SIKAP SAHABAT TERHADAP PERJANJIAN HUDAIBIYAH
Kebanyakan shahabat tidak senang dengan sebagian besar isi perjanjian, di antara yang menunjukkan hal ini yaitu penolakan Ali Radhyiallahu anhu ketika diminta menghapus kalimat “Rasûlullâh” yang di tolak oleh Suhail bin Amr, utusan kaum Quraisy. Kemudian pada akhirnya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menghapusnya dan menggantinya dengan Muhammad bin Abdillah, sebagai ganti dari Muhammad Rasûlullâh.[1]
Dan para Shahabat Radhiyallahu anhum juga dongkol dengan syarat yang mengharuskan orang-orang Muslim yang lari dari Quraisy harus dikembalikan, sementara kaum Muslimin yang lari ke Mekah tidak dikembalikan. Para Shahabat melontarkan pertanyaan seakan tidak percaya, ”Ya Rasûlullâh ! Apakah kita akan menulis ini ?” Dengan tegas, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
نَعَمْ إِنَّهُ مَنْ ذَهَبَ مِنَّا إِلَيْهِمْ فَأَبْعَدَهُ اللهُ تَعَالَى وَمَنْ جَاءَنَا مِنْهُمْ سَيَجْعَلُ اللهُ لَهُ فَرَجاً وَمَخْرَجاً
Ya, Sesungguhnya siapa yang lari dari kita menuju mereka, (semoga) Allâh menjauhkannya, dan barangsiapa mendatangi kita dari mereka maka (semoga) Allâh akan memberikan kemudahan dan jalan keluar baginya.[2]
KISAH UMAR BIN KHATTHAB RADHIYALLAHU ANHU
Diantara shahabat yang tidak bisa menerima isi perjanjian ini adalah Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu.
Umar Radhiyallahu anhu menceritakan sendiri bagaimana sikapnya saat mengetahui isi perjanjian ini. Beliau Radhiyallahu anhu datang menghadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata :
أَلَسْتَ نَبِىَّ اللَّهِ حَقًّا قَالَ : بَلَى
Bukankah Engkau benar seorang Nabi Allâh ? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tentu.”
قُلْتُ أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ وَعَدُوُّنَا عَلَى الْبَاطِلِ قَالَ : بَلَى
Aku (Umar Radhiyallahu anhu) bertanya, ”Bukankah kita di atas kebenaran sementara musuh berada di atas kebatilan?” Beliau menjawab, “Tentu”
. قُلْتُ فَلِمَ نُعْطِى الدَّنِيَّةَ فِى دِينِنَا إِذًا ؟ قَالَ : إِنِّى رَسُولُ اللَّهِ ، وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهْوَ نَاصِرِى
Aku bertanya, “Kalau begitu, kenapa kita memberikan kerendahan pada agama kita ?”
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Aku adalah utusan Allâh, dan Aku tidak akan mendurhakai-Nya dan Dialah penolongKu”.
. قُلْتُ أَوَلَيْسَ كُنْتَ تُحَدِّثُنَا أَنَّا سَنَأْتِى الْبَيْتَ فَنَطُوفُ بِهِ . قَالَ : بَلَى ، فَأَخْبَرْتُكَ أَنَّا نَأْتِيهِ الْعَامَ ؟
Aku bertanya, “Bukankah engkau telah mengatakan bahwa kita akan mendatangi Ka’bah kemudian kita melakukan ibadah thawaf di sana ?”
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Benar, (akan tetapi) apakah aku mengatakan kepadamu bahwa kita akan mendatangingya pada tahun ini ?”
. قُلْتُ : لاَ . قَالَ : فَإِنَّكَ آتِيهِ وَمُطَّوِّفٌ بِهِ
Aku menjawab, “Tidak!” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan melakukan thawaf.”
