telah menikah yang berzina, dan orang yang keluar dari agamanya sekaligus meninggalkan Al-Jama’ah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6878; Muslim no. 1676; Ahmad no. 3621, 4065, 4245; Abu Dawud no. 4352; An-Nasa’i no. 4016, dan Ibnu Majah 2534].
Wanita yang baik agamanya tentu tidak akan berkhianat di belakang suami dan anak-anaknya. Semua makhluk yang bernama manusia tidak rela terhadap perbuatan ini.
Jauhilah wanita itu, dan jangan pedulikan dirinya. Takutlah kepada Allah dan minta perlindungan kepada-Nya. Jika Anda bekerja, maka bekerjalah secara profesional. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita semua.
====
Tanya :
trimakasih ust sudah dijawab. Saya mau meneruskan pertanyaan. Menurut cbeliau, suami beliau merelakan apa saja yg beliau lakukan asal beliau senang, anak beliau jg. Memang beliau dg suami n anak lbh kuasa krn yg banyk memiliki harta, suami n anak jg tdk mpermasalahkan beliau yg kdang suka dg laki-laki lain,anak n suami beliau maklum n jd sudah dketahui. Memang berpikir mlihat dr sisi suami, sngt kasihan. Saya jg heran dg hal itu, aplg beliau jg tdk trlalu prhtikan anak n suami namun cukupi mreka dg harta.?? Perbuatan beliau jg baek, masalah bg beliau adlh msh mnyukai laki2 muda, trlalu dkat dg laki2 lain, n gairah bhubungan sexual dg laki2 lain, namun saya salut karna beliau mengakui hal itu n tdk menyembunyikn. Beliau jg sangt dekat,terbuka dg saya, sampe suatu ketika mngajak hub sexual dg saya, walau saya tolak,sampe skarang saya msh bhubungn dekat namun intensitas ny mnurun sejak saya menolak bhubungan sexual,saya jg prnh minta maaf karna msh mrasa tdk enak mnolak hub sexual dg beliau,mskpn dg hal tsebut beliau dg sante brujar; 'thu kan kamu yg butuh saya bukan saya yg butuh kamu', sjak itu kita kmbli dekat., Saya sbenarny jg suka n kagum dg beliau karna secara fisik,harta, sifat baek, ,. namun saya bpikir panjang, Dlm prkembangn ny, beliau jg bbrapa kli bkata,bhwa saya baek, setia, hormat, cinta,. shngg saya dkenalkan dg anak perempuanny n beliau mjodohkan dg anakny,saya sngt senang, tlebih anakny muda n cantik (mskpn anakny nampakny krng senang), beliau dg spt itu jg bharap hub saya n beliau berlanjut,. Saya dg beliau sbenarny slng suka beliau n bharap bs bhubungan trus, namun kondisi.
Bgmn bs saya menjauhi, smentara saya bkerja dg beliau,hampir sharian saya bhubungan dg beliau scr pekerjaan ditambah bersama beliau krn tgs lain, saya jg staf beliau yg dpercaya,. Saya mlh takut kl menjauhi beliau, beliau malah tambah melenceng?
Bgmn solusi ny menurut ustad
Jawab Ustadz Abu Al-Jauzaa' :
Nasihat saya ada sebagaimana telah saya tuliskan di atas.
Semakin Anda bergaul dengannya, semakin kabur kebenaran bagi Anda. Dan kalau perlu, tidak ada salahnya Anda mencari pekerjaan lain sehingga Anda bisa jauh dari wanita tersebut.
Menyelamatkan diri sendiri jauh lebih berharga daripada menyelamatkan orang lain (sementara diri sendiri celaka).