Dan Umar mendatangi Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan mengutarakan perkataan yang sama seperti yang diutarakan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Abu Bakar Radhiyallahu anhu mengingatkan Umar Radhiyallahu anhu, “Sesungguhnya ia adalah benar-benar utusan Allâh dan dia tidak sedang menyelishihi Rabbnya dan Dialah penolongnya, patuhilah perintahnya ! Demi Allâh Azza wa Jalla sesungguhnya ia di atas kebenaran”[3]
Ketika Umar Radhiyallahu anhu menyadari kesalahannya ini, Beliau Radhiyallahu anhu merasakan penyesalan mendalam dalam hatinya. Sehingga sejak saat itu, Umar Radhiyallahu anhu memperbanyak ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla berharap keburukannya itu bisa terhapus dan digantikan dengan kebaikan. Beliau Radhiyallahu anhu mengatakan, “Aku terus berpuasa, bersedeqah dan memerdekakan budak (sebagai tebusan) dari apa yang telah aku perbuat, karena aku merasa cemas terhadap ucapan yang pernah aku ucapkan kala itu, sehingga saya berharap itu menjadi kebaikan”[4]
Ketika Abu Jandal Radhiyallahu anhu yang datang dari Mekah meminta perlindungan dari kaum Muslimin dan mengatakan, “Wahai kaum Muslimin ! Apakah kalian akan mengambalikan saya kepada kaum musyrikin sehingga mereka leluasa menyiksa saya karena agama saya ?” Mendengar ucapan yang penuh permohonan ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan semangat dan motivasi agar bersabar dengan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Abu Jandal, bersabarlah dan berharaplah kepada Allâh ! Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla akan memudahkan dan memberi jalan keluar untukmu dan untuk orang-orang lemah yang bersamamu.”[5]
Umar Radhiyallahu anhu secara sengaja berjalan di dekat Abu Jandal sambil membawa pedang dan mendekatkannya ke Abu Jandal. (Umar Radhiyallahu anhu berharap Abu Jandal mengambil pedang itu) akan tetapi Abu Jandal tidak melakukannya. Kemudian dia dikembalikan kepada orang orang musyrik.[6]
Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk menyembelih al-hadyu (hewan qurban) dan menggundul rambutnya, tidak ada satupun dari mereka yang beranjak melaksakan perintah tersebut. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi perintahnya sampai tiga kali, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk bertemu Ummu Salamah Radhiyallahu anha dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan apa yang terjadi pada kaum Muslimin. Ummu Salamah Radhiyallahu anha menyarankan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memulai apa yang beliau inginkan. Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar saran Ummu Salamah Radhiyallahu anha dan melakukannya, maka sontak para shahabat berdiri dan menyembelih serta mereka saling menggundul rambut satu sama lain sampai-sampai mereka hampir saling membunuh satu sama lain karenanya.[7]
Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebaikan tiga kali untuk orang yang menggundul kepalanya dan mendo’akan kebaikan sekali untuk orang yang hanya memendekkan rambut.[8]
Jumlah unta yang di sembelih kala itu adalah tujuh puluh ekor. Satu ekor unta untuk tujuh orang.[9]
Dan yang menjadi hadyunya Rasûlullâhn pada hari itu adalah unta milik Abu Jahal yang menjadi ganimah dalam perang Badar. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelihnya untuk membuat gerah orang-orang Musyrikin
Sebagain hadyu yang di sembelih di Hudaibiyah di lakukan di luar daerah haram.[10]
Dan sebagian yang lain di sembelih oleh Najiah bin Jundub di dalam daerah haram.[11]
Ini sebagian gambaran sikap para Shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyikapi perjanjian damai Hudaibiyyah. Tidak di ragukan lagi bahwa apa yang di lakukan Umar Radhiyallahu anhu dan kaum Muslimin lainnya bukan bermaksud menentang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun merupakan ijtihad mereka dan gambaran kesemangatan mereka untuk mengalahkan, menaklukkan dan menghinakan kaum musyrikin.[12]
SIKAP KAUM QURAISY TERHADAP PERJANJIAN
Selama perundingan berlangsung dan setelah penulisan perjanjian, Quraisy tak henti-hentinya melakukan provokasi terhadap kaum Muslimin, namun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat bisa menahan diri. Ketika delapan puluh orang penduduk Mekah berusaha menyerang perkemahan kaum Muslimin dan kaum Muslimin berhasil menawan mereka, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memaafkan mereka.[13] Kegagalan ini rupanya tidak membuat mereka jera, karena setelah itu ada tiga puluh orang Quraisy mencoba menyerang kaum Muslimin, disaat tengah pengukuhan perjanjian itu. Usaha mereka inipun berhasil digagalkan dan mereka berhasil ditawan oleh kaum Muslimin. Namun mereka akhirnya juga dibebaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [14]
Pasca pengukuhan perjanjian itupun mereka juga mencoba melakukannya lagi. Saat itu ada sekitar tujuh puluh orang yang berusaha menyerang kaum Muslimin. Namun lagi-lagi rencana busuk mereka berhasil digagalkan dan mereka berhasil ditawan oleh kaum Muslimin. Salamah bin al-Akwa’ Radhiyallahu anhu bahkan berhasil menawan empat orang yang berbuat jahat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memaafkan mereka kembali. Dan Allâh Azza wa Jalla telah menurunkan firman-Nya.
وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ بِبَطْنِ مَكَّةَ مِنْ بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرًا
“Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekah sesudah Allâh memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allâh Maha melihat apa yang kamu kerjakan. [al-Fath/48:24][15]
KAUM MUSLIMIN KEMBALI KE MADINAH
Setelah menyelesaikan akad perjanjian dan melakukan ibadah kurban, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat kembali ke Madinah setelah meninggalkannya selama satu bulan lebih.
Dalam perjalanan kembali ke Madinah, peristiwa menakjubkan yang merupakan mu’jizat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali terjadi yaitu peristiwa makanan dan minuman yang bertambah banyak. Peristiwa serupa pernah terjadi pada perang Khandaq pada makanan yang dibawa oleh Jabir dan juga pada air sumur Hudaibiyyah. Peristiwa kali ini diceritakan oleh Salamah bin al-Akwa’ Radhiyallahu anhu bahwa ketika mereka merasa lapar dan dahaga, mereka hampir saja menyembelih hewan tunggangan mereka. Namun niat mereka ini urung mereka laksanakan, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perbekalan yang ada, lalu mendo’akan sehingga bisa mencukupi dan bisa mengenyangkan semua pasukan, bahkan mereka bisa memenuhi wadah-wadah perbekalan mereka.[16]
Dalam perjalanan kembali ke Madinah ini pula, Allâh Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya :
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata [Al-Fath/48:1]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang ayat ini :
لَقَدْ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ اللَّيْلَةَ سُورَةٌ لَهِيَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ
Sungguh telah diturunkan kepadaku malam sebuah surat yang sungguh dia lebih aku sukai dari pada tempat terbitnya matahari (dunia)[17]
Mendengar sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, Umar bertanya keheranan, “Apakah ini sebuah kemenangan ?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” Sejak saat itu jiwa Umar Radhiyallahu anhu tenang[18]
Kaum Muslimin pun merasakan kebahagiaan yang amat sangat, Mereka seakan baru menyadari ketidakmampuan mereka untuk mengetahui semua faktor penyebab dan hasil akhir sesuatu dan mereka pun menyadari bahwa semua kebaikan itu ada pada sikap taslîm (pasrah dan tunduk) kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.
Ketika Ummu Kultsum bintu Uqbah bin Mi’yath hijrah ke Madinah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengembalikannya ke keluarganya meski keluarganya meminta hal itu. Hal ini karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpegang dengan firman Allâh Azza wa Jalla.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allâh lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allâh yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allâh Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [al-Mumtahanah/60:10][19]
Berdasarkan ayat ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menguji kaum wanita yang berhijrah ke Madinah. Jika mereka melakukan itu karena iman dan islam, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan mereka tetap tinggal di Madinah dan tidak mengembalikan mereka kepada para suami mereka. Dan sebagai konsekuensinya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikan mahar-mahar yang pernah diserahkan oleh para suami yang kafir tersebut kepada mereka. Sedangkan mereka yang datang sebelum ada perjanjian damai ini, maka tidak ada kewajiban mengembalikan mahar.
Jadi ayat sebagai dalil yang menuntut agar kaum wanita yang hijrah ke Madinah tidak dikembalikan ke Mekah. Dan ini termasuk pengecualian dari salah satu poin kesepakatan damai di Hudaibiyyah yaitu kewajiban mengembalikan kaum Quraisy yang mendatangi kaum Muslimin di Madinah.
PELAJARAN DARI KISAH
1. Ketika ada sesuatu yang menghalangi orang yang sedang berumrah sehingga tidak memungkinkannya melanjutkan ibadah umrahnya, maka dia boleh bertahallul dan tidak ada kewajiban mengqadha’
2. Dalam kisah di atas terdapat contoh nyata dari musyawarah dalam Islam. Hal ini tergambar ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan masalah respon kaum Muslimin yang sangat lamban terhadap perintah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima masukan dan mempraktekkan pendapat Ummu Salamah Radhiyallahu anha
3. Terlaksananya perjanjian damai ini merupakan wujud pengakuan pertama kali kaum Quraisy terhadap keberadaan komunitas Muslim
4. Perjanjian damai ini membuka peluang bagi kaum Muslimin untuk mendakwahkan Islam dengan lebih gencar lagi. Sebelum ada perjanjian, setiap pertemuan selalu dibayangi peperangan, maka setelahnya mereka bebas menyebarkan Islam. Sehingga banyak orang-orang kafir yang masuk Islam. Hal ini terlihat dari jumlah kaum Muslimin yang meningkat pesat. Jika saat perjanjian itu, jumlah kaum Muslimin tidak lebih dari dua ribu, maka pada fathu Makkah jumlah kaum Muslmin sudah mencapai puluhan ribu, padahal jarak keduanya tidak lebih dari dua tahun. Sebuah peningkatan yang menakjubkan.
5. Keteguhan Abu Bakar Radhiyallahu anhu dalam mengikuti keputusan dan perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam disaat yang lain bimbang.
6. kisah ini menunjukkan bahwa kebaikan dunia dan akhirat hanya bisa diraih dengan sikap pasrah dan tunduk terhadap keputusan ataupun perintah Allâh Azza wa Jalla dan rasul-Nya.
[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]
Footnote
[1]. HR Bukhari dan Muslim
[2]. HR. Muslim (3/1411/no. 1784)
[3]. HR. al-Bukhâri/al-Fath (11/167- 178/ no:2731,2732) dan (12/271/ no:3182) dan Muslim (3/1412/no:1785) dan Ahmad (4/325) dengan sanad yang hasan, dan Ibnu Ishaq dengan sanad yang hasan. Ibnu Hisyam (3/439-440) mirip dengan riwayat di Bukhari
[4]. Dari riwayat Ibnu Ishaq dengan sanad yang hasan – Ibnu Hisyâm (3/440).
[5]. Musnad Ahmad (4/325) dengan sanad hasan, dan Ibnu Ishaq dengan sanad yang hasan- Ibnu Hisyam (3/442).
[6]. Sumber dan halaman yang sama.
[7]. HR. al-Bukhâri/al-Fath (11/178-180/no:2731-2732)
[8]. Musnad Ahmad (2/34,151) dengan sanad yang hasan
[9]. Musnad Ahmad (4/324) dengan sanad yang hasan.
[10]. HR. al-Bukhâri/al-Fath (11/131/no:2701).
[11]. At-Thahawi, Syarhu Ma’ânil Atsar (2/242) dengan sanad yang shahih
[12]. Musnad Ahmad (4/325) dengan sanad yang hasan
[13]. HR. Muslim (3/1442, no. 1808) dan Ahmad dalam Musnad (3/122, 124, 125, 290)
[14]. Musnad Ahmad (4/86) dengan sanad yang semua perawinya adalah perawi shahih, sebagaimana dikatakan oleh al-Haitsami dalam al-Majma’. al-Hakim mengatakan, “Riwayat ini shahih sesuai dengan syarat bukhari dan Muslim.
[15]. HR. Muslim (3/1434, no. 1808)
[16]. HR. Muslim (3/1354, no. 1729) dan Bukhari, al-Fah (16/16, no. 4152)
[17]. HR, Bukhari, al-Fath (16/28, no. 4177)
[18]. HR. Muslim (3/1412, no. 1785)
[19]. HR, Bukhari, al-Fath (11/140, no. 2711 31n 2712)